"Reza?"
"Apa aku membuatmu terkejut?"
"O-oh, t-tidak."
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"
"T-tidak." Maya membuka pintu rumahnya. "Ayo, silahkan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."
Dengan langkah panjangnya, Reza masuk dan langsung menemui Lisa di dapur. "Kamu menangis? Ada apa?" tanya Reza pada kekasihnya itu.
"Kamu benar akan pergi sekarang?"
"Iya. Ini perintah dari Aidan."
"Tidak bisakah kamu beri aku kepastian kapan akan kembali?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."
Melihat betapa lembutnya sikap Reza terhadap Lisa, membuat Maya teringat kenangan masa lalunya. Dia kembali masuk ke kamar sang anak lalu melamunkan hal yang selalu membuatnya menangis.
"Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus sangat membuatku yakin kalau kita akan terus bersama. Namun nyatanya, kita berakhir seperti ini."
Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya tersebut. "Kamu tidak menginginkannya?"
"Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hati."
"Sepertinya masih ada keraguan?"
"Semuanya sudah terjadi. Sekarang aku hanya perlu fokus pada diri sendiri, seperti yang Lisa katakan."
"Ini pesanan dari Aidan." Buket mawar putih dengan harum alaminya sangat segar dipandang. "Dia mengatakan untuk segera hubunginya jika kamu butuh bantuan. Dia juga akan selalu ada jika kamu butuh teman."
"Dia benar-benar mengatakannya?"
"Iya. Apa yang aku katakana ini tentu tidak terdengar tulus. Namun, Aidan benar-benar mengatakannya dengan lembut dan tulus."
"S-sungguh?"
"Tadi dia cemas karena kamu seperti sedang ada masalah saat sedang teleponan dengannya. Apa kamu baik-baik saja?"
"Teleponan? Oh, ponselku ...." Mulai dari saku jas, tas, dan mobil dia periksa dengan teliti. "Apa mungkin tertinggal di kafe itu?"
"Maya, ada tamu datang. Aku tidak mengenalnya."
Hanya satu orang yang terlintas dipikirannya. Benar saja, Hans datang dengan raut wajah tidak cerah seperti biasanya. "Kamu meninggalkan ponselmu." Hans memberikan ponsel yang dimaksud.
"Di mana Pak Hans menemukannya?"
"Saya ingin bicara denganmu."
"Kalau sekarang saya tidak ada waktu."
"Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya ...."
"Saya tahu. Rachel sendiri yang mengatakannya."
Perbincangan itu terlihat mulai serius. Lisa menarik kekasihnya untuk masuk ke masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Namun, dia tetap berusaha mendengarnya dengan menempelkan telinganya ke pintu.
“Sayang, itu siapa?” tanya Reza.
“Sepertinya itu atasannya Maya.”
Mereka masih berdiri, saling menatap dan terlihat serius akan hal yang bagi Maya tidak ada urusan dengannya. “Apa dia melakukan sesuatu padamu?”
“Dia hanya memperkenalkan diri.”
“Karenamu, saya jadi harus menghabiskan 2 cangkir kopi sendirian.” Ucapannya tidak mendapat respon apa pun dari wanita dihadapannya yang terus menunduk canggung. “Lagi-lagi, saya membuatmu tidak nyaman, ya? Ah, saya sulit mengendalikan diri.”
“Tidak, kok. Sepertinya malah sikap saya yang membuat Pak Hans tidak nyaman.”
“Iya, benar. Jadi, bisakah bicara santai pada saya? Seperti aku dan kamu? Lagi pula, saya bukan atasanmu lagi sekarang.”
“Kalau begitu, berarti Pak Hans tetap tidak boleh bicara santai pada saya karena saya lebih tua dari Pak Hans.”
Tidak menyangka kalau Maya akan mengucapkan lelucon itu, Hans jadi diam sejenak sebelum akhirnya tertawa. “Baiklah, Mbak Maya?”
“Ah, jangan seperti itu. Anggap saja kita seumuran, deh.”
“Kalau anggap saja kita suami istri, bagaimana?”
