Hari itu, sejak pagi, Calia rewel terus. Entah kenapa, dia nggak mau ditaruh, maunya digendong, digendong, dan digendong. Averine yang dari subuh belum mandi, masih pakai kaus longgar dan rambut dicepol asal, mulai terlihat kelelahan. Dia sudah nyoba semua: nyanyiin lagu nina bobo, goyang pelan, sampai bawa Calia keliling ruang tamu. Tapi tetap saja, tangisnya nggak mau berhenti lebih dari lima menit.
Siang hari, Averine akhirnya bisa duduk sebentar di dapur. Dia taruh Calia yang akhirnya ketiduran di bouncer kecil dekat kulkas. Tapi baru dua teguk teh, tangis Calia pecah lagi. Averine diam sebentar. Gelas tehnya masih di tangan, tapi tangannya gemetar. Dadanya sesak. Ia berdiri pelan, menutup matanya, lalu masuk ke dapur dan bersandar di meja. “Aku capek,” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. Eira, yang tadi di ruang tengah sedang beberes mainan, buru-buru datang begitu dengar suara tangis Calia lagi. Dia berhenti di pintu dapur, melihatJam lima pagi. Rumah masih gelap, hanya lampu dapur yang menyala temaram.Darian berdiri di depan koper setengah terbuka, memeriksa ulang tiket, charger, dan tablet kerja. Ia belum mandi, tapi wajahnya sudah penuh kesadaran. Hari itu, ia harus berangkat ke luar kota untuk membuka pameran seni di Bandung undangan mendadak yang tak bisa ditolak.Averine bersandar di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu, rambut masih acak dan mata sembab karena tidur kurang.“Kamu yakin harus berangkat pagi ini?” tanyanya pelan. “Iya. Kalau enggak naik kereta pertama, aku enggak sempat ikut briefing di galeri. Tapi aku balik besok malam atau lusa pagi paling lambat, oke?”Averine mengangguk. Perlahan, ia berjalan mendekat, lalu membantu melipat sisa kemeja Darian dan menyelipkannya ke koper. Gerakannya hati-hati, seperti ingin memperlambat waktu.Calia tiba-tiba menangis dari kamar. Tangisan pelan seperti tahu akan ada yang pergi. Averine refleks hendak beranjak, tapi Darian menahan lembut lengannya
Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis, memantulkan kilau hangat di lantai kayu ruang makan. Udara masih basah oleh embun sisa hujan semalam. Bau tanah lembap berpadu dengan aroma bubur ayam dan teh jahe yang mengepul di atas meja. Suara sendok beradu pelan dengan mangkuk plastik kecil berwarna pastel.“Calia bangun duluan lagi?” tanya Averine sambil menyuapi Calia yang duduk manis di kursi makannya, mengenakan celemek kuning bergambar kelinci.Calia menguap pelan sebelum kembali membuka mulutnya untuk suapan berikutnya. Wajahnya masih setengah ngantuk, tapi tangan kecilnya sudah sibuk mencakar meja seolah-olah ingin ikut membantu.Darian muncul dari arah kamar, menyeret langkah dengan mata setengah terbuka, rambut awut-awutan dan kaus tidur yang sudah melorot satu sisi. Ia duduk di kursi seberang dan memijat pelipisnya, lalu menguap lebar.“Dia emang punya alarm internal. Jam enam lewat lima, pasti nyaut,” gumamnya sambil menjangkau can
Hujan turun deras sejak pagi. Suara air yang jatuh di atap rumah jadi latar sepanjang hari. Udara dingin, jendela berkabut, dan rumah itu terasa tenang bukan kosong, tapi tenang seperti setelah semua keributan reda.Averine berdiri di dapur, membuat dua cangkir kopi. Uap dari teko naik pelan, dan aromanya mengisi ruangan. Dia mengambil dua mug, menuangkan kopi tanpa tergesa, lalu membawanya keluar ke ruang tengah.Darian sedang duduk di sofa, membuka laci bawah yang jarang disentuh. Tangannya menyentuh sesuatu yang familiar, buku catatan tua miliknya sendiri. Sampulnya udah mulai pudar, beberapa lembaran agak menguning. Tapi isinya? Masih utuh.Waktu Averine datang dengan dua cangkir, Darian cuma menoleh sebentar, senyum kecil di wajahnya. "Kamu inget buku ini?"Averine duduk di sebelahnya, naruh kopi di meja kecil. "Itu buku yang dulu kamu sembunyiin di rak paling atas, kan?""Iya. Aku kira udah hilang. Tapi ternyata masih di sini."
