Share

CCB-5

"Aunty, apa Arthur benar-benar akan makan malam bersama kita?"

Setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir, Sarah tiba-tiba merasa ragu Arthur akan menuruti permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Apalagi, Arthur sudah tahu dia ada di rumah.

Sarah sadar akan kesalahannya yang sering menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama . Wajar saja sikap Arthur berubah dingin. Sekarang Sarah butuh usaha yang sangat besar untuk memperbaiki hubungan mereka meski Arthur terus menghindarinya. Kali ini, dia menggunakan cara dengan melibatkan ibunya Arthur sebagai perantara dalam hubungan mereka. Dia berharap cara ini bisa berhasil mendekatkan Arthur dengannya lagi.

Angela memegang punggung tangan Sarah. Ibu dua anak itu bisa merasakan kecemasan Sarah. "Kau tenang saja, Sarah. Aunty yakin Arthur akan pulang lebih awal dan makan malam bersama kita."

Sarah sedikit menunjukkan senyum. Ya, semoga saja kali ini usahanya berhasil, doanya dalam hati. Beberapa menit kemudian, keraguan Sarah lenyap saat pria yang ditunggunya sejak tadi sudah hadir di hadapannya. Suasana hatinya mendadak berubah senang melihat Arthur bersedia memenuhi permintaan ibunya.

"Malam, Mom." Arthur hanya menyapa ibunya, lalu mengambil nasi dan sedikit lauk ke piringnya. Tanpa menunggu siapa pun, Arthur menyantap makanan seorang diri membuat dua orang wanita yang duduk di depannya terpelongo menatapnya.

Perasaan hangat yang baru saja Sarah rasakan, kembali luntur oleh sikap Arthur yang begitu dingin. Kehadirannya yang jelas-jelas ada di depan Arthur, nyatanya tidak dianggap pria itu. Dia ada, tetapi seolah tidak ada di sana. Jangankan menyapa, menoleh pun tidak. Inikah hukuman yang harus Sarah tanggung atas kesalahannya?

"Arthur, kau tidak menunggu ayahmu?" tanya Angela, melihat Arthur yang makan begitu lahap sendirian. Padahal, dia dan Sarah sejak tadi menunggu Arthur pulang dan Arlando yang masih mandi agar bisa makan malam bersama.

"Tidak, setelah ini aku ingin istirahat, Mom. Aku sangat lelah hari ini." Arthur melanjutkan makan.

Melihat sikap Arthur, Angela tahu jika putra bungsunya itu sama sekali tidak menganggap Sarah. Dia jadi tidak enak hati dengan Sarah. 

"Kau sudah pulang, Thur?" tanya ayahnya dengan nada heran karena Arthur biasanya pulang malam. Pria paruh baya itu menarik kursi dan duduk di bagian tengah meja. 

"Ya, Dad. Mom memintaku pulang lebih awal karena ingin makan malam bersama." Arthur mengelap bibirnya, lalu berdiri dari tempatnya. "Aku sudah selesai. Aku permisi ke kamar dulu."

Arlando dan Angela saling memandang. Mereka bingung satu sama lain harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang terasa canggung. Mereka selaku orang tua memang tidak pernah ikut campur dengan hubungan Arthur dan Sarah. Jika mereka sedang ada masalah pun, mereka hanya memberi saran atau membantu untuk mendekatkan pasangan kekasih itu seperti yang Angela lakukan saat ini. Dia pikir mengajak Arthur makan malam bersama bisa membantu memperbaiki hubungan keduanya. Sayangnya, sikap Arthur tadi tampak jelas tidak menyukai kehadiran Sarah.

Angela memberi kode lewat gerakan mata kepada Sarah untuk mengikuti Arthur. Sarah mengangguk dan melangkah cepat menyusul Arthur menaiki tangga.

"Arthur, berhenti sebentar!"

Arthur pura-pura tidak mendengar panggilan tersebut. Dia terus menaiki tangga.

