Azura membawa pandangannya kepada pria di sampingnya. Ia terdiam cukup lama, untuk mencermat kata-kata yang keluar dari mulut pria dingin tersebut.
Namun, belum sempat Azura menjawab. Mobil mereka telah sampai, membuat kesadaran Azura kembali dan segera berlari menuju mobilnya yang berhenti lebih dahulu.
Alvino tersenyum tipis, melihat Azura. Ia melihat dengan jelas, pipi wanita itu yang merah merona karena salah tingkah.
Alvino berjalan mendekat kea rah mobil Azura, mengetuk kaca jendela samping Azura. “Buka,” ucapnya.
Azura menurunkan setengah kaca mobilnya, dengan kepala yang tertunduk. Alvino kembali tersenyum, setelah melihat lebih jelas lagi.
“Aku tunggu jawabanmu.” Setelah mengatakan itu, Alvino berlalu menuju belakang mobil Azura. Yang mana, di sana telah terparkir mobil miliknya.
Azura langsung menggeleng, dan segera menyalakan mesin mobilnya. Sebelum akhirnya, ia membawa pergi mobil miliknya.
Dalam perjalanan pulang, Azura terus berceloteh tidak jelas. “Apa itu? Apa maksud perkataannya?” tanya Azura.
“Apa dia mengajakku berpacaran?”
Untuk apa ia bertanya pada dirinya sendiri, padahal sudah jelas Alvino memang memintanya menjadi kekasih pria dingin itu. Azura terus saja menggelengkan kepala, menghalau rasa aneh yang ia rasakan.
Namun, ia merasakan sesuatu yang turun dari bahunya. Ketika ia membawa pandangannya kepada bahunya, matanya membulat. Ia lupa memberikan jas milik Alvino, sudah dapat dipastikan besok ia harus mengembalikannya.
*
Pada pagi hari yang cerah. Azura memasuki perusahaannya dengan menenteng sebuah totebag di tangannya.
“Selamat pagi,” sapa para karyawan yang berpapasan dengannya.
“Pagi,” balas Azura.
Ia terus berjalan, sampai menuju lift. Ia menaiki lift khusus petinggi perusahaan untuk menuju ruangan kerjanya.
Setibanya di ruangan kerjanya. Azura meletakkan totebag yang ia bawa di atas meja sofa. Sedangkan, langkahnya terus berjalan menuju meja kerjanya.
“Tolong panggilan Arsen kemari.” Azura berucap melalui sebuah telepon kepada staff resepsionis.
Setelah itu, ia membawa tubuhnya duduk pada kursi yang dulunya di duduki mendiang suaminya. Ia mulai bergelut dengan sebuah layar computer di depannya, menganalisa data pemasukan serta saham perusahaannya.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan Azura diketuk dari luar.
“Masuk,” perintahnya.
Seorang pria pun masuk, dengan membawa sebuah berkas di tangannya. Ia membawa langkahnya menuju depan meja Azura, dan meletakkan berkas tersebut di atas meja.
“Ini proposal yang kami kerjakan,” ucap pria bernama Arsen.
“Ini proposal, yang akan kita ajukan ke perusahaan Anrdiyansya?” tanya Azura.
“Benar, bu,” jawab Arsen.
Azura membuka berkas tersebut, dan membaca poin-poin penting. “Baiklah, beritahu Malika kita akan berangkat sekarang,” ucapnya.
“Baik, bu.” Pria itu menundukkan kepala homat, lalu pergi keluar dari ruangan Azura.
Azura pun kembali bangkit dari duduknya, berjalan menuju meja sofa yang terdapat totebag di sana. Ia menyambarnya, dan membawanya keluar.
Setibanya di lobi perusahaan, Malika membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Azura. Azura pun langsung masuk, dan duduk di sana. Sedangkan Malika, menduduki kursi samping kemudi.
“Apa yang Anda bawa?” tanya Malika tanpa menoleh ke belakang.
“Bukan urusanmu,” jawab Azura ketus.
Malika hanya tersenyum kecil, dan kemudian membuka sebuah ipad yang selalui ia bawa. Ia pun memberikannya kepada Azura, yang diterima dengan bingung oleh Azura.
“Anda sepertinya belum menerima undangan itu,” jelas Malika.
Azura pun membawa pandangannya pada layar ipad tersebut. Di sana terlihat sebuah undangan melalui surel untuk dirinya.
“Pasangan?” Mata Azura membulat, ketika melihat isi dari undangan tersebut yang harus membawa pasangan.
“Apa penyelenggara ini mengejekku?” tanyanya tak terima.
