Wuri berjalan dengan berat mengikuti Natia menuju mobil Zemi yang terparkir tak jauh dari mereka. Ia masuk dan duduk di samping Natia, wajahnya cemberut menunjukkan ketidak sukaannya.
"Di mana kalian tinggal?" Tanya Zemi, sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia sempat melirik Wuri yang duduk di belakangnya, dari kaca spion di depannya, gadis itu masih bersikap sama, cuek dan dingin.
"Di Biru Laut," jawab Natia sambil memandang ke luar jendela.
"Kalian tinggal bersama dan bekerja di tempat yang sama?" Tanya Zemi lagi.
"Tidak, dia baru bekerja hari ini." Natia kembali menjawab pertanyaan Zemi, sambil menepuk kepala Wuri pelan.
Wuri memulai pekerjaannya hari ini, ia dipindahkan dari kantor cabang Palang Merah Bulan Emas, ke kantor pusat di Kota Bharru. Bisa bekerja di sana, adalah keinginan terbesarnya. Kesempatan itu baru ia dapatkan, setelah enam bulan yang lalu, sertifikasinya diterima.
Ia harus meninggalkan kampung halaman dan tempat tinggal yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa, bersama kedua orangtuanya, selama bertahun-tahun. Meskipun begitu, kenangan bersama teman-teman, kerabat dan tetangga, tetap ia simpan dengan baik, dalam ingatannya.
"Oh, bekerja di mana?"
"Hei, Nona. Jawab pertanyaannya, kau bekerja di mana?" Tanya Natia.
Wuri diam saja, ia merasa orang asing tidak perlu tahu apapun tentang dirinya.
"Kalau aku boleh tahu, apa pekerjaanmu?" Zemi mengajukan pertanyaan kepada Wuri.
"Entah aku tidak tahu apa yang dia kerjakan. Tapi dia orang yang senang menantang bahaya."
Kembali Natia menjawab, seolah-olah mereka mengobrol berdua saja, sedangkan Wuri hanya seperti udara.
"Hmm, pasti pekerjaanmu sangat menarik," kata Zemi.
"Menurutku, tidak. Anak ini cuma cari mati," sahut Natia.
"Hais, siapa yang kau bilang anak, Bibi?" Kata Wuri, tiba-tiba bersuara, begitu mendengar ucapan Natia.
Melihat akhirnya Wuri bereaksi, Natia tertawa dan berkata, "Aku senang kau seperti ini Nona Lawu."
"Bibi ...."
"Nona ...."
Dua wanita itu bercanda sambil saling memukul bahu. Namun akhirnya tertawa.
"Apa kalian sudah selesai bertengkar? Kita sudah sampai." Zemi berkata sambil memarkirkan kendaraannya di depan apartemen sederhana.
Seketika Wuri dan Natia menoleh pada Zemi dan ke luar jendela secara bergantian. Mereka benar-benar sudah sampai di tujuan. Jarak apartemen memang tidak terlalu jauh dari Cafe Bar Cofee tempat Natia bekerja selama ini.
Mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti disebuah apartemen sederhana yang bertuliskan Biru Laut Apartemen. Bangunan ini tidak begitu tinggi tapi cukup besar. Tempat yang biasa dihuni oleh orang kalangan menengah ka bawah, para karyawan, atau buruh seperti Natia.
"Ayo, turun! Kita sudah sampai." Natia berkata sambil membuka pintu mobi dan ia turun sambil membantu Wuri membawakan kopernya.
"Benarkah di sini kalian tinggal?" Zemi bertanya sambil menutup kembali pintu mobilnya.
Ia mencoba mengambil koper dari tangan Wuri, tapi gadis itu menolak. Ia menahan koper di tangannya dan menepis tangan Zemi.
"iya, kami tinggal di sini," jawab Natia.
"Nomor, berapa ...?" Belum sempat Zemi meneruskan kata-kata nya, Wuri sudah menarik tangan Natia sambil melangkah menjauhinya.
"Terima kasih Zemi. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu." Kata Wuri sambil menundukkan kepalanya.
"Aku akan mengantarmu," Zemi menyahut.
"Tidak perlu. Terima kasih." Wuri berkata sambil menarik tangan Natia, dengan cepat ia berjalan memasuki apartemen. Hal itu membuat Natia mengimbangi langkahnya dengan terburu-buru.
