“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.
Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.
Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.
“Kita akhiri sampai di sini.”
Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka hanya bermodalkan mulut lalu mengembangkan gosip-gosip tidak penting menjadi sebuah fantasi dalam benak mereka. Dasar manusia gabut!
“Makan di mana?” tanya Justin seraya memberikan laptop dan file yang ada di tangannya kepada sang sekretaris. “Atur kembali pertemuan sore nanti. Jika bisa dipindahkan jamnya, lakukan. Jika tidak bisa, besok pagi kita akan menghampiri para penanam saham.”
“Baik, Pak,” jawab sang sekretaris yang bergegas melakukan tugasnya tanpa mengindahkan pemandangan di hadapannya. Baginya, melihat hal seperti itu sudah biasa. Atasannya tidak sekali, dua kali berganti pasangan. Itu terbilang sangat sering terjadi.
“Terserah!”
Amira berjalan lebih dulu meninggalkan Justin yang mengembuskan napasnya berat. Wanita itu entah apa maunya. Kata-katanya yang semalam berbanding terbalik dengan yang sedang terjadi saat ini. Tidak bisakah para wanita itu jangan membuat perkara mudah menjadi rumit?
“Kamu bilang tidak ingin menikah denganku tapi tindakanmu cukup membuatku terkejut,” ujar Justin yang memasuki mobilnya diikuti Amira yang memasang sabuk pengaman di tempatnya. “Kamu berubah pikiran?”
“Jalankan saja mobilnya!” perintah Amira tegas dengan wajahnya yang super dingin.
Justin mengedikkan bahunya. Tidak tahu masalah apa yang sedang menimpa wanita di sampingnya ini. Setidaknya jika memang tidak suka dengan sebuah permintaan yang dilakukan orang tuanya, tidak perlu memaksakan diri. Sayang, manusia zaman sekarang memang berbeda dan sering merepotkan dirinya sendiri.
“Apa kamu selalu bersikap seperti ini?” Justin mengemudikan mobilnya. Jalanan kota Semarang di siang hari tidak sepadat pagi maupun sore hari. Celah untuk menerobos kendaraan lain selalu ada. “Maksudnya, jika memang kamu tidak menyukai apa yang diminta oleh orang tuamu, bukankah tidak perlu kamu lakukan? Aku ingat apa yang kamu bicarakan semalam.”
“Lalu?” tanya Amira dengan sorot mata penuh amarah. Justin hanya terkekeh melihatnya. “Apa itu merubah keadaan yang terjadi saat ini? Ah, kamu sendiri juga sedang masuk ke dalam kubangan yang diciptakan oleh Mamamu dan seolah-olah tidak ada yang serius, kamu menerimanya meski bisa menolaknya.”
“Tapi aku tidak biasa menampik sebuah fakta. Aku dengan senang hati mengakui dan kamu benar, aku memang sudah terjerat dengan ikatan yang Mamaku ciptakan. Ngomong-ngomong orang tua kita sangat hebat, ‘kan?”
Amira menolehkan kepalanya dan menatapi sosok Justin dengan penuh intimidasi. Pria ini terlihat sempurna saat dilihat dari arah samping. Amira mengakui betapa kokohnya rahang Justin yang terlihat begitu pas dengan kontur wajahnya yang tampan. Dalam bayangan Amira, jika telapak tangannya memegang rahang Justin, rasanya akan sangat pas disertai dengan ciuman yang lumayan panas. Oh, astaga! Pikiran gila macam apa ini? Bisa-bisanya Amira melanglang buana bersama pikirannya yang kotor.
“Aku tahu, aku tampan. Tapi berhenti bersikap mesum padaku yang sedang menyetir. Dan terik matahari siang ini, sepertinya menjadi pendukung yang tepat untuk kita melakukan hal-hal menyenangkan. Mau mencobanya?” tawar Justin dengan senyum paling menawan yang membuat Amira melegut ludahnya sendiri.
“Jangan gila!” bantah Amira menyunggingkan bibirnya dengan tatapan sinis. “Apa kita begitu dekat sehingga harus saling berbagi rasa? Jangan terlalu salah paham dengan ajakanku. Aku tidak akan melakukannya jika bukan Mamamu yang memohon.”
“Aku tidak harus peduli, ‘kan dengan tindakan mereka? Aku lebih terkesima karena kamu memandangi aku penuh minat dan penolakan kamu itu cukup menjatuhkan harga diriku. Kenapa harus menolak saat kamu merasakan gairah yang membuncah? Ayolah, kita sudah dewasa dan saling mengetahui apa-apa saja yang bisa kita lakukan.”
