Beranda / Romansa / Cinta Dalam Tiga Luka / Bab 5 Menunggu Taksi

Share

Bab 5 Menunggu Taksi

Penulis: I. Vincera
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 08:30:53

Rania menarik napas pendek, mencoba menahan berbagai perasaan yang masih mengambang di antara mereka. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia menunduk lagi ke ponselnya. “Taksinya lima belas menit lagi.”

“Lama juga,” gumam Al. Ia berdiri perlahan, lalu berjalan mendekat, berdiri di sisi bangku tempat Rania duduk. “Kalau saya duduk di sini, Ibu keberatan?”

“Kalau saya jawab iya, kamu tetap bakal duduk?”

Al tersenyum. “Mungkin duduknya agak jauh sedikit.”

Rania menggeser tubuhnya sedikit ke kanan. “Yaudah. Duduk aja.”

Ia duduk di sampingnya, jarak satu lengan. Cukup dekat untuk terasa, tapi cukup jauh untuk tidak disebut mendekat. Hening lagi, tapi bukan hening yang kosong, hening yang memeram sesuatu.

“Kamu sering nganter mobil orang?” tanya Rania pelan.

“Nggak terlalu sering. Tapi kadang yang diantar bukan mobilnya aja.”

Rania menoleh. “Maksudnya?”

Al hanya mengangkat bahu. “Kadang, orang di balik kemudi itu lebih rusak daripada mesinnya.”

Ia tidak menatap Rania saat berkata begitu. Tapi Rania tahu, kalimat itu bukan asal lempar.

Al masih duduk di samping Rania, bahunya yang bidang hampir menyentuh lengannya. Jaket kerja yang basah di bagian pundak mulai mengering, tapi aroma logam dan kopi dari tubuhnya masih bertahan, samar namun mencolok.

Di bawah cahaya bengkel yang mulai temaram, wajah Al terlihat jelas dari samping, rahang tegas, alis gelap yang sedikit berkerut, dan tatapan yang, meski sedang kosong, tetap memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Tenang. Dalam. Sedikit berbahaya.

Rania melirik dari sudut matanya. Diam-diam.

Ia tidak ingin terlihat mencuri pandang, tapi sulit mengabaikan caranya Al duduk, satu kaki terentang, satu lagi ditekuk, tangannya saling menggenggam di depan dada. Wajahnya sedikit menunduk, rambutnya yang hitam dan sedikit acak tertata seadanya, tapi justru itu yang membuatnya semakin menarik.

Al terlihat seperti seseorang dari dalam cerita. Bukan tokoh utama yang gemerlap dan keras kepala, tapi karakter yang muncul diam-diam, duduk di sudut ruangan, dan tanpa sadar mencuri perhatian.

“Kamu selalu kelihatan kayak orang yang... tahu harus ngapain,” kata Rania tiba-tiba, suaranya pelan, seolah sedang mengamati bukan hanya sosok di sampingnya, tapi juga ketenangan yang menyelimutinya.

Al menoleh. Tatapan matanya dalam dan langsung menembus balik ke mata Rania. “Itu cuma kelihatan aja. Di dalam mah kadang muter juga.”

“Tapi tetap nggak kelihatan panik.”

Al mengangkat satu alis. “Karena saya tahu… kalau saya panik, orang lain bisa lebih kacau. Jadi ya, saya tahan. Saya belajar diem duluan.”

Rania mengangguk pelan. “Bisa tahan diem di tengah kekacauan. Pasti bukan hal gampang.”

Al tersenyum kecil. “Tapi kadang... diem juga bisa bahaya, ya.”

Tatapan mereka bertemu lagi. Kali ini lebih lama. Dan lebih... tak terelakkan.

Notifikasi di ponsel Rania menyela segalanya, taksi online nya sudah tiba.

Ia menunduk, menarik napas. “Itu… jemputannya udah sampai.”

Al berdiri pelan, lalu mengulurkan tangan tanpa banyak bicara. Rania menerima uluran itu, dan untuk sesaat, ia bisa merasakan hangat dari kulit Al sebelum lelaki itu menarik tangannya kembali.

