Share

BAB 9

Author: Amanda13
last update Last Updated: 2024-12-03 16:27:46

Pagi itu, Kirana datang ke kantor dengan semangat baru. Setelah malam panjang yang penuh perenungan, ia bertekad untuk memimpin dengan hati. Langkahnya lebih ringan meski beban kerja masih menumpuk.

Saat ia membuka pintu ruangannya, ada sesuatu yang berbeda. Di atas mejanya, tergeletak secangkir kopi hangat dengan tulisan kecil di atas tutupnya: “Untuk penyemangat pagi. Jangan lupa tersenyum. – A”.

Kirana tertegun. Tulisan itu jelas berasal dari Adrian. Tidak ada yang lain di kantor yang inisialnya “A”. Ia menatap cangkir kopi itu sambil tersenyum kecil, merasa ada sedikit kehangatan di tengah dinginnya tekanan kerja.

Interaksi Tak Terduga

Beberapa jam kemudian, saat Kirana sibuk memeriksa jadwal revisi, pintu ruangannya diketuk pelan.

“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.

Adrian muncul, membawa map tebal di tangannya. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku, terlihat santai namun tetap profesional.

“Kirana, saya mau membahas rencana revisi ini,” katanya sambil meletakkan map di mejanya.

“Oh, baik, Pak,” jawab Kirana, berusaha tetap fokus meski kehadiran Adrian membuatnya sedikit gugup.

Adrian duduk di kursi di depan meja Kirana. Namun, alih-alih langsung membahas dokumen, ia menatap Kirana dengan ekspresi lembut.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Kirana terkejut. “Saya? Ya, saya baik-baik saja, Pak. Kenapa tanya begitu?”

Adrian tersenyum tipis. “Saya tahu tekanan ini berat. Saya hanya ingin memastikan kamu tidak melupakan dirimu sendiri di tengah semua ini.”

Kirana merasa dadanya menghangat mendengar kata-kata itu. Adrian, yang selama ini ia kenal sebagai sosok tegas dan penuh ekspektasi, ternyata memiliki sisi yang lebih manusiawi.

“Saya berusaha, Pak,” jawab Kirana akhirnya. “Tapi terima kasih sudah peduli.”

Adrian mengangguk pelan. “Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang. Saya ada di sini untuk mendukungmu.”

Kejutan di Balkon

Saat makan siang, Kirana memutuskan untuk mengambil udara segar di balkon kantor. Ia butuh waktu sejenak untuk meredakan pikirannya sebelum kembali bekerja.

Ketika ia membuka pintu balkon, ia terkejut mendapati Adrian sudah ada di sana, berdiri dengan tangan di saku, menatap pemandangan kota.

“Pak Adrian,” panggil Kirana, sedikit ragu.

Adrian menoleh dan tersenyum. “Kirana. Sedang cari udara segar juga?”

“Iya, Pak. Saya pikir hanya saya yang suka ke sini,” jawabnya sambil mendekat.

“Kadang tempat seperti ini bisa memberi perspektif baru,” kata Adrian. “Melihat kota dari atas, rasanya seperti mengingatkan bahwa apa pun masalah kita, dunia terus berjalan.”

Kirana mengangguk, memandang pemandangan yang sama. “Tapi kadang, sulit untuk tidak merasa kecil di tengah semua ini.”

Adrian menoleh, menatap Kirana dengan pandangan lembut. “Kamu tidak kecil, Kirana. Apa yang kamu lakukan untuk tim dan proyek ini sangat besar. Tidak semua orang bisa melakukannya.”

Kirana tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Itu berarti banyak untuk saya.”

Hening sejenak. Hanya ada angin yang berhembus lembut, membawa sedikit ketenangan di tengah hari yang sibuk.

“Kirana,” Adrian memecah keheningan. “Saya ingin kamu tahu bahwa saya percaya padamu. Bukan hanya karena kemampuanmu, tapi karena hati yang kamu tunjukkan dalam memimpin tim.”

Kirana merasa pipinya memanas. Kata-kata itu begitu tulus, begitu pribadi. Ia menatap Adrian, dan untuk pertama kalinya, ia melihat pria itu sebagai lebih dari sekadar atasannya.

