Share

Bab 4

Author: Maria Anita
Waktu aku lulus kuliah, Panji sudah berusia dua tahun. Saat itu, dia sudah bisa berjalan ke mana-mana, dan selalu menempel pada nenek, kata pertamanya pun adalah “nenek”. Dia anak yang sangat tampan, dengan rambut hitam lurus, kulit cerah, hidung mungil yang mengarah ke atas, dan mata hitam kecokelatan yang membuatku selalu menghela napas kagum. Dia adalah sinar matahariku! Dan sekarang aku akan punya lebih banyak waktu untuknya.

Setelah lulus, bosku memanggilku untuk mengobrol. Dia adalah bos yang sangat baik dan mengatakan dia sangat senang dengan pekerjaanku, tetapi dia tahu kalau aku pantas dapat yang lebih, jadi aku harusnya cari kerja sesuai bidangku dan dia mengerti. Dia meyakinkanku kalau pekerjaanku di perusahaan konstruksi akan tetap ada kalau aku mau. Kalau aku pergi dan ternyata nggak cocok, aku selalu bisa kembali. Namun, dia menyarankanku untuk cari pekerjaan sesuai bidangku, demi masa depan anakku yang lebih baik. Aku sangat tersentuh dengan perhatian itu dan menerima nasihatnya dengan sepenuh hati.

Aku beri tahu Minda dan dia langsung berkata akan bicara pada ayahnya untuk menghubungi beberapa relasi.

Nggak lama kemudian, Pak Omar Lurdi, ayah Minda, panggil aku ke kantornya dan menyerahkan sebuah kartu sambil berkata, “Citra, aku tahu kamu gadis yang luar biasa dan seorang profesional yang hebat. Aku sudah bicara dengan temanku dan dia sudah jadwalkan wawancara untukmu di Grup Mahadi... Ini untuk posisi asisten CEO. Kalau kamu bisa dapat pekerjaan ini, kamu bisa kerja sesuai bidangmu di perusahaan multinasional. Posisi ini luar biasa, tapi bukan di Kota Besana ini. Kamu harus pindah ke Kota Pekanida. Aku tahu ini perubahan besar, tapi kamu pertimbangkanlah. ini akan sangat baik untuk masa depanmu. Gimanapun juga, coba kirim email ke alamat yang ada di kartu ini, terserah mau tolak posisi ini atau coba wawancara lewat Zoom."

"Pak Omar, aku sangat berterima kasih! Kamu selalu begitu baik ke aku! Grup Mahadi itu salah satu konglomerat bisnis terbesar di negara ini! Bisa kerja di sana itu benar-benar seperti mimpi! Aku pasti akan terima wawancaranya dan aku siap kalau harus pindah. Aku tahu ini bakal jadi kesempatan besar," kataku dengan keyakinan. Nggak ada ruginya juga menjauh dari keluarga yang menyebalkan itu, apalagi sekarang si Kiara yang sombong itu sedang hamil dan ibunya malah minta semua barang milik Panji untuk anak dari pasangan sialan itu! Untungnya, ibuku bilang itu permintaan nggak masuk akal, tapi sebenarnya itu nggak penting lagi karena aku sudah kasih semua barang-barang yang sudah nggak muat di Panji ke kenalan yang sedang hamil. Ibuku sangat kecewa dengan kakaknya karena dia selalu merendahkan anakku, selalu menyebutnya anak tanpa ayah dan itu sangat menyakiti hati ibuku. Kalau aku pergi dari kota ini, satu-satunya yang akan aku sayangkan adalah meninggalkan orang tua dan teman-temanku. Tapi aku tahu mereka akan mendukungku seperti biasa.

Aku berterima kasih pada Pak Omar dan keluar dari kantornya. Saat sampai di mejaku, aku bicara dengan bosku, yang marganya juga sama, Lurdi, tapi dia nggak suka dipanggil marganya, jadi aku panggil dia dengan nama depannya.