Wuri menunjukkan sikap tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan Zemi dan laki-laki itu mengerti, hingga ia tidak memaksakan diri.
Zemi merasa diabaikan dan hanya bisa menatap punggung dua wanita itu menjauh. Sebenarnya ia masih penasaran dengan Wuri. Namun, ia tidak bisa mencari keterangan lain tentangnya malam ini. Ia hanya berkata pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa mencari informasi, melalui Natia di tempat kerjanya, suatu saat nanti.
Sedangkan Wuri, terus memaksa Natia agar memasuki apartemen lebih cepat lagi. Sebelum memasuki lift, ia sempat melirik pada Zemi, tapi ia tidak memperdulikan laki-laki, yang masih menatapnya arena tidak ingin terlibat lebih jauh dengannya.
Setelah sampai di dalam apartemen, mereka berdua merebahkan diri. Hari sudah larut malam, tapi sepertinya mereka belum hendak tertidur karena mereka terus saja berbincang-bincang.
"Nona Lawu, sepertinya Zemi menyukaimu, dia terus melirikmu sejak mengajak kita pulang bersama."
"Jangan berlebihan, dan sudah kubilang jangan panggil aku, Nona."
"Tapi aku tidak terbiasa, Nona. Kau memang anak dari kepala suku dan kau juga pantas menduduki jabatan ayahmu sejak dia meninggal, Nona saja yang menolaknya."
"Tapi kau tidak pantas memanggilku Nona karena kau lebih tua dariku. Kau juga tidak mau dipanggil Bibi, kenapa?"
"Aku terkesan lebih tua kalau kau memanggilku Bibi, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah lagi denganku."
"Hais. Bukannya Bibi memang tidak mau menikah lagi?"
"Aku cuma ingin menemanimu, tahu? Kau kan tidak mau menikah karena takut dengan tanda kutukan itu?"
"Tidak, siapa bilang aku takut?"
Ya Tentu Saja (TAMAT)Wanita itu sedikit lebih berisi dan ketika wanita itu turun di tempat yang agak tinggi, di mana dia biasa turun dan naik ke leher gajah, terlihat dengan jelas perutnya sedikit membencit.Zemi menghampiri Wuri dengan langkah yang perlahan dan sedikit ragu, dia mengingat kejadian terakhir saat mereka bertemu dan waktu itu mereka sempat melakukan sesuatu yang bisa membuat wanita itu, mengandung benihnya saat ini.Begitu dua insan itu saling menatap dan berdekatan, seketika keduanya pun sama-sama mengeluarkan air mata yang, entah disebabkan oleh apa. Namun, yang jelas kerinduan itu terukir pada tatapan mereka.Zemi tiba-tiba berlutut sambil menyebut nama Wuri, beberapa kali. Air matanya mengalir lebih deras, dia yakin bahwa gadis itu menanggung beban yang cukup berat selama ini. Tentu saja benar apa yang di pikirkan oleh Zemi, jika Wuri memang sudah menanggung beban yang demikian berat, dia berusaha setengah mati menahan rindu dan cintanya sementara dia tengah m
Tidak MenemukannyaSemalaman mereka bergadang, sesekali Zemi menggantikan Ajer menyetir karena pria itu terlihat mengantuk.Sesampainya di sana, hari sudah menjelang pagi, mentari sudah menampakkan cahayanya. Dua mobil kontainer yang tiba lebih dulu, menunggu perintah dari majikan mereka untuk menurunkan barang. Setelah mobil mewah yang dikendarai Zemi, Renata dan Ajer tiba, barulah semua barang mereka turunkan semuanya.“Kau datang lagi?” tanya Khazanu menyapa Zemi.“Ya, Tuan Khazan, apa ada masalah dengan kedatanganku?” tanya Zemi penuh percaya diri.“Tidak,” sahut Khazanu.Dia mengabaikan Renata dan Ajer, karena hanya Zemi yang dia kenal. Saat melihat dua truk besar tiba, dia segera melihatnya dan begitu melihat Zemi, dia pun heran karena pria itu begitu gigih berjuang demi mendapatkan Wuri, seperti keinginannya. Kedatangannya kali ini menunjukkan jika ujiannya berhasil setelah sekian lama.Wuri tidak ada di tempat itu, karena sejak kejadian terungkapnya penyebab kematian aya