“Terima kasih, Pak Adrian. Saya akan melakukan yang terbaik,” jawabnya dengan suara pelan.

Adrian mengangguk. “Dan jika semuanya terlalu berat, ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Kamu punya tim, dan kamu juga punya saya.”

Sebuah Harapan Baru

Setelah percakapan di balkon, Kirana merasa ada energi baru yang mengalir dalam dirinya. Kata-kata Adrian menguatkannya, memberinya keberanian untuk terus maju.

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hati Kirana berdebar setiap kali ia mengingat tatapan Adrian, senyumnya yang tulus, dan cara ia menunjukkan kepeduliannya.

Malam itu, Kirana duduk di apartemennya, menatap secangkir kopi yang sama yang diberikan Adrian tadi pagi. Ia tidak bisa menahan senyumnya.

“Apa ini?” gumamnya, bingung dengan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya.

Di satu sisi, ia merasa ini adalah sesuatu yang indah. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa hubungan seperti ini tidaklah mudah. Adrian adalah atasannya, dan dunia kerja tidak pernah memandang hal semacam ini dengan ringan.

Namun, Kirana memutuskan untuk menyimpan perasaannya untuk sementara. Baginya, fokus utama adalah tim dan proyek ini. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa percakapan dengan Adrian hari ini telah membuka pintu yang baru—pintu menuju kemungkinan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Malam mulai jatuh ketika Kirana masih berada di ruangannya, merampungkan daftar tugas untuk esok hari. Kantor sudah hampir kosong, hanya menyisakan suara pelan dari mesin pendingin udara. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, meregangkan punggung dan menghela napas panjang.

Namun, ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh.

“Kirana,” suara Adrian terdengar sebelum ia masuk, membawa dua gelas kopi di tangannya. “Kamu masih di sini?”

Kirana tersenyum lelah. “Masih, Pak. Saya ingin memastikan semua rencana besok sudah beres.”

Adrian meletakkan salah satu gelas kopi di mejanya. “Sepertinya kamu butuh ini.”

Kirana mengambilnya dengan hati-hati. “Terima kasih, Pak. Tapi bukankah seharusnya Bapak juga sudah pulang?”

Adrian duduk di kursi tamu tanpa diundang, mengendurkan dasinya. “Kadang, saya merasa lebih tenang di kantor daripada di rumah. Banyak hal yang bisa diselesaikan di sini.”

“Benar juga, Pak. Tapi bekerja sampai larut setiap hari juga tidak baik,” jawab Kirana sambil tersenyum kecil.

Adrian menatapnya, dan kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. “Dan kamu, Kirana? Apa kamu pernah meluangkan waktu untuk dirimu sendiri?”

Kirana terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi ia sadar bahwa jawabannya tidaklah mudah. “Saya rasa, akhir-akhir ini tidak, Pak. Tanggung jawab ini cukup menyita semuanya.”

Adrian mengangguk pelan. “Saya mengerti. Tapi kamu harus ingat, Kirana. Jika kamu tidak menjaga dirimu, kamu tidak akan bisa menjaga timmu. Kamu penting, bukan hanya untuk proyek ini, tapi juga untuk dirimu sendiri.”

Kirana terhenyak. Jarang ada orang yang berbicara padanya dengan perhatian seperti itu. Hatinya mulai merasa hangat, dan ia mencoba mengalihkan pandangannya agar tidak terlihat canggung.

“Terima kasih, Pak. Saya akan mengingat itu,” katanya pelan.

Malam yang Berbeda

Percakapan mereka terus berlanjut, melampaui batas-batas profesional. Adrian mulai bercerita tentang masa-masa awalnya mendirikan NextWave, bagaimana ia menghadapi banyak kegagalan sebelum akhirnya sukses.

“Kadang saya merasa, hidup ini seperti permainan keseimbangan,” katanya. “Kamu harus terus berjalan di atas tali, menjaga agar tidak terjatuh. Tapi kalau kamu terlalu fokus pada langkahmu, kamu lupa untuk melihat pemandangan di sekitarmu.”

Kirana tersenyum, terpesona oleh sisi Adrian yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Saya tidak pernah tahu bahwa Bapak bisa begitu filosofis.”

