Sudut Pandang Citra.Akhir pekanku berlalu dengan sunyi. Lukman kirimin aku banyak pesan, minta maaf karena nggak bisa nemuin aku. Katanya, pekerjaan menahannya karena berbagai situasi nggak terduga yang harus segera urus.Hari Minggu, Maya datang dan menghabiskan waktu bersama kami. Ia manjakan Panji sepanjang hari. Ia baru pulang dari Kota Lumina dan membawa hadiah untuk Peter, sebuah set balok bangunan miniatur Kastil Bosnam, lengkap dengan karpet kecil bergambar jalanan kota dan sebuah bus tingkat merah seperti yang biasa ditemukan di sana. Semuanya tampak cerah dan penuh warna. Bahkan, bus kecil itu dilengkapi mekanisme pemutar dan lampu-lampu mungil yang benar-benar menyala."Maya, gimana aku bisa nyaingin itu?" Minda berkata sambil tersenyum, menyaksikan Panji tertawa bahagia saat merakit dan membongkar blok demi blok penuh semangat.Maya kasih aku banyak nasihat dan tanya soal hubunganku dengan Lukman. Ia sarankan agar aku nggak terburu-buru, dan menyiratkan bahwa mungkin saja,
Sudut Pandang Lastri.Sempurna! Sempurna! Dengan uang yang ayah baru saja transfer, aku akhirnya bisa nemui dokter yang akan bantu aku dengan kehamilan palsu ini. Aku sudah habiskan banyak uang untuk tes kehamilan palsu dan nyuap perawat yang memanipulasi hasil lab yang Aditya suruh aku lakukan. Tapi aku tahu, jika aku buat onar sedikit, ayah pasti akan ngalah dan kasih aku uang. Ini trik lama yang selalu berhasil. Untungnya, jumlah yang dia berikan cukup untuk bayar biaya USG pertama seperti yang diminta dokter, dan masih ada sisa untuk belanja kecil-kecilan.Begitu kulihat ayahku baru saja keluar rumah, aku segera nyusul. Di dalam mobil, aku langsung telepon dokter. Carisa yang kenalkan aku ke pria ini. Wanita palsu itu ternyata cukup berguna juga. Aku tahu mereka berselingkuh, aku ikuti mereka dan tahu persis di mana sarang cinta mereka. Tapi aku belum perlu gunakan informasi itu. Carisa selalu nuruti semua permintaanku karena ayah membiayainya. Tapi kalau suatu hari aku perlu... ak
Sudut Pandang Jodi."Ibu, sepertinya tujuan hidupmu cuma buat ngacauin semua rencanaku!" Lastri membentak ibunya yang tengah terbaring lemas karena flu."Sayang, pelankan suaramu... kepalaku rasanya mau pecah," bisik Indah dengan suara parau."Aku nggak peduli kepala ibu sakit atau nggak!" Lastri kembali membentak, lalu melenggang keluar dari kamar dengan hentakan kaki penuh amarah."Lastri sayang, kenapa kamu seperti habis perang?" tanya Jodi yang sedang duduk di ruang tamu, menatap layar HP sambil membaca berita. Tatapannya beralih saat putrinya duduk di sampingnya dengan wajah cemberut."Ayah, ibu tuh sama sekali nggak mau bantu aku...""Apa lagi yang nggak dilakukan ibumu kali ini, Sayang?""Aku tuh pengen lihat gaun pengantinku kemarin, tapi istrimu malah sakit dan bilang kita baru bisa pergi minggu depan!" Lastri mengeluh seperti baru saja mengalami ketidakadilan terbesar dalam hidupnya."Sayang, jangan seperti itu. Ajak saja Carisa temani kamu.""Tapi ayah, ibu nggak mau kasih k
Aku sudah siap-siap ketika sebuah pesan dari Lukman masuk, bilang bahwa ia sudah tunggu aku di depan gedung. Aku ambil tasku, cium putraku dengan lembut, lalu pamitan ke Lina dan Minda.Sesampainya di lobi, mataku langsung tertuju pada sosok Lukman yang bersandar santai di mobilnya, dengan senyum menawan yang mampu meluluhkan siapa pun. Astaga, pria ini benar-benar ganteng. Aku masih tergila-gila pada Aditya, nyaris hancur karena harus melepaskannya, tapi Lukman... dia adalah cerita lain. Wajahnya sangat tampan, tubuhnya menawan, dan aroma parfumnya menggoda. Kombinasi itu menjelma dalam sosok pria luar biasa yang mampu membuat wanita mana pun menelan ludah."Hai, si cantik Citra!" Ia berkata sambil melangkah ke arahku dan mengecup lembut sudut bibirku, meninggalkan gejolak di perutku. "Kamu bahkan lebih cantik dari pertemuan terakhir kita.""Aku... uh... ahem..." Aku berdeham mencoba berhenti gagap. "Selamat malam, Lukman!"Dia menatapku dengan ekspresi menggoda, senyumnya semakin mel
Sudut Pandang Aditya.Jodi benar-benar menguras kesabaranku. Kali ini dia ngamuk soal lantai kantor, tapi dia akan tetap di tempatnya. Aku sudah nggak tahan lagi menghadapi manusia menyebalkan ini. Audit perusahaan perlu ditelusuri lebih dalam, dan tim sedang membongkar tahun-tahun catatan keuangan. Alex bilang proses ini akan memakan waktu. Sementara itu, aku harus tetap berurusan dengan si bodoh ini.Aku terkunci di dalam ruanganku seharian, sibuk dengan klien dari Kota Norramus. Kontrak berjalan sangat baik, bahkan mereka mempertimbangkan untuk memperluas kerja sama. Tapi tentu saja, mereka meminta tumpukan informasi yang harus aku dan Robin susun dengan rapi. Kemungkinan besar aku harus terbang ke sana, dan jujur saja, mungkin pergi sebentar justru akan baik untukku."Aku baru pulang dari perjalanan sebulan, tapi nggak ada perayaan? Teman macam apa kalian ini?" Maya masuk sambil bercanda. "Wow! Tapi kantormu cantik sekali!""Maya! Aku senang sekali kamu datang. Aku kangen banget pa
Sudut Pandang Jodi.Dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku terus dipenuhi amarah atas makan siang konyol kemarin. Rasanya aku ingin cekik Aditya si brengsek itu. Perkataan dan perlakuannya terhadapku dan putriku hanya nambah kebencianku ke bocah manja itu. Tapi aku nggak bisa singkirkan dia, aku butuh dia nikahi anakku, dan pastikan anak itu lahir dengan marga Mahadi. Marga Mahadi bisa buka banyak kesempatan. Dan begitu semua harta anak tolol itu menjadi milik putriku dan cucuku... otomatis, semua menjadi milikku juga.Yang paling menjengkelkan, dia berhasil nunda pernikahan selama tiga bulan. Itu membuat rencanaku ikut tertunda. Tapi, ya... putriku malah merengek soal pesta pernikahan segala. Di satu sisi, pesta besar itu akan jadi keuntungan, dengan gaun, sorotan media, dan undangan kelas atas. Dengan begitu, nggak akan ada yang ragu kalau dialah istri sah dan ibu dari pewaris sah Keluarga Mahadi.Namun ada satu hal lagi, aku mau rumah itu. Rumah orang tuanya. Sebuah properti yang