Beranda / Romansa / Cinta Dalam Tiga Luka / Bab 3 Rasanya... Mengingatkan

Share

Bab 3 Rasanya... Mengingatkan

Penulis: I. Vincera
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-13 08:30:25

Al menunduk dalam-dalam, jarinya menyentuh kabel-kabel mesin yang basah oleh udara lembap. Rania berdiri tak jauh darinya, menatap dengan pandangan kosong, tapi telinganya menangkap setiap suara kecil yang datang dari alat-alat di tangan Al.

“Kayaknya butuh ditarik ke bengkel, Bu,” ujar Al setelah beberapa menit, suaranya tenang. “Bisa nyala, tapi nggak akan tahan lama.”

Rania hanya mengangguk. Ia tahu. Kadang, sesuatu memang perlu diseret ke tempat yang lebih tenang untuk dipulihkan.

“Kalau Ibu nggak keberatan, kita tunggu sebentar di sini, ya. Teman saya lagi siapin alat buat angkat mobilnya.”

“Boleh,” jawab Rania, suaranya pelan.

Hujan sudah tinggal gerimis. Al menutup kap mesin sambil tetap memegang payung besar di tangannya. Ia lalu melangkah ke sisi Rania dan memayunginya tanpa banyak bicara.

“Mari, Bu,” ucapnya pelan, memberi isyarat dengan mengangkat sedikit tangannya dan menunjuk ke arah mobil derek yang terparkir di seberang mobilnya.

Rania sempat ragu sejenak, lalu berjalan di sampingnya, keduanya berlindung di bawah payung yang sama. Langkah mereka pelan, seiring irama hujan yang mulai melemah.

Sesampainya di mobil, Al membuka pintu kabin, menunggu sampai Rania masuk lebih dulu, baru kemudian ia ikut masuk dan menutup pintunya rapat-rapat.

Mereka duduk berdampingan di dalam kabin yang hangat dan agak sempit. Udara di dalamnya membawa aroma logam, oli, dan... kopi.

Al membuka termos kecil yang ia ambil dari saku pintu.

“Mau kopi, Bu? Nggak istimewa, cuma kopi hitam biasa. Tapi hangat,” katanya, menyodorkan tutup termos yang kini jadi cangkir darurat.

Rania menerima dengan dua tangan, jaket hitam masih membungkus tubuhnya. Ia meniup pelan permukaan kopi sebelum menyeruput sedikit. Pahit. Tapi ada kejujuran dalam rasa pahit yang tak dipermanis.

“Makasih,” ucapnya pelan.

Al hanya mengangguk, menyesap kopinya sendiri dari tutup termos satunya.

Sesaat, tak ada yang bicara. Hanya suara rintik hujan di kaca depan, dan embun yang mulai menempel di jendela.

“Aromanya beda dari kopi kebanyakan,” kata Rania akhirnya.

“Arabika dari rumah. Saya tumbuk sendiri. Cuma buat yang saya suka.”

Kalimat itu menggantung di udara. Rania menoleh, sedikit tersenyum.

“Dan kamu suka kopi ini?”

“Lumayan. Rasanya… mengingatkan,” jawab Al, pandangannya lurus ke depan.

“Mengingatkan apa?”

Al tak langsung menjawab. Ia menatap hujan, lalu melirik Rania sekilas.

“Seseorang.”

Rania diam, menatap cangkir kopi yang mulai kehilangan uapnya. Ada jeda yang tak tergesa di antara mereka, bukan karena tak ada yang ingin dikatakan, tapi karena keduanya sedang menikmati hening yang tak canggung.

“Dia orang yang penting?” tanya Rania akhirnya, suaranya rendah tapi tak rapuh.

Al mengangkat bahu, menatap ke luar jendela. “Pernah.”

Satu kata itu terasa seperti sisa musim yang tak sempat selesai.

Rania tidak bertanya lagi. Ia tahu beberapa hal lebih baik disimpan seperti kopi dalam termos: tidak dibuka terlalu cepat agar tetap hangat lebih lama.

“Maaf kalau pertanyaanku terlalu jauh,” ujarnya.

