Hari ini sempurna. Sempurna, seperti biasa kalau aku melewatinya bersama Ellie. Walaupun siang tadi dia ngambek, walaupun kami hanya melakukan hal-hal biasa, walaupun kami hanya menghabiskan hari sambil nonton TV di kamar dan makan junkfood sampai kekenyangan, walaupun kami seharian hanya mandi sekali karena malas dan cuacanya dingin, walaupun Ellie tidak pakai make up dan tidak pakai baju seksi. Ellie sudah terlelap, di sampingku, semantara aku masih nonton TV karena tanggung film nya belum selesai.
Kulihat HP Ellie menyala, tapi tak ada suaranya. Kuambil dan kulihat, ternyata ada pesan dari Ryan. Ryan, atau Ellie menyimpan namanya sebagai ‘Hubby to be’, tentu saja adalah calon suami Ellie. Ya Tuhan. Rasanya aku seperti habis ditonjok. Saat sang calon istri tidur bersama lelaki lain, sang calon suami masih dengan manisnya mengucapkan selamat tidur tanpa tahu calon istrinya tidak tidur sendirian. Mendadak rasanya aku menjadi orang paling jahat dan paling tega yang pernah hidup di dunia ini.
Ellie dan calon suaminya, Ryan sudah menjalin hubungan selama delapan tahun, dimulai dari saat mereka sama-sama kuliah di Jepang dulu. Ryan seumuran denganku, empat tahun lebih tua daripada Ellie. Mereka sudah tujuh tahun menjalani long distance relationship karena saat Ellie masih belum lulus kuliah, Ryan sudah lulus dan kembali ke Indonesia, dan kini menetap di Singapura.
Sebenarnya hubungan mereka sempurna dan baik-baik saja. Ellie pun sebelumnya tak pernah macam-macam, walaupun tentu saja banyak laki-laki brengsek sepertiku yang selalu mencoba mendekatinya, sekadar ingin berteman atau berharap bisa mendapatkan sesuatu yang lebih darinya. Ellie pun hanya bisa bilang “aneh, kenapa harus kamu?” setiap kali kami membahas hubungan kami ini.
Ellie melarangku untuk kepo melihat isi HP-nya, dan biasanya aku juga tidak sepenasaran ini, karena aku tahu kalau pasti tak akan ada sesuatu yang spesial yang berkaitan denganku yang dia simpan di HP-nya. Dan memang benar, galeri foto di HP-nya tidak berisi foto yang berdua saja denganku, semua pasti bersama teman-teman kami yang lain, padahal Ellie selalu mengajakku berfoto kalau lagi berdua, tapi tentu pakai HP-ku sendiri. Kucari namaku di kontak-nya pun, dia hanya menamaiku : Mas Gamma, seperti dia menamai Mas Bara, atau Mas Adam atau Mas Arya. Padahal aku menyimpan namanya di HP-ku sebagai Lovely E.
Ya, mungkin dia hanya membutuhkan seseorang yang dapat menggantikan posisi Ryan di saat mereka berjauhan. Seseorang yang nyata, yang memperhatikannya, dan diperhatikan olehnya, bukan hanya sekedar dari obrolan manja lewat HP-nya. Seseorang yang memang ada di setiap hari-harinya, bukan yang hanya bertemu sebulan sekali seperti calon suaminya. Seseorang yang menemaninya setiap hari dari pagi sampai malam, berbicara dengannya, menggandeng tangannya, mencium bibirnya, memeluknya, memberikan apapun yang dia inginkan. Tapi nanti ada saatnya, posisi itu akan kembali kepada pemilik seharusnya. Dan aku tidak tahu akan seperti apa perasaanku jika saat itu tiba.
Aku suka sekali saat melihat Ellie bekerja. Mengamati wajah cantiknya yang terlihat fokus pada layar komputer, sesekali mengerut karena merasa bingung dengan apa yang dibacanya, atau kadang marah-marah sendiri kalau menemukan e-mail menyebalkan dari rekan-rekan bisnis bos kami, tak jarang juga ada yang mengajaknya kencan atau dengan polosnya berani bilang ‘mau booking nona sekretaris’. Biasanya dia akan berteriak-teriak memanggilku dan menghardik karena kesal.
Oh iya, aku dan Ellie berada di ruangan yang berseberangan di ruangan khusus bos kami, Mr. Ishikawa. Jadi di sini ini satu ruangan besar, saat pintunya dibuka akan ada semacam ruang tamu lengkap dengan sofa dan tv. Di sisi kanan adalah ruangan Ellie, di tengah adalah ruangan Mr. Ishikawa dan di sisi kiri adalah ruanganku. Ellie adalah sekretaris pribadinya Mr. Ishikawa, dan aku adalah salah satu orang kepercayaannya Mr. Ishikawa, sampai-sampai aku dikasih fasilitas ruangan sendiri di samping ruangannya. Dan bagian yang paling kusuka adalah, di ruangan ini tidak ada cctv nya, jadi kalau Mr. Ishikawa sedang tidak ada di dalam, aku tinggal mengunci pintu dan bisa berduaan dengan Ellie, hehehe.
Telepon yang ada di atas mejaku berdering, dan biasanya Ellie yang menelepon. Kami memang suka ngobrol pakai telepon kantor ini, kadang-kadang hanya untuk obrolan iseng aja sih.
“Mas, minggu depan kita ke Bali loh…” ujar Ellie, ada luapan rasa senang dari nada suaranya. Kebetulan juga nih sudah lama ngga liburan, apalagi ke Bali.
“Ada acara apa, nih?” tanyaku, karena Mr. Ishikawa belum bilang apa-apa sih padaku kalau akan mengajakku pergi ke Bali. Tapi biasanya beliau memang seperti itu sih, tidak pernah tanya-tanya dulu, tahu-tahu sudah membelikanku tiket pesawat dan booking hotel agar aku ikut dengannya.
“Hmm, di sini sih acaranya cuma gathering dan pembahasan akhir tahun sama sister company yang di Jepang.” jawab Ellie. “Acaranya seminggu, tiga hari acara resmi, sisanya acara bebas, Mr.Ishikawa sekalian bawa anak, istri sama cucu-cucunya.”
“Jadi, kita bisa liburan juga dong berdua?”
Padahal sudah setua ini, tapi membayangkan akan liburan berdua dengan Ellie tetap membuatku begitu excited, debaran rasa yang sama persis seperti ketika dulu aku mengajak cewek yang kusuka untuk nonton di bioskop saat masih SMP.
“Tapi aku harus bilang dulu ke Ryan, soalnya tanggal segitu kan lagi jadwalku ke tempatnya…”
“Oh iya…”
Ya dan aku merasa menang double begini. Seharusnya Ellie ke Singapura untuk mengunjungi Ryan, tapi nanti Ellie akan menghabiskan waktu liburan dengan berduaan denganku. Hmm kalau membahas segala sesuatu tentang calon suaminya itu suasana di antara kami selalu langsung berubah canggung. Seperti hal yang tak ingin kami bicarakan, tapi tetap harus dibicarakan. Karena bagaimanapun di sini, akulah si pecundang, seenaknya membawa calon istri orang ke ilusiku sendiri, menganggap dia memang pasangan sejatiku yang kelak akan kunikahi.
Dan anehnya, aku dan Ellie sama-sama tak mau, atau tak pernah untuk mencoba berhenti. Kalau alasanku ya sudah jelas, aku terlalu mencintainya. Aku memang sengaja membiarkan semua ini menjadi kebahagian bagiku, sampai kelak waktunya tiba, ketika Ellie akan sungguh-sungguh meninggalkanku. Kalau diibaratkan seperti orang pacaran, aku sudah tahu kapan Ellie akan memutuskanku, dan karena kutahu waktunya itu kapan, maka kubiarkan dan kunikmati saja selama dia masih bersamaku.
Dan alasannya yang tidak kumengerti adalah, mengapa dia tidak pergi? Mengapa dia tetap tinggal di sini denganku?
“Tapi kayaknya kalau aku bilang mau ke Bali, dia bakalan nyusulin ke Bali juga deh.”
