Eza mencengkeram kuat kemudi yang tak bersalah. Hatinya penuh gemuruh dan ia merasa kacau. Ia bingung harus bersikap bagaimana sekarang di hadapan wanita pujaannya.
Eza membuant napas kasar dengan sekali hentak. Lalu perlahan ia menatap Naura yang terus menatap keluar jendela.
Ada sebuah pertanyaan yang terngiang di kepala Eza, yang ragu untuk ia tanyakan tapi dia sangat penasaran akan kenyataannya. Akhirnya pertanyaan itupun terucap, keluar dari mulutnya.
"Naura, apa hubungan kalian sebenarnya?"
Deg!
Naura langsung mematung dengan jantung yang seakan berhenti bekerja. Napasnya tercekat hanya karena satu pertanyaan yang mungkin bisa membunuhnya.
Naura sama sekali belum siap untuk mengungkit masa lalunya, apalagi menceritakannya pada Eza. Bukannya Naura ingin terus menyembunyikan masa lalunya dari calon suaminya, tetapi Naura merasa itu tidaklah penting untuk dibicarakan. Namun sekarang justru Eza sendiri yang menangkap basah penggalan masa lalunya. Bagaimana lagi Naura bisa mengjindar?
"Naura, please, jangan diam aja. Aku hanya ingin tahu ada hubungan apa di antara kamu dan pemimpin Dynamite itu?" tanya Eza untuk kedua kalinya.
"Kami hanya memiliki hubungan pekerjaan, hubungan kami adalah boss dan karyawannya." Tanpa memandang Eza, Naura menjawab dengan cepat namun terdengar ada getaran pada suaranya.
"Aku percaya padamu, Naura, sepenuhnya. Tapi aku nggak bodoh. Aku melihat interaksi kalian yang penuh emosional tadi. Jadi, bisakah kamu jujur sama aku, Naura?" Dengan nada memohon Eza berkata pelan.
Naura mengerjap-ngerjapkan matanya yang memanas. Sepertinya dia memang harus jujur pada Eza.
Naura menelan salivanya susah payah, bahkan hingga ia hampir tersedak. Kalimatnya tertahan di tenggorokan. Lidahnya kelu.
Eza meraih tangan Naura, meremasnya pelan kemudian membawanya ke bibirnya untuk diciumnya punggung tangan kekasihnya itu.
"Naura—"
"Kita—maksudku, aku dan dia pernah ... pernah ...." Sulit sekali Naura meluncurkan kalimat yang telah sampai di kerongkongan. Eza sama sekali tak menyela, ia setia menunggu Naura melanjutkan kalimatnya lagi, menatap Naura dengan tatapan sendu.
Naura membuang napas berat.
"Dulu, sebelum aku pindah ke kota ini, kami pernah memiliki hubungan. Sekarang tidak ada hubungan apa-apa lagi diantara kita," jelas Naura mulai dapat berbicara dengan lancar.
"Apa hubungan kalian telah berakhir?"
"Selama lima tahun kami nggak saling berkabar, aku anggap hubungan itu sudah berakhir."
"Tapi sepertinya dia memiliki anggapan yang berbeda, Naura. Dia masih menyebutmu kekasihnya di depanku," kata Eza berargumen.
"Aku ... aku menganggap kami selesai. Mana mungkin aku bertahan atau mempertahankannya kalau dia sendiri tidak mau dipertahankan," tutur Naura.
"Apa maksudnya?"
"Eza, tolong, aku nggak mau bahas ini lagi. Aku nggak mau mengungkit masalah ini. Aku nggak mau membahas tentang dia," kata Naura penuh nada frustrasi.
"Heuh ...." Eza menghela napas berat.
Eza akhirnya menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah. Ia masih ingin banyak bicara dentan Naura.
"Naura, boleh aku minta sesuatu sama kamu? Bisakah kamu memenuhi satu permintaanku?" bisik Eza hampir tak terdengar.
Naura merinding mendengar ucapan Eza, ia memiliki firasat yang tidak baik. Seperti sudah terlintas di kepalanya apa yang akan Eza minta.
"Apa?" tanya Naura singkat.
"Bisakah kita bicarakan pernikahan kita? Bisakah kita melangsungkan pernikahan kita dalam waktu dekat?"
"Eza, a-ak-aku—"
Eza terkekeh. "Aku tetap nggak akan memaksa kamu, Ra. Aku juga tahu kamu akan jawab apa," celetuk Eza membuat gelenyar menyakitkan di hati Naura.
"Eza, aku—maafin aku, aku benar-banar masih belum memikirkan hal itu."
"Meskipun kita sudah bertunangan selama hampir dua tahun?" pincing Eza.
Naura menengadah sambil memejamkan mata sangat rapat. Kemudian ia melengos membuang pandangannya ke luar jendela.
