Wuri dan Natia mendongak, pada laki-laki yang berdiri di hadapan mereka, sambil mengulurkan tangannya. Ia masih mengenakan kemeja yang kotor karena tumpahan kopi sebelumnya.
Wuri mengangguk, lalu menoleh pada Natia di sampingnya.
Ia berkata, “Apa kau mau berkenalan dengannya, Nat?”
Natia mengangguk dan berdiri sambil menyambut uluran tangan Zemi. Wanita bertubuh gemuk itu berkata dengan lembut, “Kenalkan, aku Natia Ralusi. Panggil saja aku Natia, siapa namamu?”
Zemi mengerutkan alisnya, ia sebenarnya ingin mengenal Wuri karena mengingat sesuatu. Laki-laki itu secara tidak sengaja mendengarnya berteriak girang. Suara itu mirip dengan sebuah suara yang ia simpan dalam ingatannya.
Zemi menjabat erat tangan Natia lalu berkata, “Aku Zamidean. Panggil saja aku Zemi.”
“Hai, Zemi. Senang berkenalan denganmu,” kata Natia.
“Aku juga,” kata Zemi lalu menoleh pada Wuri yang tampak cuek dan kembali bertanya, “lalu siapa temanmu?”
“Dia Nona Lawu. Kau harus memanggil begitu, kalau tidak ingin celaka.” Natia menjawab sambil tertawa dan menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Kau panggil aku Nona, maka kupanggil kau Bibi!” Kata Wuri. Ia berdiri sambil melirik Natia kesal, lalu beralih menatap Zemi dan menyalaminya.
“Jangan dengarkan dia,” katanya sambil melepaskan jabatannya dari tangan Zemi dan kembali berkata. “Kau tidak perlu memanggilku Nona.”
Zemi ingat saat tadi gadis itu bertabrakan dengannya, Natia memanggilnya dengan sebutan Nona Lawu. Jadi memang itulah namanya, pikir Zemi.
Ia ingat saat terjadi kecelakaan waktu itu, wanita yang menolongnya bernama Wuri. Lalu, ia pun mengambil kesimpulan bahwa wanita yang ada di hadapannya, bukanlah wanita yang dicarinya selama ini.
“Baiklah, senang berkenalan denganmu Lawu. Aku sangat berterima kasih karena kau tadi sudah menolongku di toilet."
“Ah, tidak perlu berterima kasih, aku juga sudah mengotori bajumu.”
“Baiklah. Kalau begitu kita impas, ya.” Zemi tersenyum lembut. Ia tidak harus merasa berhutang budi pada Wuri. Walaupun ia sudah menyelamatkannya malam ini, hingga Zemi bisa bebas, tidak harus terkurung di dalam rumah lagi.
“Hmm.” Wuri mengangguk seraya memalingkan pandangannya. Lalu menoleh pada Natia dan menggamit tangannya.
“Ayo, Bibi! Kita pulang.” Wuri berjalan melewati Zemi sambil menarik tangan Natia agar segera berlalu dari sana.
"Jangan panggil aku Bibi, memalukan!" Kata Natia sambil mengikuti langkah Wuri, walaupun sebenarnya ia masih ingin berbincang dengan Zemi.
"Dan jangan panggil aku Nona, memalukan!" Kata Wuri sambil tertawa kecil. Mereka menuju Halte bis yang tidak terlalu jauh dari Cafe itu berada.
“Aku bisa mengantarmu. Di mana kalian tinggal?” Tanya Zemi setengah berteriak, pada kedua wanita yang sudah berjalan beberapa langkah, darinya. Ia baru terpikir untuk memberikan kedua wanita itu tumpangan.
"Benarkah?!" Natia berkata sambil membalikkan badannya.
Ia pikir ini adalah hal baik bagi mereka. Tidak mengeluarkan ongkos bis sekali atau dua kali, sudah sangat menguntungkan bagi karyawan kecil seperti dirinya. Apalagi ia tahu, laki-laki yang menawarkan tumpangan itu, seorang yang mungkin istimewa.
