Share

3: Ryan

Perjalanan ke Bali itu pun memang akhirnya terjadi. Para bos kami dan keluarganya sudah berangkat lebih dulu dari kemarin, sehingga menyisakan aku dan Ellie dan beberapa karyawan yang memang diikutsertakan. Dan karena hanya ingin berduaan, aku sengaja reschedule jadwal pesawat sehingga dapat jadwal penerbangan tengah malam dan kondisi sepi penumpang. Ellie tampak menikmati dengan antengnya bergelayut di sebelahku, walaupun sebenarnya pikirannya sedang kemana-mana karena Ryan pun akan berkunjung juga ke Bali, tepatnya besok.

              “Besok Ryan minta aku jemput dia di bandara.” ujar Ellie sambil menyeruput kopi panasnya. “Kamu temenin aku, ya?”

              “Apa ngga jadi canggung nanti?” balasku tak yakin sambil ikut mencicipi kopinya. Bagiku aneh, karena Ellie selalu menikmati kopinya tanpa gula. Dia bilang sudah terbiasa karena sudah dari kecil ikut-ikutan menyicipi kopi racikan kakeknya yang memang dibuat tanpa gula. Malah baginya aneh kalau minum kopi tapi rasanya manis.

              “It’s okay kok, Mas… Aku pengen banget kalian bisa ketemu…”

              “Buat apa? Biar bisa dibandingin siapa yang lebih baik?”

              Dia hanya diam, tak menjawabku lagi. Apa perlu, Ell? Melihat kami, aku dan Ryan berdiri berhadapan dan saling memperkenalkan diri? Mungkin Ryan bisa memperkenalkan dirinya sebagai ‘pacar Ellie’ atau ‘calon suami Ellie’ sedangkan aku? Apa harus aku memperkenalkan diri sebagai ‘selingkuhan Ellie’ atau ‘orang yang selama ini menggantikan posisimu’?

              Tapi jujur, aku sebenarnya sudah lama membayangkan momen seperti itu, ketika aku dan Ryan akan bertemu. Entah bagaimana, sepertinya aku mulai terobsesi pada lelaki itu, maksudku, aku ingin menjadi dia, benar-benar menjadi dia. Memiliki apa yang tidak bisa kumiliki kini, salah satunya tentu wanita cantik menggemaskan yang susah payah selalu kupertahankan hingga kini. Kupikir aku bisa berteman baik dengannya, karena menurut penilaianku, sosok Ryan dan aku bisa membina hubungan yang baik. Tapi pasti agak aneh ya kalau aku justru bisa berteman dengannya.

              Dan, jadilah aku seperti orang bodoh menemani Ellie untuk menjemput calon suami yang sudah hampir tiga bulan tidak ketemu. Daritadi dia mondar mandir tidak karuan, beberapa kali buang air kecil, bahkan sudah merengek untuk segera ke bandara ketika Ryan mengabari kalau pesawatnya baru boarding. Benar-benar seperti bukan dirinya yang biasanya tenang dan santai. Dia bilang dia cemas dan panik karena aku akan bertemu dengan calon suaminya itu. Ketika kutanya lantas kenapa dia malah mengajakku padahal dia sendiri cemas, dia pun menjawab “kupikir kalian berdua bisa jadi teman baik…”.

              Hei, teman baik apanya?

              Dan sekitar 15 menit kemudian, yang kami nantikan tiba. Lelaki itu akhirnya muncul, membawa koper hitamnya yang berukuran sedang. Dia tinggi, lebih tinggi daripada aku sepertinya, mengenakan kaos biasa berwarna putih dan jin hitam, serta topi hitam. Penampilan yang biasa saja padahal, tapi entah mengapa bahkan sebagai lelaki aku merasakan pesonanya. Benar-benar seperti Elliane versi lelaki.

              Ellie berlari menghampirinya, dengan aku yang berjalan pelan di belakangnya. Lucu sekali kondisi seperti ini. Kini bahkan Ellie sudah tenggelam di dalam dekapannya, dan aku masih berjalan pelan mengikuti di belakangnya. Tahan, Gamma. Jangan cemburu sekarang.

              Aku tak mengerti, bagaimana Ellie dapat mengatur perasaannya. Merasakan rindu pada kekasihnya sementara setiap hari ada aku yang menemaninya.

              “Oh iya, kenalin ini temen aku yang nemenin aku ke sini…” ucap Ellie sambil bergaya mengenalkanku kepada Ryan. Ryan menyambut dengan mengulurkan tangannya, tersenyum.

“Gamma…” balasku sambil meraih tangan Ryan. Benar-benar lucu. Berkenalan dengan orang yang selama ini kukhianati. Sekejap kulirik Ellie yang juga sedang memandangku. Entah mengapa rasanya kami seperti penjahat yang sedang menipu Ryan dan siap mengambil hartanya.

“Ryan…” jawabnya sambil tetap tersenyum. “Terima kasih sudah membantu dan menemani Elliane selama ini…”

“Oh iya…” aku merasa canggung. Aku tahu pasti Ellie sering menceritakan tentangku padanya. Tapi entah cerita yang seperti apa.

