Reynold terkesiap saat terlihat Andini sedang berdiri di depan pintu bersama dengan seorang pelayan di klub. Dia memasang wajah ketus karena Andini tidak menuruti permintaannya, padahal sebelumnya dia sudah memberi uang untuk mengganti denda yang di kenakan oleh Lucy.
"Maaf Kay, aku tinggal sebentar," kata Lucy langsung beranjak keluar menemui Andini.
Kedua mata Kayla tak lepas menatap pintu yang ada di hadapannya, seolah ada rasa penasaran yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Sesaat kemudian Lucy pun masuk lagi ke dalam, lalu duduk kembali di samping Kayla.
"Siapa wanita itu?" tanya Kayla penasaran.
"Oh...dia Andini, anak buahku yang baru saja bekerja di tempat ini," jawab Lucy sambil menelan salivanya.
"Kenapa kau tak ajak dia kemari?" tanya Kayla kembali menatap Lucy.
Lucy hanya tersenyum kemudian mengalihkan pembicaraan agar Kayla tidak terus membicarakan mengenai Andini.
***
"Mas aku tidak melihatmu bersama Reyno
Kedua mata Rio tak lepas memperhatikan wajah Kayla, dia mencoba untuk membaca apa yang tersirat di hati dan wajahnya. Perlahan Rio mendekat ke sisinya kemudian bertanya, "jika aku mengenalnya, apa yang ingin kau sampaikan kepada dia?"Kayla hanya tersenyum lalu menjawab, "ah syukurlah, kalau begitu kapan kau bisa kenalkan aku dengannya?"Bak pohon tua tiba-tiba roboh, hati Rio menjadi semakin tak karuan karena Kayla meminta dipertemukan dengan wanita yang dia sembunyikan di bagian lain hatinya."Maaf Kay, menurutku sebaiknya kau jelaskan dulu kepada Rio agar dia tak salah paham," sela Lucy mencoba untuk menenengkan Rio diam-diam."Astaga!""Aku lupa," ucap Kayla kemudian menepuk dahinya, lalu diamenjelaskan jika dirinya akan merintis agency baru bersama dengan Lucy dan juga Andrew."Sayang! bukankah kau sudah berjanji akan membantuku di perusahaan ini?" tanya Rio mulai sedikit lega karena ternyata apa yang dia pikirka
Rio hanya menaikkan sudut mulutnya, perlahan menggilir kedua bola matanya mendelik ke arah Andini."Apakah kamu mendengar kata perpisahan dari mulutku?" tanya Rio kemudian menuangkan minuman untuknya.Andini sudah tak mampu lagi berkata-kata, meskipun ini bukan pertemuan terakhirnya. Dia merasa jika hari-hari ke depan akan menjadi lebih berat karena tak bebas lagi berkomunikasi dengannya."Minumlah dulu, agar kamu lebih tenang," ucap Rio menggeser gelas ke hadapan Andini.Tanpa ragu Andini pun langsung menghabiskan cognac yang di tuangkan Rio, kemudian dia menuangkannya kembali."Percuma saja kamu minum sebanyak itu, karena lusa nanti Kayla akan menemuimu," papar Rio, hatinya mulai berkecamuk karena takut Andini tidak mau menemuinya."Apa maksudmu?" tanya Kayla sesaat setelah meneguk minuman keduanya."Kemarin Kayla melihatmu, dan dia ingin menjadikanmu sebagai model pertama di agency miliknya," jawab Rio menatap Andini penuh dengan k
"Wow wow wow....ada apa ini nona manis?" tanya Reynold terkejut karena di semprot oleh Andini."Andini!""Jaga sikapmu!" tegur Lucy karena dia tak menghargai tamunya.Andini langsung meninggalkan keduanya dengan langkah kesal, dia langsung melempar tasnya ke dalam loker saat dia sampai di ruang ganti."Dasar bodoh!""Wanita mana lagi yang akan kamu tiduri malam ini huh!" kesal Andini sambil menatap foto Rio yang terpajang di balik pintu lokernya."Andini!" terdengar suara Lucy dari balik pintu, dia langsung menutup loker tersebut dengan kencang karena tak mau ketahuan olehnya, karena diam-diam telah menyimpan foto Rio.Lucy meminta Andini untuk segera memakai pakaian kerja, karena sudah ada tamu yang menunggunya di ruang VIP. Dengan wajah murung, dia segera berganti pakaian dan tak ingin melewatkan kesempatan untuk memainkan drama romantis kepada pria hidung belang.Setelah selesai, dia langsung di bawa oleh Lucy menuju r
