Share

Rasa 4 :: Yang Tidak Diharapkan

Empat hari setelah bertemu Aro, semangat Livia untuk bekerja menurun. Terlebih lagi hari ini. Entah kenapa pagi tadi hatinya ada yang mengganjal dan ingin terus berada di tempat tidur saja. Menggulung badan menggunakan selimut akan lebih menyenangkan. Namun, dia tetap berangkat karena sadar harus profesional.

“Cangkangnya masuk!” seru Livia dengan dahi bergelombang.

Sejak Livia bergabung di pasty and bakery kitchen Hotel Betwixt Sanctuary, Bogor, atmosfer di dapur tersebut berubah. Omelan Livia memenuhi dapur nyaris setiap hari meskipun durasi kerja belum ada sejam. Suasana dapur yang tadinya tenang, sejak itu jadi tegang, tetapi menarik untuk disimak. Aksi marah-marah Livia menjadi hiburan tersendiri bagi para rekan kerja satu timnya.

 “Maaf, Kak.” Trainee[1] yang ditegur mengambil sebuah spatula dengan terburu-buru. Namun, Livia menepisnya lagi.

Tanpa berkata apa pun, Livia mengambil pecahan cangkang telur yang agak besar. Kemudian, dia mencelupkannya ke dalam baskom dan membidik serpihan cangkang yang terjatuh tadi. Dalam sekali coba, serpihan tersebut ikut terangkat. Dia menunjukkan hasil usahanya itu ke depan wajah si anak trainee.

“Keburu ganti shift kalau kamu pakai itu—spatula,” komentarnya sebelum membuang cangkang telur dan berlalu.

Saat balik badan, Livia melihat Chef De Partie[2] menggeleng pelan sembari menatapnya.

“Tidak perlu galak-galak,” tukas laki-laki tersebut saat mereka berhadapan.

“Saya emosi, Chef,” aku Livia. “Sudah beberapa kali dikasih tahu, tetapi masih saja curi-curi kesempatan. Kalau begitu, kapan dia akan bisa? Buat malu saja sudah kuliah semester akhir, tetapi cara sederhana seperti itu belum dikuasai.”

Valliant paham jika maksud hati Livia adalah baik. Hanya saja, caranya sering ekstrem seperti tadi. Hal ini membuat banyak anak trainee atau pekerja baru menjadi sungkan dan waswas.

“Saya paham, tetapi bagaimana kalau nanti CDP yang baru kaget melihat tingkah lakumu yang barbar seperti ini?” tanya laki-laki tersebut yang akan pindah tempat kerja seminggu lagi.

Berhubung atasannya tersebut membuka topik obrolan baru, Livia akhirnya bertanya, “Memangnya, Chef tahu seperti apa orangnya?” Dia mengekori Valliant yang berjalan menuju chef room[3].

Laki-laki berambut keriting ikal itu menggeleng pelan. “Kalau secara langsung, belum pernah. Hanya saja saya pernah mendengar beberapa chef membicarakannya,” tuturnya seraya menyeret kursi kerja.

“Benarkah? Apa dia adalah chef yang populer?” Livia sedikit menelengkan kepala. Wajahnya menggambarkan keraguan.

Sembari mengambil pulpen dan note book di laci meja kerjanya, Valliant menyahut, “Entahlah, tetapi saya rasa karena dia adalah lulusan akademi chef ternama di negara sana.” Baru sepersekian detik menutup mulut, dirinya menatap Livia dan lanjut berkata, “Ah, bahkan ternama di dunia!”

“Wow!” Keraguan yang terlukis di wajah oval Livia berubah menjadi kekaguman. “Berarti dia lebih hebat daripada Chef?”

Sontak saja Valliant memberikan tatapan tajam kepada Livia, tetapi tidak sungguh-sungguh karena tahu jika gadis tersebut sekadar bercanda. “Lulusan mana saja tetap sama jika tidak diimbangi dengan pengalaman langsung di lapangan sesuai bidangnya.”

Livia mengangguk samar, tanda setuju dengan kalimat tersebut.

“Saya mau meeting dulu. Tolong awasi kitchen dan ingatkan bagian dekorasi wedding cake untuk segera menyelesaikannya sebelum Zuhur!” titahnya sebelum keluar dari chef room.

“Siap, Chef!” tanggap Livia. Dia kembali membuntuti Valliant hingga langkahnya tinggal beberap meter dari pintu keluar. “Chef, memang dia lulusan mana?”

  Valliant berhenti melangkah dan membalikkan tubuh. “Apa kamu sepenasaran itu sampai mengekori saya seperti ini?”

“Oh, iya dong!” jawab Livia sembari memberi senyum semanis sukrosa.

