Niken menikmati masa-masa kehamilan dengan segala kemewahan. Niken tidak pernah memasak, mengurus keperluan Naufal ataupun dirinya. Semua dilakukan oleh Aruna. Setiap kali Niken menginginkan sesuatu, ia akan meminta Naufal untuk mencarinya.
Seperti ketika kandungan Niken sudah menginjak empat bulan, perempuan itu menginginkan jalan-jalan ke luar negeri, tepatnya ke negara kincir angin bersama Naufal. Selama seminggu lebih mereka pergi tanpa berniat mengajak Aruna. Membiarkan Aruna sendirian di rumah.Usia kandungan Niken semakin membesar dari bulan ke bulan. Selama mengandung, Aruna sudah tiga kali mengantarkan madunya itu ke dokter spesialis kandungan. Kerap kali Aruna terdiam, menunduk lesu ketika duduk di ruangan tunggu di antara para ibu hamil. Sebagai perempuan, tentu ia menginginkan itu juga. Namun, sayang rasanya akan sulit karena hasil serangkaian tes kesuburan menunjukkan Aruna tidak bisa memiliki keturunan.Kandungan Niken sekarang sudah berada di ujung persalinan. Hanya menunggu satu minggu dari hari perkiraan lahir. Niken sudah mulai merasakan kontraksi palsu akhir-akhir ini, bahkan perempuan itu mulai kesulitan berjalan karena rasa nyeri di bagian intim.Aruna selalu siap siaga untuk membantu madunya dalam segala hal. Selain karena kasihan, Aruna pun ikut menantikan sosok bayi yang akan meramaikan rumah megah ini. Tidak masalah tak memiliki kasih sayang Naufal sepenuhnya, setidaknya ia akan ikut merasakan mendapatkan seorang bayi mungil di rumah penuh kesepian ini."Kak, aku mau makan rujak buah." Siang itu Niken sedang duduk di sopa ruang tamu dengan Aruna yang juga sedang sibuk membalas pesan dari sahabatnya.Aruna menoleh ke samping kanan. Semua pekerjaan sudah terselesaikan. Persiapan bayi pun telah dimasukan ke tas besar. Jaga-jaga Niken tiba-tiba harus pergi ke rumah sakit. "Cuacanya mendung, Dek. Kamu yakin mau makan rujak buah?" Rintik-rintik hujan masih saja turun dari langit. Rasa dingin pun tidak bisa dipungkiri. "Aku takut kamu sakit."Niken diam. Mendadak kurang bersemangat, terlihat dengan menekuk wajahnya. Mood orang hamil memang rawan mengalami naik turun. Hal ini dikarenakan hormon progesteron dan estrogen yang mempengaruhi.Aruna terdiam. Melihat jelas perubahan itu dan berusaha sabar. Jika bukan karena calon bayi di dalam perut Niken, ia tidak terlalu peduli. "Selain itu, aku tidak mau Kak Naufal marah juga. Kamu ingat saat memintaku membelikan bakso dan kamu tanpa perhitungan langsung menambahkan lima sendok sambal dan akhirnya sakit. Aku justru yang menjadi sasaran Kakak."Niken merasa bersalah. Ia mendekati Aruna, meraih tangan istri pertama suaminya itu seraya berkata, "Aku minta maaf, Kak. Tapi, Kakak tidak bisa merasakan bagaimana jadi Ibu hamil itu seperti apa. Kadang aku ingin makan pedas juga."Kedua bola mata Anindi terbelalak. Kalimat itu menusuk jantung, walaupun tidak disertai dengan ekspresi wajah yang sinis.Niken mengurai senyum manis. "Aku tidak akan meminta Kakak membelinya."Kening Aruna mengerut kencang. "Maksudmu?" Mereka memang berada di sopa panjang. Berbagi tempat seperti halnya dengan suami. "Kamu mau menghubungi Kak Naufal yang sedang bekerja?"Niken menggelengkan kepala cepat. "Temanku ada yang menjual rujak buah. Aku melihat postingannya barusan. Lebih baik aku beli dari dia saja." Buah-buahan yang dilihat Niken tadi terlihat menggiurkan. Terlebih, bumbu rujaknya pun tampak menggoda.Aruna terdiam sejenak. Lalu, berkata, "Terserah kamu. Yang penting, aku sudah memperingatimu."Niken masih mempertahankan senyuman. Keinginannya tidak bisa ditunda. Dengan cepat mengetik pesan untuk dikirimkan pada salah satu temannya yang dimaksud. "Selesai. Aku jadi tidak sabar menunggunya." Rasa rujak yang pedas dipadukan dengan buah bengkoang, jambu air, pepaya muda, nanas serta mangga muda terbayang-bayang, menggoda lidah Niken untuk segera menikmati.Mereka masih berada di ruangan tamu ketika pesanan Niken datang sekitar dua puluh lima menit. Rupanya, jarak rumah temannya Niken itu tidaklah jauh. Rujak segar di cuaca dingin sedikit terdengar aneh. Mengingat biasanya orang akan mencari penghangat badan. Aruna tidak banyak berkomentar, meninggalkan Niken ke kamar. Membiarkan istri kedua suaminya itu menikmati apa yang diinginkan.Aruna masuk kamar, menunggu waktu salat Asar yang akan datang sekitar dua jam lagi. Namun, cuaca masih terasa dingin dan sejuk. Mentari saja enggan datang, memang