Adrian tertawa kecil. “Hidup mengajarkan banyak hal, Kirana. Tapi saya rasa kamu juga sudah mempelajari banyak hal dalam waktu yang singkat.”

Percakapan itu berlangsung hingga mereka tidak menyadari bahwa waktu telah larut malam. Saat Kirana akhirnya melihat jam di dinding, ia terkejut.

“Sudah hampir tengah malam!” serunya.

“Sepertinya kita terlalu asyik bicara,” kata Adrian sambil berdiri. “Mari, saya antar kamu pulang.”

“Oh, tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri,” tolak Kirana dengan sopan.

Adrian menatapnya dengan tegas namun lembut. “Kirana, sudah terlalu larut. Saya tidak akan membiarkan kamu pulang sendirian. Ayo, ambil barang-barangmu.”

Di Dalam Mobil Adrian

Perjalanan pulang terasa aneh tapi menyenangkan bagi Kirana. Mobil Adrian beraroma kayu cendana, membuat suasana menjadi lebih hangat. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari makanan favorit hingga film yang mereka tonton terakhir kali.

“Jadi, kamu penggemar film drama?” tanya Adrian sambil melirik Kirana.

“Ya, saya suka cerita yang menyentuh hati,” jawab Kirana. “Mungkin karena saya merasa hidup juga penuh drama.”

Adrian tertawa kecil. “Hidup memang penuh drama. Tapi terkadang, drama itu yang membuat hidup kita lebih berwarna.”

Hati Kirana kembali berdebar. Cara Adrian berbicara, nada suaranya yang rendah, membuatnya merasa nyaman sekaligus bingung dengan perasaannya sendiri.

Momen Tak Terduga

Ketika mereka tiba di depan apartemen Kirana, Adrian mematikan mesin mobil dan menoleh ke arahnya.

“Kirana,” katanya pelan. “Terima kasih sudah bekerja begitu keras untuk proyek ini. Saya tahu saya sering terlihat keras, tapi itu karena saya ingin yang terbaik untuk semua orang, termasuk kamu.”

Kirana terdiam. Ia bisa merasakan kehangatan dalam kata-kata Adrian. “Saya mengerti, Pak. Dan saya juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah percaya pada saya.”

Ada keheningan sesaat, seolah dunia di sekitar mereka berhenti. Mata mereka saling bertemu, dan untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara.

Akhirnya, Adrian tersenyum tipis. “Baiklah, selamat malam, Kirana. Jangan lupa istirahat.”

Kirana membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum masuk ke apartemennya, ia menoleh ke arah Adrian dan melambaikan tangan. “Selamat malam, Pak Adrian.”

Ketika mobil Adrian melaju pergi, Kirana berdiri di tempatnya, memegang dadanya yang berdebar. Malam itu, ia tahu ada sesuatu yang berubah—baik dalam dirinya maupun dalam hubungan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 68

    Setelah sukses memantapkan program Kampung Mandiri, Kirana dan Adrian mulai menyadari pentingnya membangun struktur komunitas yang lebih kokoh. Mereka memutuskan untuk membentuk dewan desa mandiri di setiap desa binaan, yang terdiri dari perwakilan masyarakat, tokoh adat, dan generasi muda.“Kita butuh sistem yang bisa berjalan bahkan tanpa kehadiran kita,” ujar Adrian dalam pertemuan bersama para pemimpin komunitas. “Desa-desa ini harus mampu mengelola dirinya sendiri.”Kirana menambahkan, “Kita hanya menanam benih, tapi akarnya harus tumbuh dari kekuatan komunitas itu sendiri.”Dewan desa ini bertugas mengawasi program-program yang sedang berjalan, memastikan pembagian sumber daya yang adil, dan memberikan pelatihan kepemimpinan bagi anggota baru. Dengan adanya dewan ini, desa-desa binaan menjadi lebih mandiri dalam mengambil keputusan dan menjalankan program mereka.Selain itu, Kirana dan Adrian mulai memperkenalkan konsep keberlanjutan da

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 67

    Setelah keberhasilan Kampung Mandiri di desa percontohan, Kirana dan Adrian mulai menerima undangan dari desa-desa lain yang ingin mengadopsi konsep serupa. Mereka membentuk tim penggerak yang bertugas untuk melatih pemimpin lokal dan memastikan setiap program disesuaikan dengan kebutuhan unik setiap desa.“Kita harus memastikan bahwa setiap desa memiliki kemandirian dalam menjalankan program ini,” kata Adrian dalam sebuah rapat dengan timnya. “Bukan hanya menyalin apa yang sudah kita lakukan, tetapi menciptakan solusi yang benar-benar relevan bagi mereka.”Untuk itu, Kirana dan Adrian memperkenalkan konsep Jembatan Komunitas, sebuah program di mana desa-desa yang telah sukses menjadi mentor bagi desa-desa baru. Program ini memungkinkan pengetahuan dan pengalaman mengalir dari satu komunitas ke komunitas lain, memperkuat rasa solidaritas di antara mereka.“Dengan begini, setiap desa bisa saling mendukung,” jelas Kirana. “Dan kita menciptakan jaringan yang saling menguatkan.”Adrian, y

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 66

    Setelah sukses dengan berbagai inisiatif, Kirana dan Adrian memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Mereka meluncurkan proyek baru yang mereka beri nama “Kampung Mandiri.” Proyek ini bertujuan untuk menciptakan komunitas yang sepenuhnya mandiri dalam hal ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. “Kita ingin setiap desa bisa menjadi pusat perubahan,” jelas Adrian kepada timnya. “Bukan hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga penggerak bagi desa-desa di sekitarnya.” Sebagai langkah awal, mereka memilih tiga desa percontohan yang memiliki potensi besar namun menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Setiap desa diberikan kesempatan untuk menentukan prioritas mereka sendiri, apakah itu pengembangan usaha lokal, pendidikan, atau pelestarian lingkungan. “Kampung Mandiri ini bukan tentang kita,” kata Kirana dalam pertemuan dengan para pemimpin desa. “Tapi tentang bagaimana kalian, sebagai komunitas, mengambil kendali atas masa depan kalian sendiri.”

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 65

    Setelah keberhasilan konferensi pertama Ruang Harapan, Kirana dan Adrian memutuskan untuk memfokuskan tahun berikutnya pada memperkuat jaringan antar komunitas. Mereka percaya bahwa berbagi pengalaman dan praktik terbaik antara desa-desa yang tergabung dalam program akan mempercepat kemajuan secara kolektif.“Kita harus membuat mereka merasa bahwa mereka tidak sendiri,” kata Adrian saat diskusi dengan tim. “Jika satu desa menemukan cara yang berhasil, desa lain juga bisa belajar darinya.”Mereka memulai inisiatif ini dengan mengadakan program pertukaran antar komunitas. Dalam program ini, warga dari satu desa akan mengunjungi desa lain untuk mempelajari cara kerja program mereka. Sebagai contoh, petani kopi dari Desa Asa mengunjungi petani kakao di Desa Citra untuk mempelajari teknik fermentasi yang lebih efisien.Pak Darman, salah satu petani kopi, merasa terinspirasi setelah kunjungan tersebut. “Saya pikir saya sudah tahu segalanya tentang kopi. Tapi ter

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 64

    Setelah berhasil membangun kolaborasi antar-desa dan memperkenalkan program pendidikan digital, Kirana dan Adrian menyadari bahwa fokus berikutnya adalah memastikan ketahanan komunitas dalam menghadapi perubahan global yang terus berkembang. Salah satu tantangan terbesar adalah perubahan iklim, yang mulai memengaruhi pola panen, sumber air, dan kestabilan ekonomi desa.“Kita harus mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian,” ujar Adrian dalam rapat bersama tim Ruang Harapan. “Ketahanan komunitas adalah kunci.”Langkah awal yang mereka ambil adalah memperkenalkan program pertanian berkelanjutan. Dengan menggandeng para ahli, mereka mengadakan pelatihan tentang penggunaan teknologi ramah lingkungan, seperti irigasi tetes, kompos organik, dan tanaman yang tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem.Pak Budi, seorang petani kopi di Desa Asa, menjadi salah satu peserta pertama. “Awalnya saya ragu, tetapi setelah mencoba, saya melihat

