Share

Bab 6. Mengingat Seseorang

Wuri dan Natia mendongak, pada laki-laki yang berdiri di hadapan mereka, sambil mengulurkan tangannya. Ia masih mengenakan kemeja yang kotor karena tumpahan kopi sebelumnya.

Wuri mengangguk, lalu menoleh pada Natia di sampingnya.

Ia berkata, “Apa kau mau berkenalan dengannya, Nat?”

Natia mengangguk dan berdiri sambil menyambut uluran tangan Zemi. Wanita bertubuh gemuk itu berkata dengan lembut, “Kenalkan, aku Natia Ralusi. Panggil saja aku Natia, siapa namamu?”

Zemi mengerutkan alisnya, ia sebenarnya ingin mengenal Wuri karena mengingat sesuatu. Laki-laki itu secara tidak sengaja mendengarnya berteriak girang. Suara itu mirip dengan sebuah suara yang ia simpan dalam ingatannya.

Zemi menjabat erat tangan Natia lalu berkata, “Aku Zamidean. Panggil saja aku Zemi.”

“Hai, Zemi. Senang berkenalan denganmu,” kata Natia.

“Aku juga,” kata Zemi lalu menoleh pada Wuri yang tampak cuek dan kembali bertanya, “lalu siapa temanmu?”

“Dia Nona Lawu. Kau harus memanggil begitu, kalau tidak ingin celaka.” Natia menjawab sambil tertawa dan menutup mulut dengan telapak tangannya.

“Kau panggil aku Nona, maka kupanggil kau Bibi!” Kata Wuri. Ia berdiri sambil melirik Natia kesal, lalu beralih menatap Zemi dan menyalaminya.

“Jangan dengarkan dia,” katanya sambil melepaskan jabatannya dari tangan Zemi dan kembali berkata. “Kau tidak perlu memanggilku Nona.”

Zemi ingat saat tadi gadis itu bertabrakan dengannya, Natia memanggilnya dengan sebutan Nona Lawu. Jadi memang itulah namanya, pikir Zemi.

Ia ingat saat terjadi kecelakaan waktu itu, wanita yang menolongnya bernama Wuri. Lalu, ia pun mengambil kesimpulan bahwa wanita yang ada di hadapannya, bukanlah wanita yang dicarinya selama ini.

“Baiklah, senang berkenalan denganmu Lawu. Aku sangat berterima kasih karena kau tadi sudah menolongku di toilet."

“Ah, tidak perlu berterima kasih, aku juga sudah mengotori bajumu.”

“Baiklah. Kalau begitu kita impas, ya.” Zemi tersenyum lembut. Ia tidak harus merasa berhutang budi pada Wuri. Walaupun ia sudah menyelamatkannya malam ini, hingga Zemi bisa bebas, tidak harus terkurung di dalam rumah lagi.

“Hmm.” Wuri mengangguk seraya memalingkan pandangannya. Lalu menoleh pada Natia dan menggamit tangannya.

“Ayo, Bibi! Kita pulang.” Wuri berjalan melewati Zemi sambil menarik tangan Natia agar segera berlalu dari sana.

"Jangan panggil aku Bibi, memalukan!" Kata Natia sambil mengikuti langkah Wuri, walaupun sebenarnya ia masih ingin berbincang dengan Zemi.

"Dan jangan panggil aku Nona, memalukan!" Kata Wuri sambil tertawa kecil. Mereka  menuju Halte bis yang tidak terlalu jauh dari Cafe itu berada.

“Aku bisa mengantarmu. Di mana kalian tinggal?” Tanya Zemi  setengah berteriak, pada kedua wanita yang sudah berjalan beberapa langkah, darinya. Ia baru terpikir untuk memberikan kedua wanita itu tumpangan.

"Benarkah?!" Natia berkata sambil membalikkan badannya.

Ia pikir ini adalah hal baik bagi mereka. Tidak mengeluarkan ongkos bis sekali atau dua kali, sudah sangat menguntungkan bagi karyawan kecil seperti dirinya. Apalagi ia tahu, laki-laki yang menawarkan tumpangan itu, seorang yang mungkin istimewa. 

Selama ini Natia tidak ingin memiliki suami lagi, setelah terakhir kali suaminya mati. Ia sudah tiga kali menikah tapi tidak pernah berhasil dalam rumah tangganya.

Kini ia hanya senang memanfaatkan laki-laki yang baik padanya. Berbeda dengan Wuri yang enggan dekat dengan pria, meskipun banyak pria yang baik padanya.

"Ayo, Nona! Ada orang baik yang mau mengantar pulang." Natia berkata sambil menarik tangan Wuri.

"Bibi ...." Gadis itu terlihat enggan. Ia sebenarnya malu pada Zemi, mereka tadi sempat bertatapan mata begitu dalam.

Ia sangat menjaga perasaan dan memikirkan dirinya sendiri, hingga ia takut jatuh cinta.

Para tetua adat mengatakan bahwa Wuri, tidak bisa menikah dengan sembarang laki-laki karena tanda kutukan yang dimilikinya. Sebab itulah, ia tidak menikah, meski usianya sudah hampir lewat kepala tiga. Ia hanya lebih muda beberapa tahun saja dari Natia.

Wuri sebenarnya sejak dulu, tidak mengerti dengan mitos aneh yang dipercayai sukunya. Sekarang, ia telah menempuh pendidikan tinggi dan mendapatkan sertifikasi untuk keahliannya. Ia juga banyak bergaul dengan orang berpengalaman dari berbagai disiplin ilmu, membuat kepercayaan dan ritual adat,  sedikit demi sedikit, ditinggalkannya.

Namun soal pasangan hidup ia tetap ragu, walaupun, ia tidak mempercayai mitos-mitos seputar tanda, kelahiran atau jodoh. Masih ada kekhawatiran bila mitos itu benar.

Mana mungkin ia meneliti pada tubuh setiap laki-laki yang ia sukai, atau menanyakan apakah laki-laki itu memiliki tanda lahir yang sama dengan dirinya? Itu hal yang paling memalukan untuk dijadikan pembicaraan. Mungkin ia akan dianggap bodoh oleh sebagian orang, bila mengaku percaya dengan mitos seperti ini.

Banyak sekali mitos yang masih tumbuh subur dan dipercaya sedemikian rupa oleh sebagian besar masyarakat, di negeri ini. Bahkan beberapa mitos justru sudah mendarah daging pada mereka, disebabkan karena terlalu seringnya kejadian, yang menyatakan bahwa mitos itu benar adanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status