Share

Bab 5

Penulis: Yovana
Hanna melepaskan Regan, mengambil banyak hadiah dari sofa di sampingnya.

"Ibu membelikan semua ini untukmu. Lihatlah, apa ada yang kamu suka?"

Mata Regan berbinar. "Itu Iron Man!"

"Regan, apa kamu menyukainya?" Hanna mengusap kepalanya, lalu melanjutkan, "Ini edisi terbatas. Ibu meminta tolong pada beberapa teman untuk mencarikannya. Susah sekali untuk bisa membelinya."

"Terima kasih, Ibu!" Regan menerima Iron Man itu, suara kekanak-kanakannya yang jernih bergema di seluruh mansion, "Ibu baik sekali!"

Hanna tersenyum di balik air matanya, lalu berujar, "Sayang, akhirnya kamu mau memanggilku Ibu."

"Ayah tadi sudah mengatakannya padaku kalau Ibu mengalami banyak penderitaan untuk melahirkanku."

Regan meletakkan Iron Man, mengambil tisu untuk menyeka air mata Hanna, lalu melanjutkan, "Ibu, maafkan aku. Tadi pagi aku seharusnya nggak bersikap seperti itu pada Ibu. Aku nggak akan bersikap seperti itu lagi."

Ketika mendengar ini, Hanna menangis lebih keras lagi, terlihat makin menyedihkan.

"Sayang, kamu nggak bersalah. Ibu yang salah. Nanti Ibu pasti akan berusaha sepenuhnya menjadi Ibu yang baik," kata Hanna.

"Ibu baik, kok!" Regan memeluk Hanna dengan inisiatifnya sendiri, lalu melanjutkan, "Ayah mengatakan kalau Ibu selalu menyayangiku. Nanti aku juga akan menyayangi Ibu!"

Hanna menatap Steven dengan air mata yang mengalir lebih deras, lalu berkata, "Terima kasih, Steven."

Steven mendekat, memberikan sapu tangannya pada Hanna sambil berujar, "Ini yang seharusnya aku lakukan. Jangan menangis lagi, nanti Regan akan sedih."

"Benar, Bu. Ibu cantik sekali, jangan menangis. Kalau menangis, nanti bisa menjadi jelek!" kata Regan.

Setelah mendengar ini, Hanna menerima sapu tangan dari Steven, menyeka air matanya, lalu berujar, "Baiklah, Ibu nggak akan menangis."

Ibu dan anak yang akhirnya bersatu kembali ini tampak hangat dan manis.

Regan yang menerima banyak hadiah, memeluk hadiah-hadiah itu, lalu duduk di sofa untuk bermain.

Hanna duduk di samping memperhatikan, dengan kelembutan yang tampak di matanya.

Steven duduk di sofa tunggal di sampingnya, menunduk menatap ponselnya untuk menangani pekerjaan.

Hanna menoleh menatap Steven, seolah ragu sejenak, sebelum akhirnya berkata pelan, "Apa rencanamu terhadap Nona Vanesa?"

Ketika mendengar ini, Steven mengangkat kepala dengan ekspresi acuh tak acuh, lalu membalas, "Aku akan menanganinya dengan baik."

"Beberapa tahun ini, Nona Vanesa sudah merawat Regan dengan baik. Jujur saja, hatiku selalu merasa kasihan padanya," ucap Hanna.

"Ini bukan salahmu." Suara Steven terdengar rendah ketika berujar, "Regan memang anakmu."

"Ya, Bu!" Regan mengangkat kepala dari tumpukan mainan, mulut kecilnya manis seperti madu, "Aku dilahirkan oleh Ibu, jadi wajar kalau aku mengakuimu sebagai ibuku! Lagi pula, Ibu cantik sekali. Ayah mengatakan kalau aku lucu karena Ibu cantik!"

"Penyanjung kecil!" Hanna mengetuk ujung hidung Regan, lalu membalas, "Jangan sampai kamu bicara seperti ini di depan Ibu Vanesa. Dia akan marah."

"Nggak akan!" Regan sangat percaya diri. "Dia paling nggak sanggup marah padaku!"

Pada saat ini, Steven menerima telepon tentang urusan pekerjaan.

Dia bangkit berdiri sambil berujar, "Aku akan kembali ke kantor dulu."

"Baiklah, lakukan saja pekerjaanmu. Regan akan menemaniku." Hanna berhenti sejenak, sebelum lanjut bertanya, "Apa kamu akan pulang untuk makan malam?"

Steven mengerutkan bibir, memikirkannya sejenak, lalu menjawab, "Setelah selesai kerja aku akan pulang."

"Kalau begitu, hati-hati di jalan," balas Hanna.