“Enggak. Ibu nggak salah,” jawab Al cepat, lalu menoleh. “Kadang kita nggak sadar, ada orang asing yang bisa lebih nyaman untuk ditanya dibanding orang yang udah lama kenal.”

Rania menatapnya. Ada sejenak keheningan sebelum ia berkata, “Saya juga pernah merasa begitu.”

Hujan benar-benar tinggal rintik. Suara alat dari luar mulai terdengar, teman Al sedang memasang pengait ke mobil Rania.

Tapi di dalam kabin, waktu seolah berjalan lebih lambat. Hening itu berubah bentuk, bukan kekosongan, tapi ruang yang penuh kemungkinan.

“Al…” ucap Rania, ragu.

Al menoleh, menunggu.

“…Kamu selalu begini ke semua orang?”

Al tersenyum kecil. “Begini gimana?”

“Tenang. Bikin nyaman. Bikin orang pengen cerita.”

Ia tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya, suaranya terdengar seperti seseorang yang masih muda, belum terlalu jauh dari tawa masa kecil.

“Nggak semua orang. Cuma… yang rasanya perlu.”

Al memutar cangkir termos di tangannya, seolah berpikir. Lalu ia mengalihkan pandangan ke arah Rania dan bertanya, “Ngomong-ngomong, Ibu kerja di kampus ini, ya?”

Rania menoleh, sedikit terkejut. “Iya. Kok tahu?”

“Dari stiker parkirnya,” jawab Al sambil menunjuk ke gantungan kaca spion. “FISIP, ya?”

Rania mengangguk pelan. “Ngajar.”

“Dosen?” Al mengangkat alis sedikit, seperti baru menebak dengan benar.

“Kalau saya bilang bukan, kamu kecewa?”

Al tertawa pelan. “Nggak. Tapi masuk akal. Tadi cara Ibu jawab pertanyaan saya… teratur banget. Kayak lagi nyusun argumen.”

Rania tersenyum. “Saya ngajar sastra. Jadi, ya, harusnya tahu caranya bicara.”

Al mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, pandangannya kembali ke kaca depan yang mulai buram karena embun.

“Kayaknya enak, ya, kerja di tempat yang tenang, dikelilingi orang-orang yang cinta kata-kata,” gumamnya.

“Kadang tenang. Kadang terlalu sunyi,” balas Rania pelan.

Al menoleh sebentar, seperti ingin bertanya lebih lanjut, tapi suara ketukan kecil di jendela membuyarkan percakapan mereka.

Teman Al, seorang pria berjaket hujan dan topi, berdiri di luar sambil memberi isyarat dengan ibu jari ke atas. Mobil sudah siap ditarik.

Al membalas anggukan, lalu membuka pintu dan turun. Ia berbicara singkat dengan temannya.

“Teman saya yang nyetir mobil Ibu, ya,” kata Al sambil kembali melongok ke dalam kabin.

Rania mengangguk, lalu membuka pintu dan ikut turun.

Mereka berdiri sejenak di antara rintik gerimis yang tersisa. Rania menatap mobilnya yang perlahan mulai siap diangkut, sementara temannya Al masuk ke kursi kemudi mobil sedan itu dengan cekatan.

“Bengkel kita nggak jauh. Cuma sekitar sepuluh menit,” ujar Al, kali ini dengan nada praktis.

Rania menoleh padanya, senyumnya tipis tapi tulus. “Terima kasih, ya.”

“Masih panjang perjalanannya, Bu,” jawab Al. “Tapi sama-sama.”

Sepuluh menit ke bengkel, pikir Rania. Tapi entah kenapa, yang ia rasakan justru awal dari perjalanan yang lebih jauh.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 25 Nadia Bukan Adikku

    Lampu jalan menyinari aspal yang mulai basah oleh embun malam. Al mengendarai motornya dalam kecepatan sedang, menjaga jarak namun tetap sigap, seolah menjadi bayangan yang melindungi. Di depan, sedan silver tua milik Rania melaju perlahan menuju rumahnya. Tidak ada obrolan, tidak ada sinyal apa pun di antara mereka—hanya lampu rem yang sesekali menyala, menjadi pengingat bahwa Rania masih ada di sana, masih memimpin arah.Di atas motor besarnya, Al mengernyit pelan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan itu. Motor pria misterius yang ia lihat sekilas sebelum bayangannya lenyap di kegelapan... Terlalu mirip. Terlalu familiar. Model dan warna motor itu hampir sama dengan yang ia tunggangi malam ini. Bahkan suara mesinnya pun nyaris identik.Ketika mobil Rania berhenti di depan pagar rumah, Al pun memperlambat laju motornya, memarkirkannya di tepi jalan. Rania keluar dari mobil, memutar tubuhnya ke arah Al. Untuk pertama kalinya sejak insiden tadi,

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 24 Retak Dalam Diam

    Pria itu masih mematung di balik pepohonan, diam, tak bergerak sedikit pun. Hatinya terasa sesak melihat Rania, wanita yang pernah sangat dekat dengannya, kini duduk di trotoar dengan bahu seorang pria muda yang ia kenal hanya sekilas. Begitu mudah, Rania tampak nyaman dengan kehadiran pria itu, seolah luka-luka masa lalu tak pernah ada.Helm hitam masih menutupi sebagian wajahnya, sama seperti saat ia meminjamkan jaket hitam itu di parkiran kampus. Ia juga yang berdiri diam di balik pilar, memperhatikan Rania dari jauh saat makan malam di restoran bersama Bima dan Moana, seperti bayang yang selalu ada namun tak pernah benar-benar mendekat. Bahkan klakson dari arah kanan, yang menyelamatkan Rania dari kecelakaan, berasal dari tangannya sendiri.Leo terdiam lebih lama bukanlah karna rasa cemburu, meski itu pun ada. Ada perasaan lebih dalam yang melingkupi dirinya—penyesalan. Penyesalan karena ia pergi tanpa kata, tanpa tahu bahwa di saat itu, perpisahan itu

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 23 Sekali Ini, Aku Bersandar

    Rania masih terduduk di balik kemudi, tubuhnya gemetar pelan. Nafasnya memburu, belum pulih dari kejutan barusan. Kilasan kenangan dengan Maya masih melekat di pelupuk mata saat klakson nyaring dari arah kanan membuyarkan semuanya. Ia nyaris menabrak seorang pejalan kaki—dan suara klakson itulah yang menyelamatkannya.Rania menoleh. Seorang pria di atas motor besar mengenakan helm hitam pekat. Wajahnya tak terlihat, namun ada sesuatu yang anehnya terasa familiar. Helm itu—ia mengingatnya dengan jelas. Helm yang sama dipakai pria yang meminjamkan jaket saat mobilnya mogok di parkiran kampus beberapa waktu lalu.Rania tersentak. Tapi sebelum ia sempat memastikan lebih lanjut, motor itu sudah melaju perlahan, menghilang di antara deretan kendaraan lain.Dan saat ia hendak menenangkan diri, mobilnya tiba-tiba mati total.Ia mencoba menyalakan ulang. Sekali. Dua kali. Tak ada suara selain bunyi klik pendek dan lampu dasbor yang redup.&ldquo

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 22 Bayangan Dibalik Nama

    Mobil melaju pelan di antara cahaya sore yang mulai meredup. Di balik kemudi, Rania membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Jemarinya menggenggam setir, namun pikirannya melayang jauh… kembali ke suatu sore yang tampaknya biasa, tapi justru membekas dalam ingatannya.Sebuah toko buku kecil di sudut mal—tempat favoritnya kala itu. Moana belum genap berusia dua tahun, sedang lucu-lucunya, dan selalu meminta dibacakan dongeng sebelum tidur. Hari itu, Rania menggendong Moana sambil menelusuri rak buku anak-anak, mencari cerita bergambar yang akan mengiringi malam si kecil dengan imajinasi.Saat ia tengah memandangi deretan buku bergambar kelinci dan peri, Moana terkekeh kecil. Tawa lembut itu membuat Rania menoleh dan mendapati putrinya sedang tersenyum pada seorang wanita di seberang rak.Wanita itu membalas senyum Moana dengan hangat, lalu menyentuh tangan mungilnya dan bercanda ringan, “Hai, cantik sekali kamu. Suka baca buku, ya?”

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 21 Diantara Ketegangan

    Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 20 Dalam Sunyi yang Retak

    Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status