Daripada membiarkan Livia dan rasa penasarannya, lebih baik Valliant menjawab sekarang jika tidak ingin dituntut pertanyaan yang sama nantinya. “Dia lulusan Culinary Arts Academy Switzerland dengan spesialisasi seni cokelat. Puas?” Kemudian, dia segera berlalu.

Informasi tersebut bagaikan guyuran air es seember besar. Seketika tubuh perempuan setinggi 168 cm itu membeku, bahkan sampai ke dalam organ jantung. Meskipun demikian, otaknya berjalan cepat menggali sebuah informasi yang sudah lama tersimpan di memorinya tentang seseorang.

“Chef!” serunya setelah kesadaran kembali menguasainya.

Valliant memutar badan dengan enggan. “Apa lagi?”

Livia terlihat ragu selama 2 detik sebelum akhirnya bertanya, “Apakah namanya Genaro, Chef Aro?” Dia berdoa dalam hati supaya tebakannya salah.

Mata Valliant sedikit melebar. “Lo! Kamu kenal dengannya?”

Runtuh sudah pijakan kaki Livia untuk kedua kalinya karena Aro.

***&***

“Bagaimana ini, Li?” tanya Livia sembari menahan butir bening di sudut mata.

Sudah kuduga, ucap Hongli hanya dalam hati saat menangkap tanda putus asa di dalam suara Livia. Bayangan saat dirinya dan Livia berbincang tentang Aro kembali muncul di benak. Kemudian, ingatannya tentang pembicaraan Livia dan Aro berputar.  Saat Aro muncul di kamar Livia malam itu, gadis tersebut lupa menekan tombol merah di sambungan telepon. Dirinya yang kepo pun tetap membiarkan mikrofon menyalurkan kata demi kata dari dua orang di seberang telepon. Sampai pada akhirnya, dia segera menekan tombol merah saat dirasa percakapan itu usai. Dari situ dia cukup tahu jika pertahanan Livia langsung runtuh di pertemuan pertama, padahal nanti mereka akan selalu bertemu di medan perang—dapur pastri.

Apa yang tengah ada di pikiran Hongli buyar karena terdengar isak tangis dari seberang telepon. Suara tangisnya cukup keras hingga menimbulkan cegukan.

“Hei, tenangkan dirimu dulu!” pintanya. Dia tidak sanggup mendengar reaksi  Livia yang seperti ini. Tangisan Livia yang menyangkut Aro bukan hal yang dapat dianggap remeh. Dirinya tahu seberapa dalam Livia jatuh ke jurang gelap dan berduri yang Aro buat—entah sengaja atau tidak—hingga menyisakan luka yang tidak kunjung pulih. Rasa kecewa akibat pengkhianatan—oh, bukan! Sepertinya, itu lebih tepat jika disebut dusta. Meskipun dirinya dan Aro tetap menjalin komunikasi, dia tidak tahu alasan Aro mengabaikan Livia tanpa penjelasan yang jelas. 

“Take a water first!”

Livia menurut. Dia menyambar botol bervolume 2,5 liter yang ada di meja rias. Setelah tiga tegukan, tangisnya mereda meski masih sesenggukan.

“Jadi, bagaimana selanjutnya?”

Gadis yang perawakannya cocok sebagai pramugari itu—tetapi sayangnya lebih memilih berkutat dengan kompor dan oven—mengambil posisi duduk di kursi berbantal empuk dan memiliki head rest. Tangan bebasnya menyambar tiga lembar tisu, lalu menggunakannya untuk mengelap ingus. Hidung mancung kecilnya sampai memerah.

“Sekarang aku kesal, aku marah, aku kaget, Li. Coba saja kamu bayangkan! Orang yang kamu kira tidak akan pernah muncul lagi di depan matamu, ternyata kembali lagi. Dan yang paling menyebalkan, kami akan menjadi rekan kerja,” tutur Livia dengan ekspresif meskipun suaranya masih terdengar serak.

 “Tidak ada yang bisa kamu lakukan selain menghadapinya, Liv,” tutur Hongli.

Livia tersentak karena mendengar Hongli mengucapkannya dengan nada tenang. Dia menyadari sesuatu. Dengan memicingkan mata, dirinya menuduh, “Jangan-jangan kamu sudah tahu tentang ini dari lama?” Hal yang mungkin terjadi mengingat Hongli dan Aro masih saling komunikasi meskipun beda benua.

Dengan cepat Hongli menyahut, “Tidak. Sama sekali belum tahu sampai tadi saat para chef meeting dan Aro datang di sana.”

