Sore itu, Eira sedang mencari charger kameranya yang entah disimpan di mana. Ia membuka salah satu laci kecil dekat rak buku ruang tengah, tempat Averine biasanya menyimpan barang-barang pribadi yang jarang disentuh. Di antara tumpukan map dan buku catatan, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Tanpa niat kepo, Eira membukanya, berharap charger terselip di dalam.
Isinya bukan charger. Tapi tumpukan foto lama. Rata-rata foto keluarga, sebagian besar hitam putih, beberapa foto Averine waktu kecil, dan ada satu foto yang membuat Eira berhenti.Itu foto Averine dan Darian. Diambil dari jarak jauh, mereka berdiri di depan sebuah galeri, sama-sama menunduk melihat sesuatu di tangan Darian. Averine tampak mengenakan mantel panjang dan syal biru muda. Wajah mereka nggak terlalu jelas, tapi ekspresi Averine senyum kecil yang nggak diarahkan ke kamera jelas terlihat hangat. Momen itu seperti diam-diam dicuri kamera.Di balik foHujan turun deras sejak pagi. Suara air yang jatuh di atap rumah jadi latar sepanjang hari. Udara dingin, jendela berkabut, dan rumah itu terasa tenang bukan kosong, tapi tenang seperti setelah semua keributan reda.Averine berdiri di dapur, membuat dua cangkir kopi. Uap dari teko naik pelan, dan aromanya mengisi ruangan. Dia mengambil dua mug, menuangkan kopi tanpa tergesa, lalu membawanya keluar ke ruang tengah.Darian sedang duduk di sofa, membuka laci bawah yang jarang disentuh. Tangannya menyentuh sesuatu yang familiar, buku catatan tua miliknya sendiri. Sampulnya udah mulai pudar, beberapa lembaran agak menguning. Tapi isinya? Masih utuh.Waktu Averine datang dengan dua cangkir, Darian cuma menoleh sebentar, senyum kecil di wajahnya. "Kamu inget buku ini?"Averine duduk di sebelahnya, naruh kopi di meja kecil. "Itu buku yang dulu kamu sembunyiin di rak paling atas, kan?""Iya. Aku kira udah hilang. Tapi ternyata masih di sini."
Malam sudah larut. Langit gelap, tanpa bintang. Hujan tadi sore sudah reda, tapi udara masih dingin. Rumah sunyi. Calia sudah tidur sejak satu jam yang lalu. Eira juga sudah masuk kamar.Averine duduk sendiri di balkon. Bahunya diselimuti kain tebal, kakinya dilipat di atas kursi rotan kecil yang mereka taruh sejak pindah. Ia menggenggam mug teh yang sudah hampir habis. Uapnya masih ada, tipis, tapi sudah mulai memudar.Darian muncul dari balik pintu balkon, membawa dua mug teh hangat."Kamu belum tidur?" tanyanya pelan."Belum ngantuk," jawab Averine singkat.Tanpa bicara lebih, Darian duduk di kursi sebelahnya dan menyerahkan satu mug lagi. Averine menerimanya, lalu menaruh mug lamanya di meja kecil di antara mereka.Mereka diam cukup lama. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang mengisi suasana. Lampu balkon redup, cukup untuk membuat semuanya terlihat samar.Darian menatap ke depan, lalu berkata pelan, "Dulu aku ta
