Share

Bab 6

Author: Yovana
Steven berdiri di luar pintu. Wajah tegasnya yang dalam tampak dingin dan acuh tak acuh. Dia berujar, "Aku akan melakukan perjalanan dinas selama beberapa hari. Hanna nggak bisa mengurusnya sendirian. Tolong kamu jaga dia dalam dua hari ini."

Vanesa sedang tidak enak badan, juga tidak ingin berbasa-basi dengan Steven.

"Baiklah. Kalau kamu sudah pulang dari perjalanan dinas dan ingin menjemputnya, jangan lupa untuk membawa surat cerai itu."

Setelah berkata demikian, Vanesa berbalik sambil menggendong Regan, langsung menuju kantor.

Steven berdiri di tempat, memperhatikan dalam diam sejenak.

Kemudian, pria itu menutup pintu utama studio, langsung berbalik pergi.

Di ruang istirahat, Vanesa menurunkan Regan, lalu menghela napas berat.

"Lepaskan jaketmu, lalu tidurlah."

Regan sekarang sudah sangat penurut.

Dia melepaskan jaketnya, memberikannya kepada Vanesa, lalu berkata, "Ibu, tolong bantu aku menggantungkan jaketku. Terima kasih."

Regan selalu berbicara dengan manis seperti ini.

Vanesa tersenyum kepadanya, menerima jaket itu, lalu menggantungnya di gantungan baju.

Keduanya pun berbaring di tempat tidur.

Regan memeluk lengan Vanesa, lalu bertanya, "Ibu, apakah Ibu marah karena aku pergi menemui wanita itu?"

Vanesa tertegun sejenak. Kemudian, dia menghela napas, memeluk Regan, lalu membimbingnya dengan nada lembut, "Dia adalah Ibu yang melahirkanmu. Ibu tahu akan sulit bagimu menerima hal ini dalam waktu singkat, tapi tanpa dia, nggak akan ada kamu. Jadi, nanti kamu nggak boleh memanggilnya dengan kata-kata 'wanita itu'."

Kegelisahan kecil di hati Regan pun menghilang karena kalimat dari Vanesa ini.

Ketika Regan melihat bahwa Vanesa tidak pulang saat malam, dia mengira Vanesa marah, tidak menginginkan dirinya lagi karena sudah pergi menemui Hanna.

Untungnya, dia hanya berpikir terlalu banyak!

Regan menutup mata dengan puas, lalu berujar, "Ibu, aku akan selalu mencintaimu. Nggak peduli siapa yang melahirkanku, Ibu akan selamanya menjadi Ibu kesayanganku!"

Hati Vanesa meleleh, dia menyentuh pipi kecil Regan.

"Ibu mengerti. Ibu juga berjanji padamu kalau Ibu akan selalu ada saat kamu membutuhkanku," balas Vanesa.

"Bu, Ibu sendiri yang mengatakannya, ya!" Regan menguap. "Ibu nggak boleh berbohong. Kalau berbohong, hidungmu akan memanjang!"

Vanesa terkekeh mendengar kata-katanya yang kekanak-kanakan. Emosinya yang penuh kekesalan perlahan-lahan menjadi tenang.

Vanesa menundukkan kepala, memberikan ciuman ringan di dahi Regan, lalu berkata, "Ibu nggak akan pernah membohongimu. Selamat malam."

Yang membalas Vanesa adalah suara napas Regan yang teratur.

Sekarang adalah waktu liburan semester, Regan tidak perlu pergi ke taman kanak-kanak.

Hari berikutnya, studio kembali menerima satu artefak lainnya. Bayarannya sangat tinggi, hanya saja waktu pengirimannya juga cukup ketat.

Selama dua hari berturut-turut, Regan hampir selalu bersama Vanesa di studio.

Ketika Vanesa sedang sibuk bekerja, Lucy dan karyawan lainnya akan membantu Vanesa menjaga Regan.

Selama dua tahun terakhir ini, Regan memang sudah sering datang ke sini. Dia sudah akrab dengan semua orang.

Pada pukul dua sore di hari ketiga, Vanesa akhirnya menyelesaikan pekerjaan restorasinya.

Setelah keluar dari ruang restorasi, dia berjalan menuju kantor sambil mengirim pesan WhatsApp kepada sahabatnya yang bekerja di departemen kandungan.