“Beliau Kakek pak Alvino,” beritahu Malika.
Azura kembali membulatkan mata. Setelah mengetahui, jika penyelenggara pesta tersebut adalah Kakek Alvino.
Beberapa saat kemudian, Azura akhirnya telah sampai diperusahaan Andriyansya. Ia bersama dengan kedua karyawannya. Berjalan memasuki perusahaan tersebut, dan berhenti saat di depan meja resepsionis.
“Kami ingin bertemu dengan Pak Alvino,” ucap Malika.
“Anda sudah buat janji?” tanya staff tersebut.
“Sudah,” jawab Malika.
“Baik, kami akan menghubungi beliau.” Staff itu pun menghubungi Alvino. “Anda bisa menunggu sebentar di ruangan beliau, Pak Alvino sedang ada rapat,” beritahu staff tersebut.
“Baik, terima kasih,” ucap Malika.
Azura dan kedua karyawannya bersiap naik ke lantai atas. Namun, dicegah oleh staff resepsionis tadi.
“Tunggu,” cegahnya, “maaf, yang diminta menunggu di ruangan beliau, hanya—“ Staff itu tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan hanya menunjuk Azura dengan ibu jarinya.
Azura pun membawa pandangannya kepada kedua karyawannya, yang hanya diangguki oleh mereka berdua. Azura pun tidak ada pilihan lain, dan membawa langkahnya memasuki lift yang akan membawanya ke lantai atas di mana ruangan Alvino berada.
Sesampainya di sana, Azura bertanya pada salah satu karyawan Alvino yang lewat. “Maaf, permisi,” ucap Azura.
Karyawan itu berhenti, dan menjawab Azura dengan sopan. “Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertanya, di mana ruangan Pak Alvino.”
“Anda tinggal lurus saja dari sini, lalu ada pintu di ujung lorong di sana ruangan pak Alvino,” jelas karyawan pria tersebut.
“Baik, terima kasih,” ucap Azura.
Azura pun membawa langkahnya menuju arah yang jelaskan karyawan tadi. Hingga, ia bertemu pintu paling ujung.
Sebelum masuk, ia mengetuk pintu itu terlebih dahulu. Lalu, ia membukanya dan tidak mendapati siapa-siapa di sana.
Azura menatap ruangan kerja Alvino yang sangat rapi, bersih dan bernuansa abu hitam tersebut. Azura membawa tubuhnya duduk di atas sofa, sambil menunggu Alvino.
Tak berselang lama, pintu ruangan tersebut terbuka dan menampilkan pria tampan pemilik ruangan tersebut. Azura bangkit dari duduknya, dan tersenyum menyapa Alvino.
“Apa jawabanmu?”
Tak terasa, waktu telah berlalu. Kini usia kandungan Azura, telah memasuki bulan ke empat. Di mana, drama mual, muntah, pusing dan semua hal yang menyiksanya selama trimester 1. Telah berhasil ia lalu bersama dengan Alvino.Meski demikian, Azura masih tetap ingat dan bersikekeh untuk bercerai dengan Alvino.Di usia kehamilan memasuki 4 bulan ini. Azura menjadi lebih posesif kepada suaminya.Ia tidak bisa jauh dari aroma tubuh Alvino. Yang membuatnya selalu tenang dan nyaman.Meski Alvino tidak keberatan, dengan keposesifannya istrinya. Dan justru, membuatnya sangat senang dan bahagia.Namun, di balik itu semua. Sedikit mempersulit pekerjaannya.Sebab, Azura bisa jauh dari Alvino. Sedangkan, ia harus pergi ke kantor untuk mengelola perusahaannya.Namun, Azura enggan untuk ikut dengannya ke kantor. Seperti sekarang ini, drama pagi hari yang baru telah di mulai.“Jangan pergi,” ucap Azura dengan suara manjanya.“Aku juga tidak ingin pergi.” Dengan gemas, Alvino mencubit pelan pipi istri
Azura bangkit dari duduknya, dan menatap Alvino yang berada di depan anak tangga. “Bisakah kamu jangan pergi?” tanya Azura. Setelah menuruti egonya yang besar. Akhirnya, ia kalah dengan keinginannya yang jauh lebih kuat. Mungkin, ini pengaruh dari kehamilannya. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia merasa tidak bisa jauh-jauh dari Alvino. Alvino terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia tersenyum. Alvino hanya tersenyum, dan membawa langkahnya menuruni tangga. Azura yang melihat itu menjadi sedih. Ia kembali duduk dengan wajah yang sedih. Bahkan, air matanya mulai menetes. Di saat ia hendak hanyut dalam kesedihannya. Tiba-tiba, seseorang memeluknya dari belakang. “Baiklah, karena kamu yang memintanya aku tetap bersamamu,” ucap Alvino. Azura tersenyum, namun ia tetap mengeluarkan air mata. “Kenapa kamu menangis, hm?” tanya Alvino. “Ini semua salahmu, kenapa kamu tidak menjawab sebelumnya. Aku pikir, kamu tidak mau dan akan tetap pergi bekerja.” Azura kembali menangis, sambil menj