"Pak Amir, saudaramu kasih aku kesempatan wawancara di Grup Mahadi."

Dia tersenyum.

"Aku tahu, dia baru saja telepon aku. Kurasa kamu terima saja kesempatan itu. Kalau nggak berhasil, kamu masih bisa kembali."

Aku tersenyum dan langsung mengirim email untuk menjadwalkan wawancara. Aku segera dapat konfirmasi kalau wawancara akan diadakan besok pagi jam sepuluh. Karena aku sudah kirim CV sebelumnya, wawancaranya akan singkat.

Malam itu di rumah, aku bicara dengan orang tuaku. Mereka mengerti, meski khawatir gimana aku akan besarkan anak sendirian di kota lain dan sedih karena harus berjauhan dari cucu mereka, mereka tetap dukung seperti biasa dan senang aku dapat kesempatan ini. Aku minta agar mereka nggak kasih tahu siapa pun. Waktu Minda datang, dia memang datang tiap hari untuk lihat anak baptisnya, jadi aku ceritakan semuanya padanya dan dia bantu aku untuk siap-siap buat wawancara besok.

Waktu wawancara, aku pergi ke ruang rapat di tempat kerjaku. Bosku sudah kasih izin. Aku pun duduk dan menunggu panggilan. Aku diwawancarai oleh seorang wanita yang sangat ramah dan cerdas, Bu Maya Purnama. Wawancaranya menyenangkan sekali, kami bicara selama dua jam. Dia menjelaskan semua informasi tentang posisi, gaji, dan tunjangan.

Pada akhirnya, dia berkata, "Citra, kamu diterima! Kamu akan gantikan posisiku karena aku akan pindah ke cabang di Kota Lumina sebagai direktur, jadi kamu akan ambil alih tugasku di sini. Aku mau kamu mulai kerja secepatnya karena aku akan pergi dalam 10 hari, jadi aku harus serahkan semua tanggung jawab sebelum itu. Aku nggak mau tunda keberangkatanku. Kapan kamu bisa mulai?"

“Aku cuma butuh persetujuan dari bosku untuk keluar, tapi sepertinya aku bisa mulai hari Senin.” Karena ini sudah Jumat, aku ragu apa Pak Amir akan setuju kalau aku keluar hari ini.

"Bagus! Setelah kamu bicara dengan bosmu, kirimkan aku email konfirmasi ya. Ada pertanyaan lagi?"

“Nggak, Bu. Semuanya sudah jelas.”

"Bagus! Selamat bergabung di Grup Mahadi. Aku yakin kamu bisa melakukannya dengan baik. Sampai jumpa hari Senin.”

Telepon pun ditutup, jantungku berdegup kencang. Aku berhasil! Pekerjaannya luar biasa, gajinya bahkan lebih baik dan aku punya peluang untuk berkembang. Ini seperti mimpi yang jadi nyata. Tapi sekarang aku harus bergerak cepat dan mengurus semuanya.

Aku langsung menemui bosku. Dia senang mendengarnya, lalu menelepon bagian keuangan untuk segera urus hak-hak terakhirku. Setelah itu, dia izinkan aku pergi, sambil berkata aku selalu bisa kembali lagi jika mau. Tapi dia yakin aku akan sukses. Aku berterima kasih padanya dan pergi. Aku mengirim email konfirmasi ke Bu Maya, mengatakan aku akan hadir di kantor pukul delapan pagi hari Senin, lalu langsung pergi menemui Minda dan ayahnya. Aku harus berterima kasih pada mereka. Dan saat itulah Minda mengejutkanku.

“Kamu pikir kamu bisa bawa pergi anak baptisku begitu saja? Nggak semudah itu! Ayahku sudah sudah carikan aku wawancara di Perusahaan Dunia Liantar, Kota Pekanida. Aku bakal ikut pindah, jadi kita tetap tinggal bareng. Gimana menurutmu?”

