“Pak Hans baik-baik saja?”
Maya dengan cepat membantu pria berusia dua puluh delapan tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca. Hans masih saja peduli dengan menyingkirkan pecahan kaca di lantai agar Maya tidak menginjaknya.
"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat.”
Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kedaluarsa obat tersebut. Setelah dirasa aman, Maya membersihkan luka Hans dengan alkohol setelah Lisa membersihkannya. Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan.
"Apakah tidak sakit?"
"Tentu saja sakit.”
"Aku akan membuatkan teh hangat." Lisa langsung pergi ke dapur dengan pencahayaan dari ponselnya.
"Ini yang saya inginkan, melindungimu,” ungkap Hans.
“Terima kasih.”
Setelahnya, Maya bangun dan pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu. "Maya, jangan terpengaruh. Jangan mudah percaya," ucap Maya pelan sambil mencari baju untuk Hans.
Masih ada beberapa kaos yang sengaja Aidan tinggalkan. Hal itu membuat Maya kembali mengingat lelaki yang pernah sangat dia cintai. Sweater abu-abu yang dia pilihkan untuk Hans.
"Pakailah." Maya meninggalkannya lagi agar Hans bisa berganti pakaian.
Lisa paham dan menyusul Maya ke kamar. “Dia menyukaimu? Apa kau menyukainya?”
"Tidak."
"Bagus! Jangan mudah jatuh cinta lagi."
"Tapi tidak tahu bagaimana kedepannya.”
"Maksudmu?"
***
Memasuki akhir tahun, Kanada mulai dilanda cuaca dingin. Salju menutupi jalan dan rumah-rumah, menciptakan pemandangan yang indah namun juga merepotkan penduduk setempat.
Memang karena alasan pribadinya, Aidan sampai membawa beberapa pekerjanya untuk tinggal di Kanada bersamanya. Dia ingin mencari suasana baru, berharap jauh dari kesedihan. Namun, dia juga tidak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai CEO di perusahaan game miliknya, Celestial Creations.
“Aidan, semua karyawan sudah sampai. Sesuai yang kau pinta, ada enam karyawan yang datang. Tim designer, tim artist, dan tim animator. Untuk tim programmer, mereka remote working. Benar, ‘kan?”
“Aku bahkan sudah lupa dengan perintahku sendiri.”
“Pekerjaanku sangat sulit karena punya atasan sepertimu.”
“Bukankah kau butuh banyak uang untuk menikah?”
Bukan hanya itu, Reza bahkan membersihkan rumah milik teman sekaligus atasannya itu. Sedangkan masak adalah tugas Aidan. Di Kanada, mereka tinggal di tempat yang sama. Untuk para karyawannya dia sewakan sebuah apartemen tidak jauh dari tempat kerjanya.
“Aidan, aku sudah tahu siapa pria itu. Namanya Hanselino Haris, biasa dipanggil Hans. Dia adalah manager di sebuah perusahaan fashion di Swiss. Maya adalah salah satu karyawannya dan kemungkinan mereka saling kenal karena bekerja di perusahaan tersebut.”
“Oh, pria yang kau temui di rumah Maya waktu itu?”
“Apa ada lagi yang ingin kau ketahui?”
“Kenapa kau repot-repot mengurusi hidup orang lain, hah?”
“Orang lain? Dia mantan istrimu. Kau pernah sangat mencintainya”
“Aku dan Maya sudah perpisah. Kita sudah menjalankan hidup masing-masing, jadi jangan campuri urusan dia.”
“Kau benar-benar tidak peduli lagi padanya? Bagaimana kalau ternyata pria yang dekat dengan Maya adalah pria yang jahat?”
“Maya wanita yang cerdas. Dia tidak mungkin terjebak dengan pria seperti itu.”
“Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya bicara padamu. Kalau Maya terluka, baru kau menyesal.”
***
Hampir semalaman Hans dan Maya tidak tidur. Pagi harinya, Maya langsung mengantar Hans kembali ke apartemennya. Di sana, dia membuatkan sarapan dan juga menyiapkan obat untuk meredakan nyeri yang Hans rasakan.
“Makanlah dan minum obatnya.”
“Kenapa harus sampai minum obat? Ini hanya luka ….”
“Lukanya panjang dan cukup dalam. Bahkan sepertinya itu harus di jahit.” Tugas yang bukan kewaibannya sudah selesai di lakukan. Maya bersiap untuk segera pergi. “Saya pergi dulu.”
“Ke mana?”
“Saya ada wawancara kerja.”
“Jangan khawatir. Saya yang akan mengurus urusan semalam.”
“Ingin melapor ke polisi?”
Jawab Hans dalam hati, “Tentu saja tidak.” Hans mendekati wanita dihadapannya. “Biar saya yang mengurusnya. Kau fokus saja untuk wawancaranya. Saya mendoakanmu.”
“Terima kasih, Pak Hans.”
Dengan laju perlahan, Maya sampai di sebuah kantor dua puluh menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Dia yakin pada pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya. Namun tetap saja rasa gugup pasti ada.
“Permisi? Saya ingin menemui Bu Anggi untuk melakukan wawancara kerja,” ucap Maya pada resepsionis yang bersiap di sana.
“Saya akan beritahu beliau. Silakan tunggu sebentar.”
Sebuah sofa yang tersedia di ruang tunggu, menjadi saksi bisu betapa gugupnya Maya. Tanpa persiapan yang matang, Maya memasuki sebuah ruangan yang sama dinginnya dengan telapak tangannya saat itu.
Betapa terkejutnya Maya saat mengetahui orang akan akan mewawancarainya adalah Rachel. “Silakan duduk.”
