Adalah seorang wanita berparas cantik dan otak terpelajar. Bernama Syahlana Harun Latief. Tidak hanya cantik dan terpelajar, dara menawan itu juga memiliki pribadi yang kuat. Digilai banyak pria, dan sering menjadi piala bergilir bagi mereka yang memuja. Bagaimana tidak. Kecantikan fisiknya luar biasa, hampir tidak tertandingi wanita mana pun di sekitarnya. Sepasang mata bulat di bawah sepasang alis rounded low-arch medium yang menawan. Hidung mancung dan runcing hasil dari genetika seorang wanita keturunan Uighur yang berasal dari ibunya. Dipadu bibir nipis menambah kecantikannya sebagai seorang hawa. Lana, begitu biasanya ia disapa, selalu berpenampilan sopan dan menutup aurat, juga mengenakan hijab pashmina.
Kecantikan fisik bisa saja dibentuk oleh perawatan dan pemeliharaan oleh olahraga atau menggunakan bahan alami dan kimiawi yang sudah teruji klinis. Tetapi kecantikan hati, jika tidak dimiliki sejak dini, akan sulit terbentuk saat dewasa. Syahlana memiliki kepribadian yang kuat. Dirinya yang melankolis sering tidak bisa melihat kesusahan orang lain. Meski dirinya harus menderita, ia akan membantu meringankan penderitaan orang lain. Sejak kecil, dirinya sudah terbiasa dididik dengan akhlak dan budi pekerti baik.
Selain cantik dan baik hati, Syahlana juga pandai memasak. Berawal dari hobinya di dunia kuliner, ia menggeluti Cullinary Arts di Paris, Perancis. Setelah menempuh pendidikan selama kurang lebih satu setengah tahun, ia membuka bisnis restorannya sendiri yang dinamai Continue de Manger atau disingkat CDM, yang artinya 'makan terus' dalam bahasa Perancis. Menyajikan aneka masakan, mulai dari menu nusantara hingga internasional.
Syahlana adalah wanita karir yang cantik, mandiri, dan sukses. Namun, karena belum menikah, kedua orang tuanya tidak mengizinkan tinggal di rumah sendiri, meski mampu dari segi mental dan finansial. Syahlana merupakan putri sulung dari pasangan suami istri Jamal Latief dan Akasma Latika yang keturunan Uighur itu. Syahlana memiliki adik perempuan yang juga tidak kalah cantiknya, bernama Zivara Emine Latief. Ayah mereka, Jamal dulu pernah berkuliah di Turki, ambil manajemen bisnis. Di sanalah ia bertemu dengan Akasma yang seorang mahasiswi hukum asal Xinjiang. Juga menjalin hubungan asmara hingga akhirnya menikah. Akasma mengikuti sang suami tinggal di Indonesia. Tidak pernah menyerah belajar Bahasa Indonesia hingga fasih. Bahkan dirinya kini sudah fasih juga berbahasa Sunda.
Suatu pagi.
Syahlana membantu Akasma menyiapkan sarapan. Sementara Jamal asyik membaca koran sambil menyedu kopi dan menggigit pisang goreng buatan istrinya. Lalu datanglah Zivara yang langsung menyambar dua lembar roti, menaruhnya di piring. Mengolesinya dengan mentega, lalu ditambah selai kacang dan taburan keju yang telah diparut. Dituangkan susu kental manis. Itulah sarapan si mahasiswi hukum itu.
"Zi, kerudung kamu miring, tuh!" tegur Syahlana.
"Masa sih, Kak?" Zivara meletakkan rotinya yang telah ditumpuh jadi dua lapis itu di meja. Lalu berdiri, memeriksa model kerudungnya di depan cermin yang ada di ruang makan. Sengaja ada cermin di situ, gunanya kalau pagi bisa sekali lagi dipakai untuk memeriksa penampilan sebelum pergi beraktivitas. "Ini bukan miring, Kakakkuuu! Tapi modelnya memang begini." Ia kembali duduk.
Jamal ikut menegur. "Lagian model kerudung kok miring gak karuan begitu?"
"Ih, Papa gak ngerti fashion, sih!" Zivara membela diri.
Kalau sudah hampir ribut begini, biasanya Akasma akan segera menengahi. "Udah, ah. Ayo cepet sarapan, Zi. Ntar telat ke kampusnya. Lana juga mau ke restoran, kan?"
Zivara cengengesan. "Iya, Ma."
