Gempa BumiSesampainya di depan apartemen Biru Laut, di mana Wuri dan Natiya selama ini tinggal, mobil berhenti secara mendadak, seolah Zemi sengaja melakukannya untuk memancing reaksi gadis itu padanya. Dia hanya mencari gara-gara asalkan bisa lebih lama tinggal bersamanya.Wuri menoleh kesal, sambil berkata, “Apa Anda tidak bisa menyetir, Tuan Zemi?”“Jangan panggil aku Tuan, kalau kamu tidak mau aku cium lagi.”Wuri terlihat cuek, dia keluar sambil mengucapkan terima kasih. Zemi menyusulnya turun dengan cepat.“Tunggu!” katanya.“Apa lagi? Dean?” tanya Wuri membuat Zemi tertegun sebab, tidak ada orang yang memanggil dengan nama itu.Kini mereka berdiri saling berhadapan dan melanjutkan percakapan.“Kenapa?” tanya Wuri lagi, aku boleh, kan memanggilmu dengan nama itu.”“Kenapa?”“Namamu membuatku ingat dengan sepupuku yang sudah meninggal, namanya juga Zemi, dan aku memanggilnya dengan Zemzem.”“Kamu boleh memanggilku begitu juga.”“Tidak. Kamu bukan dia! Apa yang ingin kamu tanyaka
Aku di belakangmu!”“Oke, ikuti aku!”“Baik! Mungkin kamu harus lebih cepat!”“Apa yang kamu naiki?“Mobil yang pernah kita bicarakan seandainya jadi mobil ini jadi ambulans!”“Pagani? Apa kamu gila?”“Tidak!”“Punya siapa?”“Dia seorang teman!”Setelah berkata demikian, Wuri menekan gas lebih dalam, melewati ambulans itu dan sampai di halaman parkir rumah sakit lebih dahulu.Dia turun, menyerahkan kunci mobil pada Zemi sambil berkata, “Terima kasih Dean. Aku sangat berhutang Budi padamu!”Tanpa menunggu jawaban, Wuri berlari sekuat tenaga menuju lobi rumah sakit yang terlihat ramai dan panik, lalu naik tangga menuju lantai dua, karena biasanya dalam kondisi seperti ini, lift selalu penuh. Kini, di sanalah dia berada, di antara anak-anak yang panik dan beberapa juga yang harus dipindahkan dari kamarnya. Karena beberapa anak lain tidak mau tidur sendirian.Beberapa jam berlalu, anak-anak mulai tenang dan mereka tidur di kamar masing-masing ada juga yang tidur bertiga. Wuri dengan tela
Kamu MenculikkuSetelah berkata demikian, Zemi meninggalkan Evan dan memasuki mobil, mematikan lampunya dan mengunci pintu, dari dalam. Tentu saja hal itu membuat Evan tak bisa berbuat apa-apa. Kalau saja tidak ada Wuri di dalamnya maka, dia akan memukuli kaca dan meminta Zemi keluar secara paksa.Pria itu tetap berjaga sepanjang malam dekat dengan mobil Zemi, untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu pada Wuri, maka, dia akan siap memukul kaca mobil untuk menyelamatkannya. Tentu saja semua yang dilakukan Zemi akan terlihat dari gerakan yang bisa dilihat dengan kasat mata.Sudah semalaman Zemi tidak tidur, tapi dia menghabiskan malam dengan memandangi gadis di sampingnya yang sedang tertidur pulas. Walaupun hanya bisa memandang, tapi, itu cukup menyenangkan. Ada dorongan kuat untuk melakukan hal yang lebih, tapi dia menahannya sekuat hati.Zemi berjaga sepanjang malam karena khawatir apabila terjadi gempa bumi susulan. Dia tidak hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi, dia juga k
Rasa Sakit Yang SamaWuri menoleh dengan alis berkerut karena tidak suka dengan apa yang dilakukan Zemi padanya.“Minumlah.” Zemi berkata sambil membuka tutup botol air mineral.“Aku tidak haus,” sahut Wuri datar.“Ini baik untuk kesehatanmu, dan ini, makan roti juga.”“Aku juga tidak lapar.”Zemi termenung, gadis itu membuat jarak yang jelas antara mereka, dengan sikap waspada dan menolak hampir semua kebaikannya.“Baiklah, kalau begitu, bawa saja makanannya, aku tidak akan mengganggumu melakukan tugas lagi, pergilah.” Zemi berkata sambil memberikan sebuah bungkusan berisi roti, dan handuk basah.Wuri menyadari kebaikan Zemi, tapi dia tidak bisa menerima karena tidak ingin perasannya jatuh semakin dalam. Dia tidak ingin melukai dirinya sendiri. Dahulu dia pernah merasakan hal rumit yang muncul secara terus menerus seperti bahagia dan kesenangan. Apalagi saat menatap wajah dan bibir Zemi sempat membuat bintang-bintang kecil di hatinya bermunculan. Dia tidak ingin merasakan lagi kali