Hadiah SekampungBeberapa bulan berlalu setelah kejadian itu, Zemi berharap Wuri mengirimnya pesan melalui ponsel tapi, benda canggih itu selalu hening, tanpa adanya panggilan dari orang yang dia rindukan. Hatinya sakit karena merasa diabaikan padahal hanya dirinyalah satu-satunya harapan.Zemi memutuskan untuk kembali ke negaranya dan, menjalaninya hari-hari seperti biasa. Dia kembali menyibukkan diri di perusahaan bahkan, pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah disentuhnya, pun sekarang selesai di tangannya. Dia melakukan semua itu hanya karena ingin melupakandisentuhnya, setelah merasa dicampakkan oleh kekasihnya begitu saja, tanpa pesan dan kata-kata, hanya karena kesalahpahaman belaka.Zemi sudah mengirimkan bukti walaupun tidak kuat dan tidak banyak, tetapi, bukti itu seharusnya cukup untuk meyakinkan kepala suku Khazanu, juga Wuri, jika keluarganya terutama sang kakek tidak bersalah dalam kejadian itu.“Kedua orang itu bersahabat karib sejak lama, tidak mungkin saling menya
Antara Percaya dan Tidak Wuri diam dan hanya menangis bahkan, saat Zemi hendak menghapus air mata di pipinya pun dia menolak bahkan menepis tangannya dengan kasar. Oleh karena itu, Zemi langsung menghubungi kakaknya karena saat kejadian itu berlangsung kakaknya pun berada di sana. Dia mengatakan apa yang terjadi di tempat itu semuanya, tanpa kecuali bahkan sejak pertemuan awalnya dengan Wuri secara singkat. “Bukan begitu ceritanya, yang dilihat laki-laki itu salah, kamu sudah melarangnya untuk mengambil boneka milik anakku. Memang anakku terus menangis karena dia tidak bisa tidur kalau tidak memeluk bonekanya.” Kakak Zemi bercerita dari ujung telepon. “Jadi, itu hanya salah paham?” kata Zemi. “Ya, aku dan Kakek sudah melarangnya, dan itu pun sudah kami bawa dia berlari lebih cepat, bukankah Kakek juga terluka kakinya hingga dia harus memakai kruk sampai dia tiada?” “Ya!” “Semua karena kejadian itu, tapi, kakek selalu bilang itu karena kecerobohannya, padahal saat itu, Kakek sed
Keesokan harinya ketika Wuri keluar dari kamar, Khazanu, sang kepala suku sudah menunggu bersama seorang pembantunya. Tentu saja Wuri mengenal dua orang yang sangat akrab selama ini. Mereka kemudian duduk secara berhadap-hadapan di ruang tamu.Kepala suku Khazanu, sengaja datang ke rumah Wuri karena dia mendengar sebuah informasi bahwa, gadis itu bermalam dengan seorang laki-laki. Kecurigaannya muncul karena dipicu oleh rasa khawatir jika anak dari sahabatnya itu memiliki hubungan khusus dengan orang yang kemarin datang dan bermesraan sampai malam tiba.“Apa kau melindunginya di sini?” kata Khazanu memulai pembicaraa setelah mereka berbasa basi sebentar.“Siapa maksud Anda, tidak ada orang lain di sini selain aku!” Wuri berkata membala diri.“Jangan berbohong padaku aku mengetahui semuanya!”“Apa maksudmu Jemi? Kalau dia yang Anda maksud, ya ... memang dia datang kemarin malam dan aku mencegahnya untuk pulang, memangnya Apa salahnya dengan hal itu?”“Apa kau lupa dengan resiko
