Share

5. Benarkah Bukan Penjahat?

Karena hujannya terlalu deras, Maya tidak dapat melihat apa-apa di luar. Hans baru terlihat saat sudah sampai di gerbang rumah. Maya mendekatinya, tidak peduli seluruh tubuhnya yang akan basah kuyup. Dia dengan cepat membantu pria berusia 27 tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca.

Dengan kakinya yang tanpa alas, Hans menyingkirkan pecahan kaca itu agar Maya tidak menginjaknya. “Hati-hati kakimu.”

"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat," perintah Maya dengan tubuh sedikit menggigil.

Setelah mengambilnya, Lisa langsung membersihkan darah dari lengan Hans. "Maaf, ya?"

Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kadaluarsa obat tersebut. Saat dirasa aman, Maya membersihkan luka gores itu dengan alkohol kemudian diteteskan obat merah.

Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan. "Tidak sakit?"

"Tentu saja sakit."

"Kamu terlihat baik-baik saja?"

"Hanya tidak mau terlihat lemah di depanmu."

"Aku akan membuatkan teh hangat untuk kalian." Lisa langsung pergi ke dapur dengan pencahayaan dari ponselnya.

"Terima kasih sudah menolongku."

Baru saja bangun dari duduknya, Hans menarik tangan Maya dan membuatnya duduk kembali. "Ini yang aku inginkan, melindungimu."

Tidak tahu harus bersikap bagaimana, Maya salah tingkah dan kembali berdiri. Melepaskan tangan Hans perlahan dan langsung masuk ke dalam kamar.

"Maya, jangan terpengaruh. Itu hanya kata-kata manis. Jangan mudah percaya," ucap Maya pelan sambil mencari baju untuk Hans.

Masih ada beberapa kaos yang sengaja Aidan tinggalkan. Hal itu membuat Maya kembali mengingat lelaki yang pernah sangat dia cintai, bahkan sampai saat itu walau hanya sedikit. Kaos berwarna abu-abu yang dia ambil kemudian diberikan kepada Hans.

"Pakailah." Maya meninggalkannya lagi untuk berganti pakaian.

Lisa paham dan menyusul Maya ke kamar agar Hans bisa segera mengganti bajunya. “Dia menyukaimu?"

“Menurutmu bagaimana?”

"Kamu menyukainya, May?"

"Tidak."

"Bagus! Jangan mudah jatuh cinta lagi."

"Tapi tidak tahu bagaimana kedepannya.”

"Maksudmu?"

"Lisa, tolong jangan beritahu Aidan apa yang terjadi sekarang. Aku tidak ingin melibatkan dia dalam masalahku."

***

Memasuki akhir tahun, Kanada mulai dilanda cuaca dingin. Salju menutupi jalan-jalan dan rumah-rumah, menciptakan pemandangan yang indah namun juga menantang bagi para penduduk setempat.

Memang karena alasan pribadinya, Aidan sampai membawa beberapa pekerjanya untuk tinggal di Kanada bersamanya. Dia ingin mencari suasana baru, berharap jauh dari kesedihan. Namun, dia juga tidak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai CEO di perusahaan game miliknya bernama Celestial Creations.

“Aidan, semua karyawan sudah sampai.”

“Sudah semuanya?”

“Sesuai yang kamu pinta, ada 6 karyawan yang datang. 2 orang dari tim designer, 2 orang dari tim artist, dan 2 orang lagi dari tim animator. Untuk tim programmer, mereka remote working. Benar, ‘kan?”

“Aku bahkan sudah lupa dengan perintahku sendiri.”

“Pekerjaanku sangat sulit karena punya atasan sepertimu, Dan.”

“Bukankah kamu butuh banyak uang untuk menikah?”

Reza menarik napas panjang. “Ah, ada saja jawabanmu.”

Bukan hanya itu, Reza bahkan membersihkan rumah milik teman sekaligus atasannya itu. Sedangkan masak adalah tugas Aidan. Di Kanada, mereka tinggal di tempat yang sama atas perintah Aidan. Untuk beberapa karyawannya dia sewakan sebuah rumah tidak jauh dari tempat kerjanya.

“Aidan, aku sudah menemukan identitas pria itu.”

“Siapa?”

“Sudahlah, dengarkan aku saja,” jawab Reza yang kesal pada bos pelupa itu. “Namanya Hanselino Haris, biasa dipanggil Hans. Dia adalah manager di sebuah perusahaan fashion di Swiss. Maya adalah salah satu karyawannya dan kemungkinan mereka saling kenal karena bekerja di perusahaan tersebut.”

“Oh, pria yang kamu temui di rumah Maya waktu itu?”

Reza kembali menarik napas panjang. “Iya, Aidan.”

“Lalu, apa lagi?”

“Apa lagi yang ingin kamu ketahui?”

“Apakah dia pria yang baik? Cari tahu tentang itu.”

“Jadi, tugasku mencari tahu tentang kepribadiannya?” Pertanyaannya dibalas anggukan oleh Aidan. “Sebenarnya, tugasku itu apa, sih? Aku bekerja di perusahaan game sebagai asisten CEO. Tapi, kenapa aku harus ….”

“Ada bayaran terpisah. Lakukan saja.”

***

Hampir semalaman Hans dan Maya tidak tidur. Pagi harinya, Maya langsung mengantar Hans kembali ke apartemennya. Di sana, dia membuatkan sarapan dan juga menyiapkan obat untuk meredakan nyeri pada luka dilengannya.