Vanesa: [Apa kamu ada pekerjaan sore ini?]

[Ada! Kenapa?]

Vanesa: [Tolong ambilkan nomor antrian untukku. Aku akan sampai di sana sekitar jam setengah empat.]

[Kenapa? Apa kamu hamil?]

Vanesa: [Aku nggak yakin. Haidku terlambat sekitar sepuluh hari. Beberapa hari ini, perutku juga terasa nggak nyaman.]

[Kamu terlambat sepuluh hari? Apa kamu nggak bisa membeli alat tes kehamilan untuk memeriksanya dulu?]

Ketika mendengar ini, Vanesa baru teringat dengan alat tes kehamilan yang dia lupakan di dalam tasnya.

Vanesa mengerucutkan bibir, menghela napas pelan, lalu kembali mengetik. [Aku sudah membelinya, tapi aku lupa karena sibuk.]

[Hebat sekali kamu! Kamu bisa lupa setelah membelinya! Pasti kamu lembur lagi, 'kan? Vanesa, bukannya aku ingin mengutukmu, tapi kalau suatu hari nanti kamu mati mendadak di ruang restorasi, aku juga nggak akan kaget! Cepat periksa dulu sekarang!]

Vanesa: [Aku mengerti.]

Vanesa kembali ke kantor.

Regan berbaring di sofa, tampak tertidur nyenyak. Selimut kecil di tubuhnya sudah ditendang hingga terjatuh ke lantai.

Di meja ada kotak makan siang yang belum habis.

Vanesa melangkah mendekat, mengambil selimut kecil itu, lalu kembali menyelimuti Regan.

Dia membereskan kotak makan, membuangnya ke tempat sampah, lalu membersihkan meja. Setelah kembali duduk di sofa yang lain, Vanesa mengangkat tangan untuk menyeka keringat halus di dahinya.

Perut bagian bawahnya kembali terasa tidak nyaman. Tiba-tiba, Vanesa teringat dengan alat tes kehamilan yang ada di tasnya. Ketika dia akan bangkit untuk mengambilnya, Lucy mendorong pintu, lalu melangkah masuk.

"Kak Vanesa, ada seseorang yang mencarimu di bawah."

Di bawah studio ada sebuah kedai kopi.

Begitu Vanesa melangkah masuk, dia langsung melihat Hanna yang sedang duduk di sudut.

Hanna duduk di sana, memandang ke arah Vanesa melalui kacamata hitamnya.

Vanesa mengenakan gaun berwarna aprikot, dengan balutan jaket bulu berwarna merah muda di luar. Rambutnya yang panjang hingga sepinggang, tergerai dengan alami, tampak sangat lembut.

Tubuhnya memiliki ketenangan seorang wanita dewasa. Wajahnya yang sebesar telapak tangan memiliki fitur yang halus. Dia tidak tampak sangat menakjubkan, tapi karena kulitnya yang seputih salju, entah kenapa Vanesa memberikan kesan dingin meski tanpa mengatakan apa-apa.

Ketika Hanna melihatnya berjalan mendekat, dia berdiri dengan senyuman lembut, lalu menyapa, "Nona Vanesa, silakan duduk."

Vanesa tidak duduk.

Dia tidak merasa perlu bertemu dengan Hanna secara pribadi.

"Nona Hanna, kalau ada yang ingin dibicarakan, katakan saja secara langsung."

Hanna mengangkat tangan untuk melepaskan kacamata hitamnya, lalu berujar, "Sepertinya Nona Vanesa nggak terlalu menyukaiku. Aku bisa mengerti. Aku juga baru tahu hari ini kalau ternyata Steven menipumu. Tapi Steven juga melakukan ini demi kebaikanku. Aku harap Nona Vanesa nggak menyalahkannya."

Vanesa menarik sudut bibirnya, sementara suaranya tenang ketika dia membalas, "Aku nggak menyalahkan siapa pun. Sejak awal, aku dan Steven memang hanya melakukan kerja sama yang saling menguntungkan. Mengenai Regan, dia adalah anak yang kamu kandung, serta kamu lahirkan. Kamu sepenuhnya berhak bertemu dengannya."

"Apakah Nona Vanesa benar-benar berpikir begitu?" tanya Hanna.

