“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.
Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.
“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”
“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesakku sampai seperti ini. Menikah itu jelas akan aku lakukan tapi nanti. Lagi pula Mama begitu terburu ingin aku menikah tujuannya hanya demi mendapatkan cucu, ‘kan?”
“Kamu!” Tami semakin histeris di buatnya. Perkataan Justin tidak tersaring dengan baik dan meluncur tanpa dosa. “Gunakan otak kamu, Justin! Jika hanya karena cucu, Mama tidak akan menjadi gila seperti saat ini. Tapi kamu tahu apa yang terjadi di rumah!? Kamu melihat bagaimana keluarga kita terbentuk dan dengan entengnya kamu masih memikirkan soal cucu yang Mama inginkan? Gila! Mama benar-benar tidak waras dengan mempertahankan kamu jika mendapat balasan yang menyakitkan seperti ini!”
Mendengar itu, Justin sadar jika Tami sedang melakukan aksi merajuknya. Sekali lagi Justin katakan, jika hal itu pun sudah biasa Justin dengar. Tidak ada waktu untuk sakit hati apa lagi mengeluhkan keadaan yang membelenggunya. Justin hanya perlu fokus pada karier dan dirinya sendiri. Setidaknya ketika di depak dari keluarga Brotolaras, ada ilmu dalam berbagai kemampuan yang dirinya bawa serta.
“Mungkin Mama harus lebih sadar jika semua ancaman yang Mama lakukan bisa memengaruhiku. Aku tidak hidup untuk masalah seremeh itu. Mama harus tahu, aku sudah lebih dari siap jika harus dibuang seperti yang selalu Mama katakan. Lagi pula, aku tidak ingin membebani Mama. Kenapa tidak Mama gugurkan aku saat tahu ada yang hidup di perut Mama?” Justin bertanya yang membuat Tami semakin geram. “Karena Mama butuh Andre untuk mencukupi semua kebutuhan Mama. Mama butuh menjadi wanita kaya yang diakui oleh semua orang dan tentunya lingkungan yang selama ini Mama jalani. Jadi, Ma, berhenti menjadi munafik dengan terus menekanku. Aku akan menikah, dengan atau bukan pilihan Mama. Aku pria 30 tahun yang mempunyai jalan hidup dan akulah pemegang kendali untuk kehidupanku sendiri.”
Tami tertegun mendengarnya. Tidak biasanya Justin berkata panjang lebar seperti sekarang ini yang menandakan jika putra bungsunya benar-benar marah. Tami hanya menatapi wajah Justin dengan rahangnya yang mengeras. Tami tahu tapi tidak mau repot-repot peduli. Sekalipun benar yang dikatakan Justin, wanita mana yang ingin hidup susah di era terbatas ini? Tami hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang datang menujunya. Namun mulutnya yang mengandung emosi sudah menyentil sisi lain di diri Justin.
“Kamu harus tahu bahwa tidak semua kehidupan selalu berjalan mulus. Ada beberapa jalan terjal yang harus kamu lalui dan berbagai cobaan lainnya. Jadi jangan terlalu sombong bahwa kamu mampu melakukannya seorang diri. Kamu pikir berada di puncak ini tidak membutuhkan banyak pengorbanan? Kamu pikir untuk bisa naik dan setara dengan saudaramu, Mama hanya diam saja dan rela diinjak-injak? Tidak Justin. Ada banyak cara yang Mama lakukan dan yang Mama inginkan hanyalah, kamulah pemegang perusahaan. Karena hanya kamu kandidat yang paling tepat untuk menggantikan kepemimpinan Andre,” tutur Tami panjang lebar yang terlalu sering diucapkan.
Justin terkekeh sinis. Cara pikir Tami yang hanya berisi tentang harta dan bersenang-senang tidak mau tahu tentang fakta yang telah lama beredar. Tidak terbantahkan namun Tami selalu angkuh dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.
“Mama yakin itu bisa atau Mama bisa membuat aku berada di puncak? Aku harus menjadi pemimpin dan berada di atas Rangga dan Anggi. Mama yakin dengan itu? Buktikan jika memang Mama bisa karena aku tidak suka pekerjaan setengah-setengah dengan janji manis. Aku tidak akan banyak membual selama Mama mampu melakukannya. Aku akan menikahi wanita manapun yang Mama bawakan ke hadapanku.”
***
“Mama bercanda, ‘kan?” tanya Amira yang baru saja menapaki lantai marmer rumah kedua orang tuanya. “Mama tidak sedang mendorongku ke jurang dengan menikahi Justin, ‘kan? Ma, ayolah, sadar! Ini bukan zamannya Mama dan Papa yang memaksakan setiap kehendak. Aku juga punya kehidupan yang ingin aku jalani dan menikah bersama orang yang aku pilih.”
