Langit masih mendung ketika mereka sampai di bengkel. Bangunannya besar, berdinding abu terang, dengan pintu garasi yang menganga lebar. Cahaya lampu-lampu neon menggantung dari langit-langit tinggi, menerangi permukaan lantai beton yang bersih dan licin, hanya berjejak tipis oli dan debu ban. Deretan alat tergantung rapi di dinding, seolah setiap kunci pas dan obeng punya tempatnya sendiri. Tak ada suara musik keras atau teriakan montir seperti bengkel kebanyakan. Di sini, semuanya terasa teratur. Terlalu teratur, mungkin, untuk tempat yang seharusnya kacau.
Mobil Rania didorong masuk perlahan, dan segera Al serta temannya mulai bekerja. Si teman, lebih tua, mengenakan jumpsuit biru pudar dan sarung tangan mekanik, memeriksa bagian bawah mobil dengan senter kecil di tangan. Al membuka kap mesin dan mulai membongkar pelan-pelan. Gerakannya cepat dan terarah, seolah tubuhnya hafal letak setiap baut dan kabel. Rania duduk di salah satu bangku panjang di pinggir ruangan, tidak jauh tapi cukup untuk memberinya jarak. Ia memperhatikan Al dengan mata setengah kosong, pikirannya mulai melayang ke momen sebelumnya, ketika mereka duduk berdampingan dalam kabin mobil derek. Di ruang sempit itu, aroma kopi menggantung, dan suara hujan menjadi musik latar yang nyaris lembut. Al tak banyak bicara, tapi Rania sadar, beberapa kali lelaki itu mencuri pandang. Tatapan cepat, seperti tak ingin ketahuan, tapi cukup untuk terasa. Rania tidak menegur, tidak mengalihkan pandang, tapi tubuhnya menegang sedikit setiap kali mata mereka hampir bertemu. Hening yang tadinya nyaman berubah tipis menjadi canggung. Namun anehnya, ia tidak ingin cepat keluar dari mobil itu. Kini, suara bor listrik membuyarkan lamunannya. Al menunduk di balik kap mobil, tapi saat ia merasa diamati, ia menoleh sekilas, cukup untuk menangkap ekspresi Rania yang masih terbenam dalam pikirannya sendiri. Tatapan mereka bertemu. Rania buru-buru mengalihkan mata, seolah tak sengaja. Tapi Al hanya tersenyum kecil dan kembali bekerja, seolah mengerti. Sementara itu, temannya berseru dari bawah mobil, “Pipa bawahnya ada yang longgar, Al. Tapi masih bisa disambung.” “Oke. Nanti gue kencengin, terus coba starter ulang,” balas Al tanpa menoleh. Ia berdiri sejenak, menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah Rania. “Ibu mau air putih? Di dalam ada dispenser,” tawarnya ramah. Rania mengangguk pelan. “Boleh, kalau nggak repot.” “Nggak repot.” Al tersenyum dan berbalik, meninggalkannya dengan suara langkah yang menggema di lantai bengkel yang luas. Rania menarik napas dalam, menatap mobilnya yang belum sepenuhnya pulih, lalu kembali menatap ke arah Al yang berjalan menjauh. Al menghilang ke balik pintu kecil di sudut bengkel, yang tampaknya mengarah ke ruang istirahat. Rania menurunkan pandangan, lalu berdiri perlahan dan berjalan mendekat ke mobilnya. Ia menyentuh permukaannya yang masih basah oleh sisa hujan, seolah sedang memastikan bahwa semuanya sungguh terjadi. Tak lama, Al kembali dengan dua gelas plastik berisi air. Ia menyodorkan salah satunya. “Masih dingin,” ujarnya, sedikit geli. “Tapi seger, katanya.” Rania menerima dengan anggukan kecil. “Terima kasih.” Al bersandar ke meja kerja di belakangnya, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk mereka bisa bicara tanpa harus meninggikan suara. “Mobilnya nggak terlalu parah, kok,” katanya, menatap mesin yang masih terbuka. “Cuma ada beberapa bagian yang perlu dicek ulang. Ganti sedikit, dan kencengin sambungan.” “Syukurlah,” jawab Rania. “Tadi sempat takut harus ganti mesin sekalian.” Al tertawa pendek. “Kalau sampai gitu, saya nggak tega juga lihat dompet