***
Reza dengan sangat berat meninggalkan sang kekasih untuk waktu yang tidak pasti. Demi pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai asisten pribadi Aidan, tanpa berpikir panjang Reza langsung pergi ke Kanada saat Aidan memerintahnya.
Sesampainya di Kanada, Aidan menyambutnya dengan santai layaknya teman, bukan rekan kerja. “Aku merasa tenang saat ada kamu di sini.”
“Pak Aidan, bukankah itu terlalu ….”
“Hey, aku masih menyukai wanita. Pikiranmu itu kotor sekali,” kata Aidan sesaat setelah menyeruput kopinya. “Berkali-kali kuperingatkan, jangan bicara formal padaku jika di luar kantor dan diluar urusan pekerjaan. Bahkan usiamu saja lebih tua dariku.”
“Hanya beda 2 bulan saja!” balas Reza dengan suara yang meninggi, tidak sesopan sebelumnya.
“Wah, kamu membentak atasanmu?”
“Sudahlah.”
Reza membaringkan tubuhnya di atsa sofa, sedangkan Aidan duduk dilantai beralaskan karpet bulu yang lembut. “Sopankah seperti itu?”
“Aku lebih tua darimu,” jawab Reza dengan mata yang terpejam dan tangan sebagai bantalannya.
“Ck, sekarang aku yang emosi.”
“Aidan, kamu ingat tidak dengan pria yang pernah menawarkan kerja sama padamu?”
“Sudah terlalu banyak. Siapa yang kamu maksud?”
“CEO perusahaan game yang beberapa kali meminta bekerjasama denganmu. Kalau tidak salah nama perusahaannya adalah Wildfire Productions, kamu ingat?” Pertanyaannya tidak mendapat jawaban. “Kamu tidur, ya?”
“Tidak, aku sedang mengingatnya. Memang ada apa dengan pria itu?”
“Asisten pria itu kenal dengan Maya. Dia menemuinya saat aku datang untuk pamit. Namanya Hans, kamu mengenalnya?”
“Aku bahkan asing dengan nama itu.”
“Kalau aku dengar dari pembicaraan mereka, sepertinya pria itu menyukai Maya.”
Aidan langsung merasa hatinya melemah. “Benarkah?”
“Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu.”
“Bagaimana keadaan Maya?”
“Dia terlihat lusuh dan raut wajahnya tidak bersinar, walau masih tetap cantik. Lisa bilang, Maya menjadi wanita yang sangat cuek dan sangat menutup diri. Dia pasti tidak baik-baik saja. Hari itu pun, dia terlihat kaget dan seperti ketakutan saat aku datang,” ungkap Reza sambil mengingatnya.
“Tugas baru untukmu. Segera cari tahu apa yang membuatnya seperti itu.”
***
Hans belum juga pulang dikarenakan hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras disertai petir yang bersahutan. Bahkan, listrik mati dan mereka hanya ditemani beberapa lilin yang menyala. Itu adalah jam tidurnya. Maya menemani Lisa untuk tidur di kamarnya, kemudian meninggalkannya bersama sebuah lilin untuk menemani tidurnya.
“Kamu tidak tidur?” tanya Hans karena melihat Maya datang kembali.
“Belum sampai di jam tidurku.”
“Maya, aku ingin tahu sesuatu darimu.”
“Aku sulit untuk jatuh cinta lagi setelah kehilangan orang yang sangat kucintai.”
“Bukan itu. Apakah kamu percaya kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu?” tanya Hans dengan serius.
“Sejujurnya tidak. Kamu adalah pria yang tampan, cerdas, baik, dan sukses. Pasti banyak wanita yang suka padamu. Namun kenapa kamu bisa jatuh cinta padaku?”
“Aku senang kamu memujiku seperti itu.” Hans tersenyum malu. “Memangnya apa yang salah darimu? Kamu adalah wanita yang cantik, cerdas, baik, dan sukses. Pasti banyak pria yang suka padamu, salah satunya aku,” jawab Hans dengan mengulang kalimat Maya.