‘Bagus banget!’ Aku sangat senang, tapi langsung bertanya, "Min, gimana dengan Fajar?"

“Fajar sudah minta dipindahkan sama kantornya ke cabang Pekanida. Dia juga bakal punya peluang lebih besar di sana. Dia bakal nyusul 15 hari lagi. Kawan, ini kehidupan baru bagi kita bertiga."

Aku sangat senang! Minda sudah mengatur semuanya. Fajar akan mengantar kami ke sana dan Minda akan mengurus Panji waktu aku kerja, untuk sementara sebelum kami menemukan tempat penitipan anak. Dia bahkan sudah siapkan tiga tempat penitipan anak yang akan kami kunjungi dan ayahnya sudah sediakan apartemen berperabot lengkap di kota untuk kami tinggali. Semuanya benar-benar terasa seperti mimpi, aku sampai takut. Minda melihat kegugupanku, menepuk bahuku sambil berkata,

“Belajarlah menerima hal-hal baik yang diberikan hidup padamu!”

Aku tersenyum padanya dan kami pun pergi ke rumah orang tuaku. Ini saatnya memberi kabar dan mengucapkan selamat tinggal. Pekanida ada di sisi lain negara ini, jadi kami nggak akan bertemu dalam waktu dekat. Orang tuaku awalnya senang, tapi saat aku bilang kami akan berangkat besok pagi, suasana berubah jadi haru. Berat rasanya meninggalkan mereka, tapi ini perlu. Dengan gaji yang akan kuterima, sekarang aku bisa bantu mereka. Itu hal yang bagus.

Keesokan paginya, Fajar dan Minda datang tepat waktu. Ayah Minda memberinya hadiah sebuah mobil truk kecil, yang sangat memudahkan kami saat mengangkut barang-barang. Fajar memasukkan semuanya ke dalam truk, dan kami pun berangkat, seharian kami di perjalanan.

Kami tiba di Pekanida Sabtu malam. Panji sudah kelelahan, tapi dia sangat menikmati perjalanan, semuanya sangat baru dan menarik baginya. Kami pun membereskan barang-barang, memesan makanan, dan setelah makan, langsung tidur. Hari Minggunya, kami keliling kota untuk mengenal lingkungan sekitar. Pekanida adalah kota industri modern yang besar di pesisir. Pelabuhannya ramai dan menjadi pusat bisnis, membuat kota ini seperti kota di negara maju.

Apartemen yang akan kami tinggali letaknya dekat dengan salah satu tempat penitipan anak yang sudah dihubungi Minda dan itu luar biasa. Itu juga nggak jauh dari perusahaan, aku bisa tiba di sana dalam dua puluh menit dengan bus. Apartemennya indah, desainnya modern, ventilasinya bagus, dan jendelanya besar-besar, membuat cahaya alami masuk dengan leluasa. Malam harinya, kami mengantar Fajar ke bandara, lalu pulang untuk beristirahat. Besok hari penting, aku akan mulai bekerja dan Minda akan wawancara lewat Zoom serta membuat janji temu dengan direktur tempat penitipan anak untuk lihat-lihat dan ngobrol.

Aku menidurkan Panji yang kelelahan setelah hari yang menyenangkan. Saat melihatnya tidur dengan tenang, aku merasa yakin hidup kami akan sangat baik di sini. Panji sekarang punya kamar sendiri dan Minda serta aku sudah berencana membeli beberapa barang untuk membuatnya lebih pribadi dan nyaman. Aku mengambil monitor bayi lalu pergi ke kamarku.

Aku membuka salah satu kotak dan mulai menata barang-barang. Ketika membuka kotak terakhir, aku menemukan kotak berisi kenangan dari malam pesta topeng. Aku membukanya, menyentuh gaun indah itu, dan menghela napas. Aku mengambil parfum dan berpikir, “Kenapa tidak?”