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 63

    Setelah melihat dampak signifikan dari program Ruang Harapan di Desa Asa, Kirana dan Adrian mulai merancang langkah untuk menjangkau desa-desa yang lebih terpencil. Mereka sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Infrastruktur yang minim, akses komunikasi yang sulit, dan jarak yang jauh menjadi tantangan besar. Namun, tekad mereka untuk membawa perubahan lebih luas terus membara.“Kita harus percaya bahwa di setiap desa, selalu ada potensi tersembunyi,” kata Adrian saat mempresentasikan rencana ekspansi mereka kepada tim.Desa pertama yang mereka tuju adalah Desa Langkat, yang terletak di perbukitan dengan akses jalan yang rusak parah. Perjalanan ke desa itu memakan waktu hampir sepuluh jam, tetapi setibanya di sana, mereka disambut dengan antusias oleh para warga yang telah mendengar kisah sukses Desa Asa.“Selamat datang di Desa Langkat,” kata seorang pemuda bernama Arga, yang kemudian menjadi perwakilan komunitas setempat. “Kami sudah menunggu kesempatan ini.”Kirana tersenyum.

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 62

    Setelah bertahun-tahun mengembangkan Ruang Harapan, Kirana dan Adrian akhirnya mencapai titik di mana program mereka mulai dikenal secara internasional. Sejumlah organisasi global mengundang mereka untuk berbagi pengalaman tentang pemberdayaan komunitas dan pengembangan desa berbasis kearifan lokal.Salah satu undangan datang dari sebuah konferensi besar di Eropa yang membahas pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Kirana awalnya ragu untuk menerima undangan itu. “Aku tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang, apalagi di tingkat internasional,” katanya pada Adrian.“Tapi kamu adalah inti dari semua ini, Kirana,” ujar Adrian meyakinkan. “Tidak ada yang lebih tahu tentang perjalanan kita selain kamu.”Setelah berdiskusi panjang, Kirana akhirnya setuju untuk berbicara di konferensi tersebut. Ia menganggap ini sebagai kesempatan untuk membawa cerita komunitas mereka ke dunia yang lebih luas.Pada hari konferensi, Kirana berdiri di panggung

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 61

    Setelah berbagai pencapaian yang mereka raih, Kirana dan Adrian menyadari bahwa langkah berikutnya adalah memastikan keberlanjutan Ruang Harapan. Mereka mengadakan rapat besar bersama para pemimpin lokal dan tim inti untuk menyusun strategi jangka panjang.“Kita tidak hanya bisa bergantung pada semangat awal,” ujar Kirana dengan nada serius. “Kita perlu membangun sistem yang dapat berjalan meski tanpa keterlibatan langsung kita di masa depan.”Adrian menambahkan, “Langkah pertama adalah menciptakan struktur organisasi yang lebih solid. Kita butuh pemimpin lokal yang benar-benar memahami visi kita, dan yang terpenting, mampu menginspirasi orang lain.”Dalam diskusi tersebut, mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga pelatihan kepemimpinan yang akan melatih generasi muda dari berbagai desa untuk mengambil peran sebagai pemimpin komunitas.Namun, tidak semua rencana berjalan mulus. Ketika Ruang Harapan mulai berkembang lebih besar, muncu

  • Cinta Di Tengah Deadline   BAB 60

    Setelah bertahun-tahun membangun Ruang Harapan dari nol, Kirana dan Adrian akhirnya diundang untuk berbicara di sebuah konferensi internasional tentang pembangunan berkelanjutan di Jenewa, Swiss. Acara ini mempertemukan para pemimpin dari berbagai negara yang memiliki visi untuk menciptakan dunia yang lebih baik.“Ini kesempatan besar untuk membagikan kisah kita,” ujar Adrian dengan semangat.Namun, Kirana merasa gugup. “Apa yang bisa kita sampaikan di panggung sebesar itu? Kita hanya memulai dari desa kecil.”Adrian menggenggam tangannya. “Justru itu yang membuat cerita kita istimewa. Kita membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil.”Di konferensi tersebut, mereka berbicara tentang pentingnya melibatkan komunitas lokal dalam setiap proses pembangunan. Presentasi mereka, yang dilengkapi dengan cerita nyata dari desa-desa yang mereka bantu, mendapat tepuk tangan meriah dari audiens.Salah satu peserta dari sebuah organisasi internasional mendekati mereka setelah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status