"Sampai jumpa, Ayah!" kata Regan.

Steven menanggapi dengan gumaman acuh tak acuh, lalu berbalik pergi.

Larut malam, lampu masih menyala di ruang studio restorasi.

Rambut panjang sepinggang wanita itu disanggul dengan jepit rambut. Ini memperlihatkan leher putih jenjangnya. Di batang hidungnya, tersampir kacamata pelindung. Kedua tangannya yang memakai sarung tangan putih tampak memegang alat.

Dia menundukkan kepala dengan pandangan yang fokus, sedang melakukan restorasi terakhir pada sebuah artefak.

Orang lain sudah pulang, membuat seluruh lantai sangat sepi. Hanya ada suara halus saat Vanesa bekerja.

Makin hidup tidak sesuai dengan keinginan, makin dia tidak boleh lengah dalam pekerjaan.

Selama bertahun-tahun ini, setelah melihat berbagai sifat manusia, Vanesa perlahan memahami satu kebenaran. Sifat manusia sulit dikenali, hati manusia sulit ditebak. Hanya uang dan pekerjaan yang bisa dia pegang teguh dengan usahanya.

Lima tahun lalu, demi tinggal di Kota Amari untuk merawat Regan, Vanesa melepaskan kesempatan yang direkomendasikan mentornya. Mentornya yang merasa marah, memutuskan hubungan dengan Vanesa.

Ini adalah penyesalan terbesar Vanesa hingga kini.

Dia selalu merasa tidak layak mendapatkan bimbingan dan perhatian dari mentornya. Jadi, selama lima tahun ini, Vanesa tetap menggunakan waktu luangnya untuk membeli materi, terus belajar untuk meningkatkan kemampuan dirinya.

Setelah lulus kuliah, Vanesa mengambil pinjaman untuk membuka studio.

Saat ini, studio sudah mulai berjalan dengan lancar. Penghasilan dari pesanan yang Vanesa terima juga makin tinggi.

Tabungan pribadinya juga sudah cukup untuk dia dan ibunya hidup bebas dari kekhawatiran seumur hidup.

Sebenarnya, semuanya berkembang ke arah yang baik.

Sedangkan untuk orang-orang yang tidak bisa Vanesa dapatkan, belajar menjauh dari mereka saja sudah bisa disebut sebagai kedewasaan ....

Setelah menyelesaikan pekerjaan restorasi terakhir, Vanesa memasukkan artefak ke dalam wadah.

Setelah kembali ke kantor pribadinya, dia mengambil segelas air hangat, lalu meminumnya hingga habis.

Vanesa melirik kalender di atas meja sambil meletakkan gelas air.

Vanesa mengambil pena, menandai tanggal hari ini di kalender dengan tanda silang.

Tinggal 8 hari lagi sebelum akhirnya ibunya akan dibebaskan.

Perkiraan cuaca pada hari itu menunjukkan bahwa cuaca akan cerah.

Bzzt ….

Ponsel di saku Vanesa bergetar.

Itu adalah telepon dari Steven.

Vanesa mengernyitkan kening, menarik napas dalam, lalu menekan tombol untuk menerima telepon.

"Kapan kamu akan kembali?" Suara rendah Steven terdengar dari ujung lain telepon.

Vanesa melihat jam. Sekarang sudah pukul 2 pagi.

Dia merasa sedikit lelah, serta tidak berencana mengemudi setengah jam untuk pulang.

Sambil mengusap lehernya yang pegal, Vanesa bertanya dengan nada dingin, "Ada apa?"

"Regan menunggumu pulang untuk membacakan cerita sebelum tidur," kata Steven.

Tangan Vanesa yang mengusap lehernya terhenti.

Ketika teringat kejadian siang tadi ketika Steven menggendong Regan pergi untuk menghibur Hanna, hatinya merasa tidak nyaman.

"Hari ini aku nggak akan pulang." Suara Vanesa acuh tak acuh, tanpa emosi. "Kamu bujuk saja dia."

Setelah berkata demikian, Vanesa langsung menutup telepon.

Namun, detik berikutnya Steven menelepon lagi.

Vanesa yang merasa sedikit kesal, langsung mematikan ponsel, lalu melemparkannya ke meja. Kemudian, dia membuka pintu ruang istirahat, langsung melangkah masuk.

Orang yang bekerja dalam bidang restorasi sering bekerja lembur. Jadi, saat merenovasi studio dulu, Vanesa membuat satu ruang istirahat terpisah di kantor pribadinya.

Ruang istirahat ini memiliki kamar mandi, perlengkapan hidup sehari-hari, serta pakaian ganti.

