Share

Cahaya yang Hilang

Aku menatap kosong jendela kamar yang mengarah ke taman belakang rumah indah ini. Rumah asri yang dengan dua lantai dan lima kamar yang luasnya masing-masing seluas  rumahku di kampung.

Dari pertama tiba di sini, aku selalu berdecak kagum melihat sekitar rumah. Megah tapi tak berlebihan. Letak rumahnya bisa dikatakan berada di pusat kota Bandung. Entahlah, meski sudah tiga tahun di kota ini, aku belum begitu hafal tata letak kota ini. Bagaimanapun, aku hanya berlalu lalang di sekitar komplek perumahan asri ini dan palingan hanya ke pasar Kiaracondong untuk belanja kebutuhan dapur.

Aku takpernah berjalan mengintari kota Bandung, kecuali Mba Dita mengajakku untuk menemaninya berbelanja agak jauhan. Itu pun jarang sekali terjadi. Mba Dita lebih senang pergi dengan Mas Arman atau temannya yang modis. Apalagi setelah kehadiran Diva, tentu aku tak bisa leluasa ke mana pun. 

Tetiba nyeri itu kembali menusuk lebih dalam dari yang pernah kurasa. Kupenjamkan mata agar lara itu menepi dan suara teriakan kedua orang yang kuhormati itu lesap. Namun, sedetik pun aku tak bisa menghilangkan tragedi tadi dari benakku. Hidup menggodaku lalu meremukkan nyaliku saat berani mendamba seseorang yang tidak berada dalam takdirku.

"Mi .... " suara Diva terdengar merengek dalam ayunan mencariku. 

Kulangkahkan kaki mendekat. Sedari bayi, Diva selalu tidur bersamaku. Hanya tiga hari Dita mau melihat bayinya setelah dibawa pulang dari rumah sakit. Setelahnya, dia memaksaku untuk membantu mengurus Diva kecil, yang tentu saja kusanggupi segera. Bagaimana bisa aku menolak malaikat cantik ini. 

Aduhai belahan jiwa... betapa aneh nasibmu. Memiliki orang tua lengkap, tapi tak pernah dipeluk Bunda. Semoga kasihku, mampu mengisi harimu, sayangku. Dalam temaram, kubisikkan perlahan tembang cinta untuk putri cantik yang tak kulahirkan tetapi kucintai melebihi jiwaku.

"Tidur lagi ya, Nak. Umi di sini." Kataku lembut. Diva pun kembali terlelap dalam ayunan.

***

Beberapa jam yang lalu.

"Mas, aku sangat mencintaimu, tapi aku juga tak ingin melepasnya."

 

 

Dita berteriak ketika Mas Arman menyentakkan tangannya melepaskan diri dari cengkraman Dita di lengannya.

 

 

"Ak--aku-- Mas, mengertilah."

 

 

Aku masih bisa mendengar Dita memelas di balik dinding ini. Sungguh luar biasa wanita itu, batinku.

 

 

"Kamu, Gila!" Mas Arman balik meneriaki perempuan yang aku tahu sangat dicintainya itu. 

 

 

"Aku tahu. Aku gila, Mas. Aku juga tidak memintamu untuk memaafkanku, tapi aku hanya meminta kamu mengerti perasaanku karena awal dari semua kesalahan ini adalah kamu, Mas. Kamu yang membiarkanku untuk jatuh hati pada lelaki lain, saat harusnya aku memilikimu." 

 

 

Apa maksud Dita? Aku mencoba mendengar dengan seksama dan menempelkan kupingku lebih rapat ke dinding kamar yang menghubungkan kamarku dan kamar mereka.

 

 

"Aap--pa?" Suara Mas Arman terdengar meninggi dan parau menahan kemarahannya.  

 

 

Ooh ... Tuhan, perempuan macam apa yang tega menyakiti lelaki baik hati itu. Lelaki yang sanggup mengorbankan seluruh kehidupannya demi membahagiakan wanita-wanita yang dicintainya. Aku mengurut dadaku yang sesak, mungkinkah aku penyebab keretakan hati mereka?

 

 

Air mataku menganak sungai di pelupuk mata. Takpernah kubayangkan kehidupan keduanya akan sekacau ini.

 

 

Buntutnya, Mas Arman pergi setelah membanting pintu rumah dengan kasar. Hal yang tidak pernah terjadi dalam pernikahan mereka. Biasanya rumah ini terlalu tenang. Mba Dita sibuk dengan dunianya, sedangkan Mas Arman setiap pulang kantor, langsung istirahat setelah sebelumnya bermain sejenak dengan Diva. Namun, kali ini rumah terasa asing dan mencekam. 

 

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 malam, tapi Mas Arman brlum juga kembali. Mbak Dita juga masih mengurung diri di kamarnya. 

 

 

Aku tak berani menggedor pintu kamar mereka, meski aku tahu Mbak Dita belum menyentuh nasi dari tadi siang. Kebingungan semakin menyergapku. Haruskah aku menelpon Mas Arman dan mengabarkan tentang Mba Dita? Namun, aku sendiri tidak tahu kondisi Mas Arman saat ini. Aku terpaku di depan pintu kamar mereka, ketika tiba-tiba sebuah benda terdengar jatuh terpelanting dari ruang tamu rumah mereka dan meninggalkan gema yang melengking.

 

 

Mas Armankah yang sudah pulang? Akan tetapi, takada suara mobil yang diparkirkan? Atau kah maling? Aku tak bisa menerka, sedangkan tubuhku menegang seiring langkah kaki yang mendekat.

 

***

 

Lanjut ke chapter selanjutnya  ya!  Jangan lupa tinggalkan jejak dan subcribe ya. Untuk mengenal lebih dekat Author nya bisa tinggalkan pesan ya.

 

Terima kasih, dan semangat berkarya.

 

Salama sayang penuh cinta dari bumi Serambi Mekkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status