Share

Bab 3

Penulis: Maria Anita
Pada hari Senin saat jam makan siang, aku bertemu Minda. Dia memberiku sebuah tas kecil dari toko mewah, membuatku menatapnya dengan bingung.

"Ibuku minta aku untuk kasih ini ke kamu. Katanya parfum ini cocok banget buat kamu, nggak cocok sama dia,” kata Minda sambil tersenyum lebar.

Aku buka tas itu dan di dalamnya ada parfum yang kupakai waktu pesta topeng. Senyum lebar langsung merekah di wajahku. Aku suka banget parfum itu, bagian dari malam terbaik dalam hidupku. Aku hanya berharap malam terbaikku itu nggak akan meninggalkanku dengan penyakit kelamin sebagai kenang-kenangan. Aku berterima kasih pada Minda dan bilang akan menelepon ibunya nanti. Lalu aku juga bilang ingin menelepon dokter untuk menjadwalkan pemeriksaan.

Saat aku menghubungi dokter, mereka bilang aku butuh surat rujukan klinik agar biayanya bisa ditanggung BPJS. Untungnya, perusahaan tempatku bekerja menyediakan BPJS. Kalau nggak, aku nggak tahu harus gimana. Gajiku pas-pasan dan sebagian besar kupakai untuk bantu kebutuhan rumah karena ibuku nggak bekerja dan ayah hanya sopir dengan penghasilan tak seberapa.

Akhirnya aku membuat janji dengan dokter, tapi giliran paling cepat baru tersedia dua minggu lagi. Aku menunggu dengan gelisah. Semakin lama, semakin aku cemas, meskipun Minda terus berusaha menenangkanku. Pada tanggal yang dijadwalkan, dia pergi ke dokter bersamaku. Setelah dapat daftar tes dari dokter, dia langsung bantu jadwalkan ke lab dan bersikeras ikut menemaniku juga. Sudah tiga minggu berlalu sejak pesta itu, barulah akhirnya aku bisa menjalani tes. Hasilnya keluar lima hari kemudian, lalu aku kembali menemui dokter. Tentu saja, Minda masih menemaniku.

Dokter memeriksa hasilnya, lalu menatap mataku.

“Nona Citra, kondisi kesehatanmu sangat baik. Kamu sehat. Tapi mulai sekarang, kamu harus merawat dirimu lebih baik lagi."

Aku menarik napas lega. 'Tapi apa aku akan mulai diceramahi karena berhubungan tanpa kondom dengan orang asing? Ya sudahlah, aku pantas dapat teguran. Aku memang ceroboh, aku bisa saja tertular penyakit.'

Kemudian dokter melanjutkan: “Selamat ya, kamu hamil! Aku akan rujuk kamu ke dokter kandungan untuk pemeriksaan kehamilan…”

Setelah itu aku tidak bisa mendengar apapun lagi. Yang terdengar hanya detak darah di telingaku. 'Aku nggak percaya ini! Hamil? Gimana aku bisa jelasin ini? Nggak mungkin. Aku yang selalu jadi anak teladan, yang selalu pertimbangkan konsekuensi sebelum lakukan sesuatu, yang selalu bertanggung jawab. Sekali aku lengah, aku malah hamil dan nggak tahu siapa ayahnya!' Minda menggenggam tanganku dan terus berkata, "Tenang, Cit, semuanya akan baik - baik saja !"

'Gimana mungkin semuanya akan baik - baik saja? Aku bahkan nggak tahu siapa ayah anakku. Sial! Aku harus kasih tahu orang tuaku, anak satu-satunya mereka akan kecewakan mereka. Mereka pasti bakal kecewa, marah, mungkin membenciku, bahkan mengusirku dari rumah. Gimana aku bisa bilang kalau aku bahkan nggak tahu wajah ayah dari bayiku?'

Nafasku mulai sesak. Tiba-tiba, dokter menggenggam tanganku dan berkata dengan suara tenang, “Tenang, Nak! Aku tahu situasi ini nggak ideal, tapi kamu nggak boleh sepanik ini. Ini bisa berdampak buruk untuk bayimu. Sekarang kamu harus jaga diri demi bayi di kandunganmu. Orang-orang yang mencintaimu pasti akan mendukungmu. Tapi kamu harus tenang, karena hanya kamu yang bisa pastikan bayi ini tumbuh sehat dan kuat. Kamu ngerti, kan?”