Terkadang, saat terlalu sibuk bekerja, Vanesa juga akan membawa Regan ke sini. Setelah membujuk Regan untuk tidur, baru Vanesa akan pergi bekerja lembur.

Oleh karena itu, di ruang istirahat ini juga ada kebutuhan sehari-hari Regan.

Vanesa sudah selesai mandi dan berganti piyama. Baru saja dia akan tidur, tiba-tiba terdengar suara anak menangis dari luar.

"Ibu! Ibu, buka pintunya …."

Vanesa terkejut.

Apakah itu Regan?

Vanesa melangkah keluar dari kantor, bergegas menuju pintu utama studio.

Di balik pintu kaca, Steven tampak menggendong Regan yang terus menangis menatapnya.

Regan mengenakan jaket bulu, serta hanya memakai piyama di dalamnya.

Kedua kakinya tampak kosong, bahkan tidak memakai kaus kaki.

Suhu luar ruangan pada malam hari di Kota Amari sangatlah dingin.

Daya tahan tubuh Regan tidak begitu baik, bagaimana kalau dia sampai masuk angin?

Vanesa yang merasa kesal, maju untuk membuka pintu, lalu berujar, "Kenapa kamu masih membawanya keluar malam-malam begini ...."

"Ibu!"

Regan langsung melepaskan diri dari pelukan Steven, lalu berlari ke pelukan Vanesa.

Vanesa tanpa sadar mengulurkan tangan untuk menangkapnya.

Regan memeluk erat leher Vanesa, membenamkan wajahnya di lekukkan leher Vanesa, lalu menangis tersedu-sedu.

"Apa Ibu nggak menginginkanku lagi? Huhuhu …. Ibu, tolong jangan membuangku …."

Vanesa mengernyitkan kening, wajahnya agak pucat.

Perut bagian bawah yang tadinya sudah tidak terasa sakit, tiba-tiba terasa sakit lagi ….
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 198

    Hanna menarik pandangannya, bangkit berdiri, lalu berjalan menuju lantai dua.Camelia sudah lama berada di kamar, entah sedang melakukan apa.Hanna tidak suka mengurus anak. Terutama karena Regan belakangan ini sangat rewel, membuat Hanna sangat terganggu!Selain itu, pernikahannya sudah makin dekat. Anak Vanesa tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi!Hanna harus menyingkirkan anak di perut Vanesa sebelum pernikahannya!Hanna tiba di luar kamar Camelia. Pintunya tidak tertutup rapat. Hanna baru saja ingin mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, tetapi dia mendengar suara percakapan dari dalam."Zeus! Aku menyuruhmu menyingkirkan Vanesa, tapi sebelum bertindak kamu harus mengonfirmasikan waktunya denganku dulu!"Gerakan Hanna terhenti.Zeus?Kenapa nama ini terdengar tidak asing?Hanna mengintip melalui celah pintu. Camelia tampak duduk di tempat tidur sambil membelakangi pintu. Meskipun tidak bisa melihat ekspresinya, dari nada bicaranya yang sekarang, jelas Camelia sangat marah."Kamu m

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 197

    Di Mansion Burla.Hanna melangkah masuk dari luar.Regan sedang duduk di sofa sambil membaca buku bergambar. Ketika mendengar langkah kaki, dia mengangkat kepala dan melihat Hanna, lalu langsung membuang buku bergambar yang dipegangnya."Ibu!"Regan berlari menghampiri, memeluk Hanna dengan erat, lalu mengangkat dagu untuk menatap Hanna. "Ibu, kamu pergi ke mana?"Hanna mengelus kepalanya. "Ibu pergi untuk mengurus sesuatu. Bagaimana kondisimu hari ini?""Tenggorokanku sudah nggak sakit lagi." Regan mengerucutkan bibir. "Ibu, aku ingin makan permen lolipop, tapi Nenek nggak mengizinkan.""Bukan Nenek yang nggak mengizinkan, tapi kamu memang nggak boleh makan permen," kata Hanna.Hanna menggandeng tangannya, lalu berjalan ke sofa untuk duduk. "Coba kamu pikirkan. Dulu ketika kamu tinggal dengan Ibu Vanesa, apakah kamu pernah makan camilan?"Regan berpikir sejenak, lalu menjawab dengan jujur, "Ibu Vanesa jarang memberiku camilan, tapi sesekali ketika aku bersikap baik, dia akan memberiku

