Hari semakin sore, Adra masih terduduk di samping Ilya. Wanita itu sudah tenang, namun wajahnya masih terlihat sedih. Perasaan Adra yang terbagi padanya cukup dalam. Sekarang Adra mengerti. Dia harus lebih berhati-hati lagi dengan perasaannya, agar Ilya tak seperti tadi. Memang sulit, tapi Adra akan mencoba menguatkan hatinya. Persetan dengan tanda kematian itu. Dia benar-benar tak peduli sekarang, yang terpenting adalah menjaga agar kesedihannya tak ikut dirasakan oleh Ilya.
“Kamu mau aku bantu?” tanya Ilya lirih.
“Maksudnya?” Adra tampak kebingungan.
“Kemarin ada salah satu pelanggan, namanya Pak Yudi. Dia kerja di RSUD Majalengka, deket sini, kan?”
Adra mengangguk. “Lalu?”
“Dia kasih info lowongan pekerjaan, tapi di bagian office boy sih. Kalau kamu mau biar aku kasih kartu nama dia,” jelas Ilya.
7 Oktober 2016Sudah beberapa hari Adra membantu Ilya di toko bunganya. Mereka berdua tampak selalu bersemangat, walau terkadang ada pertengkaran kecil. Selebihnya adalah hal baik. Adra bisa lebih dekat dengan Ilya dan wanita itu sendiri terbantu. Akhir-akhir ini banyak sekali pengunjung yang datang, dengan adanya Adra, semua seakan lebih ringan bagi Ilya. Hal itu memberikan kesan jika Adra termasuk pria yang bisa diandalkan dan profesional dalam berkerja.Secara tak langsung, waktu yang mereka habiskan bersama semakin terasa. Apalagi untuk Ilya, dia kini seakan tengah dimabuk asmara. Setiap kali memandang Adra, debar jantungnya selalu saja tak menentu. Tentu Adra hanya santai jika melihat Ilya yang tersipu malu atau salah tingkah. Pemuda itu sudah terbiasa. Tak seperti Ilya, Adra memang sudah cukup mengenal gerak-gerik Ilya, karena kemunduran waktu yang telah dialaminya. Seakan memberikan dua pengalaman dengan satu rasa yang sama. Bahagia.
Sekali lagi Adra gagal. Percobaan keduanya pada salah satu pasien itu sia-sia saja. Sebenarnya sang dokter tak terlambat, bahkan dia sempat melakukan operasi darurat. Namun hasil akhirnya tetap sama seperti yang sudah Adra lihat. Pasien itu tak tertolong.Adra frustasi. Dia terduduk menyedihkan di bangku taman rumah sakit bersama kepulan asap rokok. Jika memang takdir tak bisa diubah, maka kenyataan yang pahit harus dia terima untuk kedua kalinya. Kehilangan Ilya, mampu kah dia melepasnya pergi. Tentu sangat sulit, membayangkannya saja sudah cukup menyakitkan.Adra menghembuskan asap rokoknya, lalu terbawa terbang oleh angin. Daun-daun kering pada pohon di dekatnya berguguran. Terlihat rapuh dan tak berdaya, seperti keadaannya saat ini. Mau bagaimana pun, takdir tetaplah takdir. Andai saja dia tak memiliki mata kutukan itu, mungkin hidupnya tak akan seperti ini. Memahami dan membagi perasaan pada orang lain bukanlah hal yang mudah, bahkan pe
“Kamu punya kembaran?!” Ucapan Adra yang sedikit bernada tinggi, membuat Ilya semakin tertunduk. Dan seketika itu dada Adra seperti terhantam sesuatu. Sesak, perih yang mendalam. Dia sadar bahwa perasaan Ilya terbagi padanya. Baru kali ini dia merasakan hal itu, ternyata sangat menyiksa. Adra mengerti sekarang, kenapa selama ini Ilya selalu bersimpati padanya. Baik Ilya yang saat ini atau Ilya ketika waktu belum mundur.Dalam diam air mata Ilya mengalir, menetes ke meja. Kenangan tentang hari itu muncul kembali dengan perasaan yang sama.“Ilya?” panggil Adra lirih. Tangannya yang gemetar terulur, ingin meraih tubuh wanita itu, tapi tak bisa. Terasa berat. Kesadaran Adra merasa sosok Ilya terasa semakin jauh dan mulai pudar lalu menghilang.Putih. Kesadaran Adra tertarik ke sebuah ruang serba putih, kemudian beralih lagi ke tepi jalan. Adra melihat dua orang gadis kecil tengah bersiap menyeberang d