POV 8 TAHUN LALUPada malam itu Robby masih berada di kantor bersama dengan sekretarisnya yang bernama Alinda, keduanya sedang sibuk untuk mempersiapkan diri untuk melaju pada pentas politik, pemilihan senator di kota ini."Selamat malam Robby!" sapa seorang pria seumuran dengannya memasuki ruangan bersama dengan beberapa orang di belakangnya."Damien!" balas Robby menyapanya dengan kedua mata terbelalak, menatap orang yang memiliki pengaruh kuat di kota ini mendatangi dirinya."Akhirnya kau ikut bermain juga di sini," ucap Damien sambil melihat beberapa berkas yang ada di tangan Alinda."Terima kasih Damien,""Sebenarnya apa tujuan kedatanganmu kemari kawan?" tanya Robby kemudian beranjak dari atas sofa untuk membuatkan minuman hangat.Damien kemudian mengeluarkan sebuah foto dari dalam saku jasnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Sesaat kemudian Robby sadar jika ada sesuatu yang telah mengganggu diriny
Rio terkejut mendengar apa yang terucap dari mulut Robby, karena seingat dia Randu telah mencuri beberapa blueprint proyek besar miliknya. Karena ulahnya, Rio harus kembali memulainya dari awal, karena semua investor yang di dapat olehnya di bawa lari oleh Randu."Aku tau semua permasalahanmu dengannya Rio," kata Robby, "karena dia melakukan semuanya itu untukku," sambungnya.Rio langsung menyandarkan tubuhnya, memikirkan kembali semuanya namun dia masih belum percaya dengan semua perkataan Robby. Karena dari sejak awal, Robby memang tidak pernah suka jika Rio membangun usahanya sendiri.Beberapa jam kemudian, nampak seorang wanita berusia 40 tahun datang memasuki ruangan bersama dengan dua orang lainnya."Selamat siang tuan Robby," sapa Alinda, wanita yang pernah menjadi sekretarisnya di masa lalu."Maaf aku harus merepotkanmu kembali," ucap Robby kemudian mengangguk, memberi kode agar Alinda segera memberikan beberapa berkas yang sudah ada di tan
POV RANDU & REYNOLDMalam itu hujan cukup deras mengguyur kota, Randu berada sendiri di dalam kantor sambil memegangi kepala. Dia tak tahu harus berbuat apa karena surat yang ada di hadapannya kini harus segera di serahkan kepada Rio.Suara dentang dari bell yang ada di pintu mengejutkan dirinya, terlihat Reynold sedang memasuki kantor dengan pakaian kusut dan juga basah."Hujan malam ini cukup besar sekali brother!" kata Reynold sambil mengepak-ngepak tubuhnya.Dia langsung memutar bola matanya menatap Randu karena tidak mendengar jawaban darinya, perlahan Reynold mendekat sisinya."Surat apa itu?" tanya Reynold perlahan mengangkat selembar kertas yang berisikan pasal perjanjian serah terima."Kau gila!""Apa-apaan ini?" pekik Reynold setelah membaca semua isinya."Entahlah Rey, dari sejak tadi aku bingung harus berbuat apa!" jawab Randu meremas kepala dengan kedua tangannya. Kemudian dia menceritakan apa
"Sebaiknya kau urus saja dia,""Biar Kayla menjadi urusanku," jawab Reynold kemudian meninggalkan keduanya.Saat berada di luar kamar, dia segera menghubungi Kayla untuk meminta dirinya segera datang ke Kafe Jonnah yang berada tidak jauh dari rumahnya. Reynold langsung tancap gas untuk segera menuju ke tempat tersebut.Sesampainya di sana, dia sudah melihat Kayla sedang duduk di luar bersama dengan Tuan Jonnah, sang pemilik kafe."Halo Rey!""Apa kabar!" sapa pria berusia 65 tahun itu saat dia mendekat ke arah Kayla.Keduanya saling berpelukan karena sudah cukup lama Reynold tidak mengunjungi tempat itu, terlebih kepergian Kayla ke luar negeri membuat dia enggan untuk datang kemari sendirian."Kemana dia?" tanya Tuan Jonnah menyapu sekelilingnya mencari keberadaan Randu."Kau masih mencari bocah nakal itu?" celetuk Kayla menyela pertanyaan Tuan Jonnah."Dia sedang berada di luar kota tuan, dan sekarang kami telah berpisa
