Tiga hari.
Tubuhnya terbaring lemah di atas kasur sempit, seperti sisa hidup yang ditinggal nyawa. Wajahnya pucat, napasnya pelan dan tak beraturan. Meski kelopak matanya terpejam, bola matanya bergerak—seolah sedang menari dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Hanya Alinda yang setia menunggu di sisi tempat tidur. Sementara Kayla… duduk agak jauh. Wajahnya dingin. Jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel, bukan menatap pria yang hampir meregang nyawa demi menyelamatkannya.
Malam keempat.
Hampir semalaman, Rio terjaga, tak bisa tidur. Tubuhnya bolak-balik di atas kasur, memikirkan setiap detail yang diberikan Viktor. Pikirannya terus menerus mencoba menepis kenyataan pahit yang baru saja dia temui. Ditambah lagi, Kayla hampir tahu bahwa hatinya sudah jatuh cinta pada Andini.Rio membuka lembar demi lembar kertas yang diberikan Viktor, sampai akhirnya ia ingatsaat momen pertama kali bertemu dengan Andini. Ketika dia menyelamatkan Andini dari sekapan Randu di sebuah hotel, dan dibantu oleh Reynold.“Jangan-jangan itu semua hanya permainan mereka berdua,” gumam Rio, pikirannya berputar-putar. Dia kemudian mencari foto yang menunjukkan Andini menerima uang dari Randu.Jarinya berhenti pada sebuah gambar. Di sebelah kanan, ada foto sebuah hotel yang pernah mereka singg
Mata Rio terbuka seketika. Nafasnya memburu. Tubuhnya menggigil setelah disiram air dingin. Kedua tangannya terikat kuat di belakang kursi. Dada telanjangnya membiru dalam dingin. Di tengah ruangan yang remang, hanya satu lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di dinding.Seorang pria kurus masuk, lalu melempar koper besi ke atas meja. Dentumannya menggema, menusuk telinga.“Kau ingin tahu siapa yang membuatmu seperti ini?” suara berat menggema dari pengeras suara di sudut ruangan.Pria itu mendekat. Rambut Rio ditarik keras, wajahnya dipaksa menghadap koper. Kunci diputar lalu koper dibuka.Tumpukan foto dilempar ke hadapannya. “Lihat baik-baik foto ini!” tegas pria itu, matanya menyorotkan tekanan ya
Pintu kabin terbuka perlahan… dan dari dalam, dua sosok yang tak asing merangkak keluar. Terikat, luka-luka, wajah mereka penuh darah dan debu.Andini.Reynold.Masih hidup.Rio membeku di tempatnya. Matanya membola, bibirnya bergetar tanpa suara. Napasnya tercekat.Andini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh luka, penuh permohonan."Rio..." suara Andini serak, patah.Reynold menyusul, meski tubuhnya nyaris roboh. "Kami... kami bukan pengkhianat... kami dijebak."Rio tak bisa berkata apa-apa. Ta
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Hingar bingar musik di malam itu begitu menggelegar, memekak di telinga. Para wanita berpakaian seksi tengah bergoyang berpasangan sambil memegang minuman di tangan kanannya. Liuk tubuh seksi wanita berusia 21 tahun itu tengah menggoda mata seorang pria yang ada di hadapannya."Ayolah Rio, bawa saja dia ke atas," bisik Reynold "Kau gila Rey! malam ini aku harus pulang," timpal RioPria 40 tahun itu hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan sahabatnya, yang terus menggoda agar dia mau membawa wanita yang ada di hadapannya itu ke kamar hotel."Apakah kau tidak melihat sesuatu yang indah dalam diriku?" goda wanita yang ada di hadapan Rio sembari mendekatkan wajahnya."Siapa yang tidak suka dengan keindahan wajah yang kau miliki, Andini!" bisik Rio. Lalu dia meraih tubuhnya sambil mengikuti irama musik yang mengiringi.Andini terlihat sangat menikmati malam itu, kebersamaanya dengan Rio selalu saja membuat Andini lupa diri bahkan hingga tak sadarkan diri. Tubuh kecil nya itu selalu
Pagi hari terdengar suara dering menusuk telinga Andini hingga dia terbangun seketika, lalu dia segera mengambil ponsel yang ada di seberangnya."Bisa-bisanya kamu mengkhianatiku lagi Andini!" pria di balik telepon itu langsung membentaknya.Andini terdiam seketika, tak mampu berkata apa-apa lagi selain meneteskan air mata dengan kepala tertunduk."Hey Syam! kalau kau punya nyali, datanglah kemari, daripada kau membatasi kekasihmu seperti itu!" tak di sangka Rio langsung mengambil telepon genggam milik Andini, lalu balas memaki pria tersebut."Bangsat kau Rio!" pekik Syam, "kau pikir kau siapa huh!" dia menantangnya."Ah kau ini memang tolol!" ejek Rio sambil tertawa."Seharusnya kau sadar, Andini itu siapa!" ".....," tak ada balasan apapun dari Syam, tak lama dia pun menutup teleponnya.Rio memberikan ponsel itu kembali kepadanya, kemudian memberikan sentuhan kecil ke atas kepalanya. Dia sadar bahwa wanita yang sedang bersamanya itu adalah pemain cinta, namun hatinya selalu saja men