Sarah tidak menyerah. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Makin melangkah, makin cepat di belakang Arthur. "Arthur, kita perlu bicara. Aku ingin kita kembali seperti dulu."

Sarah mencoba meraih lengan Arthur. Nahas, sepatu heels yang Sarah pakai tersandung di bagian tengah tangga menyebabkan dia hilang keseimbangan. Untung saja, tangannya sempat memegang pinggiran tangga sehingga dia bisa menahan tubuhnya agar tidak terguling ke bawah.

Arthur langsung menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Sarah!" Dia memang sengaja mengabaikan panggilan Sarah. Namun, bukan berarti dia tidak peduli. Dia bergegas menuruni anak tangga, menghampiri Sarah yang terduduk menahan sakit pada kakinya.

"Kau tidak apa-apa?" Meski awalnya masih mode kesal dengan Sarah, insiden kecil itu berhasil meluluhkan hati Arthur. Bagaimanapun juga, dia masih mencintai kekasihnya itu. Dia sengaja mengabaikan Sarah agar Sarah tahu seperti apa rasanya diabaikan dan bisa menyesali perbuatannya.

Tatapan Sarah berkaca-kaca balas menatap Arthur karena sakit di kakinya dan Arthur yang kembali perhatian padanya. "Sepertinya, kakiku terkilir. Sakit sekali, Ar." Rintihan keras lolos dari mulutnya saat Arthur mencoba menggerakkan pergelangan kakinya pelan.

"Kita pergi ke dokter sekarang supaya segera diobati. Takutnya, nanti bertambah parah." Tidak peduli apa respons Sarah, Arthur langsung membopong wanita itu dengan hati-hati menuruni satu per satu anak tangga.

Tak ingin kehilangan momen manis itu, Sarah memanfaatkannya dengan mengalungkan kedua tangan ke leher Arthur sembari menatapnya lekat-lekat. "Aku senang kau tampak cemas. Apa itu artinya kau sudah memaafkanku?"

Napas Arthur berembus pelan. Langkahnya tidak berhenti meski sesekali dia menatap Sarah. "Bagaimanapun juga, aku masih menyayangimu."

Ketika menapak ke anak tangga terakhir, Arthur singgah sebentar ke ruang makan untuk memberi tahu orang tuanya bahwa dia ingin membawa Sarah ke rumah sakit. "Mom, Dad, aku mau—"

Belum sempat mengutarakan keinginannya, Angela dan Arlando senyum-senyum melihat mereka. Sepertinya, mereka sudah salah paham dengan perlakuannya terhadap Sarah saat ini.

Arlando berdeham pelan, menahan senyumnya. "Baguslah, hubungan kalian sudah membaik lagi. Dad sangat lega dan ikut bahagia. Kau juga sama, kan, Sayang?" tanyanya, menyenggol pelan tangan istrinya.

"Ya, kami ikut senang. Kalian memang sangat cocok. Kami berharap kalian bisa cepat-cepat menikah," sambung Angela dengan nada menggoda.

Sarah tak bisa berkata-kata. Dia sedikit menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah. Dengan posisinya seperti ini, tak heran jika orang tua Arthur beranggapan lain. Meski kakinya sakit, dia menganggap insiden ini membawa keuntungan untuknya. Arthur jadi bersimpati padanya dan kembali perhatian seperti dulu.

Arthur menghela napas pelan. Dia pun meluruskan kesalahpahaman itu sebelum orang tuanya makin berasumsi ke hal-hal lain. "Sebenarnya, Sarah terjatuh saat menaiki tangga tadi. Kakinya sakit, mungkin terkilir. Maka dari itu, aku ingin membawanya ke rumah sakit."

Penuturan Arthur sontak membuat orang tuanya terkejut. Rona bahagia yang awalnya menghiasi wajah mereka, kini berganti dengan raut panik. Arlando bangkit dari duduk, lalu menghampiri sepasang kekasih itu yang diikuti dengan Angela.

"Bagaimana kau bisa terjatuh, Sarah?" tanya Arlando. "Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Arthur tidak melukaimu, kan?"

