Share

Bab 7. Bibi Dan Nona

Wuri berjalan dengan berat mengikuti Natia menuju mobil Zemi yang terparkir tak jauh dari mereka. Ia masuk dan duduk di samping Natia, wajahnya cemberut menunjukkan ketidak sukaannya.

"Di mana kalian tinggal?" Tanya Zemi, sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia sempat melirik Wuri yang duduk di belakangnya, dari kaca spion di depannya, gadis itu masih bersikap sama, cuek dan dingin.

"Di Biru Laut," jawab Natia sambil memandang ke luar jendela.

"Kalian tinggal bersama dan bekerja di tempat yang sama?" Tanya Zemi lagi.

"Tidak, dia baru bekerja hari ini." Natia kembali menjawab pertanyaan Zemi, sambil menepuk kepala Wuri pelan.

Wuri memulai pekerjaannya hari ini, ia dipindahkan dari kantor cabang Palang Merah Bulan Emas, ke kantor pusat di Kota Bharru. Bisa bekerja di sana, adalah keinginan terbesarnya. Kesempatan itu baru ia dapatkan, setelah enam bulan yang lalu, sertifikasinya diterima.

Ia harus meninggalkan kampung halaman dan tempat tinggal yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa, bersama kedua orangtuanya, selama bertahun-tahun. Meskipun begitu, kenangan bersama teman-teman, kerabat dan tetangga, tetap ia simpan dengan baik, dalam ingatannya.

"Oh, bekerja di mana?"

"Hei, Nona. Jawab pertanyaannya, kau bekerja di mana?" Tanya Natia.

Wuri diam saja, ia merasa orang asing tidak perlu tahu apapun tentang dirinya.

"Kalau aku boleh tahu, apa pekerjaanmu?" Zemi mengajukan pertanyaan kepada Wuri.

"Entah aku tidak tahu apa yang dia kerjakan. Tapi dia orang yang senang menantang bahaya."

Kembali Natia menjawab, seolah-olah mereka mengobrol berdua saja, sedangkan Wuri hanya seperti udara.

"Hmm, pasti pekerjaanmu sangat menarik," kata Zemi.

"Menurutku, tidak. Anak ini cuma cari mati," sahut Natia.

"Hais, siapa yang kau bilang anak, Bibi?" Kata Wuri, tiba-tiba bersuara, begitu mendengar ucapan Natia. 

Melihat akhirnya Wuri bereaksi, Natia tertawa dan berkata, "Aku senang kau seperti ini Nona Lawu."

"Bibi ...."

"Nona ...."

Dua wanita itu bercanda sambil saling memukul bahu. Namun akhirnya tertawa.

"Apa kalian sudah selesai bertengkar? Kita sudah sampai." Zemi berkata sambil memarkirkan kendaraannya di depan apartemen sederhana.

Seketika Wuri dan Natia menoleh pada Zemi dan ke luar jendela secara bergantian. Mereka benar-benar sudah sampai di tujuan. Jarak apartemen memang tidak terlalu jauh dari Cafe Bar Cofee tempat Natia bekerja selama ini.

Mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti disebuah apartemen sederhana yang bertuliskan Biru Laut Apartemen. Bangunan ini tidak begitu tinggi tapi cukup besar. Tempat yang biasa dihuni oleh orang kalangan menengah ka bawah, para karyawan, atau  buruh seperti Natia. 

"Ayo, turun! Kita sudah sampai." Natia berkata sambil membuka pintu mobi dan ia turun sambil membantu Wuri membawakan kopernya.

"Benarkah di sini kalian tinggal?" Zemi bertanya sambil menutup kembali pintu mobilnya.

Ia mencoba mengambil koper dari tangan Wuri, tapi gadis itu menolak. Ia menahan koper di tangannya dan menepis tangan Zemi. 

"iya, kami tinggal di sini," jawab Natia.

"Nomor, berapa ...?" Belum sempat Zemi meneruskan kata-kata nya, Wuri sudah menarik tangan Natia sambil melangkah menjauhinya.

"Terima kasih Zemi. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu." Kata Wuri sambil menundukkan kepalanya.

"Aku akan mengantarmu," Zemi menyahut.

"Tidak perlu. Terima kasih." Wuri berkata sambil menarik tangan Natia, dengan cepat ia berjalan memasuki apartemen. Hal itu membuat Natia mengimbangi langkahnya dengan terburu-buru.

Wuri menunjukkan sikap tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan Zemi dan laki-laki itu mengerti, hingga ia tidak memaksakan diri.

Zemi merasa diabaikan dan hanya bisa menatap punggung dua wanita itu menjauh. Sebenarnya ia masih penasaran dengan Wuri. Namun, ia tidak bisa mencari keterangan lain tentangnya malam ini. Ia hanya berkata pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa mencari informasi, melalui Natia di tempat kerjanya, suatu saat nanti.

Sedangkan Wuri, terus memaksa Natia agar memasuki apartemen lebih cepat lagi. Sebelum memasuki lift, ia sempat melirik pada Zemi, tapi ia tidak memperdulikan laki-laki, yang masih menatapnya arena tidak ingin terlibat lebih jauh dengannya.

Setelah sampai di dalam apartemen, mereka berdua merebahkan diri. Hari sudah larut malam, tapi sepertinya mereka belum hendak tertidur karena mereka terus saja berbincang-bincang.

"Nona Lawu, sepertinya Zemi menyukaimu, dia terus melirikmu sejak mengajak kita pulang bersama."

"Jangan berlebihan, dan sudah kubilang jangan panggil aku, Nona."

"Tapi aku tidak terbiasa, Nona. Kau memang anak dari kepala suku dan kau juga pantas menduduki jabatan ayahmu sejak dia meninggal, Nona saja yang menolaknya."

"Tapi kau tidak pantas memanggilku Nona karena kau lebih tua dariku. Kau juga tidak mau dipanggil Bibi, kenapa?"

"Aku terkesan lebih tua kalau kau memanggilku Bibi, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah lagi denganku."

"Hais. Bukannya Bibi memang tidak mau menikah lagi?"

"Aku cuma ingin menemanimu, tahu? Kau kan tidak mau menikah karena takut dengan tanda kutukan itu?"

"Tidak, siapa bilang aku takut?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status