"Mungkin kamu terlalu nggak sabar nunggu aku. Kalau kamu sangat ingin menikah, kamu boleh menikah dengan wanita yang mau kamu ajak menikah segera, Za."
Ucapan Naura langsung membuat Eza naik pitam. Ia mencengkeram kemudi sangat kuat lalu menekan pedal gas dalam, membuat mobil melaju sangat kencangnya.
"Eza, Eza, apa yang kamu lakukan? Cepat turunkan kecepannya, aku nggak mau mati sekarang!" pekik Naura ketakutan.
Ckit!
Eza langsung menghentikan laju mobilnya dengan mendadak, tak peduli meski itu di tengah jalanan. Eza hampir kehilangan akal.
Rahang Eza mengeras. Kentara sekali ia marah, marah besar. Tatapan matanya tajam lurus ke depan dengan mata yang memerah dipenuhi kabut amarah.
"Bisa katakan sekali lagi? Apa kamu bilang kamu memintaku menikahi wanita lain, Naura?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Eza sangat menusuk, menyayat-nyayat hati Naura. Naura sama sekali tidak ada maksud seperti itu, tapi entah mengapa kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulutnya.
"A-aku nggak memintamu untuk melakukan itu, sama sekali bukan seperti itu maksudku. Ma-maaf, aku cuma takut kamu bosan menunggu," jelas Naura pelan.
Eza tertawa sinis. "Ini pertama kalinya kamu bicara seperti ini, dan itu setelah kamu bertemu kekasihmu. Apa kamu masih memiliki perasaan terhadapnya?" sinis Eza.
"Dia bukan kekasihku, Za—"
"Dia kekasihmu, Naura!" sela Eza dengan nada suara tinggi. Pertama kalinya Eza menyentak Naura seperti ini.
"Iya, tapi itu di masa lalu. Sekarang kita nggak ada hubungan apa-apa, Eza."
"Oh, kalau begitu, bisakah kamu tinggalkan perusahaan itu? Kamu boleh bekerja dimanapun tapi jangan di perusahaan itu."
"Aku nggak bisa pergi dari sana, Za, aku nggak bisa," kata Naura sembari menggeleng kuat.
"Kenapa, Naura? Terlihat jelas dia masih mengejarmu, apa kamu nggak sadar aku cemburu?"
"Eza, aku nggak bisa keluar begitu saja, aku harus membayar uang kompensasi sebesar satu milyar."
"Apa?" pekik Eza tertahan.
"Ck, dia sangat licik!" Umpat Eza.
Eza menjambak rambutnya sendiri melampiaskan kemarahannya.
"Aku antar kamu pulang."
Eza kembali menyalakan mobilnya dan melajukan mobilnya meneruskan perjalanan. Pada sisa perjalanan mereka habiskan dengan keheningan yang mencekam.
***
Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya Naura dan Eza sampai di rumah Naura. Eza memberhentikan mobilnya di luar gerbang rumah Naura.
"Eza, ayo masuk, mampir dulu. Ini masih sore kan?" Naura berusaha menciptakan atau memelihara komunikasi diantara keduanya. Sebelumnya mereka memang berdebat, tetapi Naura ingin memberbaikinya sekarang.
Jika suatau hubungan menemui masalah maka bukan hubungannya yang harus diakhiri, tetapi masalahnya yang harus diselesaikan, benar?
Eza tak membalas. Eza setia pada kebisuannya.
"Eza, tolong, kita bisa bicarakan ini baik-baik kan? Kamu selalu percaya aku kan? Dan sekarangpun kamu bisa mempercayai aku, Eza. Kamu tahu kan aku selalu menganggapmu penting, jadi jangan terkecoh dengan kecemburuanmu," bujuk Naura.
"Kamu mau kita bicara dengan kepala dingin kan? Dan bukan sekarang saatnya. Aku harus menenangkan diri dulu. Aku langsung pulang aja." kata Eza datar dan tanpa menolah sedikitpun.
Naura menghela napas. "Baiklah. Kamu hati-hati. Aku mencintaimu, Eza, selalu."
Naura turun dari mobil setelah menyelesaikan kalimatnya. Sedangkan Eza sama sekali tidak berniat menanggapi pernyataan cinta dari gadis yang selama ini menjadi pujaannya. Tanpa mengekuarkan sepatah katapun, Eza melajukan mobilnya dengan kencang.
Naura menatap kepergian Eza tanpa berkedip.
"Apa yang sebenarnya Tuhan rencanakan? Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Dan Eza ...."