Malam sudah larut. Langit gelap, tanpa bintang. Hujan tadi sore sudah reda, tapi udara masih dingin. Rumah sunyi. Calia sudah tidur sejak satu jam yang lalu. Eira juga sudah masuk kamar.Averine duduk sendiri di balkon. Bahunya diselimuti kain tebal, kakinya dilipat di atas kursi rotan kecil yang mereka taruh sejak pindah. Ia menggenggam mug teh yang sudah hampir habis. Uapnya masih ada, tipis, tapi sudah mulai memudar.Darian muncul dari balik pintu balkon, membawa dua mug teh hangat."Kamu belum tidur?" tanyanya pelan."Belum ngantuk," jawab Averine singkat.Tanpa bicara lebih, Darian duduk di kursi sebelahnya dan menyerahkan satu mug lagi. Averine menerimanya, lalu menaruh mug lamanya di meja kecil di antara mereka.Mereka diam cukup lama. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang mengisi suasana. Lampu balkon redup, cukup untuk membuat semuanya terlihat samar.Darian menatap ke depan, lalu berkata pelan, "Dulu aku ta
“Cal, malam ini papa bawain lagu baru, ya,” ucap Darian sambil menyetem gitar kecil di pangkuannya.Calia sudah setengah mengantuk di dalam boks kecilnya, matanya mengedip pelan-pelan.Averine duduk di pojok ruangan, diam. Tangannya masih memegang botol minyak telon, tapi perhatiannya penuh ke arah Darian. Darian mulai memetik pelan, lalu bernyanyi: “Tidurlah, bintang kecil Papa dan mama di sini Dunia bisa ribut nanti Tapi malam ini cuma ada kamu dan mimpi…” Averine menahan napas. Suara Darian pelan, nggak sempurna, tapi hangat. Calia perlahan menutup mata. Tangan mungilnya bergerak kecil, lalu diam. “Dia tidur?” bisik Averine. Darian mengangguk, menaruh gitarnya pelan. “Langsung nyerah. Kayak dia tahu lagu ini cuma buat dia.” Averine diam-diam mengambil ponselnya, memutar ulang video yang baru direkam. Malam makin larut. Averine duduk sendiri di ruang tengah, cahaya dari layar ponsel menerangi wajahnya. Ia menonton video tadi, lalu menonton lagi. Di detik ketiga kali nonton,
“Udah disimpen semua?” tanya Averine sambil melirik ke arah meja tempat ponsel mereka ditumpuk.“Udah. Nggak ada yang boleh ngintip ponsel sampai besok pagi,” jawab Darian, duduk santai di lantai.“Termasuk kamu, Ra,” ujar Averine setengah menggoda.“Aku? Hey! Aku yang ngusulin hari bebas ponsel, oke?” balas Eira dengan nada membela diri.“Justru itu. Biasanya yang usul paling susah tahan godaan.”“Yaudah, ayo mulai. Dunia tanpa ponsel dimulai… sekarang.”“Darian, kamu lupa bawa tikar pikniknya!” seru Averine sambil menahan tawa.“Serius? Aku pikir kamu yang—”“Nggak usah saling nyalahin. Duduk aja di rumput, toh juga nggak becek.” Kata-kata Averine diselingi tawa kecil. Hatinya ringan hari ini.“Calia kayaknya suka rumput, tuh. Lihat kakinya,” ujar Darian.“Dia baru pertama kali nyentuh rumput langsung, ya?” tanya Averine, suaranya terdengar lembut, penuh kekaguman.“Kayaknya iya. Lih