Tepat pada saat jam makan siang. Alvino telah tiba di rumah, dengan kedua tangan yang menenteng tas belanjaan.Dengan senyuman manis nan lebar. Alvino berjalan memasuki rumah yang ia tempati bersama Azura.“Sayang! Aku pulang!” seru Alvino berjalan melangkah menaiki tangga.Setibanya di lantai dua. Ia melihat Azura yang tengah duduk menunggunya di ruangan tengah dekat balkon.“Kamu sudah datang?” tanya Azura yang terlihat sangat antusias.“Hm,” jawab Alvino tersenyum ceria.“Ini dia seafoodnya. Dan ini cup cakenya.” Alvino mengeluarkan dan meletakkan kedua pesanan Azura di atas meja.Azura tersenyum menatap kedua menu makanan tersebut.“Tunggu sebentar, aku ambil sarung tangannya terlebih dahulu.” Alvino pun pergi menuju dapur, untuk mengambil sarung tangan khusus makan.Lalu, beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa sepasang sarung tangan.“Biar aku kupaskan ya,” ucap Alvino.Azura mengangguk begitu saja. Membuat Alvino kembali tersenyum senang, dan membuka wadah berisi seafo
“Rupanya, kamu sudah bosan hidup,” ucap Alvino dingin.Ia menatap pria dihadapannya itu dengan tajam, seakan menyiratkan amarah yang luar biasa meluap.Namun, belum sempat ia meluapkan amarahnya. Ponselnya berdering, yang terletak di atas meja kerjanya.Ia menghentikan langkannya, dan sedikit mengeram kesal. Sebelum akhirnya, ia pergi berlalu menuju meja kerjanya dan meraih ponselnya.Di saat Alvino menjawab telepon, pria tadi menghela napas lega. Meski hanya untuk beberapa saat.Alvino sedikit terkejut, saat melihat orang yang meneleponnya. Dengan bingung campur bahagia, ia pun menjawab panggilan tersebut.“Halo?” ucap Alvino.Tidak ada jawaban langsung dari seberang telepon, yang membuat Alvino menyeritkan dahi dan menatap ponselnya.Ia pikir, panggilan telepon tersebut berakhir begitu saja. Namun ternyata, ia masih terhubung.“Halo?” ucap Alvino, “Azura kamu ada di sana?”“Ekhm.” Azura berdehem, yang menandakan ia berada di sana.“Ada apa, hm?” tanya Alvino lembut.Namun, tatapanny
Akhirnya, bubur tersebut habis tak tersisa. Alvino tersenyum bangga, dengan mengacak-acak rambut Azura.“Pintar,” ucap Alvino.Azura hanya tersenyum, membiarkan Alvino mengacak-acak rambutnya. “Kamu mau minum susunya?” tanya Alvino sambil merapihkan kembali rambut indah istrinya.“Aku tidak yakin, tapi mungkin aku bisa mencobanya menggunakan sendok,” ujar Azura.Alvino mengangguk. “Baiklah, aku akan mengambil sendok teh dulu, ya.”Alvino bangkit dari duduknya, sambil membawa nampan berisi mangkuk kosong. Lalu ia keluar dari kamar Azura, menuju dapur.Tak berselang lama, Alvino kembali dengan membawa satu sendok teh. Kemudian, ia kembali duduk pada sisi ranjang dan memberikan sendok tersebut kepada Azura.Azura menerimanya, dan menyendok susu yang ada di gelas. Ia tidak langsung meminumnya, melainkan menatapnya terlebih dahulu dengan ragu dan cemas.“Jika kamu memang tidak sanggup tidak usah di minum,” ucap Alvino yang paham dengan tatapan istrinya.“Tidak, aku harus meminum
