Sudah satu minggu berlalu sejak huru-hara di Bali itu, dan kini kehidupanku sudah berjalan normal kembali. Sempat ada satu drama lagi saat kami siap untuk pulang ke Jakarta, namun saat itu posisinya Ryan masih dua hari lagi di Bali. Jadilah Ellie mengajukan cuti dadakan karena masih ingin bersama dengan Ryan. Sebenarnya aku ingin melarangnya, tapi aku tak ingin membuatnya mengungkit perihal Jessica lagi karena itulah senjatanya sekarang.
Dan di Jumat pagi yang agak mendung ini, aku sedang menunggu Ellie di basement parkiran tower apartemennya. Aku sudah beberapa kali meminta Ellie untuk pindah saja supaya dekat denganku, tapi dia bilang tidak bisa karena apartemen yang dia tempati sekarang itu milik Ryan dan akan jadi pertanyaan besar kenapa malah pindah padahal sudah difasilitasi.
Lokasi kantor kami ada di antara apartemenku dan apartemen Ellie, jadi setiap hari aku harus berangkat jauh lebih awal agar bisa menjemputnya dulu. Dia tidak bisa menyetir, dan aku sendiri tidak mau kalau Ellie harus naik kendaraan umum. Pernah beberapa kali kami mencoba naik kendaraan umum, dan selalu saja ada mata-mata jelalatan yang memandanginya.
“Good morning…” sapa Ellie begitu masuk ke dalam mobil. Lantas dia memberiku segelas kopi hitam panas pesananku.
“Good morning, baby…” balasku sambil mengecup pipi kirinya.
Aku baru bertemu lagi dengannya setelah tiga hari tidak bertemu karena Ellie baru kembali ke Jakarta tadi malam dan semalam pun aku lembur jadi yang menjemputnya di bandara adalah Bara dan Lily.
Hari ini Ellie tampil begitu segar dan menggoda. Dia mengenakan setelan rok dan blazer berwarna hitam karena jarang-jarang Ellie mengenakan warna hitam, biasanya dia suka sekali mengenakan pakaian warna coklat atau pink. Makanya kalau Ellie memakai pakaian warna hitam, itu terlihat menggoda sekali bagiku.
Model rambutnya pun sedikit berubah, agak lebih pendek dan lebih coklat dari biasanya.
“Kamu pasti mau nanya, kenapa rambutku begini. Iya kan?” ujar Ellie seolah tahu isi pikiranku. “Aku sengaja ngga bilang kamu kalau kemarin aku nyalon. Cantik kan?”
“Of course. You are always beautiful.” Jawabku. “Tapi sayang bukan pacar aku.”
Ellie mencubit perutku. “I’m all yours now, for three months.”
“Aku maunya selamanya, Ell…”
Kukesampingkan kopiku, lalu kutarik kepalanya mendekat dan kucium bibirnya. Aroma dan rasa dari lipstiknya menempel di bibirku. Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik, dua puluh detik, baru ciuman ini terhenti ketika Ellie menarik diri dan tampak terengah.
“Mas, masih pagi ah…” tolaknya sambil mendorongku pelan. Dia tampak tak bisa menyembunyikan hasratnya, begitu juga denganku. Tapi benar katanya, ini masih pagi dan kami harus segera ke kantor karena ada meeting satu jam lagi yang harus kuhadiri.
Hari ini aku dan Ellie sama-sama sibuk sehingga tidak bisa bertemu. Aku menghadiri beberapa meeting di tiga tempat berbeda, dan Ellie diminta Mr. Ishikawa untuk menemani istri dan cucunya seharian di rumahnya karena cucunya berbicara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sedangkan Mrs. Ishikawa hanya bisa berbahasa Jepang.
Kalau kata Ellie sih, Mrs. Ishikawa hanya datang ke Indonesia setiap enam bulan sekali dan itupun hanya sebentar. Beliau tetap tinggal di Jepang karena masih merawat orang tua dan mertuanya. Sedangkan Mr. Ishikawa tinggal di Indonesia bersama dua orang anaknya yang salah satunya sudah menikah dengan orang Indonesia.
