Mobil ambulan berhenti, lalu beberapa petugas keluar dengan gerakan sigap. Mereka membawa pasien dengan ranjang darurat menuju ruang IGD. Ilya terus saja menangis sambil melangkah cepat mengimbangi laju mereka.
“Adra ...” Suaranya sudah sangat lemah.
Ilya tak tahu jika nanti Adra sampai meninggalkannya. Dia sangat kalut dengan pikirannya yang tidak-tidak.
Ketika memasuki ruang IGD, seorang dokter wanita sudah siap di ruangan itu. Dia sangat sigap dan tegas pada kru ambulan, tangannya bergerak cepat mengecek tubuh Adra. Lalu menatap Ilya dengan tatapan tajam.
“Kamu keluarganya?” tanya dokter itu.
Ilya yang tak bisa menjawab, tangisnya terlalu dalam. Mengerti akan situasi, maka dokter itu langsung mengambil keputusan dan memaksa Ilya untuk keluar dari ruangan. Bukan hal mudah, bahkan perlu 3 orang untuk membawa Ilya keluar. Sungguh dia benar-benar histeris,
3 Oktober 2016Setelah diremas, botol air mineral itu dilempar ke tong sampah. Adra berdecak kesal karena lemparannya meleset, alhasil dia harus memungutnya lagi lalu menggunakan cara yang benar. Sungguh melelahkan, seharian kesana kemari melamar pekerjaan, namun tak ada hasil. Beberapa wawancaranya hari ini sungguh menguras emosi dan tenaga. Bukan tanpa persiapan, justru sudah jauh-jauh hari Adra mempersiapkan diri. Mungkin nasib memang belum berpihak padanya. Jujur saja dia lelah, dalam menganggur dan mencari pekerjaan. Rasanya ingin sesaat saja dia bisa melupakan semua masalah dan melihat ombak di pantai.Seperti biasa, suasana sore hari alun-alun Majalengka selalu ramai. Banyak muda mudi yang hilir mudik di trotoar. Beberapa penjual jajanan pun mulai berdatangan. Lalu lintas yang padat di jalan Majalengka-Cikijing semakin terasa, bahkan bisa terlihat petugas parkir di tepi jalan itu tengah kewalahan. Menyadari suasana mulai ramai, Adra m
“Terima kasih,” ucap Adra datar. Ilya tersenyum. Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Seakan ada sesuatu, tapi Ilya sendiri juga tak tahu. Aura gelap, warna iris mata yang terlihat sedikit memerah dan penekanan pada setiap kata. Ilya mulai berpikir, menganalisis kepribadian Adra. Sungguh misterius, Ilya tersenyum lalu mengeyahkan semua pikiran-pikiran itu. Ilya tak seperti Adra. Wanita dewasa berusia 27 tahun itu memiliki aura yang lebih cerah dan hangat. Bertahun-tahun mengagumi bunga dan tanaman hias memberikan pengalaman lebih. Baik secara teori, pengetahuan dan tentu saja kehidupan. Bagi Ilya, sosok Adra bagai bunga dandelion. Terlihat rapuh sendirian, menahan sebuah kesedihan dan harapan. Namun hanya bisa diam. Tak spesifik, mungkin kesimpulan yang terpikir oleh Ilya bisa saja salah. Pada dasarnya hati manusia itu mempunyai berbagai sisi, sangat disayangkan jika hanya melihat sisi yang mendominasi saja. Ilya ke
Samar-samar terdengar suara kicauan burung. Semakin lama semakin jelas Adra mendengarnya. Dingin, dia menggigil kedinginan. Mimpi yang tak jelas terus berulang-ulang di alam bawah sadarnya. “Kita akan sering bertemu, hahaha...” Sesaat ketika Adra mulai tersadar, suara berat yang menakutkan memenuhi pendengarannya. Antara sadar dan tidak. “Kita akan sering bertemu... ” “Sering bertemu...” “Bertemu...” “Ber–te–mu...” Seketika mata Adra terbuka lebar. Napasnya memburu bersamaan dengan detak jantung yang sangat terasa, seakan dia baru saja berlari dari sesuatu. Keringat dingin memenuhi wajahnya yang pucat. Sejenak tak bergeming, menatap nanar sekitar beranda rumah. Sinar matahari sudah agak tinggi di ufuk timur. Dan dia baru sadar jika semalaman telah tertidur di ambang pintu. Bukan, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Adra menghe
Adra berlari menuju pintu RSUD Majalengka. Sekilas melirik arlojinya, hampir terlambat. Walau pun hanya untuk menemui seseorang, tapi kali ini dia sebisa mungkin harus terlihat displin. Tentu saja agar mendapatkan pekerjaan.Saat memasuki pintu masuk, beberapa orang melihat Adra dengan tatapan bertanya. Namun dia hanya acuh, tak peduli apa pun yang akan dipikirkan orang lain. Lalu berjalan tenang sambil mengatur napas, seakan yang dia lakukan tadi bukanlah hal penting. Menjadi pusat perhatian sangatlah tak nyaman bagi Adra, apalagi jika mendapatkan tatapan-tatapan aneh.Setelah bertanya pada resepsionis, Adra menuju ke sebuah ruangan. Di sana dia bertemu dengan Pak Yudi. Sangat ramah. Begitu mengetahui bahwa Adra mendapat informasi dari Ilya, Pak Yudi langsung mempersilahkannya untuk masuk dan duduk.Ruangan itu terlihat memanjang dengan beberapa ranjang di sisi lain. Dari pintu masuk langsung bisa terlihat sebuah meja k
“Maaf cuma punya air putih,” ucap Ilya lalu tersenyum, mengamati Adra.“Makasih, ya,” balas Adra setelah menghabiskan minumannya. Dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok, baru saja Adra ingin mengambilnya sebatang, namun terhenti. Sadar akan sesuatu.“Maaf, aku keluar dulu,” ucapnya kemudian. Ilya mengangguk pelan lalu mengikuti langkahnya dari belakang.Di depan toko Adra menyalakan rokoknya. Menikmati setiap hisapan dan hembusannya sembari menatap jalan raya yang semakin ramai. Di belakangnya ada Ilya yang tengah berdiri menyembunyikan kedua tangannya ke belakang. Mengamati sesosok laki-laki yang sempat membuat perasaannya kacau.Angin berhembus, rambut panjang Ilya terurai ke samping. Beberapa helai seakan ingin ikut terbang bersama angin. Ilya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan secara kebetulan Adra berpaling. Menatap Ilya.Asap r
“Ilya...,” panggil Adra sambil menyentuh pundak wanita itu.Pelukan itu berakhir, membuat mereka saling menatap begitu dalam. Hasrat Adra muncul, tangannya menyentuh wajah Ilya dengan lembut. Lalu mulai mendekatkan wajahnya.Ilya terlihat gugup, memutar bola matanya kesana kemari. Dia khawatir jika nanti dirinya ikut hanyut. Ilya memalingkan wajahnya, isyarat jika dirinya belum siap atau tak mau menerima sebuah ciuman dari Adra.Adra terhenyak, sadar akan tindakannya itu. Maka dengan penyesalan dia mundur menjauh.“Maaf kalau aku lancang dan tak sopan,” ucapnya pelan sambil tertunduk menyesal.Ilya yang wajahnya masih merona tampak malu-malu, sebenarnya dia senang diperlakukan seperti itu. Ternyata Adra sangat baik, secara tak langsung dia menghargai Ilya sebagai wanita. Ilya sendiri paham akan keinginan Adra sebagai seorang laki-laki, tapi bagaimana pun d
12 Oktober 2016Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”“Iya, silahk
“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terl