“Hari ini kamu free?” tanya Ryan kepada Ellie. Kini aku berjalan di depan mereka. Sesekali kutengok ke belakang dan kudapati Ellie bergelayut manja pada Ryan, sama seperti yang Ellie lakukan kalau berjalan berdua denganku. Sakit memang saat melihatnya. Hal-hal yang selama  ini hanya ada dalam imajinasiku kini benar-benar terjadi di hadapanku, yaitu melihat Ellie bersama kekasihnya. Rasa sakit dan cemburu yang harus kujaga karena tidak boleh kubiarkan menjadi amarah, sebab aku tidak berhak merasakan itu.

“Iya, tadi siang udah selesai meeting nya.” Kudengar jawaban Ellie. “Kamu mau jalan-jalan kemana? Atau mau dinner di mana?”

Kupercepat langkahku agar aku tidak perlu mendengar obrolan mereka lagi.

              Kuceritakan keluh kesahku kepada dua orang teman yang paling dekat denganku, yaitu Bara dan Lily. Mereka yang paling tahu tentang kisahku bersama Ellie, bagaimana semua perasaan-perasaan itu terjadi atau bagaimana kedekatan itu terjalin. Di kantor, di antara teman-teman kami yang lain memang aku dan Ellie sudah dikenal sebagai pasangan, namun mereka tidak tahu kalau Ellie memiliki pasangan lain yang sudah resmi terikat oleh pertunangan.

Tak pernah ada satupun foto Ryan di sosial media Ellie. Sosial medianya penuh dengan fotoku yang dibalut dengan kalimat sakti ‘teman baikku’ dan kebersamaan kami bersama teman-teman lain tentunya. Beberapa kali kutanyakan alasannya apa, dia hanya bilang kalau Ryan tidak tertarik bermain sosial media. Ryan pun tidak pernah mengecek sosial media Ellie, kalau pun sesekali melihat sosial media Ellie, dia tidak berkomentar apa-apa terkait foto-foto yang diunggah Ellie.

              Makanya saat kami bertemu tadi, Ryan dengan santainya mengatakan terima kasih karena sudah membantu dan menemani Ellie selama ini, yang kupikir dia pasti sudah tahu tentangku lewat banyaknya foto-fotoku yang diunggah oleh Ellie. Kuyakin tanpa dikenalkan pun, Ryan sudah tahu yang mana Gamma, yang mana Bara, atau yang mana Lily.

              “Lo jadi sendirian di kamar?” tanya Bara di sebrang sana, kami ngobrol lewat video call.

              “Keluar dong, jalan-jalan.” Sambung Lily yang ada di samping Bara. Mereka berdua tengah makan malam di restauran favorit kami sembari menunggu jam tayang film yang akan mereka tonton di bioskop.

              “Males ah, sendirian. Ellie pacaran terus ngga balik-balik.”

              “Cari cewek lah. Ke beach club mana gitu…” usul Bara. Oh iya, aku dan Bara ini sudah berteman sejak kami masih SMP. Kami sudah layaknya keluarga. Aku sudah hapal betul tingkah polahnya, begitu pun dia terhadapku. Sedangkan Lily adalah pasangannya Bara. Kenapa kubilang pasangan, karena mereka kadang punya ‘pasangan’ lain yang hanya bertahan beberapa minggu, lalu kembali lagi, lalu muncul pasangan lain lagi.

              “Jangan!” cegah Lily, kulihat dia berbicara sambil mengunyah makanan. “Sama temen gue aja ya, dia lagi di Bali juga. Kayaknya deket sama hotel lo deh.”

              “Gue lagi ngga mood.” Jawabku. Kutahu kemana arah pembicaraan mereka. “Gue cuma mau sama Ellie.”

              “Dih emang mau ngapain?” Lily terdengar sewot. “Buat ngobrol-ngobrol aja kali!”

              “Gue sama Ellie juga ngobrol-ngobrol doang kok!” balasku tak kalah sewot.

              “Terus kenapa lo uring-uringan sekarang, Gam?” tanya Lily lagi. “Gue tau lo kepikiran Ellie ngapain sama lakinya kan? Makanya lo uring-uringan!”

              “Ah udahlah! Jadi emosi gue ngobrol sama kalian!” seruku, memang merasa sedikit emosi. Langsung saja kumatikan sambungan video call dengan mereka.

              Padahal kemarin, di jam seperti ini aku dan Ellie sedang berduaan di kamar ini, menikmati wine sambil mempersiapkan bahan presentasi pekerjaan kami yang sudah kami lakukan tadi siang. Tapi hari ini, yang kutahu Ellie bersama lelaki lain, dan entah apa yang dia lakukan. Aku tahu tak seharusnya kubayangkan, tapi tentu saja hal seperti itu langsung terlintas di pikiranku. Bagaimana bertemu kekasih yang sudah tiga bulan tidak bertemu? Bagaimana melepas rindu? Ah, rasanya ingin sekali aku meneleponnya dan berkata, “cepat pulang, lalu tidur denganku.”.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status