Setelah menarik tangannya kembali dari salaman itu, Al belum langsung melepaskan pandangan dari Rania. Tapi tiba-tiba, ponselnya yang diselipkan di saku celana bergetar. Nada dering pendek yang sopan tapi cukup jelas terdengar di antara sunyi bengkel yang mulai redup.

Al mengeluarkannya dan melirik layar sebentar.

Rania juga sempat melihat. Di layar ponsel itu, terpampang nama: Nadia.

Rania tidak berkata apa-apa, hanya sekelebat pandangannya terarah ke sana, lalu kembali menunduk dengan cepat.

Al menatap layar sebentar lebih lama, lalu menekan tombol samping. Suara dering itu pun lenyap. Ia menyelipkan kembali ponsel itu ke sakunya, seolah tak ada yang perlu dibicarakan.

Rania menunggu, ingin bertanya, tapi juga enggan melewati batas.

“Kenapa nggak diangkat?” tanyanya akhirnya, suaranya tenang, tapi ada lapisan rasa ingin tahu yang tak bisa ia tutupi.

Al hanya menoleh, matanya sedikit menyipit, lalu mengangkat bahu kecil sambil mengangkat dua jari, seperti mengatakan nanti saja. Tak ada kata, hanya gerak tubuh yang penuh makna.

Lalu, ia berdiri sedikit tegak dan menawarkan, “Saya antar ke mobilnya, ya.”

Rania sempat ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh.”

Mereka berjalan berdampingan ke arah pintu bengkel yang mulai terbuka lebar. Cahaya sore menyambut mereka dari luar, menyinari siluet tubuh Al yang tinggi dan kokoh di samping Rania yang langkahnya tenang tapi berat.

Begitu keluar, angin sore membelai rambut Rania. Ia membetulkan dengan satu tangan, sementara Al menahan pintu agar tak menutup otomatis di belakang mereka.

“Sampai ketemu lagi, Bu Dosen,” ucap Al dengan nada datar yang nyaris terdengar seperti ejekan lembut.

Rania menoleh dan tersenyum kecil. “Kalau mobil saya nggak rusak lagi, mungkin nggak ketemu lagi.”

Al menyipitkan mata. “Kita lihat nanti.”

Tatapan mereka bertemu untuk yang terakhir kalinya sore itu, sebuah tatapan yang tak meminta apa-apa, tapi menyisakan banyak kemungkinan.

Rania melangkah ke arah mobil. Tapi sebelum membuka pintu, ia sempat menoleh lagi, hanya untuk memastikan Al masih berdiri di sana.

Dan Al memang masih di tempatnya, tangan di saku, menatap ke arahnya.

Tidak melambai.

Tidak memanggil.

Tapi juga... tidak benar-benar melepaskan.

Taksi mulai bergerak, pelan-pelan meninggalkan bengkel yang kini semakin jauh di belakang. Rania menatap melalui kaca jendela, matanya tertuju pada sosok Al yang masih berdiri di tempatnya, kini mengangkat ponselnya dan mulai berbicara, suaranya samar tertangkap oleh angin yang berhembus.

Rania menunduk, tidak tahu kenapa, tapi rasa ingin tahu kembali menggelisahkan. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, membiarkan kota yang mulai tampak lebih sepi mengisi pikirannya. Tapi bayangan Al, dengan ponsel yang diangkat, tetap ada di sana, menempel di benaknya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 25 Nadia Bukan Adikku

    Lampu jalan menyinari aspal yang mulai basah oleh embun malam. Al mengendarai motornya dalam kecepatan sedang, menjaga jarak namun tetap sigap, seolah menjadi bayangan yang melindungi. Di depan, sedan silver tua milik Rania melaju perlahan menuju rumahnya. Tidak ada obrolan, tidak ada sinyal apa pun di antara mereka—hanya lampu rem yang sesekali menyala, menjadi pengingat bahwa Rania masih ada di sana, masih memimpin arah.Di atas motor besarnya, Al mengernyit pelan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan itu. Motor pria misterius yang ia lihat sekilas sebelum bayangannya lenyap di kegelapan... Terlalu mirip. Terlalu familiar. Model dan warna motor itu hampir sama dengan yang ia tunggangi malam ini. Bahkan suara mesinnya pun nyaris identik.Ketika mobil Rania berhenti di depan pagar rumah, Al pun memperlambat laju motornya, memarkirkannya di tepi jalan. Rania keluar dari mobil, memutar tubuhnya ke arah Al. Untuk pertama kalinya sejak insiden tadi,