“Gam, udah sampe?” tanya Bara begitu kuangkat teleponnya. “Gue udah di parkiran nih.”
“Udah, lo naik aja langsung.” Jawabku sambil merapikan bantal-bantal di atas sofa. Karena kesibukan kami hari ini, Bara dan Lily main berkunjung ke apartemenku, niatnya hanya untuk bersantai-santai saja menikmati akhir pekan yang baru dimulai.
Unit apartemenku ini tipe one bed room, dan kubeli sekitar empat tahun lalu ketika harganya masih lebih murah karena terhitung sebagai tower baru. Kini ketika kupandangi sudut-sudut tempat tinggalku ini, betapa semuanya sudah berubah karena sudah terkena sentuhan Ellie selama hampir dua tahun ini. Terlihat seperti penghuninya hanya seorang perempuan saja.
Aku dan Ellie lebih banyak menghabiskan waktu di tempatku ini daripada di tempat Ellie. Apalagi isi dari kamarku dan kamar mandi, hampir semuanya adalah barang-barang Ellie. Makanya aku tak pernah membawa keluargaku ke sini karena nanti mereka heran kenapa tempat tinggalku keadaannya seperti ini, ada baju-baju perempuan, barang-barang berwarna pink, dan peralatan mandi milik perempuan.
Lima menit kemudian, Bara dan Lily sudah datang. Mereka ini cukup kurang ajar juga karena tahu kode dari doorlock pintuku. Tapi sepertinya sudah jelas sih, karena kodenya adalah tanggal lahir Ellie. Tanpa aku beritahu pun mereka sudah menerka dan suka seenaknya datang ke tempatku.
“Bawa apa?” tanyaku karena melihat Lily membawa sesuatu seperti kardus berisi makanan.
“Pizza.” Jawab Lily sambil meletakkan kardus pizza itu di meja makanku. “Dan bir!” lanjutnya sambil memamerkan sekantung plastik yang kelihatannya berisi beberapa kaleng bir.
“Ellie ke sini ngga?” tanya Bara sambil mengambil sekaleng bir dan duduk di sofa lalu menyalakan tv.
Kulirik jam tanganku dan sekarang sudah hampir pukul tujuh malam. Sekitar setengah jam lalu Ellie mengabariku kalau dia masih di rumah Mr. Ishikawa dan masih menemani istri dan cucunya.
“Ke sini. Tapi maleman kali. Masih jadi baby sitter.”
Aku dan Lily mengikuti Bara dan kini kami bertiga duduk di sofa.
“Eh, Gam, lo belum cerita detail nih soal si Jessica!” seru Lily tiba-tiba teringat Jessica. “Ayo dong ceritain mumpung Ellie ngga ada di sini!”
“Emang Jessica ngga ngehubungin lo lagi, Ly?” tanyaku sebenarnya cukup penasaran juga apakah Jessica memberikan ‘testimoni’ tentangku kepada Lily. Lily lantas mengambil ponselnya dan menunjukkan chat dengan Jessica. Pesan terakhirnya hanyalah “he’s good” diikuti emoji hati.
“So, gimana?” ulang Lily dan tampak sekali dia begitu penasaran. Sementara Bara hanya tampak menyimak sambil menikmati pizza dan bir nya.
Pikiranku menjelajah mengingat kenangan singkat bersama Jessica.
“Ya biasa aja, kayak biasa, kenalan, ngobrol, minum…”
Sebenarnya tidak biasa karena bagaimanapun pasti sulit untuk menganggap pertemuan itu biasa. Jessica yang cantik dan seksi tapi di sisi lain aku menganggapnya begitu kuat karena sudah hampir sepuluh tahun hidup sendiri di Jakarta, sedangkan seluruh keluarganya ada di Makassar. Ditambah dengan tangisannya kala itu yang malah membuatku jadi bergairah, padahal awalnya tak kuniatkan untuk berbuat seperti itu dengannya.
“Ngobrolin apa aja?” Lily terus mengulik. “Terus gimana, kok bisa tidur sama dia? Lo yang ngajakin atau gimana, Gam?”