Aku menatap dokter tua itu, rambutnya putih, tubuhnya agak gemuk, dan kacamatanya bertengger di ujung hidung. Aku mengangguk pelan. Entah gimana dia sedikit menenangkanku, mungkin karena tatapan matanya yang lembut dan pengertian, sifat jarang kita lihat akhir-akhir ini. Dokter meminta sekretarisnya membawakan teh chamomile. Sambil meminumnya, aku berusaha tenang dan dokter mulai menjelaskan semuanya pada Minda. Dia mendengarkan dengan serius.

Setelah itu, Minda membawaku ke restoran. Katanya, aku harus makan sesuatu. Begitu duduk, air mataku mulai jatuh. Dia memelukku dan bilang kalau aku nggak sendiri. Aku menatapnya dan berkata, “Satu hal yang pasti, aku mau kamu dan Fajar jadi wali baptis anakku. Aku tahu kalian akan kasih dia cinta dan dukungan.”

Matanya berbinar lalu menangis tersedu.

“Aku akan jadi ibu baptis terbaik di dunia! Aku akan selalu ada untuk bayi kita! Aku yakin Fajar juga akan senang banget!"

Dia terus meyakinkan aku bahwa aku nggak sendiri, dia akan menemani saat aku beri tahu orang tuaku. Orang tuaku... oh! Aku langsung tahu bahwa aku nggak bisa sembunyikan ini lebih lama. Aku harus beri tahu mereka malam ini juga. Aku nggak akan pergi kuliah, aku akan pulang dan bicara dengan mereka.

Minda langsung mendukung keputusanku dan berkata, “Ayo pergi. Aku ikut kamu!”

Sesampainya di rumah, orang tuaku terlihat terkejut. Ibu langsung menghampiri dengan cemas.

“Kalian nggak ke kampus hari ini? Kenapa?”

"Nggak apa, Bu. Aku mau ngomong sesuatu sama kalian berdua."

Orang tuaku langsung tahu ini serius. Kami duduk di ruang tamu dan aku mulai menceritakan semuanya, bahwa aku telah bertindak ceroboh dengan tidur bersama orang asing di pesta. Aku nggak menjelaskan detailnya, tapi aku jujur mengatakan aku nggak tahu siapa ayah bayiku. Kekecewaan di mata mereka terlihat jelas. Ibuku menangis tersedu-sedu, dan terus berkata aku sudah hancurkan hidupku. Ayahku belum mengatakan apa-apa. Minda cepat-cepat ke dapur, dan mengambil air gula untuk ibuku. Dia memang selalu percaya air gula bisa menenangkan orang. Aku sendiri tak pernah paham kenapa.

Akhirnya, ayahku bicara, “Kamu sudah lakukan kesalahan besar dan nggak bisa diubah.”

Orang tuaku adalah orang yang sangat sederhana. Ayahku adalah pria yang tinggi dan kuat, ibuku adalah versi tua dariku, tetapi keduanya memiliki karakter yang hebat dan prinsip-prinsip yang kuat yang selalu mereka pastikan untuk diteruskan ke aku. Mendengar ayah menekankan bahwa aku telah kecewakan mereka membuat hatiku makin hancur.

Aku mulai menangis dan berkata, “Aku tahu aku salah. Tapi sekarang sudah terjadi. Aku akan keluar dari kampus dan merawat anakku. Aku akan kemasi tasku.”

"Kemasi tasmu? Kami nggak mungkin biarin kamu pergi begitu saja. Ya, kamu emang salah dan buat kami kecewa, tapi gimana pun kamu tetap anak kami. Kami sayang padamu. Kita akan lewati ini bersama. Kamu nggak sendiri dan anakmu juga nggak!” Ayahku mengatakan ini dan hatiku dipenuhi dengan harapan.

"Tapi Ayah, aku sudah buat kalian malu..."