Lalu Syahlana duduk di samping adiknya. Juga mengurus sarapannya sendiri. Roti lapis isi telur mata sapi dan sayuran. Sarapan favoritnya memang yang sedap gurih begini. "Ma, Pa, nanti malem Lana pulang agak telat. Mau ke acara nikahan temen. Itu loh, si Farah, temen Lana pas SMA dulu." Dirinya memang selalu memberi tahu keluarga jika akan pulang lebih malam dari biasanya.
Jamal melipat koran dan meletakkannya di samping cangkir kopi. Menyesap kopinya sedikit, lalu bicara, "Ngomongin soal nikah. Lana, kamu gak bosen ya cuma jadi tamu undangan di pernikahan temen? Kamu gak kepengen jadi pengantinnya, apa?"
Zivara tersenyum mendengar pernyataan sekaligus keluhan papanya. Apalagi melihat ekspresi Syahlana yang entah harus menjawab apa.
"Papa dan Mama belum pernah dengar kamu punya pacar atau sekedar temen cowok yang deket," lanjut Jamal. "Usiamu sudah lebih dari matang untuk menikah, anakku."
Syahlana tersenyum. Ia juga melihat raut wajah mamanya yang sama, ingin mendengar sebuah jawaban. "Pa, Ma, jodoh itu datangnya dari Tuhan. Lana yakin, jika sudah saatnya, Lana pasti akan menikah. Lana bukannya gak kepingin menikah. Lana juga mau kok, jadi istri, jadi ibu yang menggendong anak menggemaskan. Tetapi jika Tuhan belum membuka jalan ke sana, Lana bisa apa?"
Akasma ikut membahas. "Nasib kita, Pa. Punya putri yang lebih sibuk ngurusin karir ketimbang asmara."
Bukan gitu, Ma, batin Syahlana.
Dahulu sekali, saat masih duduk di taman kanak-kanak, Syalana punya seorang sahabat laki-laki yang sangat baik. Tiba-tiba teringat dia, sayang lupa namanya. Hal itu membuat Lana tersenyum sendiri. Sehingga tidak sadar, ia menyetir mobil sambil melamun. Ketika berhenti di lambu merah, dirinya lupa kalau lampu sudah hijau, sampai diklakson oleh mobil-mobil di belakangnya. Ia segera menginjak pedal gas dan perlahan melaju.
CDM terletak di pinggiran kota Jakarta yang jalanannya tidak terlalu ramai dan masih bisa melihat hutan kecil. Kali ini, Syalana menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera tiba di tujuan. Tiba-tiba, muncul sesuatu di depan, dan membuatnya langsung banting setir ke kiri, menghindari tabrakan dengan makhluk mungil itu. Dirinya sendiri, mobilnya merangsek ke dalam parit, menabrak pohon, dan kondisinya parah.
Warga sekitar berbondong-bondong mendatangi kecelakaan tersebut. Beberapa orang ada yang menelepon polisi dan ambulans. Tubuh Syahlana berhasil dikeluarkan dari mobilnya yang sudah rusak parah di bagian depannya. Karena ambulans tidak kunjung datang, seorang pengemudi mobil yang ikut berhenti melihat kecelakaan tersebut, menawarkan diri untuk membawa Syahlana ke rumah sakit terdekat.
Pengemudi mobil yang menolong itu merupakan seorang wanita, yang tidak lain adalah Aisha. Pada saat yang bersamaan, dirinya baru pulang dari belanja kebutuhan harian. Tidak disangka terjadi kecelakaan tersebut, dan berniat ikut melihat. Ia mendengar dari orang-orang, bahwa kecelakaan terjadi karena sopirnya menghindari menabrak seekor anjing yang melintas di jalan. Aisha salut.
Luka yang dialami Syahlana tidak parah. Hanya memar dan lecet akibat benturan dengan kaca mobilnya. Juga tidak mengalami luka dalam yang berarti. Hanya perlu dijahit sedikit, dan dijamin tidak menimbulkan bekas luka. Tidak butuh waktu lama, dirinya pun siuman. Dalam pandangan nanar yang perlahan berangsur jelas, ia melihat seorang wanita duduk di sisi ranjang rumah sakit, tempatnya berbaring.
"Kamu sudah siuman," sambut Aisha. "Mana yang sakit?"
Syahlana masih merasa pusing. Tetapi dirinya berusaha tersenyum. "Pusing sedikit," jawabnya. Ia menatap Aisha. "Kamu yang menolong aku, ya?"