Mulai besok, aku akan pakai parfum ini setiap hari. Gajiku cukup, jadi saat parfum ini habis, aku bisa beli lagi. Aku lalu simpan kembali kotaknya, meletakkan parfumnya di meja rias, kemudian naik ke tempat tidur dengan penuh harapan akan kehidupan baru yang kini terbentang di hadapanku.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 116

    Sudut Pandang Aditya."Sekar, gimana kabar Citra?" tanyaku sembari berhenti di depan meja sekretarisku."Parah! Hancur! Kacau balau! Tapi Bu Mila sudah bikinkan teh untuknya dan itu sedikit menenangkannya. Sekarang aku sudah sibuk kerja, tapi karena dia juga sibuk dan nggak ada suara tangisan lagi, aku belum sempat cek ke dalam," jawab Sekar."Aku perlu bicara dengannya. Dia perlu mengerti kenapa aku lakukan hal gila ini," kataku sambil berjalan menuju kantor Citra"Aditya, jangan bikin dia makin hancur. Aku belum yakin apa semua kekacauan ini pantas dibela." Sekar memperingatkan."Maaf, tapi aku harus bicara dengannya," kataku sambil membuka pintu ruangannya.Saat kulihat ke dalam, Citra tertunduk di meja dengan mata tertutup. Aku mendekat, panggil namanya pelan, tapi nggak ada reaksi. Aku coba lagi, tapi nggak jawaban. Tanpa berpikir panjang, aku angkat tubuhnya ke dalam pelukanku. Dia tampak pingsan. Dengan cepat kubuka pintu ruang Peter. Ia sedang duduk di kursinya dan menatapku de

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 115

    Sudut pandang Citra.Hari-hari berlalu begitu lambat, seolah waktu sengaja memperpanjang penderitaanku. Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, dan setiap waktu luang yang kupunya kuhabiskan bersama putraku atau para temanku. Tapi tetap saja, malam-malamku diliputi kegelisahan. Tidurku tak pernah nyenyak. Kantung mata hitam di bawah mataku kini lebih menyerupai bayangan kelam yang tak mau pergi.Saat tiba di kantor pagi itu, aku langsung menyadari kehadiran sesuatu yang baru. Sebuah rangkaian tulip menghiasi meja kecil di sudut ruangan. Di sampingnya, sebuah kartu dengan tulisan tangan Aditya:[Aku rela mati untukmu, dan aku mulai kehilangan akal tanpamu. Aku akan lakukan apa pun agar kamu nggak menderita.]Aku menunduk, merasakan sesak di dada. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, pandanganku teralihkan oleh satu lagi rangkaian bunga di meja sebelah. Tapi kali ini berbeda. Buket itu tampak aneh... bunga-bunga muram yang biasa kulihat di pemakaman. Bunga ini terasa dingin, janggal

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 114

    Sudut Pandang Aditya.Aku masih nggak percaya pada semua yang telah kulakukan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku di pesta perpisahan sialan itu? Kenapa aku begitu mabuk? Bahkan aku nggak bisa ingat apa pun yang terjadi malam itu. Dan sekarang, aku seperti dilempar langsung ke neraka, dipenjara bersama anjing neraka, tanpa tahu jalan keluar dari semua kekacauan ini.Sudah seminggu penuh aku coba cari solusi untuk bencana bernama Lastri yang kini ngaku hamil. Tapi mereka telah mendorongku ke batas terjauh kesabaranku, dan rasanya segalanya sangat parah."Aditya..." Kudengar Peter panggil aku."Di atas sini!" balasku cepat.Aku berada di atap apartemenku, memandang kota yang terhampar di bawah sana, berharap ada keajaiban dari Tuhan yang membuat semuanya lenyap. Aku hanya bisa berdiri di sana, tenggelam dalam pikiran-pikiran gelap tentang masalah yang menenggelamkanku hingga ke leher."Adit! Gimana kabarmu? Apa yang terjadi sampai kamu bilang ini darurat banget?" Peter merasa tertekan. S