"Ada lagi yang terluka selain kakimu, Sarah? Katakan saja." Angela ikut bertanya. Wajahnya tak kalah panik, seperti suaminya.

"Apa maksud Dad? Kejadian ini tidak disengaja!" Arthur berusaha membela diri dari tuduhan ayahnya. Dalam hati, dia menggerutu. Orang tuanya sama sekali tidak memahami situasi saat ini. Mereka sibuk menanyakan keadaan Sarah, sementara dia sudah beberapa menit membopong Sarah. Untung saja, tubuh Sarah tidak begitu berat. Kalau tidak, mungkin dia sudah menurunkan Sarah dan meminta Sarah untuk berjalan sendiri karena tidak mampu menahan berat badan Sarah.

Sarah tampak malu-malu menjawab pertanyaan dari orang tua kekasihnya. "Aunty dan Uncle tidak perlu khawatir. Ini hanya luka ringan. Sedikit diobati pasti sudah membaik."

Arthur mendengkus. "Bagaimana kau bisa mengatakan ini hanya luka ringan, sedangkan kakimu digerak sedikit saja sudah merintih kesakitan?"

"Itu karena kau menggerakkannya agak kencang," bantah Sarah di depan orang tuanya Arthur agar tidak tampak memalukan karena posisi mereka saat ini.

Suasana yang tampak tegang, seketika mencair dengan tingkah Sarah dan Arthur. Arlando dan Angela tertawa kecil.

"Kalian seperti pasangan kekasih yang baru jadian saja," kata Arlando dengan senyum-senyum.

"Mom jadi teringat dengan masa-masa kami saat masih muda dulu," sambung Angela.

Tak tahan mendengar godaan ayahnya, Arthur cepat-cepat meminta izin untuk pergi ke rumah sakit. Sementara itu, Sarah tersipu sembari menyandarkan sisi kepalanya ke dada Arthur. Detak jantung kekasihnya itu terdengar begitu berirama. Rangkulan di leher Arthur pun makin erat.

***

Setelah hampir seharian menangani persalinan di ruang operasi, akhirnya Andrew bisa kembali ke ruangannya. Tubuhnya sudah mengisyaratkan untuk beristirahat sejak sore tadi. Namun, dia tidak tidur atau sekadar memejamkan mata. Dia malah membuka foto di galeri ponselnya. Ketika melihat potret bayi mungil yang sangat menggemaskan, rasa hilang pun seketika lenyap. Ditambah lagi, potret kebahagiaan para ibu setelah melahirkan putra-putri mereka dengan selamat. Inilah alasan terbesar dia ingin menjadi dokter spesialis kandungan.

Awalnya, keinginan Andrew itu ditentang keras oleh orang tuanya yang menginginkan dia untuk meneruskan bisnis di kantor. Karena cita-citanya yang begitu besar, dia menolak permintaan orang tuanya dan bertekad mewujudkan impiannya dengan kerja keras dan usahanya sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Seiring berjalan waktu, dia bisa membuktikan kepada orang tuanya bahwa menjadi seorang dokter kandungan. 

Suara ketukan pintu mengalihkan pandangannya yang sedang terfokus pada sebuah foto bayi dengan pipi yang chubby. Seorang suster masuk dan memberikan sebuah map transparan padanya.

"Ini laporan pasien hari ini, Dok."

Andrew melepas ponsel dan memeriksa laporan tersebut. Dari beberapa pasien yang dia tangani, pasien yang bernama Yesslyn menarik perhatiannya. "Bagaimana keadaan pasien Yesslyn hari ini? Apa dia masih mengamuk?"

"Sudah lebih baik daripada hari sebelumnya, Dok. Dia sudah bisa mengontrol emosinya, menghabiskan makanan yang kami bawa, dan mau mengobrol dengan kami. Sepertinya, dia sudah menerima kehamilannya."

Andrew menghela napas pelan. "Syukurlah jika  begitu." Tatapannya masih menilik satu per satu laporan tersebut.