Rio melihat sebuah kertas yang berisikan plan map mega project yang pernah akan di jalankan bersama dengan Mr. Alan. Ternyata Randu menjual semuanya kepada Damien tanpa sepengetahuan Kayla dan juga Reynold karena Mr. Alan hanya ingin berdiskusi masalah ini dengan Rio.POV KAYLA DAN RANDUMalam itu Kayla mendapat telepon pada pukul 3 dini hari, dia segera menemui Randu di depan rumahnya."Maaf Kay, semuanya rencana yang kita susun di tolak mentah-mentah oleh Alan," kata Randu saat Kayla masuk ke dalam mobilnya."Damien tetap ingin menghabisi Rio dan keluarganya, karena Alan tidak ingin kembali bekerjasama dengannya lagi," sambung Randu dengan air muka penuh dengan kegelisahan.Kayla hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, karena tidak ada jalan lain untuk membereskan masalah ini semua, kecuali mengembalikan Mr. Alan ke posisi semula. Tapi dia tahu, jika sang pemilik uang sudah terkesima dengan cara kerja Rio yang cek
Alinda melangkah cepat, membuntuti Nadia menuju ruang interogasi."Apa yang kau sembunyikan di sakumu, Nadia?" tanyanya dingin, matanya mengawasi gerak tangan gadis itu.Nadia menoleh tajam. "Kenapa kau terlihat gelisah? Atau... kau yang sebenarnya menyimpan sesuatu dari kami?" tatapannya lurus menusuk.Langkah Alinda melambat. Tangannya perlahan merogoh sesuatu dibalik tubuh, menggenggam pisau yang kini terangkat setengah ke udara—siap menebas kapan saja."Syukurlah..." suara Rio terdengar dari dalam ruangan. Tubuhnya muncul dari balik pintu. "Aku perlu bicara denganmu. Dan juga Viktor." Suaranya datar, tapi tegas. Ia melirik Nadia, lalu memberi isyarat agar masuk bersamanya.
Rio mengendap, mencoba mengintip melalui jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dijangkau. Ia berjinjit, mencari sudut pandang lebih baik.“Aku sudah kirim semua file yang kau minta. Sekarang tinggal kirim uangnya ke rekeningku,” ujar suara terdistorsi dari alat pengubah suara. Rio tak bisa mengenali siapa, tapi pria yang berdiri di balik kendaraan itu…wajahnya tak asing. Rio mengenalnya. Sangat.Ia segera mundur. Harus pergi sebelum Viktor atau anak buahnya menyadari.Saat keluar dari celah itu, dari kejauhan Alinda melihatnya. Tatapannya kosong. Ia hanya memutar koin di tangan kanan, pura-pura tak melihat.
Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi."Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
Dua anak buah Viktor menyeret Andini dengan kasar menyusuri lorong sempit. Lampu gantung di langit-langit berayun pelan, memantulkan cahaya kuning kusam ke lantai beton yang lembap. Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan dan interogasi pun dimulai.Andini dijatuhkan ke kursi logam, tangan terikat ke belakang. Nafasnya pendek. Matanya liar.Rio duduk menyamping, diam. Luka di pelipisnya masih merah, tapi sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Di sisi lain ruangan, Kayla mondar-mandir seperti singa betina yang dikurung.Viktor berdiri menghadap dinding monitor, memutar ulang rekaman ledakan gudang senjata. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu lokasi kita. Tahu rencana kita.”
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini
Pagi itu, Andini terbangun perlahan. Dia masih bersandar dalam pelukan Rio, tubuh mereka terbalut kehangatan yang kontras dengan udara dingin yang merayap dari mulut gua.Kabut tipis melayang di udara, membentuk bayangan samar di luar sana. Suara tetesan air embun jatuh dari batu-batu di langit-langit, menciptakan irama pelan yang terasa hampir romantis — jika saja situasinya tak begitu berbahaya.Tiba-tiba, suara teriakan menggema di kejauhan."Alinda... sepertinya mereka di dalam mulut gua!" Suara Reynold—panik, mengancam—menggetarkan dinding batu.Andini membeku, lalu dengan cepat menggoyangkan tubuh Rio. "Rio... bangun. Rey dan Alinda... mereka mencari kita," bisiknya tergesa, nadanya d
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.