Sebuah Tanda Yang SamaSesampainya di rumah Wuri, Zemi meminta gadis itu untuk menunjukkan di mana kamarnya.Tentu saja Wuri enggan tapi, Zemi berkata, “ Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, dan sebelum orang lain tahu, aku ingin kau yang lebih dahulu tahu!”“Apa itu, katakan saja padaku!” Wuri masih tidak mengerti dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Zemidean.Zemi melihat ke sekeliling dan dia tidak menemukan orang lain selain mereka.“Ke mana semua pelayanmu?” tanya Zemi.“Mereka bekerja di kebun, dan baru akan pulang sore nanti.”“Baiklah kalau begitu, tidak masalah aku membuka bajuku di sini!”“Tunggu, apa yang akan kau lakukan?”“Wuri, aku punya tanda yang sama seperti di tubuhmu!”“Bagaimana kau tahu, apakah itu sama atau tidak?”Zemi hendak membuka Hoodienya di ruang tamu, saat Wuri mencegah dan menarik tengan pria itu ke kamarnya. Pandangan mata Zemi berputar ke sekeliling kamar yang rapi dan menyebarkan aroma bunga anggrek bercampur asap dupa. Tidak ada perabot
Bagaimana Kalau Aku?“Setelah aku mengajakmu ke sana, baru aku akan mengajak Jubi jalan-jalan untuk menghibur hati,” kata Wuri. “Apa sekarang kau sedih?” “Ya kalau aku ini ingin hiburan atau aku sedih, Juni lah yang menghiburku!” “Apa kau akan tidur dengannya, sampai dia membuatmu bahagia?” “Ya! Aku sering tidur di perutnya. Kita akan bermain dan dia akan menggendongku, aku bisa bermain dengan belalainya. Itu menyenangkan!” “Oh!” Zemi mengangguk. Mereka kembali ke rumah, Zemi dipersilakan untuk masuk dan duduk sambil menunggu Wuri membawa persembahan. Pria itu melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi pernak pernik kerajinan khas adat dan sukunya termasuk beberapa hiasan khas dari berbagai negara, ada juga foto-foto ayah Wuri dalam berbagai aktivitas. Ada juga foto ibunya, foto gadis itu saat masih kecil dan juga beberapa gelang kehormatan yang berjajar di dinding, yang artinya sudah banyak kemampuan dasar yang dimiliki Wuri serta keluarganya menurut adat. Wuri keluar dengan
Bersiap Menerima KenyataanSetelah lama menunggu, Zemi tidak lagi mendapatkan jawaban meskipun pesan itu terbaca. Tanpa sepengetahuan pria itu, Wuri menangis dengan wajah ditutup bantal agar tidak terdengar oleh para pelayan rumah dan pekerja lain, yang masih belum tidur dan tinggal di rumah itu. Mereka yang mengisi rumah saat dirinya tidak ada. Gadis itu tidak siap jika harus kehilangan Zemi, ini adalah ke sekian kalinya dia merasakan jatuh cinta, tapi, untuk ke sekian kalinya pula dia harus patah hati. Namun, mau tidak mau harus siap kehilangan lagi. Akhirnya wanita itu tertidur setelah lelah mendingan hati yang sesak karena rindu. Kalau saja Zemi tidak berjasa begitu besar padanya maka, dia akan mudah melepaskan rasa. Keesokan harinya Zemi datang terlalu pagi, hingga saat dia muncul di rumah itu, pintunya pun belum di buka, bahkan Wuri belum bangun karena baru tertidur setelah menjelang pagi. Pria itu memakai celana jeans hitam dan hoodie abu-abunya. “Apa kau menunggu Nona Law
Dikira KekasihZemi tidak bisa memaksa walaupun dia sangat ingin tetap bersama karena dia tahu posisi dan kedudukan Wuri hingga harus menjaga diri dengan baik. Dua orang itu berjalan menuju rumah Wuri karena gadis itu meminta Zemi untuk singgah dan kebetulan dia pun ingin tahu kediaman gadis idamannya. Mereka masih mengobrol tentang motel yang ditempati Zemi saat kepala suku datang menghampiri. Pria itu sudah sehat kembali setelah sakit lebih dari sepekan awal bulan lalu, Wuri pun datang menjenguknya selama dua hari saat itu.Pria itu mendengar jika Wuri sedang berduaan dengan seorang pria pendatang dan dia memeluk gadis itu, inilah laporan yang membuatnya senang sekaligus was-was. Biar bagaimanapun juga, gadis itu adalah titipan dari sahabatnya, untuk di jaga sebaik-baiknya apabila sampai tua dia tidak menemukan jodohnya. Dia tidak ingin ada hal buruk terjadi padanya.“Ah! Ketua, kenapa kemari, ini sudah malam!” kata Wuri dalam bahasa daerahnya setelah memberi penghormatan khas