Livia menegakkan tubuh secara refleks mendengar kabar itu. Dengan mata yang kembali memicing meskipun lawan bicaranya tidak dapat melihat, dia bertanya, “Kamu bertemu dengannya?”

“Iya, tetapi sebentar.” Tidak ada nada ragu dari jawaban Hongli.

“Dan kamu tidak memberi tahuku?” Livia menaikkan volume bicara. Matanya membelalak.

“Untuk apa aku memberi tahu hal seperti itu? Apa kamu ingin memintaku membuatnya menunggu untuk bertemu denganmu di sana? Tidak, kan?” Jelas sekali bahwa Hongli menyindir pola pikir Livia yang kurang rasional dengan mempertanyakan hal semacam itu.

Livia tertegun, merasa bodoh karena melontarkan pertanyaan itu. “Cih, omong kosong!”

Terdengar helaan napas dari seberang telepon. “Sudah kubilang kalau urusan kalian memang belum selesai. Terima saja itu!”

Livia mengembuskan napas gusar. “Enteng sekali kamu bicara begitu.” Dia berjalan ke nakas untuk mengambil permen gummy bear yang ada di dalam toples kaca berukuran 500 ml. Mengunyah makanan kesukaan efektif menaikkan mood.

“Pikirkan apa yang sebaiknya kamu lakukan setelah ini!” pesan Hongli.

“Sudah terpikir,” celetuk Livia dengan jujur. Otaknya berkeliling mencari jalan keluar selama mulut mengunyah gummy bear sesaat lalu.

“Apa?”

Livia menjeda sejenak. Dia butuh waktu sekian detik untuk menghaluskan, lalu menelan permennya. “Resign.”

Hongli melongo untuk sesaat. “Silakan kalau kamu mau kupingmu panas tujuh hari tujuh malam karena diomeli orang serumah. Sepertinya, perlu aku ingatkan kalau mereka kurang setuju kamu jadi chef. Dan saat kemarin kamu minta izin sampai memohon-mohon,mereka memberi izin dengan syarat kamu tidak menyesalinya di kemudian hari,” tuturnya.

Perkataan Hongli memang nyata. Dulu saat Livia memutuskan untuk masuk jurusan Kuliner, seisi rumah menentang dengan alasan beban kerja berat bagi perempuan. Mereka lebih setuju jika Livia mengambil jurusan Penerbangan dan bekerja sebagai pramugari. Namun, Livia teguh pendirian dan berhasil meyakinkan mereka.

“Aku ada kencan, jadi bye, assalamualaikum.”

Livia mendengkus. Dari cara bicaranya, Hongli seakan-akan memamerkan diri jika bahagia dengan sang kekasih. “Hmm, waalaikumsalam.”

“Kamu jangan gila berkelanjutan!”

Usai menutup telepon dan melemparkan tiga buah permen, Livia mengempaskan tubuh ke kasur. Kedua tangan dan kakinya direntangkan. Sekarang tidak ada yang dapat menemaninya bertukar pikiran. Satu-satunya orang yang menjadi tempat curhatnya adalah Hongli.

Pesan Hongli sebelum menutup percakapan menyeret Livia untuk memutar otak demi mendapatkan jalan keluar. Dia tidak dapat menghindar dari Aro karena mereka akan jadi satu tim di tempat kerja. Tubuhnya bergidik hanya dengan membayangkan mereka ada di dapur yang sama. Belum lagi jabatan mereka atas-bawah, Aro sebagai Chef de Partie dan dirinya Demi Chef de Partie[4]. Berdasarkan tugas dan wewenang, dirinya harus mengikuti job desc Aro dan siap menjadi pengganti Aro jika berhalangan bertugas. Sepertinya, tidak ada celah untuk dirinya menghindar.

Ya Tuhan! Menyadari hal itu membuat hati Livia menyeringai perih. Kenapa hidupnya menjadi rumit hanya karena Aro kembali?

Ada sebuah jalan yang terlintas di benak Livia untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat, yaitu resign. Haruskah dia melakukannya?

___________________________________________

[1] Trainee = pekerja magang

[2] Chef de Partie (CDP) = Chef yang bertugas mengawasi jalannya operasional dan kualitas produk pada salah satu seksi (hot kitchen, cold kitchen, pastry & bakery, dll.) yang menjadi tanggung jawabnya

[3] Chef room = ruangan yang digunakan untuk memesan barang ke store hotel, planning, budgetting, dll. dan biasa diisi oleh kitchen admin, executive chef, sous chef, dan demi chef

[4] Demi chef de partie = jabatan chef di bawah Chef de Partie (CDP), memiliki tugas serta wewenang seperti CDP serta menjadi asisten CDP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status