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 24 Retak Dalam Diam

    Pria itu masih mematung di balik pepohonan, diam, tak bergerak sedikit pun. Hatinya terasa sesak melihat Rania, wanita yang pernah sangat dekat dengannya, kini duduk di trotoar dengan bahu seorang pria muda yang ia kenal hanya sekilas. Begitu mudah, Rania tampak nyaman dengan kehadiran pria itu, seolah luka-luka masa lalu tak pernah ada.Helm hitam masih menutupi sebagian wajahnya, sama seperti saat ia meminjamkan jaket hitam itu di parkiran kampus. Ia juga yang berdiri diam di balik pilar, memperhatikan Rania dari jauh saat makan malam di restoran bersama Bima dan Moana, seperti bayang yang selalu ada namun tak pernah benar-benar mendekat. Bahkan klakson dari arah kanan, yang menyelamatkan Rania dari kecelakaan, berasal dari tangannya sendiri.Leo terdiam lebih lama bukanlah karna rasa cemburu, meski itu pun ada. Ada perasaan lebih dalam yang melingkupi dirinya—penyesalan. Penyesalan karena ia pergi tanpa kata, tanpa tahu bahwa di saat itu, perpisahan itu

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 23 Sekali Ini, Aku Bersandar

    Rania masih terduduk di balik kemudi, tubuhnya gemetar pelan. Nafasnya memburu, belum pulih dari kejutan barusan. Kilasan kenangan dengan Maya masih melekat di pelupuk mata saat klakson nyaring dari arah kanan membuyarkan semuanya. Ia nyaris menabrak seorang pejalan kaki—dan suara klakson itulah yang menyelamatkannya.Rania menoleh. Seorang pria di atas motor besar mengenakan helm hitam pekat. Wajahnya tak terlihat, namun ada sesuatu yang anehnya terasa familiar. Helm itu—ia mengingatnya dengan jelas. Helm yang sama dipakai pria yang meminjamkan jaket saat mobilnya mogok di parkiran kampus beberapa waktu lalu.Rania tersentak. Tapi sebelum ia sempat memastikan lebih lanjut, motor itu sudah melaju perlahan, menghilang di antara deretan kendaraan lain.Dan saat ia hendak menenangkan diri, mobilnya tiba-tiba mati total.Ia mencoba menyalakan ulang. Sekali. Dua kali. Tak ada suara selain bunyi klik pendek dan lampu dasbor yang redup.&ldquo

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 22 Bayangan Dibalik Nama

    Mobil melaju pelan di antara cahaya sore yang mulai meredup. Di balik kemudi, Rania membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Jemarinya menggenggam setir, namun pikirannya melayang jauh… kembali ke suatu sore yang tampaknya biasa, tapi justru membekas dalam ingatannya.Sebuah toko buku kecil di sudut mal—tempat favoritnya kala itu. Moana belum genap berusia dua tahun, sedang lucu-lucunya, dan selalu meminta dibacakan dongeng sebelum tidur. Hari itu, Rania menggendong Moana sambil menelusuri rak buku anak-anak, mencari cerita bergambar yang akan mengiringi malam si kecil dengan imajinasi.Saat ia tengah memandangi deretan buku bergambar kelinci dan peri, Moana terkekeh kecil. Tawa lembut itu membuat Rania menoleh dan mendapati putrinya sedang tersenyum pada seorang wanita di seberang rak.Wanita itu membalas senyum Moana dengan hangat, lalu menyentuh tangan mungilnya dan bercanda ringan, “Hai, cantik sekali kamu. Suka baca buku, ya?”

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 21 Diantara Ketegangan

    Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 20 Dalam Sunyi yang Retak

    Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status