“Cal, malam ini papa bawain lagu baru, ya,” ucap Darian sambil menyetem gitar kecil di pangkuannya.Calia sudah setengah mengantuk di dalam boks kecilnya, matanya mengedip pelan-pelan.Averine duduk di pojok ruangan, diam. Tangannya masih memegang botol minyak telon, tapi perhatiannya penuh ke arah Darian. Darian mulai memetik pelan, lalu bernyanyi: “Tidurlah, bintang kecil Papa dan mama di sini Dunia bisa ribut nanti Tapi malam ini cuma ada kamu dan mimpi…” Averine menahan napas. Suara Darian pelan, nggak sempurna, tapi hangat. Calia perlahan menutup mata. Tangan mungilnya bergerak kecil, lalu diam. “Dia tidur?” bisik Averine. Darian mengangguk, menaruh gitarnya pelan. “Langsung nyerah. Kayak dia tahu lagu ini cuma buat dia.” Averine diam-diam mengambil ponselnya, memutar ulang video yang baru direkam. Malam makin larut. Averine duduk sendiri di ruang tengah, cahaya dari layar ponsel menerangi wajahnya. Ia menonton video tadi, lalu menonton lagi. Di detik ketiga kali nonton,
“Udah disimpen semua?” tanya Averine sambil melirik ke arah meja tempat ponsel mereka ditumpuk.“Udah. Nggak ada yang boleh ngintip ponsel sampai besok pagi,” jawab Darian, duduk santai di lantai.“Termasuk kamu, Ra,” ujar Averine setengah menggoda.“Aku? Hey! Aku yang ngusulin hari bebas ponsel, oke?” balas Eira dengan nada membela diri.“Justru itu. Biasanya yang usul paling susah tahan godaan.”“Yaudah, ayo mulai. Dunia tanpa ponsel dimulai… sekarang.”“Darian, kamu lupa bawa tikar pikniknya!” seru Averine sambil menahan tawa.“Serius? Aku pikir kamu yang—”“Nggak usah saling nyalahin. Duduk aja di rumput, toh juga nggak becek.” Kata-kata Averine diselingi tawa kecil. Hatinya ringan hari ini.“Calia kayaknya suka rumput, tuh. Lihat kakinya,” ujar Darian.“Dia baru pertama kali nyentuh rumput langsung, ya?” tanya Averine, suaranya terdengar lembut, penuh kekaguman.“Kayaknya iya. Lih
Sore itu, Eira sedang mencari charger kameranya yang entah disimpan di mana. Ia membuka salah satu laci kecil dekat rak buku ruang tengah, tempat Averine biasanya menyimpan barang-barang pribadi yang jarang disentuh. Di antara tumpukan map dan buku catatan, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Tanpa niat kepo, Eira membukanya, berharap charger terselip di dalam.Isinya bukan charger. Tapi tumpukan foto lama. Rata-rata foto keluarga, sebagian besar hitam putih, beberapa foto Averine waktu kecil, dan ada satu foto yang membuat Eira berhenti.Itu foto Averine dan Darian. Diambil dari jarak jauh, mereka berdiri di depan sebuah galeri, sama-sama menunduk melihat sesuatu di tangan Darian. Averine tampak mengenakan mantel panjang dan syal biru muda. Wajah mereka nggak terlalu jelas, tapi ekspresi Averine senyum kecil yang nggak diarahkan ke kamera jelas terlihat hangat. Momen itu seperti diam-diam dicuri kamera.Di balik fo
Hari itu, sejak pagi, Calia rewel terus. Entah kenapa, dia nggak mau ditaruh, maunya digendong, digendong, dan digendong. Averine yang dari subuh belum mandi, masih pakai kaus longgar dan rambut dicepol asal, mulai terlihat kelelahan. Dia sudah nyoba semua: nyanyiin lagu nina bobo, goyang pelan, sampai bawa Calia keliling ruang tamu. Tapi tetap saja, tangisnya nggak mau berhenti lebih dari lima menit. Siang hari, Averine akhirnya bisa duduk sebentar di dapur. Dia taruh Calia yang akhirnya ketiduran di bouncer kecil dekat kulkas. Tapi baru dua teguk teh, tangis Calia pecah lagi. Averine diam sebentar. Gelas tehnya masih di tangan, tapi tangannya gemetar. Dadanya sesak. Ia berdiri pelan, menutup matanya, lalu masuk ke dapur dan bersandar di meja. “Aku capek,” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. Eira, yang tadi di ruang tengah sedang beberes mainan, buru-buru datang begitu dengar suara tangis Calia lagi. Dia berhenti di pintu dapur, melihat