Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk ke sela tirai besar Valente, menari di lantai kayu yang kini terasa lebih hidup daripada sebelumnya. Tidak ada bunyi lonceng telepon, tidak ada suara langkah terburu-buru staf galeri, dan tidak ada percikan ketegangan di udara seperti biasanya. Hari itu… tenang. Damai. Seolah dunia juga ingin memberi waktu bernapas setelah badai panjang yang mereka lalui.
Averine bangun lebih dulu. Tubuhnya terasa ringan, meski mata masih menyisakan kantuk yang menyenangkan. Ia turun dari tempat tidur dengan mengenakan kemeja Darian yang terlalu besar, rambutnya digulung asal-asalan, dan kaki telanjang menapaki lantai dingin dengan tenang.Saat membuka pintu kamar, aroma samar yang terbakar menyergap dari arah dapur.Ia mengerutkan kening kemudian tertawa pelan ketika melihat Darian berdiri di depan kompor, mengenakan celemek bergambar alpukat tersenyum (jelas bukan miliknya), dengan ekspresi frustasi bercampur tekad di wajahnya.<Galeri Valente malam itu penuh sesak. Cahaya putih lembut memantul di dinding kaca, menyinari lukisan-lukisan besar bertema "Identitas dan Cacat yang Indah" pameran tunggal pertama Eira.Averine berdiri di balik meja registrasi, mengenakan gaun panjang berwarna gading dengan potongan longgar. Perutnya, yang mulai menonjol di trimester kedua, disembunyikan dengan cermat di balik luaran dan sudut panggung.“Checklist katalog udah lengkap?” tanya Eira, menghampirinya dengan clipboard di tangan.“Sudah. Media juga udah datang. Dan tamu kehormatan masuk lewat pintu belakang,” jawab Averine sambil tersenyum, meski wajahnya terlihat sedikit pucat. Eira mengernyit. “Kamu nggak perlu terlalu banyak berdiri. Aku bisa panggil staf buat gantiin.” Averine menggeleng cepat. “Nggak, aku mau tetap di sini. Ini malammu.”Eira menatapnya beberapa detik. Ia tahu Averine keras kepala. Tapi ia juga tahu, sejak kehamilan ini, tubuh Averine lebih cep
Pagi itu, aroma telur orak-arik yang setengah gosong memenuhi apartemen. Bukan hal yang biasa. Averine mengerjap dari tempat tidur, mual naik begitu saja tanpa aba-aba. “Oh tidak,” gumamnya, buru-buru bangkit dan setengah berlari ke kamar mandi. Darian yang ada di dapur mendengar suara langkah tergesa itu. Ia meletakkan spatula, melepas celemeknya, dan menyusul. “Averine?” serunya, setengah panik. Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Suara air keran dan napas berat terdengar dari dalam. “Aku di sini,” sahut Averine lemah. “Jangan masuk... belum cantik.” Darian nyaris tertawa meski khawatir. Ia bersandar di pintu, menunggu. “Yang gosong di dapur itu apa?” tanya Averine dari balik pintu. “Telur. Aku... belajar.” “Belajar ngeracunin istri hamil?” “Aku ikut kelas online. Judulnya ‘Sarapan untuk Suami Gugup’.” Averine tertawa k
“Aku harus pakai sepatu ini juga?” Averine menatap tinggi haknya, lalu memandang Darian yang berdiri di depan pintu sambil memegang mantel panjang miliknya.Darian mengangguk pelan, senyumnya penuh arti. “Cuma sekali dalam setahun. Anggap saja ini bagian dari pesta kejutan.”Averine mendesah, tapi tetap mengenakannya. Sepatunya mengeluarkan suara lembut saat ia melangkah ke luar apartemen, menggenggam lengan Darian yang kini sudah siap menuntunnya ke mobil hitam mereka.Perjalanan malam itu terasa berbeda. Jalanan kota yang biasa mereka lewati terlihat lebih tenang. Tidak ada obrolan tentang pekerjaan. Tidak ada ponsel menyala. Hanya musik lembut dari radio mobil, dan suara jari Darian yang mengetuk setir mengikuti irama.“Setidaknya beri petunjuk sedikit. Aku pakai gaun ini tanpa tahu mau ke mana,” kata Averine pelan sambil melirik gaun sutra biru gelap yang membalut tubuhnya.Darian tertawa kecil. “Petunjuk? Oke. Ini tempat pertama