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 113

    "Citra, aku ingin bicara denganmu.""Kau benar-benar nggak tahu malu, dasar jalang. Berani-beraninya kamu datang ke sini ganggu temanku," bentak Sekar tajam dan langsung berdiri membela."Citra, kalau ini nggak penting, aku nggak akan datang cari kamu. Tapi tolong... dengarkan aku sebentar saja," ucap Lastri dengan suara bergetar, seperti nahan tangis, berusaha keras tampak ramah meski jelas itu bukan sifat aslinya."Nggak mungkin. Pergi dari sini dan jangan ganggu Citra lagi," kata Sekar dengan nadanya makin tinggi, dan dari sorot matanya, aku tahu dia sudah mau nerkam Lastri."Sekar, biarkan saja. Aku akan dengarkan apa yang dia mau bilang. Aku nggak mau dia menguntit aku ke mana-mana. Lebih baik selesaikan sekarang dan singkirkan gangguan ini," kataku sambil nahan emosi.Tanpa nunggu aba-aba, Lastri menarik kursi di sampingku dan duduk, seolah ia punya hak di situ."Dengar, Citra, aku bicara ini sebagai seorang ibu kepada ibu lainnya," katanya sambil meletakkan tangan di dadanya. "K

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 112

    Akhir pekan itu terasa seperti kabut bagiku. Teman-temanku melakukan segalanya untuk menghiburku, bahkan berusaha meyakinkanku untuk nggak tinggalkan Aditya. Tapi aku nggak sanggup berdiri di antara dia dan anaknya. Aku tahu, perempuan itu akan ubah hidupku menjadi neraka. Aku nggak akan sanggup menanggungnya.Hari Senin pagi, saat aku tiba di kantor, aku langsung dicegat oleh Jodi di pintu masuk gedung."Ngapain kamu datang sini lagi, pelacur?" Dia berteriak sambil berdiri di depanku. Aku mencoba menghindarinya dan melangkah pergi, tapi dia hentikan langkahku dan mencengkeram lenganku. "Aku sedang tanya kamu, pelacur kecil!""Lepaskan aku!" Aku menarik lenganku dari cengkeramannya yang seperti cakar. "Aku kerja di sini!""Nggak, kamu nggak! Aku akan minta Aditya pecat kamu!" ujarnya dengan mata menyala penuh amarah."Silakan saja," kataku lalu berbalik pergi.Saat dia mencoba menghalangiku masuk ke perusahaan, petugas keamanan, Doni, segera melangkah masuk dan berdiri di antara kami.

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 111

    Sudut Pandang Aditya.Aku duduk terpaku di sofa ruang tamu, dadaku rasanya seperti diremas oleh tangan nggak kasat mata, napasku terasa sesak, dan mataku panas, penuh dengan air mata yang nggak kunjung berhenti. Rasa ini… hanya satu kali pernah aku rasakan, yaitu waktu kedua orang tuaku meninggal dunia. Rasa kehilangan yang nggak tergantikan, rasa sakit yang buat jiwamu nyaris mati. Dan kini, aku sekarat tanpanya."Adit, perempuan itu dan ayahnya sedang tunggu di lobi. Aku tahu kamu hancur, tapi mereka nggak akan pergi," ujar Peter membuyarkan lamunanku."Peter, dia putus denganku. Katanya nggak ada jalan lagi. Dia nggak ingin rebut aku dari anakku, dan dia bilang akan kembali kerja dengan Heru," jawabku dengan suara putus asa."Tenang, Adit. Setidaknya satu masalah sudah beres, dia nggak keluar dari perusahaan," katanya dengan nada menenangkan. Aku menatap Peter, nggak ngerti apa yang dia maksud. "Mulai Senin, dia akan ada di bawah pengawasanku, dan Robin akan kerja langsung denganmu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status