LOGINPintu kamar utama diketuk pelan.Vanesa baru saja keluar dari kamar mandi. Dia mengenakan piyama putih dari katun, piyama itu berlengan panjang dan celana panjang, tetapi tetap tidak mampu menyembunyikan tubuhnya yang kini tampak kurus dan rapuh.Dia berjalan ke arah pintu dan membuka pintu.Steven mengerutkan alisnya, lalu bertanya, "Sudah malam begini, kenapa masih cuci rambut?""Barusan habis barbekyu, rambutku bau asap semua," jawab Vanesa."Sekarang kamu nggak boleh kena angin dingin. Biar aku bantu keringkan," ujar Seven.Vanesa tertegun sejenak, lalu buru-buru menolak, "Aku bisa sendiri.""Kamu minum dulu obatnya," kata Steven sambil mengulurkan mangkuk berisi obat. "Tenang saja, setelah rambutmu kering aku akan keluar," lanjut Steven.Vanesa sempat ragu, tetapi akhirnya menurut juga....Vanesa duduk diam di depan meja rias.Steven menyerahkan mangkuk berisi obat herbal padanya.Suhu hangatnya pas. Vanesa mengambil mangkuk itu, kemudian menunduk dan meminumnya dalam satu teguk.
Dua anak kecil baru saja dibawa Steven untuk mandi. Sekarang, seharusnya mereka sudah terlelap.Vanesa tidak berniat mengganggu, dia langsung kembali ke kamar utama....Jake baru pulang pukul setengah satu malam.Bibirnya pecah, dan di wajahnya masih tampak bekas tamparan.Sementara itu, setelah menidurkan kedua anaknya, Steven turun ke dapur untuk merebus obat herbal.Ketika dia keluar membawa semangkuk obat hangat, dia berpapasan dengan Jake.Melihat wajah Jake, Steven sedikit mengangkat alisnya dengan kejut.Sesama pria, terkadang cukup satu tatapan saja sudah bisa saling memahami.Tampak jelas, ada sesuatu yang terjadi antara Jake dan Risa.Mungkin ekspresi mengejek di wajah Steven terlalu jelas, Jake mendadak naik pitam. Dia menegurnya, "Apa yang kamu lihat? Belum pernah lihat cowok cakep digoda cewek nakal?"Belum sempat Steven menjawab, terdengar langkah kaki dari belakang.Risa, si cewek nakal yang dimaksud, muncul di ambang pintu.Dibanding Jake, Risa tampak rapi, hanya lipst
Vanesa memang tidak berniat menyembunyikan penyakitnya dari Emran.Karena Emran adalah mitra yang penting, jadi Vanesa tidak menyembunyikan perihal penyakitnya. Vanesa melakukannya untuk memudahkan penggantian orang yang bertanggung jawab atas proyek tersebut nantinya.Saat ini, hanya Grup Angeli yang belum menemukan manajer yang cocok. Perusahaan lainnya memiliki manajer yang cakap, jadi Vanesa tidak khawatir.Meskipun Cici cukup cakap, dia belum mampu menangani segala sesuatunya secara mandiri. Selama ketidakhadiran Vanesa, Grup Angelic mampu tetap stabil berkat dukungan dari Tuan Ketujuh di balik layar.Akan tetapi, Tuan Ketujuh tidak berminat menjalankan perusahaan. Jadi, pilihan kedua Vanesa adalah Emran.Emran memiliki kepekaan yang unik dan tajam terhadap bidang investasi film dan televisi. Jika Vanesa dapat membujuk Emran untuk berinvestasi di Grup Angelic dan mengambil alih Grup Angelic, maka masa depan Grup Angelic tidak perlu dikhawatirkan.Vanesa sangat mengagumi Emran.Nam
"Oke."Alex menemukan papan cuci di ruang cuci, lalu mengambil kunci kamar mandi cadangan dari Vanesa dan naik ke atas tanpa menoleh ke belakang.Steven mengusap hidungnya. "Jadi begitu caranya."Vanesa melirik Steven.Steven juga balas menatap.Mereka berdua saling bertatapan dan suasana mendadak menjadi hening.Beberapa detik kemudian, Vanesa yang lebih dulu mengalihkan pandangan dan berbalik badan untuk berjalan keluar.Steven menatap punggung ramping Vanesa dan menghela napas dalam diam....Suasana di halaman belakang sangat semarak.Emran, Cici, Lucy dan yang lainnya sedang bermain dengan anak-anak.Bella dan Alfredo sangat menawan, cerdas dan imut. Terlebih lagi, Bella memiliki suara yang merdu dan sangat fasih berbicara. Dia juga sangat peka, membuat para orang dewasa merasa sangat senang.Lucy dan Cici mengeluarkan ponsel mereka, mereka memotret Bella dan Alfredo dari semua sudut .... Pose berlutut, berbaring, horizontal, vertikal .... Pokoknya memotret dari segala sudut.Perg
Alex sontak tertegun."Dokter Alex, kamu adalah suaminya Stella, orang yang akan menemaninya seumur hidup. Kalian itu pasangan yang setara. Kamu harus selalu mengutamakan perasaannya. Mengendalikannya dengan dalih kasih sayang bukanlah cinta, melainkan pengekangan dan pemerasan secara emosional. Aku nggak bisa banyak berkomentar tentang Rina, tapi kamu adalah suaminya Stella. Kalau kamu nggak bisa mendampinginya, keluarga kalian justru hanya akan membuat Stella merasa tertindas."Alex langsung mengerti.Sebenarnya, dia juga menyadari bahwa Rina terlalu mengekang Stella."Aku akan mencari cara untuk membujuk ibu mertuaku." Alex menatap Vanesa dengan sungguh-sungguh. "Terima kasih. Aku bertindak impulsif malam ini. Akhir-akhir ini dia sering mengungkit-ungkit soal mau ke luar negeri, jadi aku merasa dia nggak peduli denganku ataupun anak kami ....""Hal terpenting antara suami dan istri adalah komunikasi." Vanesa memandang Alex. "Stella bukan orang yang keras hati. Kalau kamu berbicara b
Alex merendahkan suaranya, nadanya menjadi lebih serius. "Bu, semua itu sudah berlalu. Tolong jangan mengungkitnya lagi di depan Stella.""Mana mungkin Ibu berani mengungkitnya? Stella pasti akan mulai berdebat dengan Ibu begitu Ibu menyebut soal itu!"Rina mendengkus, nada bicaranya terdengar jengkel. "Pada akhirnya, Ibu-lah orang jahatnya. Tapi, Ibu hanya punya satu anak perempuan. Bagaimana mungkin Ibu tega menyakitinya? Waktu Stella terbaring di ICU dan nyawanya berada di ujung tanduk, Ibu berkonsultasi dengan seorang peramal. Peramal itu mengatakan bahwa peruntungan Vanesa terlalu buruk, dia itu orang yang nggak beruntung dan Stella terlibat karenanya. Ibu bukannya menyalahkan Vanesa, tapi Ibu takut padanya tahu? Alex, kamu tahu kalau hanya segelintir orang terdekat Vanesa yang bisa hidup bahagia. Bukannya mantan suaminya juga tiba-tiba meninggal dalam kecelakaan tahun lalu?""Ibu!" sela Alex yang tidak tahan lagi. "Steven masih hidup dan sehat. Semua itu hanya kesalahpahaman. Tap







