Share

Cinta Istri Berbuah Luka
Cinta Istri Berbuah Luka
Author: Ciety Ameyzha

Kehamilan Niken

Author: Ciety Ameyzha
last update Last Updated: 2023-01-21 14:10:56

"Selamat atas kehamilan istri Anda, Pak. Mohon untuk dijaga baik-baik kesehatan dan janin yang baru saja berusia empat minggu ini." Dokter perempuan memberikan selamat serta beberapa pesan pada Naufal, lelaki yang berdiri di samping Niken–istri keduanya.

Aruna–istri pertama- terdiam. Ada beberapa pertanyaan dalam benaknya, tetapi tidak berani berbicara.

Naufal langsung memeluk penuh cinta Niken. Bahkan, ia sendiri lupa akan kehadiran Aruna.

Selepas kepergian dokter, Niken masih saja mual. Aruna merasa kasihan, ia dengan sigap menjaga dan merawatnya. Memijat kepala istri kedua dari sang suami. Mungkin memang Niken membawa luka. Namun, sebagai seorang perempuan, tentunya Aruna tidak tega. Terlebih, di perut perempuan itu ada calon anak suaminya.

Kabar kehamilan Niken sampai ke telinga kedua orang tua Naufal. Jelas saja mereka bahagia dan langsung datang ke rumah dengan membawa banyak makanan yang mungkin disukai oleh Niken.

"Ibu, tidak mau melihat kamu kelelahan. Jadi, jangan melakukan pekerjaan rumah apa pun!" Bu Mila –ibunya Naufal– memperingati Niken. Ini untuk kebaikan istri kedua anaknya juga.

Pak Arya–ayahnya Naufal–sendiri sedang berbicara dengan Naufal di balkon kamar utama tentang adiknya Naufal yang kini tinggal di luar negeri. Dzaki, namanya.

Sementara itu, Aruna sendiri berdiri di depan Niken dan Bu Mila. Mendengarkan segala perhatian penuh cinta yang tidak pernah ia dapatkan selama ini. Aruna tersenyum kecil, menyembunyikan luka dalam di balik sorot mata teduh.

Bu Mila menoleh ke belakang. Kini pandangannya begitu tajam pada Aruna. Telunjuk kanan menuding, layaknya pada pelayan. "Kamu!" Suara Bu Mila begitu tegas. Telinga siapa pun yang mendengar akan paham jika Bu Mila memang tidak menyukai Aruna.

Aruna mengangguk pelan. "Iya, Bu."

"Jaga menantu dan calon cucu saya. Jangan sampai Niken kelelahan atau melakukan pekerjaan rumah. Kamu harus merawatnya dengan benar. Kalau tidak, saya sendiri yang akan menghadapimu!" tegas Bu Mila. Tangannya turun.

Dada Aruna naik turun. Begitu hinakah perempuan yang tidak bisa memberikan keturunan di mata orang lain? Rasanya sesak itu kian terasa, bahkan kini semakin sulit mengambil napas. "Insyaa Allah, Bu." Kedua bibir Aruna masih menjawab dengan lembut.

Niken melirik sekilas Aruna. Kemudian, berujar, "Bu, Kakak itu baik, kok. Dia merawatku dari tadi." Niken kasihan melihat Aruna.

Bu Mila kembali memusatkan pandangan pada Niken. Mengelus perut istri kedua anaknya itu dengan posisi Niken berbaring. "Sayang, dia itu memang harus ada gunanya di sini. Lima tahun menikah, tapi belum punya anak. Lihat dirimu! Sebulan saja langsung memberikan Ibu cucu." Ekor mata kanan Bu Mila melirik sinis Aruna. Biarkan saja perempuan yang dimaksud mendengarkan dengan jelas. Bu Mila tak peduli. Tentu bagus agar Aruna bisa sadar diri akan kelemahannya.

Aruna memilih meninggalkan kamar. Tidak baik untuk kesehatan mental. Aruna keluar, menutup pintu dengan perlahan. Sebulan terakhir adalah hari-hari paling berat. Perempuan itu mengelus dada sambil berkata, "Insyaa Allah, kuat. Aku cuma harus lebih berdamai dengan keadaan dan ikut bahagia atas kehamilan Niken." Aruna diam sejenak, menenangkan diri. Kemudian, membuka mata lagi. Mengatur napas supaya sesak di dada bisa berkurang. "Sebaiknya aku fokus ke kesehatan Niken. Anak itu pun akan menjadi anakku, nantinya."

Aruna segera turun dari lantai dua. Membereskan sisa sarapan yang belum sempat dimakan karena terjeda kejadian Niken. Perempuan dengan hijab merah juga gamis hitam itu pun terus membersihkan dapur dan menyimpan sisa sarapan. Barangkali suaminya akan meminta lagi.

Sekitar lima menit di dapur, tepatnya ketika Aruna sedang mencuci piring, Naufal datang. Menghampiri Aruna dan berkata, "Aku harus pergi ke luar kota besok hari. Aku harap kamu bisa menjaga Niken. Ingat baik-baik, di dalam perut istri keduaku itu ada calon anakku!"