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k
Pintu kabin terbuka perlahan… dan dari dalam, dua sosok yang tak asing merangkak keluar. Terikat, luka-luka, wajah mereka penuh darah dan debu.Andini.Reynold.Masih hidup.Rio membeku di tempatnya. Matanya membola, bibirnya bergetar tanpa suara. Napasnya tercekat.Andini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh luka, penuh permohonan."Rio..." suara Andini serak, patah.Reynold menyusul, meski tubuhnya nyaris roboh. "Kami... kami bukan pengkhianat... kami dijebak."Rio tak bisa berkata apa-apa. Ta
Mata Rio terbuka seketika. Nafasnya memburu. Tubuhnya menggigil setelah disiram air dingin. Kedua tangannya terikat kuat di belakang kursi. Dada telanjangnya membiru dalam dingin. Di tengah ruangan yang remang, hanya satu lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di dinding.Seorang pria kurus masuk, lalu melempar koper besi ke atas meja. Dentumannya menggema, menusuk telinga.“Kau ingin tahu siapa yang membuatmu seperti ini?” suara berat menggema dari pengeras suara di sudut ruangan.Pria itu mendekat. Rambut Rio ditarik keras, wajahnya dipaksa menghadap koper. Kunci diputar lalu koper dibuka.Tumpukan foto dilempar ke hadapannya. “Lihat baik-baik foto ini!” tegas pria itu, matanya menyorotkan tekanan ya
Hampir semalaman, Rio terjaga, tak bisa tidur. Tubuhnya bolak-balik di atas kasur, memikirkan setiap detail yang diberikan Viktor. Pikirannya terus menerus mencoba menepis kenyataan pahit yang baru saja dia temui. Ditambah lagi, Kayla hampir tahu bahwa hatinya sudah jatuh cinta pada Andini.Rio membuka lembar demi lembar kertas yang diberikan Viktor, sampai akhirnya ia ingatsaat momen pertama kali bertemu dengan Andini. Ketika dia menyelamatkan Andini dari sekapan Randu di sebuah hotel, dan dibantu oleh Reynold.“Jangan-jangan itu semua hanya permainan mereka berdua,” gumam Rio, pikirannya berputar-putar. Dia kemudian mencari foto yang menunjukkan Andini menerima uang dari Randu.Jarinya berhenti pada sebuah gambar. Di sebelah kanan, ada foto sebuah hotel yang pernah mereka singg
Tiga hari. Rio tak sadarkan diri.Tubuhnya terbaring lemah di atas kasur sempit, seperti sisa hidup yang ditinggal nyawa. Wajahnya pucat, napasnya pelan dan tak beraturan. Meski kelopak matanya terpejam, bola matanya bergerak—seolah sedang menari dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.Hanya Alinda yang setia menunggu di sisi tempat tidur. Sementara Kayla… duduk agak jauh. Wajahnya dingin. Jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel, bukan menatap pria yang hampir meregang nyawa demi menyelamatkannya.Malam keempat. Mata Rio terbuka perlahan. Pandangannya kabur, tertutup kabut tipis yang menyelimuti seisi ruangan. Ia melihat sosok wanita berambut ikal duduk di samping tempat tid
Tiba-tiba, suara tawa rendah menggema dari balik helm salah satu penyerang. Gema itu terasa seperti ejekan di tengah kekacauan.Pria itu menurunkan senjatanya perlahan, lalu melepas helmnya.Viktor.“Bagus, Rio,” ucapnya dengan nada datar, menyunggingkan senyum tipis yang lebih menyeramkan daripada ramah. “Kau bertahan lebih lama dari yang kuduga.”Rio terdiam. Napasnya memburu, dada naik-turun seperti habis dikejar maut. Matanya menatap Viktor, tak percaya bahwa semua kekacauan tadi… hanya bagian dari rencana pelatihan.“Selamat datang di latihan pertamamu, Rio” lanjut Viktor, nadanya masih tenang, tapi dingin. “Kau gagal menjaga dokumen itu. Tapi kau lulus satu hal penting
Satu tembakan terdengar meletus. Rio terpaku. Alinda dan Laudya menoleh dengan ekspresi panik.Dari ambang pintu, seorang perempuan melangkah masuk. Jaket hitam membalut tubuhnya, dan wajahnya terlihat dingin, tak tergoyahkan. Perlahan, cahaya menyinari wajah itu—Kayla.Tangannya masih menggenggam pistol. Asap tipis masih mengepul dari moncong senjatanya—namun bukan mengarah pada Rio. Di belakang Viktor, salah seorang anak buahnya tergeletak tak bernyawa, darah menggenangi dada.Orang-orang Viktor segera mengangkat senjata ke arahnya. Kayla berdiri tenang, tak gentar, mengungkapkan penyamarannya yang se