Share

Damba yang Tak Patut

Bayangan Bapak masih menari indah di pelupuk mata hingga membuat netraku memanas dan hatiku tercekat. Tak dapat kuuraikan betapa ragaku remuk.

Tiga tahun lalu, aku menetap di kota kembang ini. Membawa segala laraku yang tak pernah berujung. Tentang sesal yang tiada berakhir meski payung payoda kota ini sungguh menenangkan. Bapak ... aku ingin bercerita seperti ketika aku terjatuh saat mencoba mendayung sepeda butut pertama dan terakhirku darimu. Lalu, rengkuhmu setelahnya menguatkanku kembali untuk tidak menyerah meski terjatuh.

Aku tak mampu menahan sesegukanku hingga memecah kesunyian dari jejak yang telah ditinggal malam. Saat sarayu mencumbu pipiku perlahan, dingin menjalar seluruh tubuhku dan bergetarlah perih yang masih bernanah di sanubari. Sedang embun masih berdermaga di sana tanpa mengusik meski menetap.

Bayangan kejadian dua jam yang lalu masih menghantuiku. Selama aku di sini, tak pernah sekalipun aku mendengar Mas Arman berteriak pada Mbak Dita. Begitu pun sebaliknya. Kehidupan mereka membuatku merasa aneh dan heran. Tercipta dari apa hati keduanya? Setiap masalah bisa diselesaikan dengan senyum. Seringnya Mas Arman mengalah ketika Mbak Dita merajuk menghadapi tingkah polah bayi mereka yang sudah berumur 2 tahun 3 bulan itu. 

Mas Arman selalu berusaha menenangkan badai di mata Mbak Dita saat bersitatap dengan Diva, bayi mereka. Ntah kenapa, Mbak Dita seakan tidak bisa menerima kenyataan bahwa telah menjadi seorang ibu muda.  Awalnya, semua berpikir mungkin Baby Blues Syndrome. Namun setelah, enam bulan berlalu, dan takada yang berubah dengan sikap Mbak Dita, Mas Arman menyadari, istrinya tidak sakit tapi tidak siap menjadi seorang ibu.

Parahnya, Mbak Dita tidak mau menyusui Diva. Katanya risih ketika puting susunya disentuh oleh mulut bayi. Mas Arman pun memakluminya, meski Ibu Mas Arman kemudian mencak-mencak dengan kelakuan Mbak Dita.

"Lah, kok, punya anak tak disusui. Anak manusia mau diubah jadi anak lembu apa?" sergah Bude Lastri saat menginap kala itu, menunggu Diva yang demam setelah diimunisasi.

Dita hanya berdiam diri dan tidak juga membantah omongan ibu mertuanya. Hatinya begitu tenang dan tak goyah. Dia hanya memutuskan untuk tidak menganggap Diva ada. Padahal, saat hamil Dita sangat menginginkan dan mencintai fetus yang tumbuh di rahimnya. Akan tetapi, setelah Diva lahir, semua berubah.

Sepertinya Tuhan ingin mengujiku atau hendak memberkahiku dengan kehadiran Diva. Mba Dita menyerahkan semua tanggung jawabnya terhadap Diva padaku. Iya, Diva sepenuhnya milikku, dalam arti kata akulah ibu sambungnya yang mengurus segala keperluannya tanpa campur tangan Diva.

Mas Arman awalnya tentu tidak setuju, tapi Mbak Dita berkata, bukankah tujuanku diajak ikut ke Bandung memang untuk membantunya menjaga bayi yang dilahirkannya? Aku pun meneguhkan hati Mas Arman dengan putusan itu. Aku tidak apa-apa. Aku berjanji akan sepenuhnya menyayangi Diva seperti anakku sendiri.

Benar, aku kembali jatuh cinta pada pandangan pertama. Kali ini pada kembaran Mas Arman. Diva yang mungil dan berkulit putih berseri dengan mata dan bibir yang mirip ayahnya. Siapa pun akan dengan mudah mencintainya, kecuali Mbak Dita.

Semula semua tampak sempurna. Kehadiran Diva semakin mendekatkanku dengan lelaki yang telah bertahta di hatiku. Mas Arman terkadang mengajakku belanja keperluan Diva kecil, tentu setelah sebelumnya mengajak Mbak Dita yang ditolak dengan gelengan dan alasan ada kegiatan kantor yang lebih mendesak oleh Mbak Dita. Sekali, dua kali, hingga berkali-kali ditolak, membuat Mas Arman memutuskan cukup mengajakku dan Diva jika ingin membeli sesuatu untuk Diva. 

Keadaan ini membuatku sangat bahagia tanpa disadari Mas Arman. Aku terlanjur jatuh hati. Andai saja Mas Arman lebih peka, aku akan mengangguk jika dia bertanya. Aku sesaat lupa, ada Mbak Dita sebagai Ratu di hati Mas Arman. Aku mungkin bahkan bukan dayang-dayang di mata Mas Arman, apalagi permaisuri dan selir. Namun, love is blind. Aku tidak peduli.  Aku sangat menikmati berperan sebagai ibu Diva. Apalagi kala Diva memanggilku Umi dan Mbak Dita, Bunda. 

Hingga, teriakan Mbak Dita tadi, menyadarkanku bahwa betapa kehidupan rumah tangga mereka  sedang tak baik-baik saja. Mas Arman terlalu terlena dengan kehadiran Diva hingga abai pada kebutuhan Mbak Dita. Mas Arman yang biasanya selalu memanjakan Mbak Dita sebagai suami yang sempurna bertranformasi menjadi seorang ayah yang mempesona. Sedangkan Mbak Dita yang merasa terasing ternyata melampiaskan unegnya pada seorang lelaki yang begitu perhatian padanya. Yang memahaminya seperti Mas Arman di masa lalu. 

 

 

 

Nantikan kelanjutannya di chapter selanjutnya yang mendebarkan ya. Akankah Mas Arman  menyadari rasa cintaku padanya dan apa yang terjadi pada Cinta mba Dita mas Arman selanjutnya?

 

Temukan kelanjutan kisahnya pada chapter selanjutnya yang makin membuat hati deg-deg serr😊

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status