Selama ini Natia tidak ingin memiliki suami lagi, setelah terakhir kali suaminya mati. Ia sudah tiga kali menikah tapi tidak pernah berhasil dalam rumah tangganya.
Kini ia hanya senang memanfaatkan laki-laki yang baik padanya. Berbeda dengan Wuri yang enggan dekat dengan pria, meskipun banyak pria yang baik padanya.
"Ayo, Nona! Ada orang baik yang mau mengantar pulang." Natia berkata sambil menarik tangan Wuri.
"Bibi ...." Gadis itu terlihat enggan. Ia sebenarnya malu pada Zemi, mereka tadi sempat bertatapan mata begitu dalam.
Ia sangat menjaga perasaan dan memikirkan dirinya sendiri, hingga ia takut jatuh cinta.
Para tetua adat mengatakan bahwa Wuri, tidak bisa menikah dengan sembarang laki-laki karena tanda kutukan yang dimilikinya. Sebab itulah, ia tidak menikah, meski usianya sudah hampir lewat kepala tiga. Ia hanya lebih muda beberapa tahun saja dari Natia.
Wuri sebenarnya sejak dulu, tidak mengerti dengan mitos aneh yang dipercayai sukunya. Sekarang, ia telah menempuh pendidikan tinggi dan mendapatkan sertifikasi untuk keahliannya. Ia juga banyak bergaul dengan orang berpengalaman dari berbagai disiplin ilmu, membuat kepercayaan dan ritual adat, sedikit demi sedikit, ditinggalkannya.
Namun soal pasangan hidup ia tetap ragu, walaupun, ia tidak mempercayai mitos-mitos seputar tanda, kelahiran atau jodoh. Masih ada kekhawatiran bila mitos itu benar.
Mana mungkin ia meneliti pada tubuh setiap laki-laki yang ia sukai, atau menanyakan apakah laki-laki itu memiliki tanda lahir yang sama dengan dirinya? Itu hal yang paling memalukan untuk dijadikan pembicaraan. Mungkin ia akan dianggap bodoh oleh sebagian orang, bila mengaku percaya dengan mitos seperti ini.
Banyak sekali mitos yang masih tumbuh subur dan dipercaya sedemikian rupa oleh sebagian besar masyarakat, di negeri ini. Bahkan beberapa mitos justru sudah mendarah daging pada mereka, disebabkan karena terlalu seringnya kejadian, yang menyatakan bahwa mitos itu benar adanya.
Wuri berjalan dengan berat mengikuti Natia menuju mobil Zemi yang terparkir tak jauh dari mereka. Ia masuk dan duduk di samping Natia, wajahnya cemberut menunjukkan ketidak sukaannya."Di mana kalian tinggal?" Tanya Zemi, sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia sempat melirik Wuri yang duduk di belakangnya, dari kaca spion di depannya, gadis itu masih bersikap sama, cuek dan dingin."Di Biru Laut," jawab Natia sambil memandang ke luar jendela."Kalian tinggal bersama dan bekerja di tempat yang sama?" Tanya Zemi lagi."Tidak, dia baru bekerja hari ini." Natia kembali menjawab pertanyaan Zemi, sambil menepuk kepala Wuri pelan.Wuri memulai pekerjaannya hari ini, ia dipindahkan dari kantor cabang Palang Merah Bulan Emas, ke kantor pusat di Kota Bharru. Bisa bekerja di sana, adalah keinginan terbesarnya. Kesempatan itu baru ia dapatkan, setelah enam bulan yang lalu, sertifikasinya diterima.Ia harus meninggalkan kampung halaman
Saat sedang berbincang-bincang, mereka berdua berada di atas tempat tidur milik Natia yang cukup nyaman. Posisi tubuh mereka tertelungkup bersebelahan."Lalu, kenapa Nona tidak juga menikah, padahal sudah banyak laki-laki yang jatuh cinta padamu." Natia berkata sambil menopang dagunya."Bibi, kau tahu kan, aku tidak suka dengan, laki-laki yang mau menikah denganku? Mereka bilang sesuatu yang menjijikkan.""Memangnya apa yang mereka bilang? Pasti ada hubungannya dengan tanda kutukan itu, kan?""Aku tidak punya tanda kutukan, mengerikan sekali. Tidak ada tanda seperti itu di zaman sekarang ini.""Jadi, tanda apa? Apa kau pikir leluhur kita salah dan tanda Baole di tubuhmu tidak ada artinya? Mereka menunjukkan buktinya, banyak orang yang mati karena menikah dengan orang yang tidak memiliki tanda yang sama." Natia berkata sambil mengusap siku tangan kiri Wuriya Lawu. Sebuah tanda berbentuk seperti ular melingkar berwarna putih, terlihat di sana.
