Share

Bab 5. Tidak Masuk Akal

Zemi berdiri dalam posisi siaga, dengan gadis yang ada dalam dekapannya. Ia mengernyitkan dahi saat Wuri memukul tangan besar yang membekap mulutnya. Mengisyaratkan agar Zemi percaya padanya.

Wuri menarik nafas dalam, mereleks-kan tubuhnya, agar Zemi tenang, tidak merasa terancam dan khawatir akan keamannya.

Zemi menundukkan kepalanya dan melihat Wuri yang juga menatapnya, hingga kedua mata mereka saling beradu. Tiba-tiba saja hati Zemi berdebar halus.

Zemi melepaskan dekapan dan tangan yang berada di mulut Wuri pun jatuh ke samping.

Wuri mendekat dan berbisik, "Tenanglah aku akan membantumu." Setelah itu Wuri keluar toilet.

Di dekat pintu, ia melihat ada seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri sambil mengedarkan pandangan.

"Apa kau lihat ada laki-laki di dalam?" Tanya pria itu ketika melihat Wuri yang baru keluar dari toilet wanita.

"Tidak. Apa laki-laki itu buta sampai salah masuk toilet?"

Mendengar pertanyaan Wuri, pria itu mencebik dan meninggalkannya begitu saja.

Wuri kembali ke toilet dan menjulurkan kepalanya ke dalam. Ia berkata, dengan suara yang tertahan.

"Keluarlah, sudah aman sekarang."

"Mereka sudah pergi?"

Wuri mengangguk pada Zemi yang masih berdiri menempel di tembok toilet seperti cicak. Setelah itu ia meninggalkannya begitu saja dan berjalan keluar Cafe. Saat ia melewati ruang tengah cafe, wanita tua itu masih ada di sana dan memanggilnya.

Wuri menghampirinya dan bertanya, "Apa Anda memanggil saya nyonya?"

Wanita itu mengangguk dan balik bertanya, "Apa kau melihat ada orang lain di sana?"

"Di toilet, maksud Anda?"

Perempuan itu mengangguk.

Wuri menggeleng dan menjawab, "Tidak ada."

"Baiklah, kuharap kau tidak berbohong pada wanita tua sepertiku, kecuali kau mencoba melindunginya?"

Wuri terdiam, ia wanita jujur, yang tidak mungkin berbohong pada seorang wanita tua. Ia merasa tidak memiliki urusan apa pun dengan mereka, mengenalnya saja tidak.

Namun ketika mengingat ucapan Zemi, ia merasa perlu menolongnya. Ia mendengar laki-laki itu bicara tentang tanda lahir sial, yang dimilikinya, hingga membuat wanita tua itu mencarinya.

Bagi Wuri, apa yang ia dengar dari Zemi adalah hal yang tidak masuk akal.

Wanita tua itu akan mengurung Zemi, hanya karena ia tidak ingin melihat kesialan, yang mungkin akan terjadi pada cucunya. Namun bila ia melakukannya, maka itulah kesialan yang sebenarnya. Bagaimana tidak, Zemi akan dikurung di rumah dan tidak bisa pergi ke manapun, bukankah itu sebuah kesialan?

Wuri merasa memiliki nasib yang sama. Ia memiliki tanda lahir yang dipercaya oleh sukunya, membawa sebuah kutukan, ia hanya bisa menikah dengan laki-laki yang memiliki tanda lahir yang sama dengan dirinya.

"Maafkan saya, Nyonya. Tidak ada siapa pun di sana, selain saya," jawab Wuri sambil membungkukkan badannya berusaha menutupi rasa bersalahnya.

"Ya, baiklah, mungkin dia sudah menemukan penolongnya," gumam wanita itu sambil berlalu, menuju kendaraan pribadinya.

Wuri melihat kepergian wanita itu dengan tatapan kosong. Ia duduk di teras cafe yang sudah sepi, menunggu Natia, ditemani beberapa motor dan mobil milik para pegawai cafe yang masih terparkir di halamannya.

Setelah beberapa lama, Natia akhirnya keluar tanda ia sudah selesai bekerja. Ia menghampiri Wuri dan duduk di sampingnya. Lalu memberi keponakannya itu sepotong roti khas cafe, yang ia buat sendiri sebelum pergi.

"Nona sudah makan?" Tanya Natia sambil menyodorkan sebotol air mineral.

"Ini juga makan," jawab Wuri sambil menikmati roti pemberian Natia.

"Cuma makan roti, Nona tidak akan kenyang."

"Aku tidak seberapa lapar. Oh iya, jangan panggil aku Nona, di sini."

"Ah, mana bisa begitu. Aku tidak enak hanya memanggil nama."

Setahun yang lalu, ayah Wuri mendapatkan kehormatan untuk menjadi kepala adat di daerahnya. Hingga Wuri sebagai anaknya, layak mendapatkan penggilan kehormatan seperti bangsawan. Adat Sukunya sangat menjunjung tinggi kebiasaan leluhur dengan baik.

Akan tetapi, ayahnya meninggal, setelah beberapa bulan dinobatkan. Tidak ada seorang pun di daerahnya, yang tahu penyebab kematiannya, sampai saat ini.

Masyarakat hanya melihat peti jenazah ayah Wuri di datangkan dari Kota ke Desa kecil mereka. Waktu itu, para petugas yang membawa mayatnya hanya mengatakan, bahwa kepala Adat meninggal karena sebuah kecelakaan.

Masyarakat adat waktu itu ingin Wuri yang menggantikan ayahnya. Mereka menilainya pantas menjadi kepala Adat di Desa. Walaupun masih tergolong muda, pengalaman Wuri sudah sangat banyak.

Namun, gadis itu menolak karena ia sangat menyukai pekerjanya. Ia juga berambisi mendapatkan sertifikasi kelayakan sebagai ahli dibidangnya. Ia ingin mengejar cita-citanya, menjadi seorang yang mengajarkan kebaikan dan bermanfaat bagi banyak orang.

"Bibi Nat, di sini bukan daerah kita dan di sini aku bukan bangsawan adat Doulunga. Aku hanya pegawai biasa bahkan aku akan menumpang di rumahmu."

"Kalau begitu, kau jangan memanggilku Bibi."

"Ah, tidak masalah. Aku senang bebas seperti ini, Bibi Nat. Eh, Natia!" Teriak Wuri girang, membuat seseorang di belakang mereka tertegun dan menghentikan langkahnya.

"Apa aku boleh mengenalmu?" Tanya seorang lelaki, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan Wuri dan Natia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status