Maya, yang tengah bahagia dalam keluarga kecilnya, terpukul saat anak tunggalnya meninggal dunia. Dalam kesedihannya, dia menemukan cinta sejati dalam pelukan Hans. Namun, masa lalu Hans yang kelam menimbulkan keraguan pada Maya. Hans terperangkap dalam dunia kriminal yang berbahaya. Walau begitu, cinta tetap tumbuh di antara mereka meskipun terganggu oleh bayang-bayang masa lalu dan konflik yang muncul. Maya berjuang antara cinta dan ketakutan. Ketika Hans pergi, Maya mendapat dukungan dan cinta dari mantan suaminya, Aidan. Dalam pertarungan antara masa lalu dan masa depan, Maya harus membuat keputusan sulit yang akan mengubah takdir hidupnya. Kisah cinta mereka dipertaruhkan oleh intrik kriminal, konflik keluarga, dan pengorbanan yang mendalam. Mereka menyadari bahwa cinta sejati membutuhkan pengorbanan tak terbayangkan.
View MoreMaya duduk di sudut ruang kerjanya, matanya terfokus pada sebuah buku gambar yang penuh dengan sketsa baju anak-anak. Tangannya perlahan membelai desain terakhir, menggambar detail kecil dengan penuh hati-hati. Seolah berbicara pada seseorang, dia berbisik dengan suara yang gemetar.
“Apakah Mama berhasil, Nak? Empat puluh desain baju anak untuk pameran bulan depan. Semua ini untuk kamu.” Senyum pahit menghiasi wajahnya, tetapi air matanya tak terbendung lagi. “Mama harap kamu lihat dan menyukainya.”
Sebuah ketukan lembut di pintu memecah lamunannya. “Apa saya mengganggu?”
“Oh, Pak Hans? Ada perlu apa?”
“Kenapa kau belum pulang?”
“Saya akan segera pulang.”
Dengan sikap tenang, Hans melangkah masuk dan menatap sketsa-sketsa di meja kerja karyawan terbaiknya itu. "Desainmu luar biasa.”
Tiba-tiba, ponsel Maya berbunyi, menandakan masuknya sebuah email. Dia mengangkat alis, lalu memeriksa layar ponselnya. Wajahnya berubah saat membaca isi email tersebut.
"Maaf, Pak Hans. Saya harus pergi," kata Maya sambil buru-buru merapikan barangnya.
"Kau baik-baik saja?"
Maya mengangguk singkat tanpa menjelaskan lebih lanjut. “Permisi?”
Di sepanjang perjalanan pulang, air mata mengalir tanpa henti, seolah memikul beban seluruh dunia. “Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?” gumamnya pelan.
Sesampainya di rumah, pintu ditutup dengan bunyi keras. Tas dibiarkan tergeletak di lantai, sepatu terlepas begitu saja. Begitu duduk di sofa, dia memeluk lututnya dan menangis tanpa suara.
“Semuanya hilang. Anakku, suamiku, apa lagi yang aku punya sekarang?! Kenapa aku tidak cukup kuat untuk mempertahankan mereka? Kenapa aku membiarkan semuanya hancur seperti ini?!”
Tangan yang menggenggam bantal, dilemparnya ke sembarang tempat. Gelas-gelas di atas meja jatuh dan pecah. Suara itu menggema di ruang tamu, seperti pantulan rasa sakit yang tidak lagi bisa dipendam.
“Kenapa harus aku yang menerima semua penderitaan ini?! Kalau alasannya karena hanya aku yang kuat, itu salah besar! Ini semua terlalu berat untuk aku lalui sendiri!”
Suara jeritan Maya mungkin saja terdengar sampai ke luar. Itu semua terbukti karena Hans segera masuk saat mendengarnya, ditambah lagi pintu rumah itu juga tidak terkunci. Wajah cemas pria itu berubah menjadi keterkejutan saat melihat kekacauan di ruang tamu. Pecahan kaca berserakan, meja terbalik, dan wanita itu duduk di lantai dengan mata sembab.
“Maya?” Kakinya yang panjang, melangkah dengan cepat mendekati Maya. “Ada apa?”
***
Perban dengan rapi berhasil menutup luka akibat pecahan kaca. Maya masih diam melamun dan Hans beberapa saat menghargai wanita di hadapannya untuk tenang lebih dulu.
“Pak Hans, saya minta maaf soal masalah itu. Saya tidak bicara pada siapa pun dan saya tidak tahu siapa yang menyebarkannya.”
“Tidak masalah. Tidak perlu dibahas lagi.”
Sebenarnya Maya selalu canggung saat bertemu dengan pria itu. Wajar saja, belum lama ini Hans menyatakan perasaan padanya. Semua karyawan di kantor tahu dan membuat Maya merasa tidak enak karena menolaknya.