Vanesa mengernyitkan kening, tampak kehabisan kesabaran. "Apakah Nona Hanna mengajakku bertemu hanya untuk menanyakan pemikiranku?"

Hanna menatap Vanesa.

Dia merasa agak terkejut.

Vanesa ternyata jauh lebih tenang dari yang Hanna pikirkan.

Wanita seperti ini berada di samping Steven selama lima tahun.

Jujur saja, tidak mungkin Hanna tidak merasa terancam sedikit pun.

Namun, sekarang dia sudah kembali. Sudah waktunya bagi Vanesa untuk pergi.

Hanna mengambil surat cerai dari dalam tas.

Dia meletakkan surat cerai di atas meja, lalu mendorongnya ke hadapan Vanesa.

"Steven berpikir untuk memberikan Mansion Resta padamu. Selain itu, ada pula tambahan 100 miliar sebagai kompensasi atas kerja kerasmu selama lima tahun ini. Kalau kamu merasa nggak ada masalah dengan semua ini, tanda tangani saja suratnya," kata Hanna.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 50

    Vanesa mengerjapkan matanya. "Kamu tahu nggak kenapa aku mengetuk pintu waktu datang hari ini?"Steven tetap diam.Vanesa berkata, "Karena dalam hatiku, sejak aku menandatangani surat cerai dan pindah, Mansion Resta bukan lagi rumahku. Sudah sewajarnya mengetuk pintu saat bertamu ke rumah orang lain. Itu 'kan etika dasar."Steven mengernyit. "Regan pasti sedih kalau mendengarmu bilang begitu."Vanesa tersenyum, embusan angin menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca dengan sangat baik."Steven, kamu benar-benar pantas menjadi pengacara hebat yang ditakuti dan dikagumi semua orang. Kamu benar-benar tahu cara memanipulasi hati orang."Ekspresi Steven tetap terlihat datar, dia juga tidak membantah.Menurut Vanesa, Steven terlalu malas untuk menjelaskan.Vanesa yang dulu pasti akan merasa putus asa dan terluka.Namun, sekarang dia tidak akan merasa seperti itu lagi.Meskipun begitu, ada beberapa hal yang lebih baik dia perjelas sekarang juga."Apa menurutmu perilakuku pada Regan hari ini ag

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 49

    Wiper mobil Stella bergerak dengan gila-gilaan menghadapi hujan badai yang lebat. Stella mengemudi dengan sangat lambat.Pemanas di dalam mobil bekerja dengan sekuat tenaga dan alunan musik pelan diputar.Vanesa bersandar di kursi dengan mata terpejam, seluruh tubuhnya terlihat tenang dan damai.Stella sesekali meliriknya.Meskipun dia tidak tahu apa yang terjadi di Mansion Resta, kali ini dia bisa merasakan bahwa batin Vanesa terluka parah.Tin, tin ….Tiba-tiba, bunyi klakson mobil terdengar dari belakang.Stella melirik ke kaca spion.Sebuah mobil Maybach hitam mengejar mobil mereka ...."Apa mobil di belakang itu Steven?"Vanesa perlahan membuka matanya, lalu melirik ke kaca spion dan sedikit mengernyit. "Iya.""Dia mau menyalip!" Stella mempercepat laju mobilnya. "Eh tunggu, kok dia malah mengejar!""Abaikan saja dia.""Tentu saja nggak bisa!"Stella mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempercepat laju mobilnya. "Pegangan yang erat! Aku akan mengebut!"Akan tetapi, 60 km/jam adala

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 48

    Vanesa merasa mati rasa mendengarkan kata-kata tajam Regan.Begini juga tidak apa-apa. Dia memang bukan ibu kandung Regan. Begini juga … yang paling baik.Dengan begini, Vanesa benar-benar menarik diri dari kehidupan Steven dan Regan. Dia mengembalikan semuanya pada jalurnya!Vanesa menarik kembali pandangannya, lalu berbalik badan dan berjalan lurus keluar pintu."Vanesa ....""Uhuk! Uhuk, uhuk …."Ekspresi Steven langsung berubah. "Regan?"Regan memegangi dadanya dan terjatuh ke atas lantai dengan napas yang tersengal-sengal!"Regan!" Steven segera menggendong Regan, lalu menoleh dan berseru kepada Vanesa, "Asma Regan kambuh!"Vanesa yang hendak membuka pintu itu sontak berhenti bergerak."Ibu …. Uhuk, uhuk! Ibu …."Regan yang berada di dalam gendongan Steven tampak pucat, napasnya juga terengah-engah. Dia refleks mengulurkan tangan untuk meminta bantuan Vanesa. "Ibu, rasanya nggak enak …. Uhuk, uhuk ...."Vanesa mencengkeram gagang pintu dengan semakin kuat.Dia memejamkan matanya r