“Kenapa begitu?” tanyaku mulai agak kecewa. Jujur aku belum pernah bertemu dengan Ryan. Yang kutahu tentangnya selama ini hanyalah dari cerita-cerita Ellie saja. Dan setiap dia cerita pun, dia tidak pernah menjelek-jelekkan calon suaminya itu. Dia selalu bilang kalau Ryan itu baik, sangat pengertian, sangat perhatian, yang akhirnya hanya akan membuatku bingung, jika memang Ryan itu sempurna, kenapa dia tetap mau menjalin hubungan denganku?
“Kemarin sih dia bilang mau ke Bali juga, tapi mau nyocokin jadwalnya sama aku biar bisa bareng-bareng di Bali.”
“Oh, mau liburan bareng juga.”
“Ngambek, ya?” ejeknya langsung to the point.
“Ngga.” jawabku datar, dia pasti tahu kalau aku memang kesal.
“Mas, udahan dulu ya? Ini ada telepon masuk kayaknya nanyain si Mister deh.”
“Oke.” Kemudian kututup telepon dan kembali kupandangi layar komputerku. Ada satu email yang baru masuk, dengan judul ‘FAMILY GATHERING - BALI’. Seperti yang Ellie bilang, kalau acaranya akan berlangsung tujuh hari, dengan tiga hari acara kantor, dan empat hari acara bebas. Sayangnya itu bukan acara untuk semua karyawan, jadi Bara dan Lily tidak bisa ikut. Karena aku dan Ellie adalah bawahan langsung dari Mr. Ishikawa, jadinya kami bisa ikut acara ini.
Sedikit cerita tentang bos kami itu, Mr. Ishikawa, beliau adalah orang yang paling mengharapkan hubungan kami segera mengalami kemajuan. Aku pun sangat berterima kasih padanya, karena dirinyalah aku bisa bertemu Ellie. Jadi sebenarnya, Ellie itu kuliah jurusan desain saat di Jepang dulu. Dan saat interview untuk bekerja di perusahaan ini, dia melamar posisi sebagai Art Director, namun karena Ellie dapat berkomunikasi dengan Bahasa Jepang, maka Mr. Ishikawa menawarkannya posisi sebagai sekretaris pribadinya.
Saat itu aku pun baru naik jabatan menjadi asisten dari asistennya Mr. Ishikawa. Jadilah aku sering bertemu dengan Ellie, pergi bersama dengannya, menemani bos kami meeting atau makan siang, atau mengunjungi rekanan bisnisnya. Awalnya hanya rekan kerja biasa, malah kuanggap Ellie adalah tipe wanita yang merepotkan. Kadang-kadang dia manja, banyak minta tolongnya, banyak maunya, tipikal wanita high maintenance pada umumnya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa bisa memahaminya, begitu pun dengannya.
Selanjutnya kami menjadi semakin dekat, terbiasa berangkat dan pulang kantor bersama, sarapan sampai makan malam pun bersama. Aku juga sudah tahu kok kalau Ellie sudah punya kekasih yang hanya bisa ditemuinya sebulan atau dua bulan sekali, namun hal itu sama sekali tidak melunakkan niatku untuk mencoba hubungan yang baru bersamanya.
Kuingat betul, saat itu kami sedang berdua di ruang tamuku, menonton tv sambil makan cemilan. Dia tertawa-tawa menonton film komedi yang kulupa judulnya apa karena aku terlalu fokus pada persiapanku untuk mengajaknya ‘level up’.
“Ell, gimana kalau kita pacaran aja?” tanyaku kala itu. Dia langsung berhenti menonton dan segera memandangiku dengan mimik wajah agak panik.
“Tapi kan aku…” jawabnya terlihat gugup. Lucu sekali jika kuingat lagi saat itu. Kok bisa-bisanya dia gugup, padahal hal seperti itu pasti biasa dialaminya. Beberapa kali dia pernah cerita kok kalau ada beberapa orang di kantor yang mengajaknya pacaran seperti itu, tapi semuanya ditolak dengan judes dan dingin.
Sedikit nekad, aku beranikan diriku untuk mengecup keningnya. Tadinya ingin sekali langsung mencium bibirnya, tapi kupikir agak berlebihan kalau seperti itu, bisa-bisa dia marah dan tak mau dekat denganku lagi. Lucunya dapat kurasakan hawa panas dari wajahnya, dan kini pipinya sudah lebih merah daripada sebelumnya. Apa dia grogi kuperlakukan seperti ini?
“Selama ini kamu anggap aku apa?” tanyaku lagi, mempertegas. “Aku udah terlanjur sayang sama kamu loh, Ell. Setiap hari sama kamu, kamu pikir aku baik-baik aja dan ga jatuh cinta sama kamu?”
Dia menatapku, begitu serius. Entah kenapa bola mata coklatnya tampak lebih besar daripada biasanya. “Apa kita harus pacaran?” balasnya dengan bertanya. Dia masih menatapku, seolah mancari jawaban dari mataku.
“Kalau kamu mau, Ell…” jawabku, dengan berlaga sok pasrah, padahal rasanya aku sudah kocar kacir takut dia malah akan berpaling dan tak mau dekat denganku lagi.
“Do you love me, Mas?” tanyanya kembali, kali ini entah kenapa dia malah meraih jari-jari tanganku dan meremasnya. Matanya berbinar, seperti sedang menahan sesuatu. Air matakah?
“I do. I love you.” jawabku dengan percaya diri. “Aku ngga peduli walaupun kamu sudah punya pacar yang sudah berhubungan bertahun-tahun. Maaf aku egois, tapi aku sekarang cuma peduli sama diriku sendiri, dan kamu.”
Lantas kami hanya diam dan saling menatap. Tapi entah kenapa, rasanya dunia ikut berhenti. Sulit untuk bernapas, sulit untuk berkata-kata. Aku, kami, sungguh tak pernah tahu masa depan macam apa yang akan terjadi nanti. Aku menginginkannya, lebih daripada aku pernah menginginkan apapun dalam hidupku sebelumnya.
Sebelum berangkat tadi aku langsung menelepon Bara dan memintanya untuk mengikuti sandiwaraku kalau-kalau Ellie sampai menanyakan pada Bara kemana aku. Tentu saja karena aku dan Bara sudah seperti botol dan tutupnya, dia hanya oke oke saja. Jadi di sinilah aku, di depan rumah kosan Jessica, padahal 20 menit lalu aku masih mengecup bibir wanita yang kuyakini sebagai cinta sejatiku. Tak lama, muncullah Jessica yang seperti dugaanku hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek berwarna pink. Rambut panjangnya nampak digulung berantakan. Dia menyambutku dengan memberikan senyuman yang malah tampak seperti ejekan. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam kosannya ini, melihat pintu-pintu kamar yang sunyi dan sepi, hanya ada rak sepatu, tempat sampah atau keranjang baju kotor. Tidak ada pintu yang terbuka. Kamar Jessica teletak di lantai dua, dan posisi paling pojok. Di depan kamarnya ada rak sepatu berisi sandal, tempat sampah, dan dua pot tanaman. Begitu masuk ke kamarnya, isi kamarn
Di hari ketiga Yaya menginap di sini, akhirnya dia bertemu dengan Ellie. Entah kenapa keduanya memintaku untuk mempertemukan mereka. Padahal aku sebenarnya tidak mau mereka saling kenal, karena ya, tentu saja hubunganku dan Ellie tidak akan berlangsung lama lagi. Dan sepertinya Yaya pun menyukai Ellie, tidak seperti responnya terhadap seluruh wanita yang pernah kukenalkan dulu. Seandainya saja aku bisa mengenalkan Ellie sebagai calon kakak iparnya… Kukira Yaya akan menanyakan tentangku seperti kenapa bisa jadi pacarku atau hal-hal semacamnya, tapi ternyata Yaya malah lebih tertarik membicarakan hal-hal seperti parfum, baju, salon bahkan drama Korea dan berbagai hal yang biasanya dibicarakan teman wanita. Yaya malah mengajak Ellie menginap di tempatku dan menyuruhku tidur di sofa karena mereka mau bergadang untuk menonton film. “Adek aja deh yang tidur di sofa. Mas sama Mbak Ell tidur di kamar.” godaku pada Yaya yang sedang mencoba beberapa pakaian Ellie yang terlihat ‘mini’. “Eh en