"Dia juga menanyakan tentang Dokter. Apa Dokter tidak mau menjenguknya?"

Pertanyaan itu mengalihkan pandangan Andrew ke suster, menjeda kegiatannya sejenak. "Mungkin setelah ini, aku akan ke sana."

"Baik, Dok." Suster itu berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu, sementara Andrew teringat dengan kejadian dua hari yang lalu, di mana Yesslyn akan melompat dari jendela kamar rawat.   

Sebuah tangan berhasil digapai Andrew saat wanita berseragam pasien hendak melompat dari jendela. Dia menarik tangan tersebut hingga wanita itu kembali ke posisi semula, berdiri di atas brankar. Dia melihat ada darah yang mengalir segar dari pergelangan tangan kirinya, tampak selang infus sudah tergeletak di pinggir brankar. Pasti dia cabut secara paksa, terka Andrew. 

Bukannya berterima kasih karena sudah ditolong dari maut, wanita itu justru menatap Andrew kesal. Matanya menyorot nyalang dengan ekspresi garang. "Mengapa kau menghalangiku? Biarkan aku melompat dari jendela ini!"

"Bunuh diri bukan solusi yang baik untuk keluar dari masalah," ujar Andrew, bijak meski dia sendiri tidak tahu pasti masalah apa yang sedang dihadapi wanita itu. "Ingatlah, ada calon anak di dalam rahimmu."

Wanita itu makin kesal. Di situasi seperti ini, wanita itu hanya menginginkan sebuah kematian agar bisa terbebas dari rasa malu karena sudah mengandung seorang bayi di luar nikah. Terlebih lagi, kekasihnya tak mau bertanggung jawab. Dia benar-benar kecewa pada dirinya yang begitu mudah termakan rayuan hingga satu-satunya yang paling berharga dalam dirinya sudah lenyap. Dia merasa sangat hina, layaknya seorang pelacur yang menjual tubuhnya kepada para pria hidung belang.

"Lebih baik aku mati saja daripada harus menanggung malu!" Wanita itu benar-benar merasa jijik jika teringat dengan kejadian malam itu, di mana dia kehilangan hartanya yang paling  berharga. "Kau bukan siapa-siapa. Jadi, jangan ikut campur urusanku!"

Andrew masih tidak  menyerah. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Kau mungkin tidak mengharapkan janin itu, tetapi apakah kau memikirkan bagaimana perasaan anakmu jika nanti dia tahu ibunya sendiri ingin membunuhnya saat masih dalam kandungan?"

Wanita itu terdiam. Buliran bening perlahan keluar di pipinya yang memucat. Rambutnya yang tergerai bebas tampak kusut dan tidak teratur. Tatapannya kosong, seolah tak ada semangat untuk hidup. 

Andrew menghela napas lega. Kata-katanya barusan berhasil meredam amukan wanita itu. Setelah wanita itu duduk tenang, dia pun melanjutkan, "Kehamilan adalah impian semua wanita, mendambakan seorang bayi hadir dalam rahim mereka. Namun, masih banyak wanita yang kurang beruntung sepertimu. Ada yang tidak bisa hamil seumur hidup, ada pula yang baru hamil setelah bertahun-tahun menikah. Sementara, kau langsung diberkahi anugerah yang begitu didamba banyak wanita."

Wanita itu menunduk, merenungi semua ucapan Andrew dengan linangan air mata. Hatinya benar-benar kalut, pikirannya pun tak menentu.

"Kau bisa saja bersikap egois saat ini," Andrew meletakkan tangan kirinya di pundak wanita itu, seakan menyalurkan kekuatan kepada wanita itu, "tetapi pikirkan tentang masa depan calon anakmu. Dia pasti ingin merasakan kehangatan pelukan ibunya dan cinta kasih dari orang di sekelilingnya."

Bayangan itu lenyap seiring ponsel Andrew bergetar di saku jas putih. Setelah melihat nama si penelepon, dia langsung menjawabnya, "Halo, Dad! Ada apa?"