“Saya ingin memberikan ini.” Sebuah kotak berisi buku jurnal berwarna cokelat kesukaan Maya beserta beberapa pulpen di dalamnya. “Kau bisa mencatat perasaan dan pemikiranmu di sini. Terkadang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban."
Hans duduk di sampingnya, menjaga jarak, tetapi cukup dekat untuk menunjukkan bahwa dia ada. “Apa kau ingin melakukan sesuatu?”
“Entahlah.”
“Mau menonton film? Kapan kau punya waktu luang?”
“Bagaimana kalau besok setelah pulang kerja?”
“Eum, oke.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu setelah percakapan mereka berakhir. Maya memandangi kotak jurnal cokelat itu dengan tatapan kosong. “Mau saya buatkan sesuatu? Mungkin kau lapar?”
“Ah, tidak perlu. Terima kasih.”
“Aku bisa membuat kue. Bagaimana kalau donat?”
Pernyataan itu membuat Maya menatap Hans dengan antusias. “Donat?”
“Jika ada bahan-bahannya, saya akan buatkan sekarang.”
Maya menunjukkan bahan-bahan makanan yang tersimpan rapi di sebuah laci. Dengan cepat Hans membuatnya, terlihat seperti sudah biasa. Pandangan Maya tidak lepas dari pria yang sedang membuat adonan sembari bercerita.
“Tunggu beberapa menit dulu sampai adonannya mengembang.” Hans mencuci tangannya dan kembali duduk di samping Maya. “Saya sangat suka donat. Jadi, saya belajar membuatnya sejak SMA.”
“Saya berusaha untuk tidak memakannya walau saya suka.”
“Kenapa?”
Maya tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. “Almarhumah anak saya sangat menyukai donat. Saya tidak sanggup memakannya karena selalu teringat dengannya.”
***
Sebagai ketua tim dari lima desainer muda di perusahaan tersebut mengharuskan Maya untuk tetap fokus bekerja karena menjadi andalan anggotanya. Namun hari itu, Maya datang hanya untuk memberikan surat pengunduran dirinya.
Dia mendatangi ruangan Hans selaku manager di perusahaan tersebut. “Saya ingin menyampaikan ini, Pak.” Surat yang telah disiapkan jauh-jauh hari akhirnya mendarat di meja kerja sang manager.
“Saya bisa memberikanmu waktu libur yang panjang kalau kau mau? Kau tidak harus mengundurkan diri seperti ini.”
“Ini sudah menjadi keputusan saya, Pak.”
“Saya pikir, kemarin adalah langkah awal untuk bisa lebih dekat denganmu.”
“Untuk kesekian kalinya saya minta maaf karena tidak bisa membalasnya.”
“Jadi, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk saya?”
“Saya tidak bermaksud menolak. Hanya saja ….”
“Baiklah. Tapi, bisakah kau tidak membatalkan rencana kita kemarin?”
Setelah berpamitan secara mendadak oleh para karyawan, Maya dan Hans pergi bersama tanpa ragu. Lagi pula, semua karyawan sudah tahu kalau Hans sangat menyukai Maya. Mereka pergi ke sebuah bioskop. Menonton film komedi yang berhasil menampilkan tawa di bibir Maya.
“Cantik,” ucap Hans sambil melihat Maya.
“Maaf?” tanya Maya yang mendengar ucapan Hans, namun tidak jelas.
“Oh, tidak ada.”
Tempat selanjutnya yang mereka kunjungi adalah Danau Jenewa. Di Swiss baru saja memasuki awal musim semi. Hans membawa Maya menyusuri danau nan indah itu dengan kapal pesiar. Terlihat kalau Maya bahagia dan menikmatinya dengan tenang.
“Kau bisa lebih tenang sekarang? Ada tempat lain yang ingin kau kunjungi lagi?”
“3 jam lagi waktu keberangkatan saya ke Indonesia.”
“Apa?” Hans kembali terkejut. Lebih terkejut dari saat menerima surat pengunduran diri Maya sebelumnya.
“Saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saya tidak bisa selamanya bersembunyi di sini. Terima kasih atas semuanya, termasuk waktu, usaha, dan cintanya. Saya sangat menghargainya.”
Dengan berani Hans meraih tangan Maya. Untuk pertama kalinya dia genggam erat tangan mulus tersebut. “Saya benar-benar mencintaimu. Apa yang harus saya lakukan agar kau bisa mencintai saya?”
“Saya tidak ingin memberikan harapan. Jadi, jangan menunggu saya. Biar waktu yang menjawab semuanya.”
“Kau benar-benar akan pergi?”
“Iya, saya harus pergi sekarang. Terima kasih atas semuanya, Pak Hans.” Maya sedikit membungkuk dengan sopan. “Sampai jumpa di lain waktu.”
***
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments