Home / Romansa / Cinta Dalam Tiga Luka / Bab 3 Rasanya... Mengingatkan

Share

Bab 3 Rasanya... Mengingatkan

Author: I. Vincera
last update Last Updated: 2025-04-13 08:30:25

Al menunduk dalam-dalam, jarinya menyentuh kabel-kabel mesin yang basah oleh udara lembap. Rania berdiri tak jauh darinya, menatap dengan pandangan kosong, tapi telinganya menangkap setiap suara kecil yang datang dari alat-alat di tangan Al.

“Kayaknya butuh ditarik ke bengkel, Bu,” ujar Al setelah beberapa menit, suaranya tenang. “Bisa nyala, tapi nggak akan tahan lama.”

Rania hanya mengangguk. Ia tahu. Kadang, sesuatu memang perlu diseret ke tempat yang lebih tenang untuk dipulihkan.

“Kalau Ibu nggak keberatan, kita tunggu sebentar di sini, ya. Teman saya lagi siapin alat buat angkat mobilnya.”

“Boleh,” jawab Rania, suaranya pelan.

Hujan sudah tinggal gerimis. Al menutup kap mesin sambil tetap memegang payung besar di tangannya. Ia lalu melangkah ke sisi Rania dan memayunginya tanpa banyak bicara.

“Mari, Bu,” ucapnya pelan, memberi isyarat dengan mengangkat sedikit tangannya dan menunjuk ke arah mobil derek yang terparkir di seberang mobilnya.

Rania sempat ragu sejenak, lalu berjalan di sampingnya, keduanya berlindung di bawah payung yang sama. Langkah mereka pelan, seiring irama hujan yang mulai melemah.

Sesampainya di mobil, Al membuka pintu kabin, menunggu sampai Rania masuk lebih dulu, baru kemudian ia ikut masuk dan menutup pintunya rapat-rapat.

Mereka duduk berdampingan di dalam kabin yang hangat dan agak sempit. Udara di dalamnya membawa aroma logam, oli, dan... kopi.

Al membuka termos kecil yang ia ambil dari saku pintu.

“Mau kopi, Bu? Nggak istimewa, cuma kopi hitam biasa. Tapi hangat,” katanya, menyodorkan tutup termos yang kini jadi cangkir darurat.

Rania menerima dengan dua tangan, jaket hitam masih membungkus tubuhnya. Ia meniup pelan permukaan kopi sebelum menyeruput sedikit. Pahit. Tapi ada kejujuran dalam rasa pahit yang tak dipermanis.

“Makasih,” ucapnya pelan.

Al hanya mengangguk, menyesap kopinya sendiri dari tutup termos satunya.

Sesaat, tak ada yang bicara. Hanya suara rintik hujan di kaca depan, dan embun yang mulai menempel di jendela.

“Aromanya beda dari kopi kebanyakan,” kata Rania akhirnya.

“Arabika dari rumah. Saya tumbuk sendiri. Cuma buat yang saya suka.”

Kalimat itu menggantung di udara. Rania menoleh, sedikit tersenyum.

“Dan kamu suka kopi ini?”

“Lumayan. Rasanya… mengingatkan,” jawab Al, pandangannya lurus ke depan.

“Mengingatkan apa?”

Al tak langsung menjawab. Ia menatap hujan, lalu melirik Rania sekilas.

“Seseorang.”

Rania diam, menatap cangkir kopi yang mulai kehilangan uapnya. Ada jeda yang tak tergesa di antara mereka, bukan karena tak ada yang ingin dikatakan, tapi karena keduanya sedang menikmati hening yang tak canggung.

“Dia orang yang penting?” tanya Rania akhirnya, suaranya rendah tapi tak rapuh.

Al mengangkat bahu, menatap ke luar jendela. “Pernah.”

Satu kata itu terasa seperti sisa musim yang tak sempat selesai.

Rania tidak bertanya lagi. Ia tahu beberapa hal lebih baik disimpan seperti kopi dalam termos: tidak dibuka terlalu cepat agar tetap hangat lebih lama.

“Maaf kalau pertanyaanku terlalu jauh,” ujarnya.

“Enggak. Ibu nggak salah,” jawab Al cepat, lalu menoleh. “Kadang kita nggak sadar, ada orang asing yang bisa lebih nyaman untuk ditanya dibanding orang yang udah lama kenal.”

Rania menatapnya. Ada sejenak keheningan sebelum ia berkata, “Saya juga pernah merasa begitu.”

Hujan benar-benar tinggal rintik. Suara alat dari luar mulai terdengar, teman Al sedang memasang pengait ke mobil Rania.

Tapi di dalam kabin, waktu seolah berjalan lebih lambat. Hening itu berubah bentuk, bukan kekosongan, tapi ruang yang penuh kemungkinan.

“Al…” ucap Rania, ragu.

Al menoleh, menunggu.

“…Kamu selalu begini ke semua orang?”

Al tersenyum kecil. “Begini gimana?”

“Tenang. Bikin nyaman. Bikin orang pengen cerita.”

Ia tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya, suaranya terdengar seperti seseorang yang masih muda, belum terlalu jauh dari tawa masa kecil.

“Nggak semua orang. Cuma… yang rasanya perlu.”

Al memutar cangkir termos di tangannya, seolah berpikir. Lalu ia mengalihkan pandangan ke arah Rania dan bertanya, “Ngomong-ngomong, Ibu kerja di kampus ini, ya?”

Rania menoleh, sedikit terkejut. “Iya. Kok tahu?”

“Dari stiker parkirnya,” jawab Al sambil menunjuk ke gantungan kaca spion. “FISIP, ya?”

Rania mengangguk pelan. “Ngajar.”

“Dosen?” Al mengangkat alis sedikit, seperti baru menebak dengan benar.

“Kalau saya bilang bukan, kamu kecewa?”

Al tertawa pelan. “Nggak. Tapi masuk akal. Tadi cara Ibu jawab pertanyaan saya… teratur banget. Kayak lagi nyusun argumen.”

Rania tersenyum. “Saya ngajar sastra. Jadi, ya, harusnya tahu caranya bicara.”

Al mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, pandangannya kembali ke kaca depan yang mulai buram karena embun.

“Kayaknya enak, ya, kerja di tempat yang tenang, dikelilingi orang-orang yang cinta kata-kata,” gumamnya.

“Kadang tenang. Kadang terlalu sunyi,” balas Rania pelan.

Al menoleh sebentar, seperti ingin bertanya lebih lanjut, tapi suara ketukan kecil di jendela membuyarkan percakapan mereka.

Teman Al, seorang pria berjaket hujan dan topi, berdiri di luar sambil memberi isyarat dengan ibu jari ke atas. Mobil sudah siap ditarik.

Al membalas anggukan, lalu membuka pintu dan turun. Ia berbicara singkat dengan temannya.

“Teman saya yang nyetir mobil Ibu, ya,” kata Al sambil kembali melongok ke dalam kabin.

Rania mengangguk, lalu membuka pintu dan ikut turun.

Mereka berdiri sejenak di antara rintik gerimis yang tersisa. Rania menatap mobilnya yang perlahan mulai siap diangkut, sementara temannya Al masuk ke kursi kemudi mobil sedan itu dengan cekatan.

“Bengkel kita nggak jauh. Cuma sekitar sepuluh menit,” ujar Al, kali ini dengan nada praktis.

Rania menoleh padanya, senyumnya tipis tapi tulus. “Terima kasih, ya.”

“Masih panjang perjalanannya, Bu,” jawab Al. “Tapi sama-sama.”

Sepuluh menit ke bengkel, pikir Rania. Tapi entah kenapa, yang ia rasakan justru awal dari perjalanan yang lebih jauh.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 4 Diam yang Membuat Penasaran

    Langit masih mendung ketika mereka sampai di bengkel. Bangunannya besar, berdinding abu terang, dengan pintu garasi yang menganga lebar. Cahaya lampu-lampu neon menggantung dari langit-langit tinggi, menerangi permukaan lantai beton yang bersih dan licin, hanya berjejak tipis oli dan debu ban. Deretan alat tergantung rapi di dinding, seolah setiap kunci pas dan obeng punya tempatnya sendiri. Tak ada suara musik keras atau teriakan montir seperti bengkel kebanyakan. Di sini, semuanya terasa teratur. Terlalu teratur, mungkin, untuk tempat yang seharusnya kacau. Mobil Rania didorong masuk perlahan, dan segera Al serta temannya mulai bekerja. Si teman, lebih tua, mengenakan jumpsuit biru pudar dan sarung tangan mekanik, memeriksa bagian bawah mobil dengan senter kecil di tangan. Al membuka kap mesin dan mulai membongkar pelan-pelan. Gerakannya cepat dan terarah, seolah tubuhnya hafal letak setiap baut dan kabel. Rania duduk di salah satu bangku panjang di pinggir ruangan, tidak jauh t

    Last Updated : 2025-04-14
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 5 Menunggu Taksi

    Rania menarik napas pendek, mencoba menahan berbagai perasaan yang masih mengambang di antara mereka. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia menunduk lagi ke ponselnya. “Taksinya lima belas menit lagi.” “Lama juga,” gumam Al. Ia berdiri perlahan, lalu berjalan mendekat, berdiri di sisi bangku tempat Rania duduk. “Kalau saya duduk di sini, Ibu keberatan?” “Kalau saya jawab iya, kamu tetap bakal duduk?” Al tersenyum. “Mungkin duduknya agak jauh sedikit.” Rania menggeser tubuhnya sedikit ke kanan. “Yaudah. Duduk aja.” Ia duduk di sampingnya, jarak satu lengan. Cukup dekat untuk terasa, tapi cukup jauh untuk tidak disebut mendekat. Hening lagi, tapi bukan hening yang kosong, hening yang memeram sesuatu. “Kamu sering nganter mobil orang?” tanya Rania pelan. “Nggak terlalu sering. Tapi kadang yang diantar bukan mobilnya aja.” Rania menoleh. “Maksudnya?” Al hanya mengangkat bahu. “Kadang, orang di balik kemudi itu lebih rusak daripada mesinnya.” Ia tidak menatap Rania

    Last Updated : 2025-04-15
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 6 Tadi Ayah Ya

    Setelah perjalanan taksi yang terasa lebih panjang, Rania akhirnya tiba di depan rumah. Begitu mobil berhenti, Moana langsung berlari keluar, wajah cerahnya menyambut kedatangan ibunya. “Bunda!” seru Moana, langsung memeluknya. “Kenapa Bunda terlambat? Ada apa?” Rania tersenyum sambil mengangkat tasnya. “Maaf, sayang. Tadi ada sedikit hal yang membuat Bunda baru pulang sekarang. Mobil Bunda rusak, jadi harus nungguin di bengkel.” Moana mengangguk, meski ada sedikit kebingungannya. “Ini Jaket siapa, Bunda?” tanyanya, menatap jaket hitam yang dikenakan Rania. Rania menoleh ke arah jaket itu. Ia meraba ujung jaketnya, dan tiba-tiba ingatan tentang sosok yang memberikannya kembali datang. Aroma kayu dan teh hitam itu masih terasa samar di ingatannya. Ia menarik napas pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai menggelora. “Ah, ini jaket dari teman Bunda,” jawabnya ringan, meski hatinya sedikit ragu. “Bunda nggak kedinginan kok.” Moana hanya menatap jaket itu sebentar, l

    Last Updated : 2025-04-16
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 7 Jaket Itu

    Pintu terbuka perlahan. Dan di baliknya, berdiri pria yang dulu pernah menjadi segalanya—dan entah bagaimana, tetap punya kuasa atas detak jantungnya. Bima Alvaro. Setelan kasualnya tetap terlihat berkelas—kemeja lengan panjang berwarna arang yang digulung rapi, celana bahan gelap, dan jam tangan logam yang memantulkan cahaya lampu teras. Rambut hitamnya tersisir sempurna, seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Bahkan caranya berdiri, tegak dengan dagu sedikit terangkat, masih memancarkan wibawa yang sulit dilawan. Dan matanya... mata hitam itu menatap Rania dengan intensitas yang membuatnya ingin mundur, tapi tak bisa. “Rania,” sapanya, tenang dan dalam. Senyumnya masih datar, nyaris tak tampak, tapi justru di situlah letak daya rusaknya. Senyum yang tak menjanjikan apa-apa, tapi selalu meninggalkan sesuatu. Rania menelan ludah pelan. Selama enam tahun terakhir, ia pikir ia sudah kebal. Tapi kenyataannya, berdiri di hadapan pria ini masih membuatnya merasa rapuh. Bima

    Last Updated : 2025-04-17
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 8 Bukan Orang Asing

    Rania menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa semakin cepat. Bima masih memandangnya dengan tatapan tajam, tak ada tanda-tanda ia akan mengalihkan perhatian. Suasana di ruang tamu terasa lebih berat, seolah semua kata yang belum terucapkan mengendap begitu dalam. Akhirnya, Rania menundukkan kepala dan berdiri perlahan, melangkah menuju jaket yang tergantung di kursi. Ia meraba permukaan jaket itu dengan jari-jarinya, seolah mencari keberanian di balik bahan kain yang lembut. Dengan suara pelan, ia mulai bicara, mengusir keheningan yang menekan. “Itu jaket dari seseorang yang... aku gak tau siapa,” katanya, tanpa menatap Bima. “Mobilku mogok hari ini, dan... dia membantu. Memberikan jaketnya supaya aku nggak kedinginan. Cuma itu.” Rania menunggu sejenak, merasakan udara di sekelilingnya semakin tegang. Tapi Bima tak segera berbicara, hanya memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apa kamu merasa perlu jelasin itu padaku?” Bima akhirnya

    Last Updated : 2025-04-18
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 9 Nada Dering Kedua

    Melihat nomor yang tak dikenal itu, Rania mengernyit. Ia menggesek layar dan menjawab dengan suara yang terdengar agak tajam, entah karena jengkel atau memang refleks dari sisa emosinya. “Halo?” suaranya terdengar sedikit tinggi. Hening sebentar dari seberang, lalu suara berat pria menjawab, pelan namun terdengar jelas. “Maaf… Bu Rania, Saya… Al, mekanik yang tadi bantuin mobil ibu mogok.” Rania terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, tapi jantungnya seperti baru saja kehilangan ritme. Bima melirik ke arahnya, matanya sempit, mencoba membaca ekspresi wajah mantan istrinya yang berubah seketika. “Saya cuma mau pastikan mobil Ibu udah aman, besok sudah bisa diambil.” Suara itu. Lembut tapi tenang. Bukan suara sembarang orang. Rania menelan ludah, perlahan menjawab. “Iya…, terima kasih Al.” Sekilas, pandangan Bima menajam. Rania sadar betul ia sedang diperhatikan. Rania menggeser posisi duduknya, mencoba terlihat biasa saja meski hatinya tak tenang. Ia menunduk, memb

    Last Updated : 2025-04-19
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 10 Suara yang Menelanjangi

    Setir mobil digenggam erat, meski kendaraan itu melaju mulus meninggalkan rumah Rania. Malam terasa lengang, udara kering dan dingin merayap pelan menembus kaca mobil yang tertutup rapat. Bima menatap jalan lurus di depannya, tapi pikirannya tak sejalan. Masih tertinggal di ruang tamu kecil itu, di sorot mata Rania yang berubah ketika menerima telepon, di nada suaranya yang nyaris lembut saat menyebut nama pria lain: Al. Ia menarik napas dalam-dalam, melepaskan satu kancing atas di bagian dadanya, lalu mengusap wajah dengan kasar. Mobil berhenti sejenak di perempatan, lampu merah menyala. Bima menyandarkan kepala ke sandaran kursi, membiarkan kelopak matanya menutup. Tapi bayangan Rania malah muncul lebih jelas. Ia kembali ke masa lalu, sebuah sore yang lembut, bertahun-tahun lalu. Sebuah ruangan kecil di lantai dua kafe buku yang hangat, dengan jendela besar menghadap langit senja. Peluncuran buku puisi. Rania berdiri di depan mikrofon, membacakan puisinya dengan suara tenan

    Last Updated : 2025-04-20
  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 11 Rumah Tanpa Suara

    Setelah tiba di rumah, Bima duduk sejenak di dalam mobil, membiarkan sunyi malam menemaninya. Tangannya masih menggenggam setir, padahal mesin sudah lama ia matikan. Rumah megah di hadapannya berdiri tenang—terlalu tenang. Ia menatapnya seperti menatap dunia yang tak lagi ia kenali. Perlahan, ia keluar dari mobil. Maya berdiri di ambang pintu, menyambutnya dengan senyum tipis dan suara pelan. “Selamat malam, sayang.” “Selamat malam,” jawab Bima pendek, suaranya nyaris tanpa nada. Mereka melangkah masuk berdampingan, tapi hati terasa seperti dua benua yang berjauhan. Aroma lavender menyambut dari dalam rumah, menguar lembut seperti kehangatan yang tak lagi bisa mengisi ruang dalam dirinya. Maya mencoba mencairkan suasana, “Kamu belum makan malam? Aku masak makanan favoritmu.” Bima melepas jas dan menggantungkannya. “Nanti saja. Aku belum lapar.” Ia menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga. Televisi menyala tanpa suara, menampilkan potongan iklan dua orang berdiri dalam hujan.

    Last Updated : 2025-04-21

Latest chapter

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 21 Diantara Ketegangan

    Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 20 Dalam Sunyi yang Retak

    Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 19 Resah yang Tak Bernama

    Malam sudah merambat jauh ketika Rania membuka pintu rumahnya. Lampu-lampu redup menyambut keheningan yang menggema di seluruh sudut ruang tamu. Moana yang sejak dalam mobil sudah mengantuk, kini tertidur di pelukannya. Rania membaringkan anak itu dengan hati-hati di tempat tidur, menyelimuti tubuh kecil itu dengan penuh kelembutan.Setelah mencium kening Moana, ia mematikan lampu kamar dan menutup pintunya perlahan. Langkahnya berbelok menuju kamar sendiri, melepas sepatu pelan-pelan, lalu membuka mantel dan menyampirkannya ke sandaran kursi dekat jendela. Malam begitu diam, hanya suara detak jam dinding dan desah angin dari sela jendela yang menjadi teman.Ia duduk di ujung ranjang, ponselnya masih tergenggam erat. Layar ponsel menyala sejenak—menampilkan percakapan terakhir dengan Al. Ia membaca ulang kata-kata itu, seolah mencari makna tersembunyi di balik setiap huruf."Aku cuma ingin kamu tahu, kamu layak mendapatkan semua hal baik. Dan aku senang bisa jadi bagian kecil dari har

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 18 Satu Nama di Layar

    Malam itu, setelah mereka selesai makan malam, suasana di restoran sudah mulai meredup bersama dengan percakapan hangat yang perlahan mereda. Rania, Moana, dan Bima pun bersiap-siap meninggalkan meja mereka. Langkah mereka ringan meski ada keheningan yang tersimpan.Di luar restoran, udara malam terasa sejuk. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut di bodi mobil Bima yang terparkir di tepi jalan. Rania menggandeng Moana pelan menuju pintu penumpang, sementara Bima membukakan pintu untuk mereka.Dari kejauhan, suara motor terdengar mendekat, pelan dan stabil. Al baru saja mengantar Nadia pulang, dan kini sedang melintasi jalan itu, tanpa niat berhenti. Tapi ketika matanya tanpa sengaja menoleh ke sisi kiri jalan, langkah motornya melambat.Di sana—Rania.Ia berdiri di dekat mobil bersama Moana dan Bima. Senyumnya samar, rambutnya sedikit tertiup angin malam, dan ada ketenangan di wajahnya yang membuat Al kembali terdiam dalam perasaan yang rumit. Satu tangan Rania membetulkan syal t

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 17 Dibalik Pilar Marmer

    Rania ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Silakan.” Bima melangkah melewati pintu, pandangannya sempat menyapu ruangan, lalu kembali menatap Rania. “Aku cuma mau pastikan kalian baik-baik aja,” ucapnya. “Dan… soal makan malam tadi, aku serius.” Rania mengangkat alis. “Aku belum memberikan jawaban Mas.” Bima menghela napas. “Aku cuma pengin kita ngobrol. Bertiga. Seperti dulu, walau cuma sebentar.” Moana menatap keduanya bergantian, lalu berkata pelan, “Bunda… please?” Rania memejamkan mata sesaat, lalu menatap Bima dalam-dalam. Ada luka yang belum sembuh, tapi ada juga bagian dari dirinya yang tahu bahwa Moana butuh ini. Ia mengangguk pelan. “Oke. Tapi kita nggak lama." Senyum kecil terbit di wajah Bima. “Setuju.” --- Setelah perjalanan singkat, mobil mewah Bima melambat dan berhenti tepat di depan sebuah restoran klasik bergaya Eropa di pusat kota. Lampu temaram dari dalam restoran memantul lembut di kaca mobil, menambah kesan hangat dan eksklusif tempat itu. Seorang pe

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 16 Hari ini Aku Capek

    Langit mulai meredup, jingga perlahan berganti kelabu. Lampu-lampu rumah tetangga satu per satu menyala, membentuk gugusan cahaya kecil di sepanjang jalan. Di dalam rumah, keheningan menggantung setelah kejadian di sofa tadi. Televisi masih menyala, tapi tak satu pun dari mereka memperhatikannya. Al berdiri mematung di dekat jendela, menyandarkan satu tangan di kusen, menatap keluar. Udara sore mulai berganti dingin, tapi yang lebih menusuk adalah kegelisahan di dalam dadanya. Tiba-tiba, langkah pelan terdengar dari belakang. Tanpa suara, Nadia menghampiri dan memeluknya dari belakang—erat, hangat, seolah ingin mengikat Al kembali dalam kebersamaan mereka. Dagu perempuan itu menyentuh punggung Al, sementara tangannya melingkar di pinggang pria itu. “Aku kangen kamu, Al… Bahkan pas kita lagi bareng pun, aku masih suka kangen,” bisiknya pelan. Al menutup mata sejenak. Pelukan itu seharusnya membuatnya merasa damai. Tapi justru dadanya semakin sesak. Dengan lembut, Al mengangka

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 15 Bukan Suara yang Kucari

    Langit sore menggantung rendah, memancarkan cahaya keemasan yang lembut, memantul di permukaan motor Al yang baru saja berhenti di halaman kecil rumahnya. Al membuka gerbang besi rumahnya dengan satu tangan, helm masih menempel di kepala, sementara anggrek putih tergenggam di tangan lainnya. Rumahnya sederhana, berdinding batu bata yang dicat putih kusam, lebih kecil dan jauh dari kesan mewah seperti rumah Bima. Tapi rumah ini adalah miliknya, dan biasanya terasa cukup. Begitu ia mendekat, aroma rempah dan manis madu menyeruak dari celah jendela dapur yang sedikit terbuka. Ia tahu aroma itu. Nadia. Lampu ruang tengah sudah menyala, membentuk siluet bayangan di tirai tipis. Tak perlu mengetuk, tak perlu memanggil, Nadia punya kunci cadangan, dan ia tahu pasti bahwa perempuan itu telah lebih dulu masuk dan menghidupkan rumah itu dengan caranya sendiri. Dan entah kenapa, langkah Al terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Al membuka pintu rumahnya pelan. Suara engsel yang ber

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 14 Mawar dan Anggrek

    Al berdiri di bawah pohon besar, matanya tetap tertuju pada mobil yang perlahan menjauh. Meski jarak antara mereka semakin jauh, sosok Rania seolah masih tertinggal dalam pandangannya. Tatapannya dalam, penuh perasaan yang sulit ia ungkapkan. Rasa yang tiba-tiba muncul di dadanya itu membuatnya terdiam. Al menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir perasaan aneh yang mulai menggelora. Tiba-tiba, wajah Nadia, tunangannya, melintas dalam benaknya. Dia sudah memiliki Nadia, dan dia tahu apa yang dia rasakan terhadapnya. Tapi kenapa, setelah bertemu Rania, semuanya seolah kabur, bercampur menjadi satu perasaan yang sulit ia jelaskan? "Ini tidak benar," gumamnya pelan. "Aku sudah ada Nadia." Namun, meski ia mengingat tunangannya, ada sesuatu yang tetap mengikat dirinya pada Rania—sesuatu yang tak bisa ia tangkap, tak bisa ia tafsirkan dengan jelas. Al menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tetap terasa bergejolak. Langkah kaki Al terasa berat saat ia berb

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 13 Sentuhan Sesaat

    Rania duduk santai di sudut pantry bengkel yang cukup nyaman. Aroma kopi instan dan suara samar mesin dari area kerja masih terdengar sayup. Di depannya, Moana sudah sibuk menyusun puzzle di meja kecil yang tersedia di ruang tunggu anak, sesekali menengok ke arah bundanya dan tersenyum. Rania mengambil tegukan kecil dari cangkir kopi kertas di tangannya, matanya melirik ke arah lorong menuju area kerja. Dan saat itulah, seseorang muncul dari balik pintu kaca—langkahnya tegap, dengan kemeja kerja abu terang yang rapi dan rambut yang basah. Al. Tidak lagi dengan baju berminyak atau tangan penuh oli seperti kemarin. Hari ini, penampilannya lebih bersih, lebih segar… dan entah kenapa, justru itu yang membuat dada Rania terasa sedikit berdebar. Ia langsung menghampiri. “Pagi, Bu Rania,” sapa Al dengan senyum yang terkesan santai, tapi matanya menatap hangat. Rania menoleh dan tersenyum ramah. “Pagi juga, Al,” ucapnya sopan, lalu menoleh sebentar ke arah Moana yang masih sibuk m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status