Share

Bab 4. Tanda Lahir

Laki-laki itu Zamidean, ia biasa dipanggil Zemi. Ia berada di Cafe karena sedang bersembunyi, dari neneknya yang ingin kembali mengurungnya di rumah. Namun ia tidak menyangka akan bertabrakan dengan Wuri, saat ia hendak memastikan sesuatu yang baru saja ia lihat dari balik jendela.

"Maaf." Wuri berkata sambil menyimpan gelas kopi di meja.

"Maaf, maaf, apa kamu buta?" Sahut Zemi.

Melihat laki-laki itu marah, Wuri menganggapnya wajar. Pakaian pria itu kotor karena kecerobohannya.

"Maaf, saya tidak sengaja." Wuri berkata sambil menundukkan kepalanya, tanda penyesalannya tidak dibuat-buat.

"Percuma kamu minta maaf, bajuku kotor, tahu?" Kata Zemi penuh Emosi sambil menunjuk kemejanya yang terkena tumpahan kopi.

"Saya sudah minta maaf. Apa Anda mau baju anda dicuci? Kalau mau, lepaskan baju Anda, sekarang."

"Apa kamu gila, menyuruhku melepaskan baju di tempat ini?"

"Kalau tidak mau, ya sudah."

Wuri melangkah, menjauhi laki-laki yang masih terlihat kesal. Ia merasa tidak perlu merendahkan dirinya sendiri, hanya karena sesuatu yang tidak ia sengaja.

"Nona Lawu, kemarilah." Sekali lagi Natia memanggil Wuri, dengan maksud menghindarkan keponakannya itu dari kemarahan Zemi.

Wanita bertubuh gemuk itu melihat semuanya, tapi ia tidak bisa berbuat sesuatu untuk menolong keponakannya. ia khawatir akan di salahkan. Biar bagaimanapun ketenangan di tempat kerja adalah tanggung jawabnya.

"Iya, Bibi Nat,"

Wuri sengaja datang untuk tinggal bersama dengan Natia. Ia akan bekerja di kantor cabang Palang Merah Bulan Emas, di Kota Bharru tempat di mana Natia tinggal sendiri di rumah kontrakannya. Natia adalah anak sepupu ibunya, saudara yang paling dekat dengan Wuri di antara yang lainnya.

Usia mereka tidak terpaut jauh, tapi karena kebiasaan adat mereka yang masih kental, membuat Wuri memanggilnya demikian.

Wuri sengaja datang larut malam agar bisa pulang bersama Natia, setelah ia selesai bekerja.

"Bibi, sudah selesai?" Tanya Wuri ketika berdiri di depan meja kasir.

"Iya, tunggulah di luar, cafe akan tutup sebentar lagi."

Wuri mengangguk, sambil menoleh ke tempat laki-laki yang tadi sempat bertabrakan dengannya. Akan tetapi, pria itu tidak ada. Suasana cafe sudah sepi, yang tampak hanya beberapa karyawan, yang bekerja membereskan meja dan perlengkapan lainnya.

Namun tiba-tiba datang, beberapa orang lelaki bertubuh kekar dan memakai pakaian seragam serba hitam. Mereka memasuki cafe dengan tergesa-gesa, bergerak dengan cepat kesegala penjuru ruangan yang ada.

Kedatangan rombongan para pria tadi, diikuti oleh seorang wanita tua, yang kemudian diam berdiri di tengah ruangan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling cafe, terlihat tengah mencari seseorang.

Wuri melihat semua tingkah orang-orang itu dengan heran, tapi siapa dia bila ingin bertanya. Sebab bila melihat wanita itu, dari caranya bersikap dan juga pakaian yang dikenakannya, dia bukan orang biasa.

Wuri pergi ke toilet sebelum keluar cafe. Disaat yang bersamaan, serang manager datang menyambut wanita itu dengan ramah dan hormat.

"Apa kamu lihat cucuku di sini?" Kata wanita itu.

"Tidak, nyonya. Begitu anda datang, saya sudah memeriksa CCTV dan saya tidak melihat tuan muda ada di sini," kata manager itu sopan.

"Apa kamu yakin, kamu tidak membohongiku, kan?"

"Tidak, mana berani saya melakukannya nyonya."

"Tapi GPS-ku menunjukkan Zemi ada di sini."

"Oh, maafkan saya nyonya, tapi memang tidak ada tuan muda di sini."

"Hmm ...."

Disaat yang bersamaan, seorang pengawal mendekat dan melaporkan bahwa pencarian sudah selesai, mereka tidak menemukan orang yang tengah dicari.

"Apa kalian sudah mencarinya di toilet wanita?" Kata wanita tua itu lagi.

Beberapa pengawal saling berpandangan, mereka merasa tidak harus memeriksa tempat itu. Tuan muda mereka, orang yang terhormat, tidak mungkin akan bersikap memalukan dengan bersembunyi di toilet wanita.

Sementara di toilet wanita. Toilet umum itu terdiri dari beberapa ruangan kecil di dalamnya.

Setelah selesai, Wuri mencuci tangannya di wastafel. Saat itu ia merasa ada yang aneh, dengan satu ruang toilet yang airnya terus menyala sejak ia mulai memasukinya.

"Apa ada orang, di dalam?" Wuri bertanya sambil mengetuk pintu toilet, secara berulang-ulang.

Tiba-tiba pintu toilet terbuka dengan kasar dan seorang pria keluar dari sana, dengan cepat membekap mulut Wuri. Laki-laki itu Zemi. Ia mendekap tubuh Wuri dari belakang dengan kuat dan sekaligus membekap mulutnya dengan tangan yang lain.

Laki-laki itu berkata dengan suara rendah berbisik di dekat telinga Wuri, "diam, atau kau akan kubunuh sekarang juga."

Wuri mengangguk dalam bekapan kuat tangan besar itu. Ia ketakutan setengah mati, jantung berdebar hebat, seolah nyawanya akan melayang sekarang.

"Kau harus tenang, oke?"

Wuri mengangguk.

"Jangan berteiak, oke?"

Wuri kembali mengangguk.

"Ada orang yang mencariku diluar, jangan katakan apa pun pada mereka."

Wuri mengangguk lagi. Zemi masih membekap mulut dan tubuhnya dengan kuat, membuat ia kesakitan.

"Mereka pikir aku tahanan yang harus dikurung di rumah, hanya karena aku punya tanda lahir sial. Apa itu masuk akal?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status