“Makanlah dan minum obatnya.”

“Kenapa harus sampai minum obat? Ini hanya luka ….”

“Lukanya panjang dan cukup dalam. Bahkan sepertinya, itu harus di jahit.”

“Kalau begitu, aku minum obat saja.”

“Kamu takut?”

“Hanya tidak ingin membuatmu khawatir.”

“Aku akan khawatir kalau lenganmu infeksi karena tidak periksa ke dokter.”

“Kamu mengkhawatirkanku?” Maya tidak menjawabnya dan malah kembali ke dapur untuk merapikannya. “Baiklah, aku akan periksa ke dokter nanti.”

“Aku akan mengantarmu nanti siang.”

“Memangnya sekarang kamu mau ke mana?”

“Wawancara kerja.”

“Kupikir, kamu akan kembali ke Swiss?”

Tugas yang bukan kewaibannya sudah selesai di lakukan. Maya bersiap untuk segera pergi. “Aku pergi dulu.”

“Jangan khawatir. Aku yang akan mengurus urusan semalam.”

“Ingin melapor ke polisi?”

Jawab Hans dalam hati, “Tentu saja tidak.” Hans mendekati wanita dihadapannya. “Biar aku yang mengurusnya. Kamu fokus saja untuk wawancaranya. Aku mendoakanmu.”

“Terima kasih, Hans. Aku pergi.”

Dengan laju perlahan, Maya sampai di sebuah kantor 20 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Dia yakin pada pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya. Namun tetap saja rasa gugup pasti ada.

“Permisi? Saya ingin menemui Bu Anggi untuk melakukan wawancara kerja,” ucap Maya pada resepsionis yang bersiap di sana.

“Saya akan beritahu beliau. Silahkan tunggu sebentar.”

Sebuah sofa yang tersedia di ruang tunggu, menjadi saksi bisu betapa gugupnya Maya. Itu memang bukan pertama kali dia melakukan wawancara kerja, tapi gugup masih tetap ada. Tanpa persiapan yang matang, Maya memasuki sebuah ruangan yang sama dinginnya dengan telapak tangannya saat itu.

Betapa terkejutnya Maya saat mengetahui orang akan akan mewawancarainya adalah Rachel. “Silahkan duduk.”

Berusaha profesional, Maya dengan tenang dan senyum ramahnya perlahan duduk di kursi yang disediakan dihadapan Rachel, manager di perusahaan itu. "Terima kasih.

"Ternyata benar itu kamu. Namamu cantik seperti pemiliknya."

"Terima kasih. Ini semua berkat ayahku."

"Kamu menyukai pria yang tampan seperti ayahmu, ya?"

"Bisa kita mulai sekarang wawancaranya?" pinta Maya dengan sopan.

"Oh, baiklah. Perkenalkan dirimu terlebih dahulu."

"Perkenalkan saya Maya Almayra Evelena. Usia saya saat ini menginjak 31 tahun. Dibuktikan dengan sudah banyaknya pengalaman saya dalam bekerja di perusahaan fashion. Banyak pencapaian yang sudah saya raih. Hal itu terjadi karena kepribadian saya yang tekun, teliti, disiplin, dan pekerja keras. Walau terkadang sering mengeluh saat banyak pekerjaan, saya bisa dengan mudah mengontrolnya. Terbukti dengan pencapaian saya dalam pameran fashion di Swiss satu tahun lalu. Saya membuat 100 desain baju musim dingin dalam waktu 2 minggu. Saya harap, apa yang sudah saya jelaskan dapat Ibu mengerti, terima kasih."

"Dari cara kamu berbicara dan menjelaskan semuanya, terlihat kalau kamu wanita yang pintar." Rachel membuka surat lamaran digenggamannya. "Kamu pernah bekerja sebagai asisten kepala tim?"

"Iya. Saya menjabat sebagai asisten kepala tim di perusahaan Swiss Vogue Design sselama 2 tahun."

"Apa di sana tempatmu bertemu dan mengenal Hans?"

Pertanyaan itu diluar konteks dan Maya berhak untuk tidak menjawabnya. "Maaf, untuk pertanyaan itu saya berhak jika memilih tidak menjawabnya. Saya akan segera menjawab pertanyaan lain."

"Kamu menyukainya?"

"Maaf?"

"Sejak kapan dia menyukaimu? Begitupun sebaliknya?"

"Saya hanya akan menjawab pertanyaan selain tentang urusan pribadi," jawab Maya yang sudah payah menahan kesalnya.

"Saat kemarin kita bertemu, saya tidak benar-benar mengatakannya. Maksud saya, Hans itu pria yang baik dan saya rasa ada kecocokan diantara kalian."

"Maaf, apa wawancaranya sudah selesai?"

"Buatlah 3 desain baju dengan tema musik Korea. Berikan segera pada saya besok. Jika tidak, saya anggap kamu mengundurkan diri.” Rachel menjatuhkan tubuhnya ke senderan kursi.  "Sudah, sampai di sini saja wawancaranya."

"Baik, akan saya usahakan. Terima kasih atas waktunya, permisi."

Baru saja berdiri, Rachel dengan cepat menahan Maya untuk tidak melangkah keluar ruangan. "Saya harap, dia benar-benar akan melindungimu sampai akhir."

"Memangnya ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Hans itu bukan pria jahat. Dia bukan penjahat." Kata ‘jahat’ diucapkan Rachel dengan penekanan dan semakin membuat Maya bingung sekaligus penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status