Share

3. Rahasia Hans

Author: Shifa Asya
last update Last Updated: 2024-02-29 12:04:42

“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”

“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.

“Mengundurkan diri? Kenapa?”

“Kau ingin tahu?”

“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.

“Mau makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”

Mata Maya melihat ke arah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”

“Maksud saya, apakah mau saya pesankan makanan? Apa yang kau inginkan?”

“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi?”

"Baiklah.”

Hans segera mengambil ponsel dan mulai memesan makanan dari kafe terdekat. Maya duduk di ruang tamu, merasa agak canggung dengan situasi yang sedang terjadi. Dalam hati Maya berkata, “Tenang, Maya. Kau hanya melakukan ini karena dia meminta bantuanmu. Kau melakukannya juga karena untuk menghargainya. Tidak perlu secanggung ini, tenanglah.”

Beberapa saat kemudian bel pintu berbunyi, menandakan kedatangan pengantar makanan. Hans segera membukakan pintu dan seorang wanita yang berdiri di depan pintu membuatnya diam terpaku. “Rachel?”

“Ternyata benar kau di sini?”

“Dari mana kau tahu?”

“Jangan bertanya seperti itu kalau kau kenal betul siapa ayahku.”

“Ada perlu apa?”

“Tidakkah lebih baik kau persilahkan aku untuk masuk dulu?”

“Aku sedang ada tamu.”

Setelah beres menyiapkan piring, Maya tidak sengaja melihat ke arah pintu. “Ternyata benar. Pantas saja aku seperti mendengar suara perempuan,” ucap Maya pelan setelah melihat seorang wanita yang menatapnya dari kejauhan.

“Siapa wanita itu?” tanya Rachel saat melihat Maya yang mengintip. “Apa itu targetmu selanjutnya?”

Dengan cepat Hans menarik Rachel keluar dari apartemennya, meninggalkan Maya tanpa pamit lebih dulu. Mereka bahkan adu mulut saat di lift sampai ke dalam mobil Rachel.

“Tidak bisa begitu! Kau harus ingat janjimu pada ayahku!” bentak Rachel.

“Tentu saja aku mengingatnya. Tapi bukan dia orangnya.”

“Kenapa? Memangnya dia siapa?”

“Itu bukan urusanmu. Intinya, aku tidak mungkin membawanya pada ayahmu.”

“Hah, aku merasa terhina karena kau mengencani wanita itu setelah putus dariku.”

“Jangan libatkan dia ke dalam masalah kita.”

***

Maya sudah mulai terbiasa untuk tidak ikut campur dan tidak penasaran dengan urusan orang lain. Namun kali itu, dia bertanya-tanya siapa wanita itu? Segelas kopi panas diseruput perlahan.

“Ah, sudah aku duga. Mana mungkin Pak Hans mencitaiku? Dia hanya penasaran karena aku selalu cuek padanya. Untung saja aku tidak mudah jatuh cinta.”

Secangkir kopi pahit hampir habis. Saat hendak pergi meninggalkan kafe, ponselnnya berdering. “Aidan?” dengan tangan gemetar, Maya mengangka panggilan itu.

“Halo, May? Ini aku, Aidan. Aku rasa kau sudah menghapus nomor teleponku?”

“Tidak, aku masih menyimpannya.”

“Bagaimana kabarmu?”

“Kabarku baik.”

“Di mana kau sekarang?”

“Aku di Indonesia. Terima kasih bunganya.”

“Aku akan belikan bunga yang segar lain waktu.”

“Tidak masalah, aku masih menyukainya walau bunganya sudah layu.” Berbeda dengan saat bersama Hans. Dengan Aidan, Maya banyak bicara dan tidak cuek sama sekali.

“Kita memang sudah resmi berpisah. Tapi, bolehkah kalau aku sering-sering menghubungimu?”

“Tidak masalah selama tidak ada yang marah.”

Mereka sudah berpacaran tiga tahun dan menjalin rumah tangga selama empat tahun. Aidan bisa dengan mudah mengetahui apa yang Maya rasakan hanya dengan mendengar suaranya.

“Kau baik-baik saja?”

“Tentu saja. Aku harap begitu.”

"Maya, aku paham bahwa kau telah mengalami banyak hal yang sulit. Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Kau juga harus percaya bahwa tidak semua orang akan menyakitimu. Kau sendiri yang menentukan ingin hidup dengan siapa dan seperti apa. Jangn terlalu mengkhawatirkan hal itu.”

“Aidan, benarkah ….”

Wanita yang datang bertamu pada Hans tadi, datang dan menyapa Maya dengan sopan. “Salam kenal. Saya Rachel, mantan kekasih Hans.”

“Oh, salam kenal.”

Rachel menunjukkan senyum ramah. “Bisa kita bicara sebentar?”

“Maaf, saya harus pergi sekarang."

“Saya hanya ingin mengatakan kalau Hans bukan pria yang baik. Berhati-hatilah dengannya.”

***

Beberapa kali ditelepon, tidak diangkat. Pesan juga tidak dibaca apalagi di balas. Hans memutuskan untuk menunggu di depan rumah Maya. Namun, dia menyadari sikapnya yang seperti terlalu berlebihan.

“Sepertinya Maya akan risih kalau aku menunggunya seperti ini.”