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 47

    "Aku benci padamu!"Regan melempar buku bacaan pengantar tidur ke atas lantai dan menginjak-injaknya. "Dasar tukang bohong! Kalau kamu nggak menginginkanku, aku juga nggak menginginkanmu! Aku nggak menginginkan semua ini lagi!""Regan!"Steven mencengkeram lengan Regan, wajahnya yang tampan terlihat serius. "Kalau kamu terus asal bicara, nanti Ayah pukul!"Regan meronta mati-matian, tetapi kekuatannya jauh lebih lemah dibandingkan ayahnya.Saking marahnya, Regan sampai tidak menyadari sorot tatapan marah ayahnya. Bagi Regan, dia hanya ingin melampiaskan semua amarah dan kekesalan dalam hatinya …."Aku benci sekali padanya!" Regan mengangkat dagunya dan menatap Steven dengan mata yang berkaca-kaca, sorot tatapannya terlihat keras kepala dan enggan. "Ayah sendiri yang bilang kalau dia bukan ibu kandungku! Kenapa aku harus suka padanya kalau dia bukan ibu kandungku? Aku benci! Aku benci padanya karena dia sudah berbohong padaku!"Steven sontak tertegun.Ucapan Regan yang mengatakan bahwa

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 46

    "Regan, ada yang mau Ibu jelaskan padamu."Regan sontak terdiam. Meski dia masih anak-anak, entah kenapa dia tiba-tiba merasa gelisah.Firasat Steven juga menjadi tidak enak. Dia meletakkan mangkuk dan alat makannya, lalu menatap Vanesa dengan serius."Ibu mau menjelaskan apa?" tanya Regan sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan polos."Regan, Ayah dan Ibu sudah bercerai."Vanesa menatap Regan dan berkata dengan serius, "Ayah dan Ibu sudah bukan keluarga lagi, jadi ini bukan rumah Ibu lagi. Mulai hari ini, Ibu juga nggak akan pernah ke sini lagi.""Vanesa." Steven menatap Vanesa dengan marah. "Jangan lupa janjimu padaku.""Aku menyesal," jawab Vanesa sambil menatap Steven. "Tenang saja, aku pasti akan mengembalikan 200 miliar itu padamu."Steven sontak tertegun. Dia mengernyit dengan ekspresi yang terlihat muram, seolah-olah menganggap ucapan Vanesa itu tidak masuk akal."Vanesa, kamu pikir aku peduli soal 200 miliar itu?""Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan."Vanesa menatap Re

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 45

    Vanesa mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Dia menatap wanita penjual itu sambil berkata, "Kamu salah paham, dia bukan suamiku.""Eh?" Wanita penjual itu sontak tertegun. Setelah sekian tahun menjadi seorang penjual yang profesional, baru kali ini dia gagal. Lama sekali dia tertegun hingga akhirnya berkata, "Oh, begitu, ya ...."Vanesa tidak terlalu ambil pusing. Dia mengambil sekotak iga yang berkualitas tinggi dari rak makanan segar, lalu berbalik badan dan berjalan menuju area buah dan sayur.Steven hanya menatap sosok Vanesa dengan dingin.…Saat mereka kembali ke Mansion Resta, waktu sudah menunjukkan pukul 12:00.Vanesa langsung pergi ke dapur untuk memasak.Regan sedang bermain-main dengan mainan barunya di ruang tamu.Tepat saat Vanesa mengenakan celemeknya, pintu kaca dapur terbuka.Vanesa refleks menoleh dan melihat Steven berjalan masuk."Kenapa?"Steven melirik bahan-bahan di meja dapur dan bertanya dengan tenang, "Butuh bantuan?""Nggak usah." Vanesa kembali menoleh da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status