Aku sudah berbaikan lagi dengan Ellie. Kami menjalani hari-hari kami seperti biasa. Tiga hari ini kami susah bertemu karena Ellie di luar menemani si bos dan pulangnya langsung diantarkan ke apartemennya oleh supir kantor. Jadi, Rabu malam ini Ellie sengaja minta diantarkan ke tempatku karena dia akan menginap di sini. Aku yang sudah pulang dari pukul enam sore langsung bersih-bersih semua ruangan, terutama kamar tidur dan kamar mandi. Bel pintu depanku berbunyi. Hmm tumben sekali Ellie menekan bel dulu, biasanya dia langsung masuk, apa dia ingin aku menyambutnya dengan sebuah pelukan? Dengan semangat aku menuju pintu depan, sudah kubayangkan aku akan memeluknya, membawanya masuk lalu menciumnya. Tapi aku kaget sekali begitu kubuka pintu, ternyata bukan Ellie yang ada di sana. Yaya-lah yang berdiri di sana. Iya, Yaya adikku. Adik bungsuku. “Mas Gamma!!” Yaya menubruk untuk memelukku. “Adek kok di sini?” aku bing
Sesampainya di restoran sushi tujuan kami, aku dan Ellie masih diam-diaman. Ellie duduk sebelah Lily, dan di hadapannya adalah Bara, sedangkan aku duduk di sebelah Bara sehingga aku berhadapan dengan Lily. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar dan aku juga tidak terlalu suka sushi. Ellie bilang sih ini restoran sushi yang paling enak karena rasanya otentik, mirip sushi yang biasa dia makan langsung di Jepang saat kuliah dulu. Dengan seenaknya, Ellie dan Lily memesan porsi yang cukup banyak. Aku tahu kalau Bara juga tidak terlalu suka sushi, makanya kami berpandangan dan merasa kesal karena kalau dua wanita ini kekenyangan, maka kami yang akan disuruh menghabiskan makanan mereka. “Enak kan?” tanya Ellie pada Lily sambil mengunyah makanannya. Entah kenapa dia lahap sekali kalau makan sushi. “Iya, enak!” Lily menjawab, tak kalah lahap makannya. “Gue sukanya sushi asli begini nih, kalau yang rasanya udah nyesuaiin lidah Indonesia, gue m
“Hah nemuin apa?” aku mengulang pertanyaannya. Takutnya aku salah dengar. “Bekas kondom Pak, di tempat sampah Bapak.” Ternyata aku memang tidak salah dengar. Bekas kondom yang menjadi perkara. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mbak Ira ini pasti akan mengancamku, memerasku agar dia tidak buka mulut mengenai penemuannya ini. Nyatanya dia masih berdiri di depanku, tersenyum penuh arti. “Mau berapa?” tanyaku langsung to the point. “Satu juta, Pak.” Jawab Mbak Ira dengan sangat lancar. Hari ini aku sudah merasa sangat lelah, sehingga aku malas berdebat dengannya. Kuambil dompetku, kebetulan aku baru saja mengambil uang cash dan langsung kukeluarkan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Tanpa ragu dan malu-malu, si Mbak Ira itu langsung mengambil uang tersebut dan tersenyum senang. “Terima kasih ya Pak Gamma…” serunya, dapat terlihat jelas matanya berbinar memandangi kertas merah itu. “Ini untuk b
Ellie menipuku tentang meeting itu. Selain karena ternyata meeting-nya pukul dua siang, yang kebagian tugas presentasi pun memang bukan aku, melainkan Anita dari divisi SDM. Dia benar-benar hanya mencari alasan supaya aku datang ke kantor hari ini. Sekarang Ellie sudah kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun ingin mengecek pending job-ku selama aku cuti kemarin, tapi kondisi mejaku berantakan sekali. Ya, tadi ada Ellie di atas meja ini, dengan berbagai posisi. Kami merasa sudah gila karena melakukannya seperti di film-film cabul dewasa. Ah kalau kuingat tadi rasanya aku jadi tegang lagi. Bukan pertama kalinya kami berbuat mesum di kantor, tapi yang tadi adalah yang paling gila yang pernah kami lakukan. Ellie mendominasi dan mengontrolku untuk melakukan ini dan itu. [I still want you. More. Come here.]. Aku mengiriminya pesan. [Aku masih banyak kerjaan. Laper juga belum sempat lunch.] [Mine getting h