Berusaha profesional, Maya dengan tenang dan senyum ramahnya perlahan duduk di kursi yang disediakan di hadapan Rachel, manager di perusahaan itu. "Terima kasih.”
"Namamu cantik seperti pemiliknya."
"Terima kasih. Bisa kita mulai sekarang wawancaranya?" pinta Maya dengan sopan.
"Oh, baiklah. Perkenalkan dirimu terlebih dahulu."
"Perkenalkan saya Maya Almayra Evelena. Usia saya saat ini menginjak tiga puluh tahun. Dibuktikan dengan sudah banyaknya pengalaman saya dalam bekerja di perusahaan fashion. Banyak pencapaian yang sudah saya raih. Hal itu terjadi karena kepribadian saya yang tekun, teliti, disiplin, dan pekerja keras. Walau terkadang sering mengeluh saat banyak pekerjaan, saya bisa dengan mudah mengontrolnya. Terbukti dengan pencapaian saya dalam pameran fashion di Swiss satu tahun lalu. Saya membuat seratus desain baju musim dingin dalam waktu dua minggu. Saya harap, apa yang sudah saya jelaskan dapat Ibu mengerti, terima kasih."
"Dari cara kau berbicara dan menjelaskan semuanya, terlihat kalau kau wanita yang pintar. Kau pernah bekerja sebagai asisten kepala tim?"
"Iya. Saya menjabat sebagai asisten kepala tim di perusahaan Swiss Vogue Design selama dua tahun."
"Apa di sana tempatmu bertemu dan mengenal Hans?"
"Maaf, untuk pertanyaan itu saya berhak jika memilih tidak menjawabnya. Saya akan segera menjawab pertanyaan lain."
"Kau menyukainya?”
"Saya hanya akan menjawab pertanyaan selain tentang urusan pribadi.”
"Saat kemarin kita bertemu, saya tidak benar-benar mengatakannya. Maksud saya, Hans itu pria yang baik dan saya rasa ada kecocokan diantara kalian."
"Maaf, apa wawancaranya sudah selesai?"
"Buatlah tiga desain baju dengan tema musik Korea. Berikan segera pada saya besok. Jika tidak, saya anggap kau mengundurkan diri.” Rachel menjatuhkan tubuhnya ke senderan kursi. "Sudah, sampai di sini saja wawancaranya."
"Baik, akan saya usahakan. Terima kasih atas waktunya, permisi."
Baru saja berdiri, Rachel dengan cepat menahan Maya untuk tidak melangkah keluar ruangan. "Saya harap, dia benar-benar akan melindungimu sampai akhir."
***
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t
“Saya datang untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal di sini.”Maya kembali ke rumah orang tua Hans untuk mengambil sisa barangnya. Dia datang bersama Reza, yang akan menemaninya atas perintah Aidan.“Silakan. Selama ini, saya tidak apa-apakan kamar itu.” Lina mengantar Maya ke kamar yang pernah ditempatinya beberapa hari itu.Ketika sedang mengemas barang-barangnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak mengambil buku jurnal berwarna cokelat yang pernah diberikan Hans. Saat itu, Hans memberikannya disaat Maya sedang frustrasi.“Buku ini … Hans yang memberikannya padaku. Dia bilang, aku bisa mencatat perasaan dan pemikiranku di sini. Hans juga bilang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban, tapi apakah bisa meringankan rasa rindu?”“Kau merindukannya?” tanya Lina yang duduk di ujung tempat tidur.“Kami tidak selalu bersama. Tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi saat sedang bersamanya, dia selalu bisa membuatku bahagia.”“Apa kau men
Maya hanya melamun di ruang tunggu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan penampilannya lusuh. Pakaiannya masih dipenuhi darah, namun di tutupi oleh jaket yang Zayn berikan. “Maya, bisakah ikut Ayah untuk memberikan keterangan tentang semua ini?” Apa yang Zayn ucapkan sebenarnya di dengar jelas oleh Maya, namun wanita itu sulit fokus. Lisa mendekati sahabatnya itu, memeluknya dari samping dan mencoba bicara pelan. “May, kita tahu kau sangat terpukul dengan semua kejadian ini. Tapi, penjahat itu harus segera diadili. Polisi butuh keterangan darimu untuk menangkap penjahat itu. Bisakah kau ikut Om Zayn untuk memberikan keterangan?” “Apakah mereka benar akan ditangkap?” tanya Maya dengan lesuh. “Tentu saja. Tanpa sisa,” jawab Zayn. “Jangan takut. Kesaksianmu akan dilindungi.” Setelah beberapa saat, mencoba mengerti dan menunggu Maya siap, akhirnya Zayn dan beberapa anak buahnya membawa Maya ke Markas Pasukan Khusus, tempat Marco ditahan untuk penyelidikan. Sesampainya di markas,
Maya terus mengguncang tubuh Hans, berharap keajaiban terjadi. Namun, tubuh Hans tetap tak bergerak. Air mata Maya jatuh tak terkendali, membasahi wajah pria yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.Zayn mendekat, memegang bahu Maya dengan lembut. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Dia masih punya peluang.""Dia ... dia tertembak dan itu salahku. Aku tak bisa melindunginya.""Ini bukan salahmu. Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun. Percayalah, dia akan bertahan," ujar Zayn tegas sambil memberi isyarat pada timnya untuk membawa Hans keluar.Marco yang tergeletak dengan luka tembak di kakinya, menatap Zayn dengan penuh kebencian. “Kau pikir ini sudah berakhir? Kau tidak tahu apa yang akan datang, Zayn,” katanya dengan tawa getir meski wajahnya menyiratkan kesakitan.“Sudah cukup, Marco. Kau kalah. Permainan ini berakhir untukmu.” Dengan isyarat tangannya, anak buah Zayn memborgol Marco dan m