Gema suara mantan sahabat karibnya itu merasuk ke telinga Rio hingga membuat kedua matanya terus berkeliling, mengamati keadaan sekitarnya.
"Randu!" gumam Rio terus mencari keberadaannya.
Suasana di ruangan itu sangat redup, beberapa killatan cahaya nampak dari mezanine yang terbuat dari besi. Derap langkah kaki dari sepatu yang di kenakan Randu mulai menelisik ke dalam telinga Rio, perlahan dia mulai mendongkakkan kepalanya ke atas.
"Halo Rio!" sapa Randu kemudian menyalakan semua lampu ruangan.
Dia melipat kedua tangannya di atas pagar besi lalu melemparkan senyuman sinis kepada Rio. Di sampingnya terdapat belasan anak buah Randu sedang mendampingi dirinya, di lengkapi dengan senjata laras panjang.
Kedua mata mereka saling beradu pandang, menyimpan banyak rahasia di masa lalu yang telah terkubur di dalam hatinya masing-masing.
"Aku pikir Kayla sudah mengatakannya kepadamu Rio," Randu berjalan menuruni anak tangga yang ada di belakang
Rio benar- benar tidak berdaya, seluruh tubuhnya terkulai lemas di atas brankar ambulance. Kedua matanya tertutup rapat, dan wajahnya masih berceceran noda berwarna merah.Kayla mendampingi Rio menuju rumah sakit, air matanya mengalir begitu deras melihat kekasihnya harus mengalami hal ini. Sesampainya di sana Rio langsung di beri tindakan oleh petugas paramedis agar dia bisa segera pulih."Kayla!" Reynold berlari dari ujung lorong mendekati Kayla, dia tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya."Bagaimana keadaan Rio?" tanya Reynold langsung meraih tubuh Kayla untuk memberikan kekuatan kepadanya."Randu hampir saja menghabisinya Rey!""Aku takut Rey!" air mata Kayla begitu deras mengalir dari kelopak matanya.Reynold tidak sempat menemani dirinya karena dia harus menghapus beberapa bukti yang bisa menjerumuskan Rio ke dalam masalah yang lebih besar. Karena dia tahu jika Rio adalah orang yang ceroboh, jadi dia memutuskan untuk per
"Randu kembali ke kota ini?" tanya Reynold dengan kerutan di dahinya."Apa yang dia lakukan sebenarnya Rey?" Kayla berjalan mondar-mandir sambil mengusap dahinya."Sudah dua hari ini aku tidak berkomunikasi dengannya sama sekali," jawab Reynold kemudian mencoba untuk menghubunginya.Melihat ketegangan di wajah Kayla, Reynold memberanikan diri untuk menghubungi Andini."Apa Rio sedang bersamamu?" tanya Reynold dari balik telepon."Pagi ini aku tidak berkomunikasi dengannya, karena kemarin kami berdua sudah menghabiskan waktu bersama," jawab Andini penuh kebahagiaan.Reynold sadar jika dia tidak bisa terlalu banyak bicara, kuatir jika pembicaraan mereka terdengar oleh Kayla.10 menit kemudian terdengar suara ketukan pintu, Kathy datang membawa dokumen di tangannya."Aku mendapat kontrak dari Gerard & Smith Company," ucap Kathy menyodorkan berkas yang ada di tangannya kepada Kayla.Dia segera membukanya satu persa
Sudah dua hari Rio belum sadarkan diri. Sementara itu, Anna dan Robby terus mencoba menghubungi Kayla untuk mencari tahu kondisinya. Mereka sangat khawatir, namun Kayla dan Reynold benar-benar melarang siapa pun menemui Rio.Kayla tahu, Randu tidak akan tinggal diam. Maka malam itu, ia menitipkan Rio kepada Reynold. Dia sendiri akan pergi keluar kota bersama Robby dan Anna.“Kenapa bukan aku saja yang membawa mereka, Kay?” tanya Reynold, menatapnya penuh kekhawatiran.“Hanya aku yang bisa bertemu dengan anak buah Papa di sana. Tolong jaga Rio sampai aku kembali,” jawab Kayla cepat, lalu segera meninggalkan tempat itu.Beberapa orang suruhan Kayla telah membawa Robby dan Anna keluar dari kota. Mereka berhenti sejenak di sebuah
Suara menggelegar dari balik telepon menggema di dalam ruangan, seperti dentuman petir yang menyambar jantung Rio meski ia tak mendengarnya langsung.“Dewi Fortuna sepertinya masih melindungimu, Rio,” ujar Randu di seberang telepon, suaranya dingin, penuh ejekan.“Tapi, tidak lama lagi. Aku sudah siapkan senjata untuk menghabisimu.”Telepon terputus. Tak lama kemudian, satu pesan masuk. Sebuah foto: pria bertubuh kekar, berdiri kaku di balik jeruji besi dengan tatapan buas.Siang itu, langit mendung menaungi penjara tua di sudut kota tempat yang terkenal dengan reputasi kelam dan bau darah yang seolah menetap di dinding-dindingnya. Dua mobil hitam berhenti tepat di gerbang utama.
Malam itu Andini meminta ijin kepada Lucy untuk kembali ke kampungnya, dia takut jika mantan suaminya itu akan mengambil Raya dari tangan ibunya."Aku akan mengantarmu Andini," kata Reynold lalu segera pergi meninggalkan tempat ini."Bagaimana dia bisa keluar dari sana bang?" tanya Andini heran karena dia tahu jika Axel mendapatkan hukuman selama 2 tahun."Semua ini karena Rio telah membuka luka lama," jawab Reynold dari balik kemudi.Dua jam perjalanan di tempuh oleh keduanya hingga sampai di kampung halaman Andini. Suasana hening di tempat ini membuat malam semakin mencekam.Andini segera turun dari kendaraan lalu mengetuk pintu rumah ibunya."Bu...," teriak Andini sambil mengintip dari balik jendela, terlihat ada celah kecil dari gordyn yang menjuntai ke bawah."Ibu....!" dia kembali memanggil ibunya namun dia tidak mendengar sahutan dari dalam.Jantungnya Andini berpacu, sementara wajahnya justru memudar seperti
Reynold langsung membuka pintu yang tadinya tertutup rapat, dia melihat Rio masih mengenakan baju pasien melekat di tubuhnya."Apa yang terjadi Rio?" tanya Reynold mendekatinya perlahan."Sepertinya perang ini sudah di mulai Rey," dia menyodorkan ponsel yang berisi ancaman dari Randu.Dari balik layar ponsel dia melihat Axel sedang berada di Club Seven Eight sedang berbicara dengan Lucy."Andini sudah berada di tempat yang aman Rio, jadi kau tak perlu kuatir," ucap Reynold menatapnya dari balik ponsel.***Axel bersama anak buah Randu berusaha untuk mengobrak-abrik kediaman Andini untuk mencari tahu keberadaannya. P
Kali ini semuanya benar-benar kacau, Randu tak hanya mengeluarkan Axel dari penjara. Dia melakukan pengrusakan di tempat-tempat yang sering di kunjungi Rio.Tangan Rio mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Amarah merayap cepat, memenuhi dada dan kepalanya, namun tak ada satu pun yang bisa menjadi pelampiasan. Ia hanya bisa berdiri di sana, dihantui kemarahan yang tak punya arah."Rey...kau sudah lihat berita di televisi?" tanya Rio, mengirimkan pesan singkat kepadanya."Aku baru mendapat kabar dari Lucy," balas Reynold.***"Kau sudah menemukan Andini?" tanya Randu menatap Axel dari balik meja kerja."Aku yakin, pria itu sedang menyembunyikan putriku," desis Axel, suaranya dingin namun penuh bara. Ia memutar belati di jemarinya, lalu berdiri perlahan seperti singa yang hendak menerkam.Tawa Randu menggelegar seisi ruangan, "aku pikir kau seorang pemburu yang hebat," kata Randu lalu beranjak dari tempat duduknya.
Saat pintu itu terbuka, Archie terhenti sejenak, matanya membelalak. Di hadapannya, tubuh sahabatnya tergeletak kaku di atas lantai, dengan kedua tangan terikat erat di belakang. Mulutnya disumpal kain hitam yang tampak sudah basah, dan darah menggenang di sekitar kepala—sebuah lubang besar yang mengerikan terlihat di dahi, seolah memberikan jawaban tanpa kata-kata atas nasib tragis yang baru saja menimpa."Ups...!" kata Randu, suaranya terdengar ringan, bahkan sedikit sinis, saat tubuh itu terjatuh dan menimpa kaki Archie."Rupanya aku lupa untuk membuang Doyle ke sungai," sambungnya dengan tawa yang seolah ringan, namun ada kekejaman yang tersirat. Matanya meny
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini
Pagi itu, Andini terbangun perlahan. Dia masih bersandar dalam pelukan Rio, tubuh mereka terbalut kehangatan yang kontras dengan udara dingin yang merayap dari mulut gua.Kabut tipis melayang di udara, membentuk bayangan samar di luar sana. Suara tetesan air embun jatuh dari batu-batu di langit-langit, menciptakan irama pelan yang terasa hampir romantis — jika saja situasinya tak begitu berbahaya.Tiba-tiba, suara teriakan menggema di kejauhan."Alinda... sepertinya mereka di dalam mulut gua!" Suara Reynold—panik, mengancam—menggetarkan dinding batu.Andini membeku, lalu dengan cepat menggoyangkan tubuh Rio. "Rio... bangun. Rey dan Alinda... mereka mencari kita," bisiknya tergesa, nadanya d
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k
Pintu kabin terbuka perlahan… dan dari dalam, dua sosok yang tak asing merangkak keluar. Terikat, luka-luka, wajah mereka penuh darah dan debu.Andini.Reynold.Masih hidup.Rio membeku di tempatnya. Matanya membola, bibirnya bergetar tanpa suara. Napasnya tercekat.Andini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh luka, penuh permohonan."Rio..." suara Andini serak, patah.Reynold menyusul, meski tubuhnya nyaris roboh. "Kami... kami bukan pengkhianat... kami dijebak."Rio tak bisa berkata apa-apa. Ta
Mata Rio terbuka seketika. Nafasnya memburu. Tubuhnya menggigil setelah disiram air dingin. Kedua tangannya terikat kuat di belakang kursi. Dada telanjangnya membiru dalam dingin. Di tengah ruangan yang remang, hanya satu lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di dinding.Seorang pria kurus masuk, lalu melempar koper besi ke atas meja. Dentumannya menggema, menusuk telinga.“Kau ingin tahu siapa yang membuatmu seperti ini?” suara berat menggema dari pengeras suara di sudut ruangan.Pria itu mendekat. Rambut Rio ditarik keras, wajahnya dipaksa menghadap koper. Kunci diputar lalu koper dibuka.Tumpukan foto dilempar ke hadapannya. “Lihat baik-baik foto ini!” tegas pria itu, matanya menyorotkan tekanan ya