hari penuh kedinginan.Anindi merebahkan badan di atas ranjang. Setelah sang suami menikah lagi, ia sudah terbiasa dengan kesepian. Hanya sesekali lelaki itu datang. Dalam sebulan pun, bisa dihitung jari. Mungkin ada dua kali, selebihnya Naufal menghabiskan waktu dengan Niken. Aruna memejamkan mata, tertidur sekitar setengah jam saja. Namun, terbangun ketika suara hujan bukannya mereda, justru semakin besar."Aku lebih baik membaca buku dulu sebelum salat." Aruna bangun kembali, bergerak ke arah tumpukan buku di dalam rak. Tersusun rapi dan masih ada yang bersegel. Buku novel karangan penulis wanita terkenal di kotanya menjadi memenuhi rak buku yang hanya tiga tingkat itu. "Aku masih belum selesai membaca yang ini." Pilihan Aruna jatuh pada buku berjudul 'Wanita Yang Dicintai Allah' sebuah buku yang memiliki banyak inspirasi untuk kaum muslimin.Buku itu baru saja sampai di tangan ketika suara erangan Niken terdengar dari lantai bawah. Aruna terkejut, melepaskan buku dan langsung keluar kamar. "Niken!" Memanggil nama madunya, kemudian berjalan setengah lari menuruni anak tangga. Takut terjadi sesuatu pada perempuan yang sangat dicintai suaminya tersebut."Kak Aruna!" teriak Niken sambil merasakan hantaman mulas yang awalnya terasa pelan, tetapi kini semakin kencang.Aruna panik. Menghampiri Niken yang kini tertidur miring ke kanan dengan tangan memegang perut. "Astagfirullah, Dek. Kamu kenapa?" Aruna meraih tubuh Niken, membangunkannya. Memeluk erat. "Kenapa, Dek?"Keringat bercucuran di pipi Niken sebagai tanda betapa sakitnya yang dialami. "Kak, perutku sakit. Mulas."Aruna semakin panik. Memegang perut Niken. Melirik rujak buah di meja yang habis tidak tersisa. Mungkinkah itu penyebabnya. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Aruna menyandarkan tubuh Niken ke kursi bagian bawah. Hendak berdiri untuk mengambil ponsel dan tas darurat di kamar utama. Akan tetapi, belum sempat bergerak ke atas. Suara Naufal langsung menerpa telinga Aruna dan Niken. Kedatangan pria itu tidak terendus karena kedua wanita tersebut sedang panik. Deru mesin mobil pun tidak terdengar, begitulah orang yang sedang panik."Ada apa ini?" tanya Naufal tegas.Niken mengangkat kepala, binar matanya dipenuhi dengan kebahagiaan. "Kak, perutku sakit!" Niken merengek dengan wajah menahan sakit.Aruna masih berjongkok. Melihat sendiri ekspresi terkejut sekaligus khawatir suaminya sendiri. Naufal berjalan cepat, berjongkok di depan Niken dan berkata. "Apa yang terjadi, Sayang?" Sorot mata Naufal begitu cemas. Langsung memboyong tubuh Niken."Perutku sakit, Kak." Niken menangis."Kita ke rumah sakit sekarang!" Naufal berdiri dengan membopong tubuh Niken. Berbalik badan dan segera berjalan cepat untuk pergi ke rumah sakit.Aruna di sana, melihat bagaimana cemasnya Naufal pada Niken. Hal yang tidak pernah lagi Aruna dapatkan, bahkan sekali pun belakangan ini. Tidak terasa air mata Aruna keluar, sesak di dada begitu terasa. Begitu hinakah perempuan yang tak bisa mempersembahkan anak pada seorang suami?Aruna tersadar, bukan waktunya meratapi nasib sekarang. Ada hal penting yang perlu dilakukan. Dengan cepat Aruna mengambil tas di lantai atas, tepatnya kamar Naufal dan Niken. Tidak berpikir panjang dan langsung turun ke bawah, menyusul Naufal yang sudah di luar."Cepat masuk!" Naufal berteriak ketika melihat Aruna hendak mengunci pintu. "Jangan pikirkan yang lain!" Aruna tersentak, sesegera mungkin mengunci pintu dan masuk mobil yang sudah terparkir di depan. "Kamu terlalu lama!" Naufal menyentak Aruna. Hanya saja, perempuan itu tidak hanya bicara.Aruna duduk di bangku belakang bersama Niken yang kala itu sedang memegangi perut."Kak, cepat ke rumah sakit, aku tidak kuat." Niken benar-benar kesakitan."Sabar, Sayang." Naufal mulai menjalankan kendaraan setelah melihat Aruna memakai sabuk pengaman. Sedikit gugup dan berpikiran negatif. Takut terjadi sesuatu pada kehamilan Niken.Aruna menyampingkan perasaan marah dan kesal terhadap Naufal, ia memeluk Niken dan berkata, "Istighfar, Dek. Astagfirullah." Menuntun istri kedua suaminya itu untuk beristighfar.Niken bukannya mengikuti, perempuan itu terus berteriak kesakitan. "Sakit, Kak!" Hanya itu yang dikeluarkan Niken.Aruna berusaha menenangkan, mengusap punggung Niken sambil sesekali melirik Naufal yang berkendara dengan kecepatan lumayan cepat."Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang