"Ayo, silakan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."
Langkah panjang membawa Reza masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi, dia langsung menuju dapur, tempat Lisa sedang menyiapkan makanan. “Kau menangis? Ada apa?” tanyanya pada sang kekasih.
"Kau benar-benar akan pergi sekarang?"
"Iya. Ini perintah dari Aidan."
"Tidak bisakah kau beri aku kepastian kapan akan kembali?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."
Melihat bagaimana lembutnya cara Reza berbicara pada Lisa, membuat ingatan lama perlahan menguasai pikiran Maya. Tanpa berkata apa-apa, dia masuk ke kamar yang dulu menjadi tempat anaknya bermain.
"Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus selalu membuatku yakin kalau kami akan terus bersama. Namun nyatanya, kami berakhir seperti ini."
Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya itu. “Kau ragu berpisah dengan Aidan?”
"Lagipula semuanya sudah terjadi.”
"Ini dari Aidan." Buket mawar putih dengan harum alaminya sangat segar dipandang. “Tadi dia cemas karena kau seperti sedang ada masalah saat sedang teleponan dengannya. Apa kau baik-baik saja?"
"Oh, ponselku ...." Maya bergumam panik, memeriksa saku dan tasnya. “Apa mungkin tertinggal di kafe tadi?”
"Maya, ada tamu datang. Aku tidak mengenalnya,” ucap Lisa.
Hanya satu orang yang terlintas dipikirannya. Benar saja, Hans yang datang. "Kau meninggalkan ponselmu,” ucap Hans sambil menyerahkannya
"Di mana Pak Hans menemukannya?"
"Saya ingin bicara denganmu."
Perbincangan itu terlihat mulai serius. Lisa menarik kekasihnya untuk masuk ke masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. “Sayang, itu siapa?” tanya Reza.
“Sepertinya itu atasannya Maya.”
Di halaman rumah, kedua orang itu berdiri saling berhadapan. Setelah menarik napas, Hans buka suara dengan lembut. “Apa dia melakukan sesuatu padamu?”
“Tidak ada.”
“Kenapa kau pergi tanpa memberitahu saya?”
“Kau juga pergi tanpa memberitahu saya,” balas Maya dengan santai.
“Apa kau mulai merasa tidak nyaman dengan saya?”
“Tidak, semua baik-baik saja seperti biasa. Apa yang terjadi antara Pak Hans dengan wanita itu atau siapa pun, itu bukan urusan saya. Jadi, saya merasa tidak masalah sama sekali.”
“Eum, benar. Saya hanya takut kau semakin menjauh dari saya karena wanita itu.”
“Saya sudah pernah bilang, jangan menunggu saya. Saya juga tidak pernah memberi harapan apa pun pada Pak Hans. Tolong mengerti.” Terlihat di mata Maya kalau dia bicara dengan serius.
“Apa kau merasa risih dengan saya?”
“Saya merasa agak canggung dengan semua ini, Pak Hans. Tetapi, saya tidak bisa memberikan lebih dari itu. Saya tidak ingin melukaimu. Saya bahkan belum bisa berdamai dengan diri sendiri.”
“Jika kau merasa tidak nyaman, saya akan berhenti.”
***
Reza dengan sangat berat meninggalkan sang kekasih untuk waktu yang tidak pasti. Demi pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai asisten pribadi, Reza harus langsung pergi ke Kanada saat Aidan memerintahnya.
Sesampainya di Kanada, Aidan menyambutnya dengan santai layaknya teman, bukan rekan kerja. “Aku merasa tenang saat ada kau di sini.”
“Pak Aidan, bukankah itu terlalu ….”
“Hey, aku masih menyukai wanita. Pikiranmu itu kotor sekali,” kata Aidan sesaat setelah menyeruput kopinya. “Berkali-kali aku peringatkan, jangan bicara formal padaku jika di luar kantor dan di luar urusan pekerjaan. Bahkan usiamu saja lebih tua dariku.”
“Hanya beda dua bulan saja!” balas Reza dengan suara yang meninggi, tidak sesopan sebelumnya.
“Wah, kau membentak atasanmu?”
“Sudahlah.”
Reza membaringkan tubuhnya di atas sofa, sedangkan Aidan duduk dilantai beralaskan karpet bulu yang lembut. “Apakah sopan seperti itu?”
“Aku lebih tua darimu,” jawab Reza dengan mata yang terpejam dan tangan sebagai bantalannya. “Aidan, kau ingat tidak dengan pria yang pernah menawarkan kerja sama padamu?”
“Sudah terlalu banyak. Siapa yang kau maksud?”
“CEO perusahaan game yang beberapa kali meminta bekerja sama denganmu. Kalau tidak salah nama perusahaannya adalah Wildfire Productions, kau ingat?” Pertanyaannya tidak mendapat jawaban. “Kau tidur, ya?”
“Tidak, aku sedang mengingatnya. Memang ada apa dengan pria itu?”
“Asisten pria itu kenal dengan Maya. Dia menemuinya saat aku datang untuk pamit. Namanya Hans, kau mengenalnya?”
“Namanya terdengar asing ditelingaku.”
“Kalau aku dengar dari pembicaraan mereka, sepertinya pria itu menyukai Maya.” Reza bangun dan duduk dengan tegap. “Satu lagi. Sepertinya, Maya tidak ingin berpisah denganmu?”
“Benarkah?” tanya Aidan yang mulai merebahkan tubuhnya diatas permadani.
“Kau benar-benar sudah tidak mencintainya?”
“Sudahlah, tidak usah membahasnya lagi.”
“Maya terlihat lusuh dan raut wajahnya tidak bersinar. Lisa bilang, Maya menjadi wanita yang sangat cuek dan sangat menutup diri. Dia pasti tidak baik-baik saja.” ungkap Reza sambil mengingatnya.
“Kami sangat mencintai Kaila. Kami juga sangat kehilangan Kaila. Aku berusaha untuk selalu ada untuk Maya, tapi sikap dia seakan menyuruhku untuk pergi.”
***
Hans belum juga pulang dikarenakan hujan tiba-tiba turun dengan deras disertai petir yang bersahutan. Bahkan, listrik mati dan mereka hanya ditemani beberapa lilin yang menyala.
“Kau tidak tidur?” tanya Hans ketika melihat Maya keluar dari kamar.
Dengan langkah pelan, Maya duduk di sofa ruang tamu, menatap redupnya nyala lilin yang menerangi ruangan. “Belum waktunya.”
“Maya, saya ingin tahu sesuatu darimu.”
Maya menengok dan menatap mata Hans dalam gelap. “Silakan.”
“Apa kau percaya kalau saya benar-benar jatuh cinta padamu?”
“Sejujurnya tidak. Pak Hans adalah pria yang tampan, cerdas, baik, dan sukses. Pasti banyak wanita yang suka padamu. Namun kenapa Pak Hans bisa jatuh cinta pada saya?”
“Memangnya apa yang salah darimu? Kau adalah wanita yang cantik, cerdas, baik, dan sukses. Pasti banyak pria yang suka padamu, salah satunya saya.”
Prang!
Sebuah kaca jendela pecah. Hans dengan sigap menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Maya yang menyembunyikan wajah dengan kedua lengannya. Seperti ada orang yang sengaja melempar sesuatu. Untuk yang kedua kalinya, Hans terkena lemparan itu.
“Aw!”
“Pak Hans baik-baik saja?”
“Bawa Lisa dan sembunyi di dapur. Cepat!”
Dengan cepat, Hans pergi ke luar dan melihat seseorang yang hendak melarikan diri. Dibawah hujan yang masih deras, Hans segera tahu siapa orang itu. Pasalnya, orang itu berhenti saat tahu Hans yang mengejarnya.
“Ini perintah dari Nona Rachel.”
“Apa Tuan Marco sudah tahu?”
“Nona Rachel akan langsung memberitahunya kalau kau tidak menurutinya.”
“Jika dia memerintahmu untuk menyakiti wanita di rumah ini, tolong jangan kau lakukan.”
Pria yang pernah menjadi temannya itu, dengan berani menyayatkan pisau ke lengan Hans. “Kau memang temanku, tapi aku bekerja untuk Tuan Marco. Tolong berhenti, Hans. Jangan membuat hidupmu dan wanita itu celaka.”
***
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t
“Saya datang untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal di sini.”Maya kembali ke rumah orang tua Hans untuk mengambil sisa barangnya. Dia datang bersama Reza, yang akan menemaninya atas perintah Aidan.“Silakan. Selama ini, saya tidak apa-apakan kamar itu.” Lina mengantar Maya ke kamar yang pernah ditempatinya beberapa hari itu.Ketika sedang mengemas barang-barangnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak mengambil buku jurnal berwarna cokelat yang pernah diberikan Hans. Saat itu, Hans memberikannya disaat Maya sedang frustrasi.“Buku ini … Hans yang memberikannya padaku. Dia bilang, aku bisa mencatat perasaan dan pemikiranku di sini. Hans juga bilang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban, tapi apakah bisa meringankan rasa rindu?”“Kau merindukannya?” tanya Lina yang duduk di ujung tempat tidur.“Kami tidak selalu bersama. Tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi saat sedang bersamanya, dia selalu bisa membuatku bahagia.”“Apa kau men
Maya hanya melamun di ruang tunggu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan penampilannya lusuh. Pakaiannya masih dipenuhi darah, namun di tutupi oleh jaket yang Zayn berikan. “Maya, bisakah ikut Ayah untuk memberikan keterangan tentang semua ini?” Apa yang Zayn ucapkan sebenarnya di dengar jelas oleh Maya, namun wanita itu sulit fokus. Lisa mendekati sahabatnya itu, memeluknya dari samping dan mencoba bicara pelan. “May, kita tahu kau sangat terpukul dengan semua kejadian ini. Tapi, penjahat itu harus segera diadili. Polisi butuh keterangan darimu untuk menangkap penjahat itu. Bisakah kau ikut Om Zayn untuk memberikan keterangan?” “Apakah mereka benar akan ditangkap?” tanya Maya dengan lesuh. “Tentu saja. Tanpa sisa,” jawab Zayn. “Jangan takut. Kesaksianmu akan dilindungi.” Setelah beberapa saat, mencoba mengerti dan menunggu Maya siap, akhirnya Zayn dan beberapa anak buahnya membawa Maya ke Markas Pasukan Khusus, tempat Marco ditahan untuk penyelidikan. Sesampainya di markas,
Maya terus mengguncang tubuh Hans, berharap keajaiban terjadi. Namun, tubuh Hans tetap tak bergerak. Air mata Maya jatuh tak terkendali, membasahi wajah pria yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.Zayn mendekat, memegang bahu Maya dengan lembut. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Dia masih punya peluang.""Dia ... dia tertembak dan itu salahku. Aku tak bisa melindunginya.""Ini bukan salahmu. Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun. Percayalah, dia akan bertahan," ujar Zayn tegas sambil memberi isyarat pada timnya untuk membawa Hans keluar.Marco yang tergeletak dengan luka tembak di kakinya, menatap Zayn dengan penuh kebencian. “Kau pikir ini sudah berakhir? Kau tidak tahu apa yang akan datang, Zayn,” katanya dengan tawa getir meski wajahnya menyiratkan kesakitan.“Sudah cukup, Marco. Kau kalah. Permainan ini berakhir untukmu.” Dengan isyarat tangannya, anak buah Zayn memborgol Marco dan m