Penuturan Justin menohok hati Amira. Namun bibir Amira rapat bak terkena lem tanpa bisa membantahnya. Itu benar dan Amira mengakuinya dengan penuh kebenaran. Dalam hatinya menimang dan mulai tergiur dengan tawaran Justin. Kesempatan tidak datang dua kali, begitu batin suci Amira meraung. Kedua tangannya yang bertumpu di atas pahanya mulai meremas penuh gelisah. Wajah Amira mendadak tegang entah karena apa.
“Kamu begitu percaya diri dengan apa yang ada saat ini, begitu?” tanya Amira membingungkan. Justin sampai harus menoleh dengan kedua alis menyatu. “Dasar bodoh! Pertanyaan semudah itu saja kamu tidak bisa memahami dengan cepat. Pria macam apa, sih kamu ini?”
“Kamu menghardikku?” Perdebatan kecil itu terjadi saat mobil Justin telah sampai di sebuah rumah makan langganannya. Justin melepas sabuk pengamannya dan menghadapkan tubuhnya sepenuhnya ke arah Amira. “Kenapa aku harus ragu? Aku rasa, kita bisa menjadi pasangan yang cocok. Kamu bisa meraba hatiku sejenak di mana aku ini hanyalah seorang anak yang tidak diinginkan. Kamu bisa menjadi penyeimbangku di saat semua wanita merendahkanku. Setidaknya, ada manfaat yang bisa kita dapati jika pernikahan ini terjadi. Pertama, kamu akan tutup mulut bahkan membungkam mulut mereka yang mencoba menginjakku. Kedua, ini pernikahan bisnis. Kamu tahu sendirilah artinya. Sokongan dana dari perusahaanku, walau hanya satu persen, itu cukup membantu Papamu untuk bisa bernapas dengan lega. Bagaimana?”
Amira menolehkan kepalanya dan mendapati Justin yang menatapnya penuh minat. Membalas dengan kesinisan, Amira menunjukkan secara terang-terangan wujud aslinya yang hobi mengintimidasi lawan bicaranya. Ketimbang mendapatkan balasan Justin yang penuh ketakutan seperti kebanyakan lawan bicaranya, Justin justru tersenyum dengan elegan.
“Jadi menurutmu, pernikahan bisnis ini harus tetap terjadi, begitu? Kamu ingin menindas kedua orang tuaku dengan suntikan dana darimu yang amat banyak itu demi bisa membeliku? Wah, kamu memang arogan sekali, ya! Kamu memamerkan kekayaan kepada kami yang sebentar lagi jatuh miskin. Hebat!”
Amira bertepuk tangan kecil dengan tawa yang membahana di dalam mobil Justin.
“Kenapa tidak? Kita bisa menjadi partner dalam mengarungi rumah tangga.”
“Oke, lalu apa tanggapanmu tentang wanita yang tidak perawan atau dia hamil dengan orang lain?”
Eksistensi keseriusan lelaki berperawakan tinggi tampan bak model terkenal itu duduk dengan tenang sembari melayangkan jemarinya di atas laptop. Mengetik beberapa file penting lantas mencetaknya. Otak pintarnya bahkan habis hanya untuk memikirkan masalah yang bukan miliknya.Rambut hitam pekatnya telah lebih dulu acak-acakan meski waktu baru saja menunjuk tepat di angka sepuluh. Masih sangat pagi hanya untuk menjadi sekedar berantakan. Dirinya akan sangat gila mengurus masalah ini, sekaligus. Sepupunya yang merangkap menjadi bos di tempatnya bernaung juga istrinya yang gila. Bagaimana tidak jika harus selalu memberi kabar dan info apa-apa saja yang lelaki itu lakukan. Bunuh saja sekarang!Kini lantas deringan telepon entah dari saluran berapa membuatnya semakin menggeram kesal. Melempar kasar satu-satunya berkas dan segera melayangkan tangan mengangkatnya. Kerutan demi kerutan menghiasi wajah tampannya—hingga membuat beberapa wanita di bilik meja kerjanya mengerang histeris."Kau sung
Memahami makna dari pengorbanan. Bisa kau lepaskan semuanya. Lepaskan semuanya dan datang padaku. Mendekat padaku dan berbagi dunia. Aku berikan duniaku dan kau berikan duniamu.Tidak! Kau tak perlu khawatir dan bertanya bagaimana. Aku sudah menggenggammu. Aku menggenggam tanganmu dan kita saling memberikan. Mata dengan mata. Ingat apa yang aku katakan.Kau tak perlu takut. Tidak, aku sudah lebih dulu menggenggammu.****Jemari lentik Valerie bergerak luwes membenarkan letak kancing kemeja yang Justin kenakan dengan santai. Bibirnya tak sedikitpun tertekuk meski perlakuan manja Justin amat mengganggunya. Tapi tidak. Bagi gadis berumur 23 tahun itu adalah sebuah kesenangan tersendiri menyaksikan wajah manja kekasih tampannya itu.Setelah merajuk habis-habisan lantas merayunya dengan godaan dan hasilnya ya. Tak cukup memuaskan, toh pada akhirnya Justin luluh. Mengikuti ucapannya untuk datang."Aku suka gaunnya Justin," ucap Valerie diselingi senyuman manis. "Terima kasih, King," bisikny
Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak mengeluarkan setetes darah pun. Sedikit saja tidak. Kau bisa melihatnya dengan jelas sekarang.Jadi, apa kau bisa memberi kesimpulan rasa sakit yang sebenarnya? Tidak, jika kau tak bisa memberi kesimpulan setidaknya jelaskan padaku definisi yang pantas untuk kata sakit.Ah, apa kau pernah di paksa menjauh dari orang tercintamu? Semacam kehilangan. Mau tidak mau kau harus merelakan kepergiannya. Mau tidak mau kau harus melepaskannya. Secara paksa. Aku tekankan sekali lagi. Secara paksa."Katanya ombak tak pernah meninggalkan lautan. Katanya batu karang di tengah lauta
Beruntungnya semua itu hanya mimpi. Sekali pun terlihat nyata di malam-malam panjang Xander, fakta bahwa tidur sendiri tanpa Amora di sisinya sungguh sebuah penyiksaan. Peluh Xander memenuhi kaos putihnya. Dahinya basah total selayaknya lari maraton. Dan mimpi tadi, benar-benar bukan doa Xander selama perjalanan rumah tangga keduanya.Bangkit dari ranjangnya. Masih dengan badan yang tremor dan lirikan mata pada jam di dinding. Selalu di jam dua dini hari. Ada apa dengan waktu dua dini hari?Xander mendengus. Menuju wastafel dan mencuci mukanya. Selesai dengan urusan wajahnya, Xander raih ponsel guna menghubungi sang istri.'Salah siapa yang sibuk bekerja?' Itu ejekan Amora tiap kali dirinya mengeluh. Meski begitu, Amora selalu memberikan jawaban-jawaban menenangkan. Itu sedikit membuat Xander tenang. Tapi tidak dengan deringan telepon yang tak kunjung di jawab. Xander terus mencoba sampai telepon dengan nama pemanggil yang lain masuk."Ya Will?"William murka di seberang sana. "Henti
Xander sideAku diam termangu menatap nanar gundukan tanah merah di depanku. Menyembunyikan cairan bening yang hampir terjatuh di balik kaca mata hitam yang bertengger dihidung mancungku. Tampar aku jika semua ini benar, meski, kenyataan yang aku terima benar adanya. Memang nyata adanya. Himpitan beban pada rongga dadaku seakan enggan memberiku sedikit, saja, setidaknya ruang untukku menghirup udara sekedar menarik napas. Berkali-kali sejak semalam aku sudah memukul dadaku berulang ulang agar terasa longgar dan hasilnya sama. Nihil. Sesak itu kembali datang.Jika aku berkata ini seperti mimpi, bisa tolong bangunkan aku? Atau tampar saja wajahku berulang ulang agar aku segera terbangun dan tidak mendapati kenyataan pahit seperti ini.Tidak. Ini pasti salah. Dokter sialan itu pasti salah memeriksa Amora. Tidak mungkin Amora meninggalkanku. Tidak. Ini tak boleh terjadi. Tidak. Ini bahkan terlalu cepat untuk mengakhiri semuanya. Ini harus berhenti. Dan tolong hentikan semuanya sekarang ju
Xander sideIni sudah lebih dari satu bulan sejak kepindahanku membawa Amora kebelahan Negara lain. Menjauh dari hiruk pikuk kesibukan kota yang memenatkan. Mengasingkan diri dari kesibukan yang akan menyita waktuku. Aku lebih memilih memfokuskan pada pemulihan Amora.Terhitung sejak kejadian penculikan itu, Amora seperti enggan untuk membuka kedua bola matanya. Aku hanya mencoba berpikir realistis. Mungkin saja dia lelah. Lelah dengan apa yang telah di alaminya. Atau mungkin saja dia enggan bertemu denganku dan memberiku hukuman atas semua keteledoranku.Sampai saat ini aku bahkan belum menemukan jawaban tepat ketika suara lembut yang sangat aku rindukan, nantinya bertanya, di mana bayiku?Entah apa yang akan aku jawab. Yang pasti memberi tahu semuanya akan lebih baik dari pada menutup kemungkinan untuk berbohong.Beberapa dokter dan perawat selalu memantau setiap harinya. Mengecek setiap kondisi detak jantung yang sebenarnya mulai normal. Lalu kenapa Amora enggan membuka kedua bola