"Kau masih di rumah sakit? Kau tidak pulang makan malam bersama kami?" 

Andrew diam sesaat. Dia bisa menangkap nada kecewa dalam suara ayahnya yang pasti menginginkan bisa menikmati makan malam bersama seperti dahulu. Sayangnya, dia tidak bisa pulang awal karena lebih mementingkan pasien daripada dirinya sendiri.

"Maaf, Dad. Pekerjaanku belum selesai. Kalian makan saja dahulu, tidak perlu menungguku. Aku bisa makan di kantin rumah sakit nanti."

Andrew tersenyum tipis mendengar nasihat ayahnya untuk segera makan agar tidak sakit. Meski dahulu ayahnya tidak menyukai pekerjaan yang dia geluti, ayahnya tak pernah berhenti menasihatinya jika dia telat makan.

"Sebanyak apa pun pekerjaanmu, tetap luangkan sedikit waktu untuk makan."  Nasihat itu selalu Andrew kenang setiap pekerjaan menumpuk.

Setelah berbincang singkat dengan ayahnya, Andrew bergegas keluar menuju ruangan Yesslyn. Ketika sampai di sana, dia melihat Yesslyn sedang membaca majalah di atas brankar. "Maaf, apakah aku mengganggumu?"

Yesslyn membenarkan posisi duduk dan menutup majalah yang dibacanya. "Tidak, Dokter sama sekali tidak mengganggu. Ada apa, Dok?"

Seulas senyum melengkung di bibir Andrew, memberi tanda bahwa dia bermaksud baik. "Wajahmu terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Aku cukup senang melihat perubahanmu."

Yesslyn membalas dengan menunjukkan senyuman tipis. "Maaf, aku sudah membuat onar beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku benar-benar frustrasi dan belum bisa menerima keadaanku. Kata-kata Dokter itu benar. Seharusnya, aku banyak bersyukur atas anugerah ini, bukan berusaha melenyapkannya. Aku memang bukan calon ibu yang baik." Kepalanya tertunduk sedih.

Andrew berdiri di samping brankar Yesslyn. "Jangan berkata seperti itu. Aku yakin kau bisa melewati semua ini dengan baik. Yang terpenting, jaga kesehatanmu agar calon bayimu juga sehat."

"Terima kasih atas semuanya. Kau tidak hanya seorang dokter, tetapi juga sudah membantuku menenangkan diri. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi bila kau tidak menolongku saat itu. Mungkin aku sudah tidak bisa melihat dunia lagi."

"Itu sudah menjadi tugasku sebagai dokter. Masalah yang kauhadapi ini belum seberapa dibanding pasienku yang lain. Saat itu, dia hampir menggugurkan kandungannya dan membunuh kedua anaknya yang sudah besar sekaligus karena faktor ekonomi dan tidak tahan dengan suaminya yang pemabuk. Untung saja, kami bisa menggagalkan tindakannya itu dengan cepat. Menurutku, kau lebih beruntung daripada pasienku itu. Kau masih punya teman yang sangat peduli denganmu."

Yesslyn tahu siapa yang dimaksud Andrew. "Ya, dia bukan sekadar teman, melainkan sudah seperti saudaraku sendiri."

Andrew kembali tersenyum  melihat ketenangan dari sorot mata Yesslyn. Dia melirik arlojinya. "Ternyata, sudah setengah jam aku di sini. Sebaiknya, kau segera isitirahat. Ini sudah malam. Jika kondisimu terus membaik seperti ini, kau bisa pulang dalam dua atau tiga hari lagi."

Raut wajah Yesslyn berubah sendu. Dia masih ingin berlama-lama berada di sana. Pelayanan di rumah sakit itu membuatnya sangat nyaman dibanding di apartemen. Dia diperhatikan selama 24 jam oleh suster. Ditambah lagi, ada dokter yang baik dan tampan begitu perhatian terhadap semua pasiennya.

Haruskah aku berpura-pura sakit agar tidak diperbolehkan pulang cepat?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status