Benar-benar ya si Lily ini rasa penasarannya sangat tinggi untuk hal-hal seperti itu. Sudah tidak ada urat malunya membicarakan hal-hal sensitif dengan lelaki. Kadang-kadang dia menceritakan kisah-kisah cinta singkatnya yang menurutku cukup liar. Namun tak lama dia pacaran lagi dengan Bara, lalu putus, pacaran dengan orang lain, lalu putus, balikan lagi dengan Bara, seperti itu terus siklusnya.
“Dia mabok, gue masih setengah mabok.” Kucoba menjawab. “Ya lo bayangin aja kita lagi mabok, terus cuma berduaan di villa, mau ngapain lagi? Pas gue cium, dia diem aja. Ya udah.”
Ah sialnya jadi teringat kembali kejadian malam itu. Hampir selama dua tahun ini, body count-ku adalah Ellie saja, jadi begitu aku mencobanya dengan Jessica, timbul sensasi lain yang tentu berbeda dengan sensasi jika melakukannya bersama Ellie. Tapi bagaimanapun, tak bisa dan tak boleh kubandingkan karena sudah ada posisinya masing-masing. Toh aku dan Jessica pun sepakat untuk tidak bertemu atau saling mencari lagi, kecuali kami memang tidak sengaja bertemu, itu baru takdir namanya.
Sebelum berangkat tadi aku langsung menelepon Bara dan memintanya untuk mengikuti sandiwaraku kalau-kalau Ellie sampai menanyakan pada Bara kemana aku. Tentu saja karena aku dan Bara sudah seperti botol dan tutupnya, dia hanya oke oke saja. Jadi di sinilah aku, di depan rumah kosan Jessica, padahal 20 menit lalu aku masih mengecup bibir wanita yang kuyakini sebagai cinta sejatiku. Tak lama, muncullah Jessica yang seperti dugaanku hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek berwarna pink. Rambut panjangnya nampak digulung berantakan. Dia menyambutku dengan memberikan senyuman yang malah tampak seperti ejekan. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam kosannya ini, melihat pintu-pintu kamar yang sunyi dan sepi, hanya ada rak sepatu, tempat sampah atau keranjang baju kotor. Tidak ada pintu yang terbuka. Kamar Jessica teletak di lantai dua, dan posisi paling pojok. Di depan kamarnya ada rak sepatu berisi sandal, tempat sampah, dan dua pot tanaman. Begitu masuk ke kamarnya, isi kamarn
Di hari ketiga Yaya menginap di sini, akhirnya dia bertemu dengan Ellie. Entah kenapa keduanya memintaku untuk mempertemukan mereka. Padahal aku sebenarnya tidak mau mereka saling kenal, karena ya, tentu saja hubunganku dan Ellie tidak akan berlangsung lama lagi. Dan sepertinya Yaya pun menyukai Ellie, tidak seperti responnya terhadap seluruh wanita yang pernah kukenalkan dulu. Seandainya saja aku bisa mengenalkan Ellie sebagai calon kakak iparnya… Kukira Yaya akan menanyakan tentangku seperti kenapa bisa jadi pacarku atau hal-hal semacamnya, tapi ternyata Yaya malah lebih tertarik membicarakan hal-hal seperti parfum, baju, salon bahkan drama Korea dan berbagai hal yang biasanya dibicarakan teman wanita. Yaya malah mengajak Ellie menginap di tempatku dan menyuruhku tidur di sofa karena mereka mau bergadang untuk menonton film. “Adek aja deh yang tidur di sofa. Mas sama Mbak Ell tidur di kamar.” godaku pada Yaya yang sedang mencoba beberapa pakaian Ellie yang terlihat ‘mini’. “Eh en