"Banyak orang yang datang menolong kamu tadi. Aku kebetulan berada di tempat dan waktu yang sama," jawab Aisha bersahaja. Lalu ia meletakkan ponsel milik Syahlana di meja, dekat ranjang. "Tadi aku terpaksa memeriksa ponsel kamu. Ada nomor yang diberi nama Adik Tersayang. Aku menghubungi dia dan memberi tahukan kondisi kamu. Sekarang dia ada di bagian administrasi."
"Terima kasih," ucap Syahlana.
"Kamu nekat banget, tapi aku salut. Orang-orang bilang, gara-gara ada anjing menyebrang, kamu rela banting setir dan melukai diri sendiri."
Syahlana tersenyum lagi. "Seekor anjing yang dianggap najis, juga merupakan makhluk hidup yang haram disakiti, bukan?"
Aisha mengangguk. Semakin kagumlah ia kepada Syahlana. "Ya udah, karena kamu udah siuman, dan adik kamu sudah di sini, aku sebaiknya pamit pulang. Semoga lekas sembuh ya, Syahlana."
Syahlana menganggukkan kepala. "Sekali lagi terima kasih."
Aisha pun keluar dari ruang unit gawat darurat itu.
Tidak lama setelahnya, Zivara datang. Menemani Syahlana sampai infusnya habis, dan hari itu juga diperbolehkan pulang.
Dalam perjalanan pulang, Aisha tidak bisa membuang ingatannya tentang Syahlana. Baginya, wanita itu hatinya begitu mulia. Walau baru pertama kali bertemu, ia yakin, Syahlana bukan wanita sembarangan.
Sesampainya di rumah, Aisha masuk dengan wajah sumringah. Ia melihat Rosana sedang sibuk merangkai bunga untuk hiasan di beberapa ruangan. "Ma, Mama!" Dihampirinya sang mertua.
Rosana masih sinis pada Aisha. "Hm?" Ia menyahut sekenanya.
Aisha bisa mengerti. Tetapi dirinya tidak akan menahan diri untuk menyampaikan kabar ini. "Aku punya kabar baik, Ma?"
"Apa? Kamu mendadak hamil?" Lagi-lagi disahuti sinis oleh Rosana.
"Bukan itu, Ma." Senyum Aisha sedikit pudar. Wanita mana yang tidak kecewa pada tubuhnya sendiri yang sudah tidak sempurna?
"Lantas? Kalau gak penting-penting amat gak usah berlebihan, ya!" Masih juga belum menunjukkan keramahan di wajah Rosana.
Mengingat kabar baik yang hendak disampaikannya memang benar baik, Aisha kembali tersenyum. "Aku menemukan wanita yang cocok untuk jadi istri kedua Mas Adrian."
Rosana meletakkan semua peralatan merangkai bunga di tangannya ke meja. Menatap Aisha lekat-lekat. "Apa alasan kamu mengatakan kalau dia wanita yang tepat?" Ia berharap mendengar jawaban yang masuk akal dan memuaskan seleranya.
"Karena dia wanita berhati mulia, Ma," jawab Aisha, masih dengan senyum.
"Bisa hamil apa, gak?" tanya Rosana kembali. Hal paling penting yang menjadi prioritas utama calon menantu keduanya.
"K-kalau itu, aku belum tahu, Ma," jawab Aisha pelan. Senyum sudah luntur dari wajahnya.
Bukan perasaan lega atau tanda-tanda ada persetujuan di raut wajah Rosana. Ia mendengus kesal. "Ini yang kamu sebut kabar baik?" Ia kesal. "Buang-buang waktuku aja!" Ia lantas kembali melanjutkan merangkai bunga.
"Maaf, Ma..." Aisha pun berjalan gontai ke dapur. Lagi pula dirinya juga belum memeriksa latar belakang Syahlana. Sudah punya suami atau belum. Tetapi ia yakin. Jika kelak kembali bertemu dengan wanita berhati mulia itu, ia akan mengenalinya baik-baik. Seandainya Syahlana masih lajang, jauh di dalam lubuk hati Aisha, yakin bahwa Syahlana adalah wanita yang tepat untuk menjadi madunya. Ibu terbaik bagi anak-anak Adrian kelak.
Hari itu cuaca cerah di musim kemarau. Bulan Juli yang panas, sebetulnya. Namun tidak menyurutkan semangat Akasma melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Memilih aneka sayur, buah, daging, dan camilan kesukaan anggota keluarga. Juga beberapa kebutuhan rumah lain seperti peralatan kebersihan. Akasma hanya pergi berbelanja kebutuhan begini satu kali dalam sebulan. Jadi cukup banyak yang dibeli, dan tahu, apa saja yang harus dibeli. Ia membuat catatan khusus sebelum pergi. Usai memenuhi satu troli dengan satu jenis belanjaan, ia mendorongnya ke kasir, menitipkan dulu, baru kembali mengambil belanjaan lain dengan troli lain. Lumayan sih jadinya, seperti orang kulakan barang buat dijual lagi. Ketika sedang mengantri di kasir dengan tiga troli belanjaan, ada seorang wanita seusianya menyapa. Ia juga membawa satu troli belanjaan yang tidak penuh. "Akasma?" sapa wanita itu dengan perasaan yang sangat gembira. Akasma mencoba mengenali sebentar, lalu ikut gembira
TK Bunda Pertiwi. Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak tahun, semenjak lulus dari sini. Bangunannya saja sudah banyak berubah. Guru-gurunya pasti sudah banyak yang ganti. Syahlana turun dari mobilnya. Ia sudah membuka bagasi mobil. Lalu mengeluarkan buku-buku yang berjumlah sepuluh eksemplar yang dikemas dalam kardus. Ia menutup bagasi. Membawa buku-buku itu masuk ke area sekolahan. Syahlana berjalan menuju ruang kepala sekolah. bagian bawah gamisnya menuai angin, berkibar gemulai. Sesekali ujung pashmina jatuh ke dada, dan ia s***k kembali ke belakang. "Assalaamu 'alaikum," ucap Syahlana, di depan pintu ruang kepala sekolah. Bangunannya memang banyak berubah, tetapi posisi kantor dan ruang kepala sekolahnya tidak pindah. "W* 'alaikumsalaam," jawab seorang wanita berjilbab dan berseragam guru motif batik. "Ada yang bisa saya bantu?" "Perkenalkan, nama saya Syahlana Latief, saya ingin bertemu dengan kepala sekolah," jawab Syahlana. "Kebetul
Dari Dokter Susan inilah, Syahlana baru tahu, kalau Aisha pernah melakukan histerektomi. Sebagai sesama wanita, Susan merasa iba. Tetapi histerektomi harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Syahlana dan Aisha duduk saling berhadapan di sebuah kafe dekat rumah sakit. "Dunia ini sempit, ya," kata Aisha. "Begitulah. Tetapi terkadang waktu membuatnya seolah tidak terjangkau." Syahlana menyeruput teh hangatnya. "Beberapa waktu lalu aku ketemu sama temen mamaku. Dia ibu dari temen masa kecilku. Sekian puluh tahun berlalu." "Kamu bener." Aisha tersenyum. "Ujian hidupku datang terlalu berat. Aku beruntung, suamiku begitu menyayangiku. Tetapi aku juga tahu, di mana letak kebahagiaannya. Hidup berdua saja sampai tua akan menyiksa pikirannya. Meski gak dia katakan, aku tahu." "Sabar ya, Sha...." Syahlana memegang tangan Aisha. "Semua ujian pasti ada jalan keluarnya." Inilah saatnya Aisha menanyakan lebih soal kehidupan Syahlana. "Kamu sendiri
Bukan hanya sekali ini Aisha mengajak Adrian makan di restoran Syahlana. Hampir setiap beberapa hari sekali. Makan siang atau makan malam. Setiap kali itu juga, Aisha selalu menyertakan Syahlana dalam obrolan mereka. Lama-lama, Adrian bisa membaca niat Aisha."Sha, jujur sama aku. Apa tujuan kamu?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar pada istrinya."Tujuan apa sih, Mas?" Aisha balik bertanya demi menghindari prasangka. Demi mengamankan niat sesungguhnya. "Kan makanan di sana lezat. Aku sendiri gak pandai masak. Jadi, gak ada salahnya dong, aku ngajakin kamu makan di sana.""Tapi ini keseringan loh. Seminggu, kita bisa tiga kali makan di sana. Pernah gak, sekali aja kamu ngajak ke restoran lain, kalau emang tujuannya buat makan aja?" Rupanya Adrian begitu teliti mengamati gerak-gerik Aisha.Aisha mendesah. Belum saatnya ia mengungkapkan yang sebenarnya. "Ah, kamu nih, kebanyakan mikir ke mana, sih? Menu di restorannya Syahlana itu banyak. Banyak juga yang be
Dahulu, hubungan persahabatan Adrian dan Syahlana saat kecil sangat dekat dan erat. Walau sering berantem dan rebutan sesuatu, keduanya tetaplah sahabat baik yang tidak bisa dipisahkan. Ketika keluarga Sudiro membawa putra mereka pindah ke Amerika, Adrian sempat jatuh sakit karena tidak bisa lagi bertemu dengan sahabat baiknya. Saat itu komunikasi tidak semudah sekarang. Belum ada WhatsApp, apalagi melakukan panggilan video.Kala itu, Adrian kecil sampai mengalami tantrum. Tantrum biasanya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Karena itu, mereka hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara menangis, berteriak-teriak dan menjerit. Tidak hanya anak-anak yang masih kecil, anak yang lebih besar pun juga bisa mengalami tantrum. Begitulah yang terjadi kepada Adrian. Setiap hari tidak pernah absen mencari sahabatnya.Dengan bantuan psikolog anak di Amerika tempat mereka tinggal, yaitu di Los Angeles, Rosana dan Ramadhan mengatasinya.
Pagi itu. Adrian sengaja berangkat ke kantor agak siang. Katanya ada pekerjaan yang mesti segera ia selesaikan menggunakan laptop. Aisha tidak banyak menanyainya. Melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh, barulah Adrian mengungkapkan pada Aisha alasannya berangkat siang.Begitu mengetahui rencana Adrian, Aisha agak sebal. "Kok kamu gak bilang dari tadi sih, Mas? Tahu gitu aku kan bisa ikutan.""Biar kamu juga ikut merasakan kejutan ini," kata Adrian. "Yuk, kita mulai!" Ia mengajak Aisha menemui Rosana di teras belakang, sambil membawa sesuatu yang sejak kemarin Adrian simpan di dalam kulkas pribadinya di ruang kerja.Rosana sibuk merangkai bunga untuk hiasan baru di ruang tamu. Karena yang lama sudah pada layu. Sebenarnya ia sudah tahu ini hari apa, tetapi tidak satu pun orang di rumah mengingatnya. Dirinya merasa dilupakan. "Andai aku punya cucu, gak akan sebegini nelangsanya."Tiba-tiba..."Happy Birthda
Di kediaman Keluarga Sudiro malam itu, juga terjadi pembicaraan yang hampir sama. Bedanya, ini keluar dari mulut Aisha."Aku mengizinkan kamu menikah lagi, hanya dengan Syahlana. Aku gak akan rela jika posisi itu diberikan ke orang lain.""Engga, Sha. Jangan paksa aku menikah lagi hanya karena ingin punya anak. Aku gak bisa menyakiti hati kamu." Adrian masih menolak."Mas, demi aku, demi Mama, demi masa depan keluarga ini, gak ada yang tersakiti. Aku gak akan sakit hati. Sebenarnya udah lama aku menyiapkan hatiku. Menyiapkan Lana buat kamu. Aku mohon.""Gak bisa, aku gak bisa, Sayang..." Adrian terus menolak."Ayolah, Mas... Jangan menolak dulu. Kamu pikirin baik-baik. Kamu melakukannya bukan cuma buat aku."Adrian menggeleng."Kalau kamu cinta dan sayang sama aku, tolong lakukan. Nikahi Syahlana." Aisha terpaksa mengucapkan kalimat seperti ini. Agar Adrian berhenti menolak.Adrian mendekapnya. "Kalau kamu bilang Syahlana itu b
Persiapan pernikahan kedua Adrian dengan Syahlana dimulai. Aisha mendamping kedua calon mempelai ke pengadilan agama, guna mengurus pendaftaran pernikahan kedua ini. Tidak ada obrolan khusus antara Adrian dan Syahlana.Ketika ditanya mengenai kesiapan Adrian menjadi suami yang adil, dirinya terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya akan berusaha seadil-adilnya."Kemudian, Aisha menandatangani persetujuan atas pernikahan kedua suaminya.Usai dari pengadilan agama, mereka mengantar Syahlana ke restoran, karena masih harus bekerja hari itu.Rupanya, setelah mengantar Aisha pulang, Adrian kembali mampir ke restoran Syahlana. Tadinya, Adrian mau mengajaknya bicara berdua di dalam ruang kerjanya. Tetapi Syahlana menolak."Kita belum sah menjadi suami-istri," katanya. Lantas ia memanggil Lia untuk mendampingi.Tetapi Adrian memintanya memakain headset agar tidak mendengar obrolan mereka dengan jelas."Tenang aja, Mas," kata Lia. "Li