Sementara itu di rumah Zemi, laki-laki itu berdiri tegap di depan foto sang kakek, yang tergantung di dinding sebelah perapian. Hanya foto kakek lah yang memiliki pigura paling besar diantara foto lainnya.Rodi Hegane, kakek Zemi, membuat pigura kaca besar itu setahun yang lalu setelah ia selamat dari kecelakaan maut di Jalan Utama Kota. Sepertinya laki-laki yang ada dalam gambar, adalah orang yang spesial baginya.Selama ini Zemi penasaran dengan siapa kakek berfoto? Laki-laki yang berpose di samping kakek itu tengah tersenyum dan menjabat tangannya. Pria itu berambut keriting dan Zemy rasa, warna kulit, serta senyuman laki-laki itu sangat mirp dengan Lawu, gadis yang ia kenal beberapa jam yang lalu.Rodi Hegane, pernah mengalami kecelakaan yang cukup parah, walau akhirnya ia selamat. Hanya satu orang yang dinyatakan meninggal pada saat kejadian, ia adalah seorang temannya yang berada dalam mobil bersamanya saat itu.Ketika Zemie melihat tempat di
Renata duduk di samping Welia, tatapan matanya nanar pada cucunya yang juga tengah melihat ke arahnya. "Nenek, kenapa marah? Bukannya memang sudah tua makanya dipanggil Nenek?" Zemi berkata sambil tertawa kecil lalu menyandarkan tubuhnya. Bagi kebanyakan wanita, menjadi tua adalah momok paling menakutkan dalam kehidupan mereka. Karenanya, para wanita itu akan melakukan berbagai cara untuk tetap terlihat awet muda dan cantik. Termasuk dengan melakukan operasi plastik. Renata tersenyum sambil menyahut ucapan cucunya. "Ya, kau benar, tapi kau tidak pantas mengatakan aku wanita tua. Suatu saat kau juga akan sama sepertiku." Renata wanita yang tangguh dan penuh kasih, dalah yang selama ini merawat Zemi dengan hati-hati, sehingga laki-laki itu bisa selalu terhindar dari bahaya ataupun maut yang kemungkinan terjadi padanya. Kadang-kadang saja ia tidak bisa mengendalikan Zemi apabia berusaha melarikan diri, ketika ia mengunci seluruh pintu rumah setiap 40 hari
Zemi mengabaikan ibu dan nenaknya yang masih terus meracau dengan segala nasehat bijaknya. Sebenarnya Zemi sudah dewasa, pria itu sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai anak-anak, tapi dua wanita itu masih saja memperlakukan Zemi layaknya anak remaja yang masih sekolah. Mungkin bagi Welia dan Renata, Zemi tetaplah anak kecil, walaupun umurnya sudah tua. Dia melangkah mendekati foto Hegane, sang kake, mengambil sebuah gelang yang di gantung di ujung pigura. Gelang itu terbuat dari batu yang diambil dari dasar laut dalam. Bukan permata bukan berlian, tapi batu biasa hanya cara mendapatkannya saja yang luar biasa. Para pemuda atau pria dewasa, dari suku pedalaman Doulunga, akan mengambil batu itu sebagai bukti mereka bisa menahan nafas dengan cukup lama. Batu dasar laut itu diambil hanya sebagai bukti, mereka bisa menahan nafas lebih dari 3 atau 4 menit, bahkan lebih. Mereka berenang di kedalaman tertentu, hingga berhasil mengambilnya. Batu itu hanya ada di dasar l