Nyatanya, beberapa menit setelah Hans pergi, Maya datang bersama seorang wanita. Dia adalah Lisa, sahabatnya sejak masih sekolah. Maya meminta Lisa tinggal bersamanya untuk beberapa hari.

Ketika sedang menyapu halaman, Lisa menemukan sesuatu. “Maya, ini milikmu?”

Sebuah pulpen tergeletak di tengah rerumputan. Pulpen itu sangat tidak asing baginya. Tentu Maya tahu siapa pemiliknya, ditambah lagi selalu ada nama di badan pulpen tersebut. “Oh, itu puplen Pak Hans.”

“Siapa dia?”

“Mantan atasanku. Mungkin tadi dia ke sini. Aku akan mengembalikannya jika bertemu nanti.”

“Benarkah hanya sebatas rekan kerja? Ingat, ya? Jangan terburu-buru jatuh cinta,” pesan Lisa sambil tersenyum. "Maksudku, kau baru saja melewati masa yang sulit. Mungkin ini waktu yang tepat untuk fokus pada dirimu sendiri dan memperbaiki diri lebih dulu.”

"Aku akan mencobanya.”

“Kalau begitu mandilah dulu. Aku akan membuatkan makan malam untukmu.”

“Wah, akhirnya aku bisa merasakan lagi masakan chef Lisa,” canda Maya.

Lisa sibuk di dapur dan Maya menyapu halaman. Sesuatu yang janggal membuat Maya tak tenang. Dia merasa seperti sedang dipantau. Merasa seolah-olah ada mata yang memperhatikannya dari kejauhan, membuatnya merasa tidak nyaman.

Maya berusaha menepis perasaan takutnya. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, Maya merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.

Maya berbalik cepat dan mendapati seorang pria berdiri di sana. “Reza?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   32. Terima Kasih

    “Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   31. Halusinasi Maya

    Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   30. Meninggal

    “Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   29. Kenapa Rachel Melakukannya?

    Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   28. Rasa Frustasi

    “Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   27. Hamil

    Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   26. Tidak Ingin Kehilangan Lagi

    “Saya datang untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal di sini.”Maya kembali ke rumah orang tua Hans untuk mengambil sisa barangnya. Dia datang bersama Reza, yang akan menemaninya atas perintah Aidan.“Silakan. Selama ini, saya tidak apa-apakan kamar itu.” Lina mengantar Maya ke kamar yang pernah ditempatinya beberapa hari itu.Ketika sedang mengemas barang-barangnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak mengambil buku jurnal berwarna cokelat yang pernah diberikan Hans. Saat itu, Hans memberikannya disaat Maya sedang frustrasi.“Buku ini … Hans yang memberikannya padaku. Dia bilang, aku bisa mencatat perasaan dan pemikiranku di sini. Hans juga bilang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban, tapi apakah bisa meringankan rasa rindu?”“Kau merindukannya?” tanya Lina yang duduk di ujung tempat tidur.“Kami tidak selalu bersama. Tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi saat sedang bersamanya, dia selalu bisa membuatku bahagia.”“Apa kau men

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   25. Kematian yang Diinginkan?

    Maya hanya melamun di ruang tunggu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan penampilannya lusuh. Pakaiannya masih dipenuhi darah, namun di tutupi oleh jaket yang Zayn berikan. “Maya, bisakah ikut Ayah untuk memberikan keterangan tentang semua ini?” Apa yang Zayn ucapkan sebenarnya di dengar jelas oleh Maya, namun wanita itu sulit fokus. Lisa mendekati sahabatnya itu, memeluknya dari samping dan mencoba bicara pelan. “May, kita tahu kau sangat terpukul dengan semua kejadian ini. Tapi, penjahat itu harus segera diadili. Polisi butuh keterangan darimu untuk menangkap penjahat itu. Bisakah kau ikut Om Zayn untuk memberikan keterangan?” “Apakah mereka benar akan ditangkap?” tanya Maya dengan lesuh. “Tentu saja. Tanpa sisa,” jawab Zayn. “Jangan takut. Kesaksianmu akan dilindungi.” Setelah beberapa saat, mencoba mengerti dan menunggu Maya siap, akhirnya Zayn dan beberapa anak buahnya membawa Maya ke Markas Pasukan Khusus, tempat Marco ditahan untuk penyelidikan. Sesampainya di markas,

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   24. Jangan Pergi Juga

    Maya terus mengguncang tubuh Hans, berharap keajaiban terjadi. Namun, tubuh Hans tetap tak bergerak. Air mata Maya jatuh tak terkendali, membasahi wajah pria yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.Zayn mendekat, memegang bahu Maya dengan lembut. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Dia masih punya peluang.""Dia ... dia tertembak dan itu salahku. Aku tak bisa melindunginya.""Ini bukan salahmu. Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun. Percayalah, dia akan bertahan," ujar Zayn tegas sambil memberi isyarat pada timnya untuk membawa Hans keluar.Marco yang tergeletak dengan luka tembak di kakinya, menatap Zayn dengan penuh kebencian. “Kau pikir ini sudah berakhir? Kau tidak tahu apa yang akan datang, Zayn,” katanya dengan tawa getir meski wajahnya menyiratkan kesakitan.“Sudah cukup, Marco. Kau kalah. Permainan ini berakhir untukmu.” Dengan isyarat tangannya, anak buah Zayn memborgol Marco dan m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status