“Kamu bukan yang pertama dan bukan yang terakhir jadi ibu tunggal di dunia ini. Kami mau hidupmu lebih mudah dari ini. Kamu orangnya selalu bertanggung jawab. Tapi kalau ini sudah terjadi, ya kita hadapi. Kamu nggak perlu keluar dari kampus, justru sekarang kamu harus lebih sukses demi anakmu. Kamu akan jadi ibu tunggal. Tanggung jawabmu besar. Kami akan membantumu, meskipun itu sulit, semuanya akan baik-baik saja.”

Minda sudah menangis dan langsung berkata kepada orang tuaku, “Pak Andi, Bu Sasa, kalian bisa andalkan aku! Aku akan bantu semuanya! Aku ini ibu baptis bayi ini. Citra itu sudah seperti saudaraku sendiri.”

Orang tuaku menatapnya dengan penuh syukur. Aku menatap ketiganya, merasa sangat diberkati memiliki mereka dalam hidupku dan merasakan cinta baru yang mulai tumbuh dalam diriku untuk bayi kecil yang bertumbuh dalam kandunganku!

Sebesar apapun tantangan jadi ibu tunggal, malam di pesta dansa itu tetap jadi malam terbaik dalam hidupku. Aku nggak akan pernah bisa melupakan mata hitam kecokelatan yang menatapku dengan penuh kekaguman selama pertemuan singkat kami dan semua yang dialami tubuhku malam itu. Aku akan selalu menyimpan kenangan manis itu.

Bulan-bulan berikutnya lumayan berat. Aku menyimpan gaun, sepatu, topeng, dan parfum pemberian ibu Minda dalam sebuah kotak. Saat hari terasa berat, aku akan membukanya dan mengingat malam itu.

Kehamilanku berjalan tenang, tapi komentar orang-orang sungguh menyakitkan. Yang paling parah, setelah menikah, mantan pacarku dan sepupuku tinggal di rumah orang tuanya, di jalan yang sama dengan kami. Mereka selalu menyindirku tiap kali melihatku, menyebarkan gosip bahwa aku nggak tahu siapa ayah anakku dan aku adalah wanita murahan, makanya Cakra tinggalin aku. Aku ingin banget bunuh mereka!

Ibunya Kiara, kakak dari ibuku, sering datang ke rumah hanya untuk menyindir dan membanggakan putrinya yang “anak baik-baik” dan “menikah dengan pria terhormat”. Sepertinya dia lupa kalau anaknya tidur dengan pacarku di kamarku pula.

Tapi aku tahan semuanya. Nggak ada gunanya membalas. Aku nggak ingin aura negatif itu sampai ke bayiku. Dan makin hari, aku makin mencintai anakku. Aku bahkan tak tahu cinta sebesar ini bisa ada. Semua yang aku lakukan adalah demi dia. Aku akan lindungi dia dari segalanya, bahkan aku akan rela berikan nyawaku untuknya. Dan anehnya, selama kehamilan, hidupku terasa lebih ringan. Segalanya mulai berjalan lancar.

Bosku sangat pengertian, bahkan memberiku kenaikan gaji kecil yang sangat membantu. Minda dan Fajar penuh perhatian. Mereka jatuh cinta pada anak baptis mereka bahkan sebelum tahu jenis kelaminnya. Mereka yang belikan semua isi kamar bayi, hasilnya cantik sekali. Minda menemaniku ke semua pemeriksaan dokter dan tes, nggak pernah kelewatan satu pun. Dia bahkan mengatur dua acara baby shower, satu di kantor, satu lagi di kampus. Anakku akan lahir dikelilingi cinta.

Aku tahu kalau bayiku laki-laki dan memutuskan menamainya Panji Lestari. Dan begitulah, Panji lahir dengan sehat, dengan mata hitam kecokelatan yang akan selamanya mengingatkanku pada malam yang mengubah hidupku. Malam terbaik yang pernah kumiliki. Aku nggak akan pernah melupakan pria itu!