"Duduklah di sini," kata Wellia sambil merangkul bahu Shakela dan duduk di hadapan Zsmi. Setelah dua orang wanita itu duduk di hadapannya, Zami meletakkan bukunya, lalu ia melihat dua wanita itu dengan raut wajah kesel. Ia sama sekali tidak peduli dengan Shakela walaupun gadis itu mungkin indah seperti bidadari dari langit, tapi ia tidak memiliki perasaan apa pun pada gadis yang sudah menemani dan merawatnya ketika di rumah sakit. "Kalian berdua mengobrol saja di sini, aku akan ke belakang sebeni. Oh iya, kalian mau minum apa?" Tanya Wellia sambil melirik anak lelakinya. "Ah, apa saja bibi. Aku bukan wanita pemilih." Jawab Syakela seolah memberi isyarat kepada Zemi agar dia memahami kepribadiannya. Wellia pun meminta pelayan untuk membuatkan dua gelas teh susu kesukaan Zsmi, untuk dihidangkan. Wellia mendekati Renata yang duduk di meja makan, memperhatikan dua orang manusia yang duduk dalam tenang dan saling diam, seorang lagi cuek dan yang lain terlih
Syakela Memang tak akan mengakui, tanda yang palsu dimilikinya sampai kapan pun, kecuali Zemi tidak berhasil menikah dengannya. Dia adalah pujaan hati Syakela, yang dicintainya sejak masih remaja. Syakela memiliki wajah yang cantik, dia adalah tokoh artis papan atas yang banyak penggemarnya. Banyak pula pria yang menginginkan dirinya, tapi pesona Zemi tak pernah pudar di matanya, sehingga ia ingin memilikinya. “Bagaimana kalau aku percaya mitos itu dan kau akan mati bila menikah denganku?” tanya Zemi pada wanita yang duduk manis di sampingnya. Mendengar pertanyaan Zemi, bulu kuduk Syakela meremang, tentu saja ia tidak ingin tutup usia semuda ini. Ia masih ingin melakukan banyak hal, tidak mungkin ia pergi begitu saja setelah memiliki pujaan hatinya. “Ah, kau bercanda, kan?” “Tidak, aku serius. Aku mempercayainya.” Setelah kata-kata Zemi yang terakhir, suasana menjadi hening, sementara di ruang sebelah, Welia dan Renita masih memperhatikan, dengan r
Wuri memutar bola matanya dan menjawab, “kalau tidak salah, kita pernah bertemu di cafe. Terima kasih sudah mengantarku pulang waktu itu.” Lalu menunduk dan melangkah kembali menuju lapangan di mana anak-anak sudah menunggunya. Pandangan Zemi tertuju pada gelang yang ada di tangan Wuri, membuat pria itu maju ke hadapannya. Dia berdiri menatap lurus wajah gadis itu dengan penuh tanya. “Apa kau tidak ingat siapa aku?” Maksud Zemi adalah ingatan tentang kejadian kecelakaan, yang hampir menewaskan dirinya dan wanita itulah yang menolongnya. “Maksud Anda?” Wuri balik bertanya. “Mungkin kamu pernah menolong seseorang yang hampir kehilangan nyawa di suatu tempat, atau saat kecelakaan, misalnya?” Mendengar pertanyaan itu, kening Wuri berkerut, ia hampir tidak pernah ingat siapa saja orang yang pernah bertemu atau berinteraksi dengannya dalam keadaan seperti itu. Apalagi sejak enam bulan terakhir, ia berpartisipasi dalam banyak kegiatan penanggulangan bencana dan prog