Aku sudah berbaikan lagi dengan Ellie. Kami menjalani hari-hari kami seperti biasa. Tiga hari ini kami susah bertemu karena Ellie di luar menemani si bos dan pulangnya langsung diantarkan ke apartemennya oleh supir kantor. Jadi, Rabu malam ini Ellie sengaja minta diantarkan ke tempatku karena dia akan menginap di sini. Aku yang sudah pulang dari pukul enam sore langsung bersih-bersih semua ruangan, terutama kamar tidur dan kamar mandi. Bel pintu depanku berbunyi. Hmm tumben sekali Ellie menekan bel dulu, biasanya dia langsung masuk, apa dia ingin aku menyambutnya dengan sebuah pelukan? Dengan semangat aku menuju pintu depan, sudah kubayangkan aku akan memeluknya, membawanya masuk lalu menciumnya. Tapi aku kaget sekali begitu kubuka pintu, ternyata bukan Ellie yang ada di sana. Yaya-lah yang berdiri di sana. Iya, Yaya adikku. Adik bungsuku. “Mas Gamma!!” Yaya menubruk untuk memelukku. “Adek kok di sini?” aku bing
Sesampainya di restoran sushi tujuan kami, aku dan Ellie masih diam-diaman. Ellie duduk sebelah Lily, dan di hadapannya adalah Bara, sedangkan aku duduk di sebelah Bara sehingga aku berhadapan dengan Lily. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar dan aku juga tidak terlalu suka sushi. Ellie bilang sih ini restoran sushi yang paling enak karena rasanya otentik, mirip sushi yang biasa dia makan langsung di Jepang saat kuliah dulu. Dengan seenaknya, Ellie dan Lily memesan porsi yang cukup banyak. Aku tahu kalau Bara juga tidak terlalu suka sushi, makanya kami berpandangan dan merasa kesal karena kalau dua wanita ini kekenyangan, maka kami yang akan disuruh menghabiskan makanan mereka. “Enak kan?” tanya Ellie pada Lily sambil mengunyah makanannya. Entah kenapa dia lahap sekali kalau makan sushi. “Iya, enak!” Lily menjawab, tak kalah lahap makannya. “Gue sukanya sushi asli begini nih, kalau yang rasanya udah nyesuaiin lidah Indonesia, gue m
“Hah nemuin apa?” aku mengulang pertanyaannya. Takutnya aku salah dengar. “Bekas kondom Pak, di tempat sampah Bapak.” Ternyata aku memang tidak salah dengar. Bekas kondom yang menjadi perkara. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mbak Ira ini pasti akan mengancamku, memerasku agar dia tidak buka mulut mengenai penemuannya ini. Nyatanya dia masih berdiri di depanku, tersenyum penuh arti. “Mau berapa?” tanyaku langsung to the point. “Satu juta, Pak.” Jawab Mbak Ira dengan sangat lancar. Hari ini aku sudah merasa sangat lelah, sehingga aku malas berdebat dengannya. Kuambil dompetku, kebetulan aku baru saja mengambil uang cash dan langsung kukeluarkan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Tanpa ragu dan malu-malu, si Mbak Ira itu langsung mengambil uang tersebut dan tersenyum senang. “Terima kasih ya Pak Gamma…” serunya, dapat terlihat jelas matanya berbinar memandangi kertas merah itu. “Ini untuk b
Ellie menipuku tentang meeting itu. Selain karena ternyata meeting-nya pukul dua siang, yang kebagian tugas presentasi pun memang bukan aku, melainkan Anita dari divisi SDM. Dia benar-benar hanya mencari alasan supaya aku datang ke kantor hari ini. Sekarang Ellie sudah kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun ingin mengecek pending job-ku selama aku cuti kemarin, tapi kondisi mejaku berantakan sekali. Ya, tadi ada Ellie di atas meja ini, dengan berbagai posisi. Kami merasa sudah gila karena melakukannya seperti di film-film cabul dewasa. Ah kalau kuingat tadi rasanya aku jadi tegang lagi. Bukan pertama kalinya kami berbuat mesum di kantor, tapi yang tadi adalah yang paling gila yang pernah kami lakukan. Ellie mendominasi dan mengontrolku untuk melakukan ini dan itu. [I still want you. More. Come here.]. Aku mengiriminya pesan. [Aku masih banyak kerjaan. Laper juga belum sempat lunch.] [Mine getting h