Jangan Buru-buru“Nenek, jangan terburu-buru. Aku tidak terlalu bernapsu, apalagi aku masih sibuk.” Syakela berkata sambil memegang tangan Renata lembut.“Nenek dengar sendiri, kan?” sahut Zemi.“Apa maksudmu, Sya? Aku mau kamu cepat menikah dengan cucuku, biar aku bisa tenang walaupun aku nanti tiada!” kata Renata.Semua terdiam, mereka menyadari betapa sayangnya Renata dengan Zemi. Wanita tua itu bertahan dengan segala tradisi dan kepercayaannya demi cucunya yang dia anggap paling mirip dengan Rodi Hugen, suaminya. Baik postur tubuh, suara, rambut dan wajahnya. Renata ingin segera menikahkan Zemi dengan Syakela, demi keamanan hidup juga ketenangan hatinya, setahu dis gadis itu satu-satunya wanita yang memiliki tanda yang sama dengan Zemi di tubuhnya. Dan jika dia harus pergi ke alam baka, maka ruhnya akan tenang bersama Tuhan di atas sana.“Jadi, Nek. Tidak ada yang mau menikah dalam waktu dekat. Aku sudah berkata jujur kalau aku tidak mencintai Syakela!”“Zemi! Jaga bicaramu, bera
Ramalan BaikPeramal itu kenal dengan Zemi. Seorang yang memiliki tanda seperti itu jika menikah, maka pasangan yang dinikahinya akan tiada, tidak lama setelah hari pernikahan mereka digelar. Orang seperti ini biasanya tidak akan menikah lagi setelah mengalami hal yang sama sebanyak tiga kali, lagipula tidak akan ada lagi yang mau menikah dengan mereka karena takut mati.“Ya, aku,” kata Zemi datar.Kedua pria itu duduk berhadapan, tak lama Syakela muncul dari balik pintu dengan raut wajahnya yang menunjukkan kegelisahan.“Lalu, siapa dia?” tanya peramal itu.“Oh, dia calon istriku!” kata Zemi seraya melirik pada Syakela yang duduk dengan anggun di sebelahnya.Si peramal tercengang sekaligus heran, dengan sikap Zemi, seandainya memang dia calon istri, bukankah Zemi seharusnya menunjukkan sikap yang baik dan penuh kasih sayang, mengingat tidak sembarang wanita bisa hidup berdampingan dengannya? Akan tetapi yang dilihatnya sungguh berbeda, Zemi terlihat acuh dan cuek.“Calon istri?
Bersiap Untuk TiadaSyakela memandang Zemi lekat, raut bahagia terpancar jelas di wajahnya karena bahagia, orang yang dicintai mengajaknya menikah. Gadis itu langsung memeluk Zemi erat, bahkan mencium bibirnya di hadapan peramal yang tercengang melihat aksinya.Zemi membalas ciuman itu penuh minat, dia sengaja melakukannya sebagai bukti kesungguhan dirinya akan menikahi Syakela jika memang itu yang diinginkannya bahkan dia sudah bersiap untuk tiada.“Hai, kalian pasti mengundangku, kan?” tanya peramal.Zemi dan Syakela melepas ciuman mereka sesaat, menatap peramal itu sekilas lalu, mengangguk secara bersamaan. Setelah itu mereka kembali melanjutkan berciuman, membuat peramal itu berlalu sambil menggelengkan kepalanya.“Zsmi, Ayo kita pulang,” kata Syakela sambil menghirup napas dalam setelah melepas ciumannya. Zemi mengangguk dan pria itu berjalan ke arah mobilnya mendahuluinya.Setelah gadis itu mendekat, Zemi membukakan pintu, dan Syakela masuk sambil tersenyum manis, matanya m
Cinta Satu MalamZemi tidak menjawab, dia hanya mengusap bibirnya sendiri dengan ibu jari seolah habis mengecap rasa manis. Nafasnya sudah berat dan pandangan matanya sedikit meredup, saat dia merubah posisi dan duduk kembali dengan benar di balik kemudi.“Keluarlah, dan istirahat, ini sudah malam.” Zemi berkata sambil menengadah ke atas dan memejamkan mata karena meredam gejolak hasrat di hatinya.“Zemi, ikutlah ke dalam. Aku bersungguh-sungguh menawarimu, aku tidak takut,” kata Syakela mendadak menjadi sangat murahan hanya karena hatinya sedang bahagia.Saat berkata begitu, Syakela sudah bangkit dan mendekat ke Zemi hingga buah dadanya yang membusung menempel erat di lengan pria itu. Seketika Zemi menoleh dan mendekatkan wajahnya lalu meyakinkan Syakela saat hidung mereka saling menempel.“Apa kau siap mati, untuk ini?”“Ehm... aku tidak percaya itu, Sayang. Tapi aku ingin membuktikannya!”Saat Syakela bicara, Zemi yang tidak pernah berada begitu dekat dengan wanita menjadi be