Ibu.” “Kenapa? Takut saya batal ngajar karena harus kerja sambilan?” goda Rania. Al menatapnya, ada senyum di sudut matanya. “Bisa jadi. Saya masih penasaran gimana rasanya diajarin sastra sama orang yang bisa ngomong tenang di tengah hujan.” Rania menahan tawa, tapi matanya ikut tersenyum. Suasana perlahan mencair, kehangatan mulai menyusup di antara bunyi alat dan aroma oli. Teman Al muncul dari kolong mobil, berdiri sambil merenggangkan tubuhnya. “Gue tinggal ganti ringnya ya, Al. Sisanya lo yang urus?” Al mengangguk. “Iya. Makasih, Bang.” Lelaki itu melirik Rania sekilas, lalu kembali ke rak alat di pojok bengkel. Al kembali menatap Rania. “Maaf, teman saya emang rada pendiam,” ujarnya. “Tapi kerjanya cepat.” “Kayaknya kalian cocok. Sama-sama nggak banyak ngomong,” ujar Rania sambil menyesap air putihnya. Al tersenyum, menunduk sebentar. “Kadang, ngomong terlalu banyak bikin orang salah paham.” Rania mengangguk pelan. “Kadang diam juga bisa bikin penasaran.” Mereka saling pandang sejenak, diam, tapi bukan karena kehabisan kata. Justru karena terlalu banyak yang bisa dikatakan, tapi belum waktunya. Di luar, hujan sudah benar-benar reda. Langit masih kelabu pucat, tapi semburat jingga mulai muncul di ujung cakrawala. Cahaya matahari sore memantul di lantai bengkel yang masih lembap, menyisakan kilau tipis seperti bekas kaca. Rania menatap langit melalui jendela bengkel, matanya mengikuti warna langit yang perlahan berganti. Ia merasa udara sore itu terasa lebih ringan setelah hujan. “Kalau hari ini belum beres,” ujar Al akhirnya, memecah keheningan yang terbentuk antara mereka, “boleh saya antar pulang, Bu? Atau tunggu taksi online di sini?” Rania menoleh, sedikit terkejut. Sore itu, wajah Al tampak lebih rileks, seolah suasana bengkel yang sunyi membawa ketenangan bagi mereka berdua. Rania menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Nggak usah repot. Saya bisa pesan taksi online sendiri.” Al mengangguk. Tapi dagunya sedikit naik, seolah ingin bicara lagi, lalu urung. Jemarinya masih memegang kain lap, memerasnya pelan, tanpa sadar. Gerakan kecil, tapi cukup menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tertahan. “Kalau taksinya lama,” katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih dalam, “setidaknya biar saya temani Ibu nunggu. Daripada duduk sendirian.” Rania mengangguk, lalu kembali duduk di bangku panjang itu. Ia mengetuk-ngetuk ujung ponselnya pelan, pura-pura mengecek aplikasi. Sebenarnya, ia tak benar-benar ingin buru-buru pergi. Tapi ia juga tak tahu apakah perasaan itu seharusnya diakui. Al berjalan ke arah luar, menyeka tangannya dengan lebih serius, lalu duduk beberapa meter dari Rania, menyandar pada dinding. Senyap lagi, hanya ada suara gesekan angin di atap seng dan denting logam dari alat-alat yang sudah dibereskan. “Waktu saya pertama lihat Ibu, saya kira Ibu pegawai bank,” katanya tiba-tiba. Rania menoleh, keningnya berkerut. “Kenapa?” “Rambutnya. Rapi banget. Sama ekspresi waktu lihat mesin mobilnya rusak, itu... kayak ngelihat laporan keuangan minus satu digit.” Rania tertawa. Suara tawanya ringan, tapi tidak sepenuhnya lepas. Ada yang bergetar di dalamnya. “Saya kira kamu nggak terlalu merhatiin.” Al menoleh, satu sisi mulutnya mengangkat. “Saya nggak ngeliatin. Tapi saya ingat.” Tatapan mereka bertemu. ***Lampu jalan menyinari aspal yang mulai basah oleh embun malam. Al mengendarai motornya dalam kecepatan sedang, menjaga jarak namun tetap sigap, seolah menjadi bayangan yang melindungi. Di depan, sedan silver tua milik Rania melaju perlahan menuju rumahnya. Tidak ada obrolan, tidak ada sinyal apa pun di antara mereka—hanya