Pagi hari terdengar suara dering menusuk telinga Andini hingga dia terbangun seketika, lalu dia segera mengambil ponsel yang ada di seberangnya.
"Bisa-bisanya kamu mengkhianatiku lagi Andini!" pria di balik telepon itu langsung membentaknya.
Andini terdiam seketika, tak mampu berkata apa-apa lagi selain meneteskan air mata dengan kepala tertunduk.
"Hey Syam! kalau kau punya nyali, datanglah kemari, daripada kau membatasi kekasihmu seperti itu!" tak di sangka Rio langsung mengambil telepon genggam milik Andini, lalu balas memaki pria tersebut.
"Bangsat kau Rio!" pekik Syam, "kau pikir kau siapa huh!" dia menantangnya.
"Ah kau ini memang tolol!" ejek Rio sambil tertawa.
"Seharusnya kau sadar, Andini itu siapa!"
".....," tak ada balasan apapun dari Syam, tak lama dia pun menutup teleponnya.
Rio memberikan ponsel itu kembali kepadanya, kemudian memberikan sentuhan kecil ke atas kepalanya. Dia sadar bahwa wanita yang sedang bersamanya itu adalah pemain cinta, namun hatinya selalu saja menolak jika Andini mampu menjadi wanita yang dia harapkan.
Dengan tubuh terbalut handuk, Rio mengarahkan pandangannya ke arah Andini, dari depan pintu kamar mandi.
Gadis berambut hitam itu sedang berusaha menahan air mata yang sudah tak mampu di bendung lagi. Meskipun nampak senyuman di wajahnya, dia sedang memperlihatkan kegelisahannya kepada pria idamannya itu.
"Sudah ku katakan agar kamu tidak bermain cinta dengannya," celoteh Rio.
"lalu aku harus bagaimana?" tanya Andini, "mencintaimu pun aku tidak bisa!" tegasnya.
"Kau tau kan, jika aku ini adalah penikmat wanita," Rio mengancingkan pakaiannya.
"Aku sadar mas, aku memang telah mencintai orang yang salah, tapi kenyataannya kamu memang selalu membuatku tak mampu menahan diri saat berada di sampingmu," air matapun akhirnya jatuh menghancurkan rias wajah yang sudah tak sempurna lagi.
Rio berusaha untuk mendekat ke arah Andini, dengan tatapan wajah penuh cinta. Kedua tangannya langsung melingkar mesra ke tubuh kecil wanita malam itu, lalu berkata, "cinta itu datang bukan karena kita yang mau bukan?"
Andini mendekap erat tubuh Rio, seolah dia tak ingin pergi jauh darinya.
Setelah beberapa menit, Rio langsung mengambil jas yang menggantung di dalam lemari kemudian berpamitan kepadanya untuk kembali ke kantor. Sesampainya di sana, Reynold telah menunggu di dalam ruangan sambil menggelengkan kepala.
"Sudah ku duga kalau kau tidak akan mampu menahan panah asmara dari dia," lalu menyodorkan segelas kopi kepadanya.
"Diam kau Rey!" dengan kerutan di wajahnya dia menimpali perkataan dari sahabatnya itu, kemudian kembali menuju meja kerjanya.
Sore hari Rio segera kembali ke rumah dengan perasaan berkecamuk karena telah mengingkari janji kepada ibundanya. Dengan langkah lesu, dia segera memasuki rumah sambil memanggilnya, namun sayangnya tidak ada sautan dari wanita yang telah menunggunya dari sejak malam.
Rio melihat sepucuk surat yang tersimpan di dalam ruangan kerjanya, "nak, ibu harus segera kembali karena ayahmu kembali harus therapy hari ini, ibu harap kamu tidak lupa diri dengan apa yang telah kamu raih saat ini."
Rio hanya bisa mengunci mulutnya, kemudian segera merapikan pakaian untuk menuju rumah kedua orang tuanya yang ada di kota sebelah. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana, karena gaya Rio yang arogan saat membawa kendaraan, mampu mempersingkat waktu tempuh perjalanan.
"Ibu....!" sapa Rio saat memasuki rumah sederhana miliki kedua orang tuanya.
Dia segera menyalami dan mengecup kening kedua orang tuanya.