Kedua tangan Aruna berhenti. Suara Naufal begitu dekat, sepertinya lelaki itu berdiri tidak jauh dari punggungnya.

"Jangan membuat kesalahan dengan sifat cerobohmu, karena yang kamu jaga itu manusia, bukan robot!" Sekali lagi Naufal memperingati.

Dari cara bicara Naufal, Aruna menyimpulkan jika sudah tak ada lagi sisa cinta sedikit saja untuk dirinya. Tergantikan oleh sosok wanita yang bisa memberikan keinginan Naufal. Aruna diam, memilih terus menggerakkan kedua tangan, menyelesaikan pencucian piring kotor.

Naufal geram. Aruna semakin sulit diatur, walaupun memang perempuan itu tidak banyak bicara. "Kamu mendengarkan aku atau tidak?" Nada bicara Naufal naik satu tingkat. Barulah Aruna menyimpan piring dan mencuci kedua tangan. "Aku sebenarnya sudah muak berbicara denganmu! Sikapmu berubah, sudah tidak ada hormat lagi pada suami."

Aruna berbalik badan. Di rumah ini, ia bertahan dengan segala kesakitan. Bahkan, di antara keluarga Naufal yang ada, tidak ada satu pun uluran tangan untuk menenangkan Aruna ketika pernikahan kedua suaminya itu terjadi. Seolah mereka berpendapat bahwa Aruna memang pantas berada di posisi itu. "Yang berubah itu bukan aku, tapi Kakak." Aruna membalikkan pertanyaan Naufal. "Kakak, yang dulu bilang akan selalu setia justru berkhianat. Lantas, di mana letak perubahan aku?"

Naufal mengambil tiga langkah ke depan, mengikis jarak dengan istri pertamanya. Kedua tangan Aruna mengulur ke belakang, memegangi wastafel, saling kagetnya. "Jangan membahas hal yang sudah lama!" Sorot mata Naufal menakutkan. Lelaki itu berubah menjadi singa buas dan lapar ketika berhadapan dengan Aruna, berbanding terbalik ketika menghadapi Niken. "Aku tidak butuh protesmu, tapi yang aku butuhkan adalah jawabanmu! Kalau kamu mau aku memperhatikanmu, setidaknya jadilah istri yang lebih berguna!"

"Apa selama ini aku tidak berguna menurut, Kakak?" Aruna seolah mendapatkan kekuatan untuk menentang Naufal.

"Ini yang aku tidak suka darimu!" Telunjuk kanan Naufal menuding tajam. Benar-benar mengisyaratkan kehilangan rasa cinta terhadap Aruna.

Dada Aruna naik turun menahan amarah serta perasaan sakit. Pertengkaran bisa saja terjadi setiap hari, jika Aruna akan meladeni. Namun, perempuan manis itu lebih memilih untuk tidak banyak berdebat.

"Jangan memancing emosiku. Pahami pesanku tadi dan jangan sampai terjadi sesuatu pada Niken. Kamu akan tau akibatnya!" Naufal langsung berbalik badan setelah mengatakan itu. Tidak peduli seberapa hancur hari Aruna, lelaki itu hanya memikirkan kondisi kesehatan Niken.

Aruna terdiam, tanpa sadar cairan bening dari kedua mata keluar, tidak sanggup dibendung lagi. Tubuh Aruna merosot ke bawah, terduduk lemas dengan kepala bersembunyi di kedua kaki yang disatukan. Dunia ini terasa tidak adil. Banyak sekali keadaan yang sulit diterima. Akan tetapi, Aruna berusaha menghadapinya dengan keyakinan jika semua sudah ditakdirkan Yang Maha Kuasa. "Aku mungkin kurang karena tidak bisa memberikan anak untuk kamu, Kak. Tapi, aku juga punya hak yang sama. Aku perlu kasih sayangmu, aku butuh perhatianmu, bukan kata-kata kasar yang kamu lontarkan dua tahun belakangan ini."

Tangis pilu Aruna pecah di area dapur. Tempat yang selalu dipakainya membuat makanan enak untuk sang Suami. Banyak kenangan indah di sini ketika awal menikah. Namun, sekarang tempat ini pun menjadi saksi atas luka Aruna yang berat.

Di tengah tangisan Aruna, dua bola mata seseorang yang baru saja datang, mengamati di balik pintu dapur. Sebelum pergi, orang itu sempat menyunggingkan senyuman kecil. Membiarkan Aruna menikmati detik demi detik penuh air mata, menandakan kemenangan yang berpihak padanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Istri Berbuah Luka   Kelahiran bayi(Tamat)

    "Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka

  • Cinta Istri Berbuah Luka   Mengunjungi Toko

    Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s

  • Cinta Istri Berbuah Luka   Bagaimana Abizar?

    "Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H

  • Cinta Istri Berbuah Luka   Ramen

    "Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu

  • Cinta Istri Berbuah Luka   Masuk Rumah Sakit

    Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes

  • Cinta Istri Berbuah Luka   Selamat, Pak.

    "Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status