Putraku disambut penuh cinta sejak hari pertama. Orang tuaku sangat menyayangi cucunya. Minda dan Fajar datang ke rumah kami setiap hari untuk melihat putra baptis mereka dan melihat keadaan kami. Minda selalu ada mendukungku dalam segala hal. Orang tua Minda juga datang dan bilang mereka akan jadi kakek-nenek baptis karena mereka juga sudah anggap aku kayak anak mereka. Aku terharu sekali. Mereka mengelilingiku dengan perhatian. Mereka bersikeras menghadiahkan kereta bayi waktu Panji lahir, mereka datang ke rumah sakit dengan sekeranjang besar bunga dan balon bertuliskan "Selamat Datang".

Setelah cuti melahirkan, Panji diasuh ibuku saat aku kerja dan kuliah. Aku kerja keras dan mencurahkan seluruh waktu kalau nggak di kampus yah kerja untuk anakku. Dengan bantuan orang tuaku dan para wali baptis Panji, aku berhasil lulus kuliah tepat waktu, lulus bareng temanku Minda. Itu adalah momen luar biasa bagiku dan keluargaku. Dengan ijazah di tangan, aku siap meraih masa depan yang lebih baik demi anakku, agar dia nggak kekurangan apapun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 112

    Akhir pekan itu terasa seperti kabut bagiku. Teman-temanku melakukan segalanya untuk menghiburku, bahkan berusaha meyakinkanku untuk nggak tinggalkan Aditya. Tapi aku nggak sanggup berdiri di antara dia dan anaknya. Aku tahu, perempuan itu akan ubah hidupku menjadi neraka. Aku nggak akan sanggup menanggungnya.Hari Senin pagi, saat aku tiba di kantor, aku langsung dicegat oleh Jodi di pintu masuk gedung."Ngapain kamu datang sini lagi, pelacur?" Dia berteriak sambil berdiri di depanku. Aku mencoba menghindarinya dan melangkah pergi, tapi dia hentikan langkahku dan mencengkeram lenganku. "Aku sedang tanya kamu, pelacur kecil!""Lepaskan aku!" Aku menarik lenganku dari cengkeramannya yang seperti cakar. "Aku kerja di sini!""Nggak, kamu nggak! Aku akan minta Aditya pecat kamu!" ujarnya dengan mata menyala penuh amarah."Silakan saja," kataku lalu berbalik pergi.Saat dia mencoba menghalangiku masuk ke perusahaan, petugas keamanan, Doni, segera melangkah masuk dan berdiri di antara kami.

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 111

    Sudut Pandang Aditya.Aku duduk terpaku di sofa ruang tamu, dadaku rasanya seperti diremas oleh tangan nggak kasat mata, napasku terasa sesak, dan mataku panas, penuh dengan air mata yang nggak kunjung berhenti. Rasa ini… hanya satu kali pernah aku rasakan, yaitu waktu kedua orang tuaku meninggal dunia. Rasa kehilangan yang nggak tergantikan, rasa sakit yang buat jiwamu nyaris mati. Dan kini, aku sekarat tanpanya."Adit, perempuan itu dan ayahnya sedang tunggu di lobi. Aku tahu kamu hancur, tapi mereka nggak akan pergi," ujar Peter membuyarkan lamunanku."Peter, dia putus denganku. Katanya nggak ada jalan lagi. Dia nggak ingin rebut aku dari anakku, dan dia bilang akan kembali kerja dengan Heru," jawabku dengan suara putus asa."Tenang, Adit. Setidaknya satu masalah sudah beres, dia nggak keluar dari perusahaan," katanya dengan nada menenangkan. Aku menatap Peter, nggak ngerti apa yang dia maksud. "Mulai Senin, dia akan ada di bawah pengawasanku, dan Robin akan kerja langsung denganmu.

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 110

    Tiba-tiba pintu kantor terbuka, dan sekelompok wanita yang dipimpin Minda menerobos masuk."Apa lagi yang kamu lakukan sekarang, Adit?" Minda langsung meledak penuh amarah."Minda, tolong, jangan sekarang." Aditya memohon, nadanya terdengar lelah."Justru sekarang! Aku sudah memperingatkanmu, Adit. Jangan macam-macam dengan temanku." Minda duduk di sampingku dan langsung memelukku erat. "Keluar sana. Teman-temanmu menunggumu di lobi. Biarkan kami yang urus Citra. Ayo, cepat!" Nada suaranya penuh kemarahan!Aditya mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencium keningku dengan lembut, lalu meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Saat aku mengangkat kepala, kulihat para sahabatku mengelilingiku: Minda, Sekar, Tina, Vivi, Melati."Sekar langsung menelepon kami begitu semuanya terjadi, dan kami bergegas ke sini untuk menemanimu," jelas Tina lembut. "Robin sudah ceritakan segalanya."Aku merasa begitu terlindungi oleh perempuan-perempuan luar biasa ini, yang rela meninggalkan segalanya

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 109

    Hari-hari berlalu begitu cepat. Sudah lima belas hari sejak aku kembali bekerja di Grup Mahadi. Segalanya berjalan lancar. Aku mengawasi proses audit dan menjalankan tugasku tanpa kendala. Aditya dan aku masih menikmati godaan-godaan kecil kami, serta ritual manis berbagi kue cokelat. Sesuai janjinya, ia membawaku bercinta di mejanya, membiarkanku menungganginya di kursinya, dan aku bahkan nggak bisa lagi hitung berapa kali ia memelukku di sofa itu. Kami tidur bersama hampir setiap malam di apartemenku, dan setiap Sabtu aku menginap di rumahnya. Aku benar-benar bahagia. Aku punya pacar yang luar biasa yang mencintai putraku, teman-teman yang kusayangi, dan pekerjaan yang telah lama menjadi impian. Jodi memang masih berkeliaran di perusahaan, namun dia nggak pernah berhasil mendekatiku lagi karena Desta selalu sigap dan waspada.Hari Jumat kembali datang, dan Aditya serta aku sedang menuju area parkir untuk pulang setelah hari kerja yang melelahkan. Kami sedang bicarakan rencana memesa

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 108

    Aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan beriringan dengan Aditya ke sofa. Ia meraih pinggangku, menarikku mendekat, dan menciumku dengan hasrat. Tangannya menjelajahi tubuhku, lalu mengangkat ujung gaunku perlahan sampai ke pinggang. Dia membawaku ke sofa dan mendudukkanku. Aditya berlutut di hadapanku, masih menatapku dengan mata coklat kehitamannya yang penuh hasrat. Tampak dia menjilat bibirnya dan menggerakkan tangannya ke pahaku, menggapai celana dalamku untuk membelai organ intimku melalui kain tipis itu. Aku terpesona oleh matanya, merasakan tubuhku terbakar saat dia menyentuhku. Selalu seperti ini, ketika dia menyentuhku, aku lupa segalanya dan hanya ingin dia menguasaiku. Aditya menebar ciuman lembut di sepanjang pahaku, seperti menciptakan jejak kenangan yang nggak akan pudar. Satu tangannya lagi terus membelai, sementara bibirnya perlahan naik, mendekati daerah intimku. Ketika ia menciumku di sana, dia juga menggigit halus dan menjilat tempat itu. Dengan kedua tangan di p

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 107

    Sudut Pandang Citra.Hari pertamaku kembali di Grup Mahadi benar-benar sibuk.Pertengkaran Sekar dengan Carisa menjadi pembuka, disusul kedatangan Heru yang mengamuk karena sahabatku diserang, dan gosip yang menyebar ke seluruh perusahaan kalau aku tidur dengan bos demi diperlakukan istimewa.Tentu saja, pemecatan Carisa membuatku lega. Nggak terbayang gimana aku harus tahan bekerja bersamanya, karena cepat atau lambat dia pasti akan membuat hidupku seperti neraka. Suasana di lantai eksekutif terasa jauh lebih ringan sejak kepergiannya. Beban seperti lenyap begitu saja, meski pekerjaan menumpuk begitu padat hingga Aditya dan aku nyaris nggak sempat melontarkan godaan-godaan kecil seperti biasanya.Hari itu Jumat, dan saat Sekar dan aku kembali dari makan siang, kami nggak menyangka akan bertemu Jodi di dalam lift. Tubuhku langsung menegang. Pintu ditutup, dan lift mulai naik. Tapi tiba-tiba Jodi menoleh ke arahku dan melangkah mendekat lebih dari yang pantas.“Sudah merasa aman sekaran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status