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 196

    "Aku akan mencari Steven." Wajah Hanna terlihat tegang, matanya memerah seperti habis menangis. "Bu, kalau aku nggak pergi sekarang, Steven akan direbut oleh Nona Vanesa!""Ada apa?" tanya Camelia."Aku akan menceritakannya nanti setelah pulang. Kelvin, siapkan mobilnya," ujar Hanna.Kelvin segera pergi ke garasi untuk mengeluarkan mobil.Hanna naik ke mobil dengan terburu-buru.Ketika melihat mobil yang menjauh, Camelia makin merasa ada yang tidak beres. Dia menyuruh pelayan untuk menjaga Regan, lalu bergegas masuk ke rumah.…Di rumah sakit, di ruang kantor pribadi Alex.Steven berdiri di tepi jendela dengan jari-jarinya menjepit rokok, lalu menghisapnya perlahan.Sebenarnya, Steven tidak terlalu kecanduan merokok, dia jarang sekali merokok.Namun, sejak masuk hingga sekarang, dia sudah menghabiskan dua batang.Ini baru kurang dari sepuluh menit!Alex tidak tahan melihatnya. Ketika Steven mengambil batang ketiga dan bersiap menyalakannya, Alex melangkah maju, merebut rokok itu, lalu

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 195

    Ketika Alex melihat keadaan Steven yang seperti ini, dia mendesah tak berdaya.Alex berpikir dalam hati, 'Kalau wanita sudah menjadi kejam, mereka sungguh menakutkan!'Mereka bahkan berani memalsukan sesuatu seperti pengangkatan rahim. Ini adalah penipuan medis!Untuk sesaat, Alex juga merasa bingung.Dia tidak tahu apakah keputusan yang diambilnya hari ini benar atau salah.Jika sampai semuanya terbongkar, mengingat kepribadian Steven, dia pasti tidak akan melepaskan Stella!Pada saat itu, Stella mungkin akan menghadapi masalah sengketa medis perdata.Namun, keadaannya sudah seperti ini. Mereka hanya bisa melangkah sambil melihat situasi!…Di ruang gawat darurat, kondisi Vanesa sudah stabil.Bu Llyod menatap Stella dengan ekspresi serius, lalu berujar, "Stella, apa yang kamu lakukan? Kalau sampai ketahuan, apa kamu tahu betapa seriusnya konsekuensinya?"Stella membalas, "Bu Llyod, maaf. Aku tahu kalau aku nggak seharusnya melakukan ini, tapi ...."Stella menatap Vanesa yang masih tid

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 194

    Steven terdiam di tempat.Dia tidak bisa bereaksi untuk waktu lama.Pada saat ini, banyak detail masa lalu yang muncul satu per satu di benaknya. Semuanya berputar dengan cepat.Steven teringat pada malam Tahun Baru itu. Vanesa mengatakan bahwa dia tidak enak badan, tetapi Steven berpikir bahwa dia hanya sedang merajuk. Jadi, Steven tidak menghiraukannya ....Sekarang jika dipikir-pikir, waktu itu seharusnya Vanesa sudah hamil.Beberapa kali setelahnya, ketika Regan mendekatinya, Vanesa selalu melindungi perutnya tanpa sadar ....Ponsel di saku bergetar. Steven tahu itu adalah telepon dari Hanna. Namun, saat ini dia tidak ingin menjawabnya.Steven berjalan satu langkah demi satu langkah dengan berat, menuju ruang gawat darurat.Alex mengikutinya dari belakang.Sesampainya di depan ruang gawat darurat, Alex baru berkata, "Keguguran waktu itu membuatnya menderita cedera parah. Tubuhnya nggak akan pernah pulih. Kamu melihatnya sendiri. Di Giyana, waktu itu dia langsung sakit begitu mendar

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 193

    Maybach berhenti mendadak di depan pintu ruang gawat darurat.Alex langsung berlari membuka pintu kursi belakang.Steven menggendong Vanesa keluar dari mobil sambil berkata, "Dia berdarah, sudah nggak sadarkan diri!""Taruh dia di brankar dulu, lalu bawa ke ruang gawat darurat," kata Alex.Steven meletakkan Vanesa di brankar, sementara petugas medis langsung mendorong brankar menuju ruang gawat darurat.Bu Llyod dan Stella mengikuti, sementara Alex menahan Steven yang hendak mengejar, "Jangan panik dulu, bersihkan dulu noda darah di tubuhmu. Pergilah ke ruang istirahatku saja, aku punya baju bersih di sana.""Nggak perlu, aku ingin tahu apakah dia benar-benar hamil." Jakun Steven bergerak dengan susah payah, "Kalau dia memang hamil ... aku juga ingin tahu apakah bayinya masih ada."Steven menepis tangan Alex, langsung melangkah menuju ruang gawat darurat."Jangan terburu-buru dulu. Aku tadi sudah bertanya pada Bu Stella." Alex mengejar Steven, memutuskan untuk bertindak nekat!"Sudahla

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status