Share

7: Pillow Talk

              Bara dan Lily pulang dari tempatku sekitar pukul sebelas malam, dan itu pun harus kuusir dulu karena aku ingin berduaan saja dengan Ellie. Ellie sendiri baru datang sekitar pukul  sembilan dan langsung menyerbu kami dengan keluh kesah dan kelelahannya menjaga cucu balita Mr. Ishikawa yang sedang aktif dan ceriwis.

              Kini keadaan sudah tenang, aku dan Ellie sudah dalam posisi siap cuddling di atas kasur. Posisi Ellie memunggungiku, dia mengenakkan lingerie hitam yang cukup transparan dan menunjukkan bagian punggung yang terbuka. Putih, mulus, dan seksi tentunya. Kucium bagian tengkuknya dan dia merespon dengan kegelian. Aromanya menenangkan sekali. Obsesiku ingin sekali bisa merasakan hal ini setiap malam dan setiap bangun tidur, seumur hidupku.

              “Capek banget ya hari ini?” tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Kuciumi aroma segar rambutnya yang baru saja keramas. “Mau aku pijitin?”

              Ellie berbalik ke posisi telentang. “Ngga usah, Mas. Kamu juga capek kan banyak meeting.”

              “Aku capek ngeladenin Bara dan Lily.” Jawabku. “Apalagi Lily, cerewet banget. Pusing dengerin ocehannya.”          

              “Memang tadi ngobrolin apa aja, Mas sama Lily?”

              “Ngobrolin para mantan pacarnya mereka…” jawabku cari aman karena tidak mungkin kuceritakan kalau kami juga membicarakan Jessica.

              “Lily tuh mantan pacarnya banyak loh, Mas. Aku tuh heran banget kok bisa ya kayak gitu?”

              “Hehehe aku juga bingung, dia tuh pacaran sama orang lain, sebulan dua bulan terus putus, balikan lagi sama Bara, putus lagi, sama orang lain lagi, putus lagi, balik ke Bara lagi. Begitu terus.”

              “Aku tuh kadang-kadang sampe mikirin sebenernya apa yang dia cari kalau ujung-ujungnya balikan lagi sama Mas Bara.”

              “Artinya belum ada yang seperkasa si Bara, HAHAHA!”

              “Idih…” mungkin Ellie berpikiran, seperkasa itukah Bara?

              “Loh iya, cocok kan sama namanya, Bara Perkasa Putra?!”

              Kali ini Ellie terkekeh, mungkin benar-benar membayangkan si perkasa Bara.

              “Kamu jangan coba-coba bayangin si Bara loh!” cegahku, takut-takut Ellie benar-benar membayangkan keperkasaan Bara.

              “Ya ngga lah, aku malah geli jadinya!” Ellie kembali terkekeh dan kali ini berbalik lagi sehingga kini kami berhadapan. Salah satu yang paling kusukai dari Ellie adalah, dia selalu tidur dalam keadaan cantik dan wangi. Setiap malam sebelum tidur, dia pasti mandi, lalu menggunakan skincare dan memakai parfum. Katanya agar ketika bangun nanti, dia akan merasakan kulitnya tetap lembab dan lembut. Kusentuh bibir bawahnya dengan ibu jariku dan kurasakan bibirnya lembut sekali dan sedikit berwarna pink.

              “Kamu kok cantik banget, sih…” jujur aku sedang tidak menggombalinya. Karena setidaknya, bagiku, Ellie memang secantik itu. “Tiap hari selalu bikin aku deg-degan kalau liatin kamu…”

              “Kalau jadi pacar kamu kan memang harus cantik, dong…” balas Ellie tak kalah gombalnya.

              “Memangnya beneran pacar aku?”

              “Iya, kalau ngga ada Ryan, kamu pacar aku. Tapi kalau ada Ryan, baru kamu selingkuhan aku.” Lagi-lagi dia menggoda. Entah kenapa aku tak bisa marah dengan perkataannya itu. Karena memang kenyataannya seperti itu, dan kami menikmatinya.

              Kudekatkan tubuhku padanya agar dia lebih menempel padaku. Dapat kurasakan betapa halus kulitnya dan wangi tubuhnya. Sumpah ini membuatku bergairah sekali. Tapi kami sudah sepakat kalau malam ini hanya cuddling biasa dan pillow talk sampai kami benar-benar mengantuk.