"Rio...," Sang ayah membalas sapaan Rio, "aku pikir kau bisa mengutamakan wanita yang telah melahirkanmu," dengan nada ketus dia menegurnya.
"Maafkan aku ibu, semalam aku memang terlalu sibuk, seharusnya malam itu aku serahkan saja semuanya kepada Rey," kata Rio berusaha menutupi kesalahannya.
Anna tidak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya, dia lanjut menyuapi Robby yang sudah siap melahap sup ayam yang ada di tangan istri tercintanya itu.
Rio berencana untuk menginap di rumah sederhana itu, mengenang semua masa-masa kelam yang pernah di lalui oleh dia dan keluarganya. Sang adik yang bernama Laudya kemudian datang menghampiri Rio.
"Apa kakak masih berhubungan dengan wanita itu?" tanya Laudya, mengejutkan Rio hingga tersedak oleh asap rokok yang di hisapnya.
Sore itu, GGH penuh. Kepulan asap rokok. Lantai bergema langkah sepatu. Ketegangan menebal.Vincent menyilangkan tangan. Isabel bersandar dingin. Sorena mengetuk meja dengan kuku, tak sabar. Zaria diam. Cole mengintai situasi, matanya tak pernah tinggal diam.Damien berdiri. Tegak. Matanya menusuk ke setiap pemimpin fraksi.“Kalian sadar,” ucapnya pelan, tapi tegas, “hari ini menjadi keputusan terburuk dalam sejarah.” Dia menoleh ke Rio, yang duduk bersandar dengan tangan menyilang.“Si bodoh ini. ingin membersihkan permainan kalian. Singkirkan para pejabat busuk yang selama ini jadi pelindung bisnis kita.”Hening.Sorena mengangkat alis. Isabel sempat tersenyum sinis. Tapi tak ada yang tertawa.
Pagi hari di Lorentz Base. Andini dan Reynold masih terbaring tak sadarkan diri, dalam perawatan intensif oleh tim medis anak buah Sorena. Sementara itu, di ruang interogasi, Isabel dan Vincent tengah menjaga ketat tiga tawanan penting: Ivanko, Judas Wayne, dan Axel.Di sisi lain markas, Rio, Kayla, dan Damien menanti kedatangan pasukan elit militer Karnosa bersama Walikota Thomas.Mereka bersiap untuk perundingan terakhir—yang bisa berujung damai… atau perang terbuka. “Pagi ini akan jadi penentu...” gumam Kayla, menatap iring-iringan kendaraan yang perlahan memasuki markas. “Akhirnya kita akan mendengar yang mereka inginkan. Atau... kita siapkan peluru terakhir.”“Kau sudah atur semuanya, kan?” tanya Viktor yang muncul dari balik pilar, berdiri di samping Damien sambil menyent
Rio segera tiba di Distrik Sorena. Di sana, terlihat jelas Kayla, Damien, Viktor, dan Myra sedang berlindung di balik kendaraan yang hancur sebagian, napas mereka terengah, peluru berseliweran di udara."Rio, mundur!" teriak Damien sambil melambaikan tangannya keras-keras.Dari sisi kanan, sejumlah SUV hitam meluncur masuk cepat—menutup jalan keluar. Rio dan kelompoknya terkepung. Komunikasi dengan fraksi lain? Terputus. Kini yang tersisa hanyalah mereka: Rio, Damien, Kayla, Myra, Viktor, Senno, dan lima orang anak buahnya."Ini jebakan, Tuan!" seru Senno, menarik Rio agar berlindung dari hujan peluru yang ditembakkan oleh pasukan bayangan Velmora.
Kegelapan. Bau lembap menyengat. Dingin yang menusuk hingga ke tulang.Andini membuka mata perlahan. Pandangannya buram, kepalanya terasa berat. Ia tergeletak di atas lantai semen dingin dengan tangan terikat ke belakang. Mulutnya masih bisa bergerak, tapi lidahnya kaku, rasa logam dan darah masih terasa di ujung bibir.Jeruji besi di sekelilingnya. Ruangan sempit, dinding kusam, lampu menggantung yang hanya berkedip seperti mengejek.Dia mencoba mengingat... kecelakaan... Reynold... Axel."Rey!" teriaknya pelan, tapi suara itu hanya memantul lemah di dinding batu.Pintu besi berderit. Seseorang masuk.
"Kau tidak tahu apa yang sedang aku hadapi, Kay," ucap Rio tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.Langkah pelan Andini mendekat dari samping. "Nanti malam aku akan pulang bersama Reynold... ke rumah orangtuaku," katanya lirih.Ia berdiri cukup dekat untuk menyentuh, tapi cukup jauh untuk tak menyentuh hatinya lagi.Rio menarik napas dalam, kemudian memutar tubuh dan menatap Andini."Aku tidak akan menahanmu. Tapi percayalah, aku sedang berusaha memperbaiki semuanya."Setelah mengucapkan itu, ia berjalan pergi—meninggalkan Andini berdiri sendiri di ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan asing.Air mata me
Fraksi pendukung Rio keluar dari balik lorong gelap, senapan laras panjang terangkat tinggi. Tanpa peringatan, mereka mulai memberondong kendaraan Malvolio dengan tembakan bertubi-tubi. Barisan mereka membentuk pagar hidup, menahan arus peluru dari balik bayangan.Malvolio mulai terdesak. Fraksi kecil yang dipimpin langsung oleh Senno menggempur habis-habisan, tak memberi celah. Lalu, dari sisi kanan, muncul Sorena—wajahnya penuh amarah, dan di tangannya, sebuah granat siap dilempar."MINGGIR!" teriaknya lantang.Sorena melempar granat ke arah kendaraan Malvolio. Ledakan keras mengoyak malam, menghancurkan pintu baja mobil sekaligus memecah formasi lawan. Anak buah Malvolio melompat keluar dalam kepanikan, hanya untuk disambut peluru panas dari fraksi pendukung Rio. Tubuh-tubuh
Malam itu, aula utama GGH dipenuhi oleh suara langkah dan bisik-bisik. Semua fraksi telah berkumpul. Para petinggi berdiri di belakang calon pemimpin wilayah—sebagai pengawal maupun saksi kekuasaan baru yang akan dibentuk.Rio berdiri di depan, tatapannya menyapu ruangan. "Mulai malam ini, Distrik Sorela dan Wilayah Utara akan dipimpin oleh Isabel dan Sorena." Ia berhenti sejenak. "Vincent dan Alinda akan mengambil alih Wilayah Barat. Sementara dua wilayah sisanya, diserahkan kepada Kayla dan Zaria bersama kelompok mereka."Suasana sunyi. Tak satu pun suara yang keluar dari para fraksi. Rio kembali bicara. "Fraksi pendukung akan dipimpin oleh Senno untuk mengawal pergerakan Zaria. Sisanya... akan dipilih langsung oleh para petinggi wilayah masing-masing. Jelas?"
"Rupanya kau lupa, Rio..." ucap Giulio, suaranya dingin namun penuh ejekan. "Kau bisa berdiri di sini malam ini—di tengah para panglima—karena aku. Tanpa bantuanku, kau hanya akan jadi bangkai di daftar buruan mereka." Ia menoleh ke belakang, ke arah para pemimpin fraksi yang kini menatap dengan wajah tak terbaca.Rio hanya menatapnya datar. Lalu menepuk pundak Giulio, seolah menenangkan... atau mungkin meremehkan. Ia mengangkat gelas ke udara."Kalau begitu, biar aku umumkan sesuatu malam ini."Semua mata menatap Rio. Giulio tersenyum lebar—ia pikir inilah momen kemenangannya."Mulai malam ini, Giulio kita nobatkan sebagai..." Rio mengulur suaranya, menatapnya tajam,"...pemimpin fraksi penolakan."
Di balik layar besarTerlihat Anna dan Robby duduk terikat di atas kursi logam. Wajah mereka babak belur, dan sebuah pistol diletakkan tepat di samping kepala masing-masing—seolah kematian hanya menunggu perintah.Rio menatap layar itu dalam diam. Tatapannya tajam, lalu beralih kepada Lucifer. Bibirnya menyeringai miring."Apa kau tidak tahu cara berterima kasih... Papa?" Nada suaranya sinis, menusuk."Mereka memang bukan pilihan… tapi kalau saja mereka berkata jujur sejak awal, mungkin aku tak akan berada di sini... berdiri di samping iblis seperti dirimu."Lucifer tertawa. Gelak tawa khas predator yang merasa semua masih dalam kendalinya. Ia mengangkat ponsel, menekan sebu