“Memangnya kamu punya? Dari perusahaan mana, berapa saham yang dia miliki, apa dia setara dengan kita? Lebih kondang dari perusahaan Justin? Bawa ke hadapan Mama.” Kanina tidak mau rugi melepaskan Amira dengan pria sembarangan yang tidak berbobot. “Sementara Justin, dia tidak datang menawarkan diri ataupun kamu yang Mama bawa ke hadapan keluarga Brotolaras. Tapi kamu tahu siapa Andre Brotolaras? Dia yang meminta kamu dan Justin untuk bersama.”
“Aku tidak peduli, Mama,” jawab Amira dengan mata berapi-api penuh ketegasan. “Entah mereka atau mungkin Mama dan Papa sekalipun. Dia bukan orang yang aku mau. Aku tidak memiliki rasa yang khusus sehingga harus membersamainya. Dan lagi pula, Mama pasti yang paling tahu daripada aku jika Tami bukan istri sah yang sebenarnya.”
Mata Kanina melotot. Terkejut dengan penuturan Amira yang membuat putri semata wayangnya terkekeh penuh kemenangan. Kanina tidak tahu jika Amira bisa membalasnya hingga membuatnya terdiam. Kanina pikir, Amira tetaplah seorang anak yang penurut dan mau mendengarkan setiap permintaannya. Meski tidak semua yang Kanina perintahkan selalu Amira turuti, seharusnya masa lalu Tami tidak perlu masuk ke rungu Amira.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Kanina penasaran. “Jangan dengarkan gosip yang tidak valid. Kamu menolak artinya kamu menentang Papamu. Amira, dengarkan Mama sekali ini saja, oke? Mama benar-benar serius ingin kamu bersama Justin karena hanya dengan begitu, bisnis Papamu akan tertolong. Tidak ada perusahaan lain selain milik keluarga Brotolaras yang mau membantu Papamu dan hanya kamu harapan kami satu-satunya.”
“Pernikahan bisnis, ya? Mama dan Papa menjualku kepada keluarga mereka? Apa Mama tahu jika anak tertua mereka sering berulah dengan beberapa wanita dan kabar terakhir yang aku dengar, dia memperkosa adiknya sendiri. Lalu bagaimana denganku?”
Eksistensi keseriusan lelaki berperawakan tinggi tampan bak model terkenal itu duduk dengan tenang sembari melayangkan jemarinya di atas laptop. Mengetik beberapa file penting lantas mencetaknya. Otak pintarnya bahkan habis hanya untuk memikirkan masalah yang bukan miliknya.Rambut hitam pekatnya telah lebih dulu acak-acakan meski waktu baru saja menunjuk tepat di angka sepuluh. Masih sangat pagi hanya untuk menjadi sekedar berantakan. Dirinya akan sangat gila mengurus masalah ini, sekaligus. Sepupunya yang merangkap menjadi bos di tempatnya bernaung juga istrinya yang gila. Bagaimana tidak jika harus selalu memberi kabar dan info apa-apa saja yang lelaki itu lakukan. Bunuh saja sekarang!Kini lantas deringan telepon entah dari saluran berapa membuatnya semakin menggeram kesal. Melempar kasar satu-satunya berkas dan segera melayangkan tangan mengangkatnya. Kerutan demi kerutan menghiasi wajah tampannya—hingga membuat beberapa wanita di bilik meja kerjanya mengerang histeris."Kau sung
Memahami makna dari pengorbanan. Bisa kau lepaskan semuanya. Lepaskan semuanya dan datang padaku. Mendekat padaku dan berbagi dunia. Aku berikan duniaku dan kau berikan duniamu.Tidak! Kau tak perlu khawatir dan bertanya bagaimana. Aku sudah menggenggammu. Aku menggenggam tanganmu dan kita saling memberikan. Mata dengan mata. Ingat apa yang aku katakan.Kau tak perlu takut. Tidak, aku sudah lebih dulu menggenggammu.****Jemari lentik Valerie bergerak luwes membenarkan letak kancing kemeja yang Justin kenakan dengan santai. Bibirnya tak sedikitpun tertekuk meski perlakuan manja Justin amat mengganggunya. Tapi tidak. Bagi gadis berumur 23 tahun itu adalah sebuah kesenangan tersendiri menyaksikan wajah manja kekasih tampannya itu.Setelah merajuk habis-habisan lantas merayunya dengan godaan dan hasilnya ya. Tak cukup memuaskan, toh pada akhirnya Justin luluh. Mengikuti ucapannya untuk datang."Aku suka gaunnya Justin," ucap Valerie diselingi senyuman manis. "Terima kasih, King," bisikny
Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak mengeluarkan setetes darah pun. Sedikit saja tidak. Kau bisa melihatnya dengan jelas sekarang.Jadi, apa kau bisa memberi kesimpulan rasa sakit yang sebenarnya? Tidak, jika kau tak bisa memberi kesimpulan setidaknya jelaskan padaku definisi yang pantas untuk kata sakit.Ah, apa kau pernah di paksa menjauh dari orang tercintamu? Semacam kehilangan. Mau tidak mau kau harus merelakan kepergiannya. Mau tidak mau kau harus melepaskannya. Secara paksa. Aku tekankan sekali lagi. Secara paksa."Katanya ombak tak pernah meninggalkan lautan. Katanya batu karang di tengah lauta
Beruntungnya semua itu hanya mimpi. Sekali pun terlihat nyata di malam-malam panjang Xander, fakta bahwa tidur sendiri tanpa Amora di sisinya sungguh sebuah penyiksaan. Peluh Xander memenuhi kaos putihnya. Dahinya basah total selayaknya lari maraton. Dan mimpi tadi, benar-benar bukan doa Xander selama perjalanan rumah tangga keduanya.Bangkit dari ranjangnya. Masih dengan badan yang tremor dan lirikan mata pada jam di dinding. Selalu di jam dua dini hari. Ada apa dengan waktu dua dini hari?Xander mendengus. Menuju wastafel dan mencuci mukanya. Selesai dengan urusan wajahnya, Xander raih ponsel guna menghubungi sang istri.'Salah siapa yang sibuk bekerja?' Itu ejekan Amora tiap kali dirinya mengeluh. Meski begitu, Amora selalu memberikan jawaban-jawaban menenangkan. Itu sedikit membuat Xander tenang. Tapi tidak dengan deringan telepon yang tak kunjung di jawab. Xander terus mencoba sampai telepon dengan nama pemanggil yang lain masuk."Ya Will?"William murka di seberang sana. "Henti
Xander sideAku diam termangu menatap nanar gundukan tanah merah di depanku. Menyembunyikan cairan bening yang hampir terjatuh di balik kaca mata hitam yang bertengger dihidung mancungku. Tampar aku jika semua ini benar, meski, kenyataan yang aku terima benar adanya. Memang nyata adanya. Himpitan beban pada rongga dadaku seakan enggan memberiku sedikit, saja, setidaknya ruang untukku menghirup udara sekedar menarik napas. Berkali-kali sejak semalam aku sudah memukul dadaku berulang ulang agar terasa longgar dan hasilnya sama. Nihil. Sesak itu kembali datang.Jika aku berkata ini seperti mimpi, bisa tolong bangunkan aku? Atau tampar saja wajahku berulang ulang agar aku segera terbangun dan tidak mendapati kenyataan pahit seperti ini.Tidak. Ini pasti salah. Dokter sialan itu pasti salah memeriksa Amora. Tidak mungkin Amora meninggalkanku. Tidak. Ini tak boleh terjadi. Tidak. Ini bahkan terlalu cepat untuk mengakhiri semuanya. Ini harus berhenti. Dan tolong hentikan semuanya sekarang ju
Xander sideIni sudah lebih dari satu bulan sejak kepindahanku membawa Amora kebelahan Negara lain. Menjauh dari hiruk pikuk kesibukan kota yang memenatkan. Mengasingkan diri dari kesibukan yang akan menyita waktuku. Aku lebih memilih memfokuskan pada pemulihan Amora.Terhitung sejak kejadian penculikan itu, Amora seperti enggan untuk membuka kedua bola matanya. Aku hanya mencoba berpikir realistis. Mungkin saja dia lelah. Lelah dengan apa yang telah di alaminya. Atau mungkin saja dia enggan bertemu denganku dan memberiku hukuman atas semua keteledoranku.Sampai saat ini aku bahkan belum menemukan jawaban tepat ketika suara lembut yang sangat aku rindukan, nantinya bertanya, di mana bayiku?Entah apa yang akan aku jawab. Yang pasti memberi tahu semuanya akan lebih baik dari pada menutup kemungkinan untuk berbohong.Beberapa dokter dan perawat selalu memantau setiap harinya. Mengecek setiap kondisi detak jantung yang sebenarnya mulai normal. Lalu kenapa Amora enggan membuka kedua bola