Matahari pagi menyusup pelan, menelusup di antara celah-celah dinding beton atap. Udara masih sejuk, tapi tidak menusuk seperti malam tadi. Averine menggeliat pelan di bawah selimut, matanya masih setengah tertutup. Tubuhnya lengket oleh udara lembap dan sisa kehangatan yang menempel dari malam sebelumnya.Di sampingnya, Darian masih tertidur, satu lengannya melingkari pinggangnya. Nafasnya teratur, damai, dan entah kenapa, bunyinya lebih menenangkan dari lagu apa pun yang pernah Averine dengar.Ia menatap langit yang perlahan berubah warna. Lalu menatap Darian.Dan ia tersenyum. Ringan sekali. Seperti seseorang yang akhirnya selesai berlari dan boleh duduk sebentar.Lambat-lambat, ia mencium pipi Darian. Sekali. Lalu bergerak pelan untuk bangkit. Tapi baru beberapa detik ia duduk, Darian bergumam dengan suara berat karena baru bangun, “Mau kabur?”Averine menoleh. “Mau bikin teh.”“Kamu aja yang bikin. Aku masih... butuh pemulih
Malam itu, atap bangunan tua tempat mereka pertama kali bicara tentang pernikahan terasa berbeda. Dulu dingin, asing, kaku. Sekarang... terasa seperti satu-satunya tempat yang bisa merangkul mereka tanpa menuntut apa-apa.Averine duduk lebih dulu, membentangkan selimut di atas lantai. Ia hanya memakai sweater longgar dan legging tipis. Angin malam merambat di kulitnya, tapi ia tak bergeming. Darian datang menyusul dengan anggur dan dua gelas, lalu duduk di sebelahnya. Dekat sekali. Terlalu dekat untuk pura-pura hanya teman tidur.“Kamu masih ingat... kamu pernah bilang gak akan pernah jatuh cinta sama aku?” tanya Darian pelan, matanya tak lepas dari wajahnya.Averine menoleh, senyum kecil muncul. “Dan kamu jawabnya, ‘Gak apa-apa. Asal kamu gak jatuh cinta ke orang lain.’”“Dan kamu akhirnya jatuh juga.”Ia tak membalas. Hanya memeluk lengan Darian dan menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu. Ada sesuatu yang menggantung di udara kerinduan yang ditahan terlalu lama. Ketika akhirnya ia
Hening menyelimuti ruang kerja Averine pagi itu. Langit mendung, dan daun-daun kering di halaman belakang seperti ikut menunduk, seakan memahami bahwa hari ini berbeda. Sejak subuh, Eira belum keluar dari kamarnya. Biasanya suara piano atau bunyi sendok dari dapur jadi pertanda pagi dimulai. Tapi kali ini, semuanya diam.Di atas meja marmer, terletak sebuah amplop coklat tua. Tinta di ujungnya mulai pudar, tetapi tulisan tangan itu Averine kenal betul. Tulisan Benedetta. Nenek pengganti. Perawat setia. Pelindung diam-diam. Dan, seperti akhirnya semua cerita manusia, ia telah pergi.Averine membuka amplop itu dengan pelan. Di dalamnya hanya satu lembar surat, ditulis dengan goresan pelan namun tetap tegas. Udara di sekitar Averine seolah berubah ketika kalimat pertama dibaca.“Averine, jika surat ini sampai padamu, artinya aku sudah berpulang. Aku tidak tahu apakah aku masih punya hak untuk mengatakan ini, tapi aku merasa harus. Bukan sebagai pengasuh. Tapi seba