              “Ell…” kukecup pipinya. “Ayo pilih, kamu mau dinikahi siapa? Aku atau Ryan?”

              Aku jarang sekali menanyakan pada Ellie tentang pilihannya, antara aku atau Ryan. Karena prinsipku adalah jalani saja hubungan ini, biarkan waktu yang akan menjawab. Biarkan Ellie tergerak sendiri nantinya, tentang siapa yang lebih pantas bersamanya. Biarkan semuanya berjalan sesuai takdir yang membawa kisah ini. Tapi semakin lama, aku semakin ingin kepastian. Sebelumnya kupikir dengan berjalannya waktu dan adanya kehadiranku yang sangat intens di hidupnya, itu akan membuatnya berpaling dari Ryan, namun ternyata aku salah. Setelah melihat langsung bagaimana interaksi mereka di Bali kemarin, aku menyadari bahwa tak sedikitpun rasa cinta Ellie pada Ryan memudar. Bisakah seseorang mencintai dua orang yang berbeda di waktu yang sama?

              “Boleh ngga, nikahnya sama kalian berdua?” sungguh luar biasa jawabannya.

              “Ngga boleh serakah!” ujarku gemas sambil mencubiti pipinya. “Memang kenapa sih, Ell? Kamu ngga akan ada di sebelahku sekarang kalau kamu ngga cinta sama aku kan?”

              Ellie menghela napas. Memang berat sekali rasanya membicarakan hal ini secara serius. Seperti selalu ada beban di dada yang membuat sulit bernapas. “Aku ngga bisa milih, Mas…”

              Masih jawaban yang sama, dan selalu jawaban yang sama : dia tidak bisa memilih. Lantas apa, Ell? Apa yang membuatmu begitu sulit memilih antara aku atau Ryan? Kalau dibandingkan ya memang, Ryan lebih unggul daripada aku dalam semua aspek, tapi bukankah dengan aku yang seperti ini pun sudah cukup bagi Ellie? Dia bilang dia bahagia denganku, dia selalu terlindungi, dia selalu menjadi prioritasku.

              “Aku selalu mikirin keluargaku juga, Mas.”

              Oke. Untuk yang ini, Ellie memang belum pernah berkisah. Aku maupun Ellie memang jarang sekali membicarakan tentang keluarga masing-masing. Karena kupikir percuma kalau kami tak bisa bersama nantinya. Lagipula, bisa kupastikan kalau Ellie bukan calon menantu idaman bagi orang tuaku. Kepercayaan kami berbeda. Latar belakang keluarga kami pun berbeda. Tapi tetap saja aku sudah memikirkannya, seandainya nanti Ellie memilihku daripada Ryan, aku akan tetap menikahinya walaupun tanpa restu dari keluargaku.

              “Pasti aku bukan tipe calon menantu idaman Mama Papamu kan?”

              Ellie mengangguk. “Makanya kupikir, terlalu berat buat bawa kamu masuk ke keluargaku.”

              “Kalau masalah kita beda agama, aku bersedia kok ikutin agamamu, asal bisa nikah sama kamu!” seruku seolah memberi kemudahan baginya. Obsesiku semakin gila sepertinya.

              “Jangan ngawur!” Ellie menepuk pelan pipiku. “Nanti Ibu Bapakmu sedih, kecewa.”

              Itu sih sudah pasti. Aku sudah bisa membayangkan akan sekecewa apa orang tuaku, kakak dan adikku. Walaupun aku dan keliaranku seperti ini, tapi keluargaku termasuk ke dalam kategori keluarga religius. Mereka pasti tidak akan merelakan anak lelaki satu-satunya ini berganti keyakinan karena mengejar cinta seorang wanita.

              “Kamu tau kan aku punya dua kakak perempuan?” tanya Ellie. Yap, tentu aku tahu, walaupun aku tidak kenal tapi pernah kulihat foto-fotonya dari ponsel Ellie. Ellie ini anak bungsu dengan dua kakak perempuan. Sedangkan aku anak tengah dengan kakak dan adik perempuan.

              “Kakakku itu dua-duanya pindah agama, Mas, karena ikut suaminya.” Ungkap Ellie. “Walaupun di mulut bilangnya ikhlas, rela, tapi dulu hampir setiap hari Mama itu nangisin kakakku. Aku ngga mau bikin Mama nangis kayak gitu juga.”

              Ya memang sih hal seperti ini sangat sensitif, dan aku mengerti ada anak-anak seperti Ellie yang lebih mementingkan kebahagiaan orang tuanya daripada kebahagiannya sendiri.

              “Tapi sekarang mereka semua udah baik-baik aja kan?”

              Ellie mengangguk. “Tapi itu traumatik banget buat aku. Dari dulu jadinya aku selalu berpikiran, aku ngga mau bikin orang tuaku seperti itu juga. Eh malah ketemunya kamu!”

              Takdir lah yang mempermainkan.

              “Ditambah, aku sama Ryan ini udah lama pacaran. Mamaku dan Mamanya udah jadi temen baik malahan. Seandainya aku pisah dari Ryan, yang patah hati nanti bukan aku aja atau Ryan aja, tapi Mama kami juga.”

              Jadi yang bisa kusimpulkan adalah kenapa Ellie tidak bisa memilih, karena terlalu memikirkan kebahagian dan perasaan keluarganya bukan?

              “Kalau ngga ada faktor keluarga, kamu lebih milih aku kan daripada Ryan?”

              Ellie diam dan menatapku tajam. “Kamu kenapa sih, Mas selalu ingin aku milih?”

              “Ya karena aku ingin tau aja, siapa yang lebih kamu cinta!”

              Aku sepertinya agak tersinggung dengan pertanyaannya jadi nada bicaraku agak sedikit tinggi. Dan itu membuat Ellie semakin tajam menatapku. Sebentar lagi dia pasti akan marah. Dan benar saja, dia segera beranjak bangun, mengikat rambutnya dan berjalan ke lemari, membukanya dan kemudian mengeluarkan jaket serta celana panjang.

              “Aku mau pulang aja.” Ucapnya datar.

              “Ini udah tengah malem, Ell…” aku pun ikut bangun dan mendekatinya yang kini sedang memakai jaket dan celana panjangnya.

              “Aku bisa pulang sendiri kalau kamu ngga mau nganterin.”

              Kuambil napas panjang supaya aku bisa lebih rileks. Oke, dia wanita, dan dia harus selalu benar.

              “Ell, jangan gitu ya?” aku pun mulai memohon. “Maafin aku, ya?”

              Ellie kemudian menghentikan kegiatannya. Dia diam, dan kembali menatapku. Kulihat mukanya memerah dan air matanya menggenang di matanya, ingin menetes tapi seperti ditahan olehnya.

              “Kenapa ngga kamu aja yang pergi, Mas?”

              Kali ini aku yang diam, memandanginya. Tahan, Gamma, jangan bicara. Biarkan dia bicara lebih dulu.

              “Kamu tau kan aku ngga bisa milih? Aku nungguin loh, nungguin kamu ninggalin aku. Aku nungguin kamu nyerah.” Ellie masih berusaha menahan air matanya, tapi kini gagal. Suaranya pun terdengar bergetar. Dia sedang menahan emosinya. “Kalau kamu nyerah, ya udah aku juga bakal nyerah.”

              Pecah sudah tangisnya. Begitu juga denganku. Rasanya aku pun ingin menangis. Baru kulihat Ellie seperti ini, seperti meluapkan segala beban hatinya. Bodohnya aku tidak pernah menyadari hal ini begitu membebaninya. Selama ini aku ternyata brengsek karena terus menanyakan siapa pilihannya, padahal mau bagaimanapun, pilihannya adalah Ryan. Dia hanya menungguku untuk menyerah.

              Aku menarik tubuhnya dan langsung kupeluk dia dengan erat. Aku tak mau melepaskannya. “Aku belum mau nyerah, Ell…”

              Ellie diam dan tangisannya semakin menjadi. Ya Tuhan, kenapa rasanya sesak sekali? Sakit sekali seperti ini, melihatnya menangis, menahan emosiku sendiri dan menyadari kalau hubungan ini akan segera berakhir dalam beberapa bulan ke depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status