[ Author : Aku saranin kalian baca sambil dengerin lagunya Christina Perri - A Thousand Years, karena akan ada scane spasial. Thanks. ]9 Oktober 2016Ponsel di atas meja itu berbunyi beberapa kali, layar depannya menampilkan notifikasi panggilan tak terjawab begitu banyak. Hari masih cukup pagi dan Adra pun juga masih terlelap. Wajah laki-laki itu terlihat begitu kelelahan. Akhir-akhir ini banyak sekali berbagai hal yang dia lalui, cukup menyiksa. Apalagi semalam Adra juga kesulitan untuk tidur. Ucapan malaikat kematian itu terus terngiang di kepalanya. Menggagalkan takdir? Dia menatang Adra untuk melakukan itu. Apa takdir benar-benar bisa diubah? Bukankah Adra sudah mencobanya, bahkan dua kali dan hasilnya tetap sama. Lalu kenapa malaikat kematian itu menantang Adra? Rentetan pertanyaan itu menghantui Adra semalaman, sampai matahari hampir terbit dia baru bisa tidur.Apakah ada subuah cara yang Adra belum tahu untuk me
Masih pada hari yang sama, keduanya pergi ke toko bunga setelah selesai sarapan. Tiba-tiba Ilya mendapat sebuah pesan chat yang isinya tentang permintaan seorang pelanggan. Padahal baru semalam dia mempromosikan toko bunganya di sosial media, tak disangka ternyata cukup efektif. Ilya senang, kini kehidupannya mulai tertata di tempat yang masih cukup asing baginya. Apalagi dengan hadirnya Adra, dia sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah mempertemukan mereka.Sebenarnya sempat terpikir untuk kembali pulang ke Batam jika usahanya di toko bunga itu tak berjalan baik. Tapi sekarang, keraguan itu telah lenyap, menguap berganti sebuah keyakinan. Baik nanti akan terus berjalan lancar atau tidak, Ilya tetap akan bertahan dan maju. Selagi bersama Adra, pasti dia bisa melalui semuanya.Mereka sampai. Ilya langsung turun dan bergegas membuka pintu toko. Sebesit senyum merekah di wajah manisnya, tanpa sadar Adra sudah ada di sampingnya. Secara ke
“Apa nggak kebanyakan, Kak?” tanya Alia. Pasalnya Adra membeli begitu banyak es krim dengan berbagai rasa, bahkan hampir semua jenis es krim di market itu dia beli.“Aku pengen beliin orang lain juga, tapi aku nggak tau kesukaan dia yang mana. Jadi beli semua aja,” jelas Adra sambil berjalan menuju tempat kasir.Orang lain? Alia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah kakaknya itu mempunyai teman? Cewek? Tidak, itu pasti tak mungkin. Alia membuang semua pikiran anehnya. Bagi gadis itu kakaknya tak mungkin memiliki teman perempuan. Mendekati orang lain saja sulit, mana mungkin sampai punya teman, apalagi pacar. Mustahil.“Buat siapa sih?” tanya Alia.“Nanti kamu juga tau sendiri.” Jawaban Adra semakin membuat Alia penasaran.“Kakak ah, pelit! Beliin orang lain aja banyak, masak aku cuma dibeliin satu.”
Sekali lagi Adra mengamati layar ponselnya, melihat pesan chat yang dikirimkan oleh Ilya. Lalu melihat nomor yang tertera pada pintu di hadapannya. Benar, tak salah lagi. Adra yakin bahwa penerimanya adalah pasien di dalam ruangan itu. Setelah Adra mengetuk pintu, sesaat kemudian terbuka. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Adra dengan raut bertanya.“Maaf, saya cuma kurir toko bunga dan sekarang saya ingin mengantarkan salah satu pesanan pelanggan yang menuliskan alamat penerimanya di sini,” jelas Adra sedikit gugup.Perlahan wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menerima rangkaian bunga itu dengan senang hati. Dia sempat melihat note kecil yang tersemat di ikatan bunga itu.“Kalau boleh tahu, pengirimnya siapa ya?” tanya wanita paruh baya itu.Adra mengecek nota yang sejak tadi dia bawa. Dia sedikit terkejut dan mulai bingung.“Maaf, pel
12 Oktober 2016“Aku jadi penasaran sama orang yang memesan bunga itu,” ucap Adra setelah menenggak habis minumannya.“Maksud kamu, orang yang meminta kita untuk mengantarkan bunga ke rumah sakit itu?” Ilya yang sudah selesai makan mulai menanggapi dan tampak tertarik dengan hal yang ingin Adra bahas.Benar. Sudah tiga hari ini, Ilya selalu mendapat pesanan yang sama dan Adra yang mengantarkannya juga mulai merasa aneh. Pasalnya pelanggan itu tak memberitahukan identitasnya dan melakukan pembayaran melalui nomor rekening Ilya. Bukan hanya Adra dan Ilya saja yang penasaran, bahkan Bu Saras juga sangat ingin tahu. Bagi wanita paruh baya itu, hal tersebut sangat berarti. Setiap melihat Adra yang mengantarkan bunga, hatinya selalu terasa hangat dan bisa lebih tegar.“Udahlah nggak usah dipikirin terus, kita pikirin diri kita dulu. Lagian kenapa juga adik kamu sampai nggak ma