lampu rem yang sesekali menyala, menjadi pengingat bahwa Rania masih ada di sana, masih memimpin arah.Di atas motor besarnya, Al mengernyit pelan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan itu. Motor pria misterius yang ia lihat sekilas sebelum bayangannya lenyap di kegelapan... Terlalu mirip. Terlalu familiar. Model dan warna motor itu hampir sama dengan yang ia tunggangi malam ini. Bahkan suara mesinnya pun nyaris identik.Ketika mobil Rania berhenti di depan pagar rumah, Al pun memperlambat laju motornya, memarkirkannya di tepi jalan. Rania keluar dari mobil, memutar tubuhnya ke arah Al. Untuk pertama kalinya sejak insiden tadi,
Pria itu masih mematung di balik pepohonan, diam, tak bergerak sedikit pun. Hatinya terasa sesak melihat Rania, wanita yang pernah sangat dekat dengannya, kini duduk di trotoar dengan bahu seorang pria muda yang ia kenal hanya sekilas. Begitu mudah, Rania tampak nyaman dengan kehadiran pria itu, seolah luka-luka masa lalu tak pernah ada.Helm hitam masih menutupi sebagian wajahnya, sama seperti saat ia meminjamkan jaket hitam itu di parkiran kampus. Ia juga yang berdiri diam di balik pilar, memperhatikan Rania dari jauh saat makan malam di restoran bersama Bima dan Moana, seperti bayang yang selalu ada namun tak pernah benar-benar mendekat. Bahkan klakson dari arah kanan, yang menyelamatkan Rania dari kecelakaan, berasal dari tangannya sendiri.Leo terdiam lebih lama bukanlah karna rasa cemburu, meski itu pun ada. Ada perasaan lebih dalam yang melingkupi dirinya—penyesalan. Penyesalan karena ia pergi tanpa kata, tanpa tahu bahwa di saat itu, perpisahan itu
Rania masih terduduk di balik kemudi, tubuhnya gemetar pelan. Nafasnya memburu, belum pulih dari kejutan barusan. Kilasan kenangan dengan Maya masih melekat di pelupuk mata saat klakson nyaring dari arah kanan membuyarkan semuanya. Ia nyaris menabrak seorang pejalan kaki—dan suara klakson itulah yang menyelamatkannya.Rania menoleh. Seorang pria di atas motor besar mengenakan helm hitam pekat. Wajahnya tak terlihat, namun ada sesuatu yang anehnya terasa familiar. Helm itu—ia mengingatnya dengan jelas. Helm yang sama dipakai pria yang meminjamkan jaket saat mobilnya mogok di parkiran kampus beberapa waktu lalu.Rania tersentak. Tapi sebelum ia sempat memastikan lebih lanjut, motor itu sudah melaju perlahan, menghilang di antara deretan kendaraan lain.Dan saat ia hendak menenangkan diri, mobilnya tiba-tiba mati total.Ia mencoba menyalakan ulang. Sekali. Dua kali. Tak ada suara selain bunyi klik pendek dan lampu dasbor yang redup.&ldquo
Mobil melaju pelan di antara cahaya sore yang mulai meredup. Di balik kemudi, Rania membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Jemarinya menggenggam setir, namun pikirannya melayang jauh… kembali ke suatu sore yang tampaknya biasa, tapi justru membekas dalam ingatannya.Sebuah toko buku kecil di sudut mal—tempat favoritnya kala itu. Moana belum genap berusia dua tahun, sedang lucu-lucunya, dan selalu meminta dibacakan dongeng sebelum tidur. Hari itu, Rania menggendong Moana sambil menelusuri rak buku anak-anak, mencari cerita bergambar yang akan mengiringi malam si kecil dengan imajinasi.Saat ia tengah memandangi deretan buku bergambar kelinci dan peri, Moana terkekeh kecil. Tawa lembut itu membuat Rania menoleh dan mendapati putrinya sedang tersenyum pada seorang wanita di seberang rak.Wanita itu membalas senyum Moana dengan hangat, lalu menyentuh tangan mungilnya dan bercanda ringan, “Hai, cantik sekali kamu. Suka baca buku, ya?”
Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant
Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se