Sontak saja, Alvino langsung membuka mata dan bangkit. Wajah polos bangun tidurnya terlihat panik dan juga cemas.“Maafkan aku, a-aku tidak bermaksud seperti itu,” ucap Alvino merasa bersalah.Lalu, ia segera merendahkan tubuhnya. Mendekatkan wajah pada perut Azura, dan mengusap lembut perut rata itu.“Maafkan Daddy ya, Daddy pasti menyakitimu,” gumamnya kepada perut tersebut.Untuk sesaat, Azura merasakan sesuatu perasaan yang aneh di dalam hatinya. Seperti perasaan berdebar, namun sangat senang ia rasakan ketika Alvino mengajak calon buah hati mereka berbicara.“Kamu mau makan?” tanya Alvino membawa pandangannya kepada Azura.Namun, sepertinya Azura masih terhanyut dengan aktivitas Alvino sebelumnya. Membuatnya, tak sadar jika Alvino berbicara kepadanya.“Azura,” panggil Alvino dengan lembut.Azura pun tersadar. “Huh?” Ia membawa pandangannya kepada Alvino, yang tengah menatapnya penuh cinta.“Kamu mau makan, sayang?” tanya Alvino menambahkan panggilan ‘sayang’.“Jangan panggil aku
“Baiklah, ini obatmu,” ucap Alvino memberikan obat yang ada di tangannya.Seketika Azura menoleh dan kembali menatap horror obat di tangan Alvino. Ia menutup mulut dan hidungnya, karena merasa mual dengan aroma obat.“Jauhkan itu, aku kembali mual karena baunya.”Dengan cepat, Alvino pun membuang obat tersebut begitu saja. Dan ia berlari masuk ke dalam kamar, hanya untuk membasuh tangannya yang mungkin bau obat.Ia kembali dengan tangan yang sudah harum sabun. Lalu, ia duduk di samping istrinya dengan mengangkat sebelah tangannya.Alvino hendak memeluk Azura, namuan Azura langsung menahan tangannya dengan menatapnya sinis. “Kamu mau apa?” tanya Azura.“Aku, ingin memelukmu,” jawab Alvino.“Tidak mau, pergi dari tempat dudukku,” usir Azura, “kamu duduk di sebelah sana saja.”Alvino menatap sofa yang tadi ia duduki saat menyuapi Azura. Ia menghela napas pasrah, dengan lemas ia bangkit dari duduknya berja
Seseorang dari balik tirai itu segera membuka tirai, dan berlari ke arah Azura dengan raut wajah yang panik dan cemas.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, “kenapa kamu tidak memanggilku, hm?”Ternyata dia adalah Alvino. Pria itu sangat cemas dan khawatir, ketika mengetahui istrinya tak sadarkan diri.Ia menunda rapat penting, dan segera berlari kerumah untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Alvino mengambil tiang infus Azura yang jatuh. Lalu, mengambil boto infusan yang tergeletak.Azura tidak menjawab pertanyaan Alvino, ia hanya bisa menutupi mulut dan hidung sambil memukul-mukul lengan Alvino.Alvino sadar, jika istrinya ingin muntah. Alvino segera mengangkat tubuh Azura, dan membawanya ke kamar mandi yang ada di kamar rawat.Sesampainya di dalam, Alvino menurunkan istrinya. Detik berikutnya, Azura memuntahkan isi perutnya yang tidak mengeluarkan apa-apa.Hal itu sangat menyiksanya, karena ia kembali merasakan sakit pada perutnya. Akibat memaksa untuk muntah.“Kenapa seperti ini, hm?”
‘Kenapa kamu membunuh suamiku?’ batin Azura, dengan mata yang menatap Alvino.“Azura, kamu kenapa?” tanya Alvino melambaikan tangannya.“Aku tidak jadi makan, tapi jangan kamu makan.” Azura bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan meja makan begitu saja.Alvino menatap kepergian istrinya dengan bingung. Lalu, ia menghela napas, sambil menatap piring berisi steak yang bahkan belum di sentuh sama sekali itu.“Bahkan, ia belum mengangkat garpu dan pisau sama sekali,” gumam Alvino.Azura memasuki kamar, dan langsung mengunci pintu kamarnya. Ia berjalan pelan, sambil menatap sekeliling kamarnya itu.“Tidak aku sangka, kamar yang dulu aku tempati bersama Bian. Justru aku bagi dengan pembunuh suamiku sendiri,” ucap Azura pelan.Langkahnya terhenti, saat ia berada di dekat sebuah cermin besar. Ia menghadap ke cermin tersebut, dan menatap pantulan dirinya sendiri.“Bahkan, aku sedang mengandung anak dari si pembunuh itu.” Tangannya terangkat, mengusap perut rampingnya yang masih rata.“Ta