“Aku sudah pernah menikah dan bahkan memiliki anak. Usiaku juga lebih tua darimu.”
“Apa pun itu, cinta adalah hal yang paling penting. Aku mencintaimu juga karena hal baik dalam dirimu. Tidak ada yang salah. Intinya, aku benar-benar mencintaimu.”
Untuk pertama kalinya Maya menatap Hans dengan tulus, walau dalam kegelapan. Dia perlahan bisa merasakan ketulusan dari semua yang Hans ucapkan. “Aku memberimu kesempatan.”
Hans terkejut. “S-sungguh? Itu harapan untukku?”
Prang!
Sebuah kaca jendela pecah. Hans dengan sigap menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Maya yang menyembunyikan wajah dengan kedua lengannya. Seperti ada orang yang sengaja melempar sesuatu. Untuk yang kedua kalinya, Hans terkena lemparan itu.
“Aw!”
“Kamu baik-baik saja, Hans?”
“Bawa Lisa dan sembunyi di dapur. Cepat!”
Dengan cepat, Hans pergi ke luar dan melihat seseorang yang hendak melarikan diri. Dibawah hujan yang masih deras, Hans sudah sadar siapa orang tersebut. Pasalnya, orang itu berhenti saat tau Hans yang mengejarnya.
“Ini perintah dari Nona Rachel.”
“Apa Tuan Marco sudah tahu?”
“Nona Rachel akan langsung memberitahunya kalau kamu tidak menurutinya.”
“Jika dia memerintahmu untuk menyakiti wanita di rumah ini, tolong jangan kamu lakukan.”
Pria yang pernah menjadi temannya itu, dengan berani menyayatkan pisau ke lengan Hans. “Kamu memang temanku, tapi aku bekerja untuk Tuan Marco. Tolong berhenti, Hans. Jangan membuat hidupmu dan hidup wanita itu celaka.” Setelahnya, dia pergi tanpa peduli dengan hujan yang deras.
Karena hujannya terlalu deras, Maya tidak dapat melihat apa-apa di luar. Hans baru terlihat saat sudah sampai di gerbang rumah. Maya mendekatinya, tidak peduli seluruh tubuhnya yang akan basah kuyup. Dia dengan cepat membantu pria berusia 27 tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca.Dengan kakinya yang tanpa alas, Hans menyingkirkan pecahan kaca itu agar Maya tidak menginjaknya. “Hati-hati kakimu.”"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat," perintah Maya dengan tubuh sedikit menggigil.Setelah mengambilnya, Lisa langsung membersihkan darah dari lengan Hans. "Maaf, ya?"Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kadaluarsa obat tersebut. Saat dirasa aman, Maya membersihkan luka gores itu dengan alkohol kemudian diteteskan obat merah.Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan. "Tidak sakit?""Tentu saja sakit.""Kamu terlihat baik-baik saja?""Hanya ti
Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya s
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Sudah hampir dua jam Maya menunggu dengan gelisah di ruang tunggu apartemen, namun Hans tak kunjung datang. Ponselnya tidak aktif, membuat Maya sulit menghubunginya. Maya memutuskan untuk pulang, namun ucapan terakhir Hans terus berputar di pikirannya.“Tapi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak dapat menghubunginya dan tidak tahu kabarnya. Aku tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana, ya?”Maya tidak peduli dengan permintaan Hans. Baru saja sampai rumah, Maya berniat untuk pergi ke kantor polisi. Namun, sebuah bunga mawar putih yang ada di kursi samping membuatnya teringat pada seseorang.“Aidan?”Tangannya dengan cepat mengambil ponsel untuk menelepon Aidan. Hanya mantan suaminya itu yang ada di pikirannya untuk dia pintai bantuan. Namun, Aidan tidak dapat dihubungi. Maya putus asa. Dia baru sadar kalau telah secemas itu pada Hans, seorang pria yang pernah dia tolak cintanya.“Tumben sekali Aidan tidak bisa dihubungi? Ada apa dengannya, ya?”Pikiran Maya terbagi antara kekhawatiran Hans d