***
"Pak Alfa, ini keputusan yang sangat sulit yang harus kalian putuskan. Karena kalian harus memilih salah satu di antara mereka. Kalian memilih menyelamatkan ibunya atau anak yang dikandungnya?"Alfa langsung merasa kebas. Ia hampir ambruk karena seluruh tulangnya serasa diloloskan dari tubuhnya."Nggak mungkin! Nggak mungkin saya pilih salah satu diantara mereka. Selamatkan istri dan anak saya, Dokter. Dokter harus menyelamatkan mereka!" Alfa berteriak kapal. Nalin memegangi Alfa sambil meneteskan air mata. Pada akhirnya keputusan sulit ini harus diambil."Alfa, tenanglah, Nak," lirih Nalin."Bagaimana aku bisa tenang, Bu, anak dan istriku sedang berjuang tapi aku harus memilih salah satu dari mereka. Aku nggak mungkin bisa memilih, Bu," balas Alfa masih juga berteriak.Tak hanya Alfa yang terkejut dan kesulitan mengambil keputusan. Semua orang disana merasakan hal yang sama.Dahayu sudah menangis, Dharma memeluk istrinya. Begitu pula dengan
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?""Pasien sangat lemah. Pendarahan yang terjadi cukup menguras banyak darah. Saat ini pasien masih harus istirahat," jelas dokter."Tapi dia baik-baik aja kan, Dok? Dia pasti sembuh kan, Dok?" tanya Alfa lagi.Dokter itu menghela napas berat, seberat ia menjelaskan keadaan pasiennya yang sebenarnya.Sebagai seorang dokter Lily bertekad untuk selalu mengatakan hal-hal baik karena ucapan adalah doa. Dan juga dokter Lily selalu berusaha menjaga perasaan keluarga pasien agar tidak down."Berdoalah yang terbaik untuk pasien. Hanya Allah yang bisa menolongnya," ujar dokter Lily dengan senyum optimis, mencoba memancarkan sinyal positif meskipun sebenarnya ia sendiri merasa tidak seoptimis itu."Bolehkah saya menemui istri saya, Dok?"Dokter Lily mengangguk. "Silakan berikan kekuatan pada istri anda. Tapi tolong jangan mengganggu istirahatnya. Dia sangat lemah, sebaiknya jangan membangunkannya selama pasi
Vano uring-uringan sendiri di depan ruang IGD. Alfa benar-benar membuatnya tak habis pikir. Disaat istrinya berjuang untuk bertahan hidup dia malah melakukan hal yang tidak bisa dibenarkan. Ya Tuhan ....Vano sangat ingin menyusul Alfa tapi dia juga tidak bisa meninggalkan Safira sendiri apalagi di rumah sakit. Vano merasa serba tak mampu sekarang."Sayang, tenanglah ... kita beritahu pada tante Nalin saja nanti kalau dia sudah datang. Tante Nalin pasti bisa mengurus Alfa. Tenang yaa ... aku udah menelpon mereka, sebentar lagi pasti mereka datang," kata Safira membujuk suaminya.Untuk menghargai usaha istrinya, Vano melempar senyum sambil mengangguk meski sebenarnya ia tetap tidak tenamg. "Iya, kita tunggu mereka saja."Dan ya, orang tua Naura dan orang tua Alfa akhirnya datang tak lama kemudian."Vano, Safira, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Naura?" tanya Dahayu sangatlah panik. Keringat dingi bercucuran dimana-mana."Tante, kami nggak
Semakin hari usia kandungan Naura semakin bertambah. Perutnya pun semakin membesar. Saat ini kandungannya sudah berumur tujuh bulan.Karena perutnya semakin membesar Naura berpikir untuk mulai mempersiapkan kebutuhan bayi mereka. Mulai dari kamar bayi dan segala perlengkapannya, dan juga lain-lain lagi.Hari ini Naura mengajak Alfa pergi berbelanja baju bayi. Mereka mengunjungi baby shop terbesar agar mereka leluasa untuk memilih segala kebutuhan bayi mereka.Oh ya, Alfa dan Naura sengaja tidak ingin mengetahui terlebih dahulu apakah bayinya perempuan atau laki-laki meski dokter bisa saja memberitahu mereka. Mereka sengaja ingin menjadikan itu sebagai sebuah kejutan bagi mereka.Karena mereka belum tahu apakah anak mereka perempuan atau laki-laki, maka mereka berbelanja barang-barang yang netral saja, yang sekiranya cocok dipakai bayi perempuan maupun laki-laki, seperti warnanya yang netral untuk perempuan atau laki-laki, seperti warna biru, putih, atau k
Hari ini Naura pergi ke kantor suaminya. Ia merasa bosan harus berada di rumah sebesar itu sendirian.Para karyawan mengangguk sopan menyapa Naura—Bu boss.Naura membuka pintu ruangan Alfa dan ia melihat Alfa dan Vano terngah saling berdekatan, sangat dekat. Bahkan wajah mereka hampir saling menempel."Kalian lagi ngapain?" tanya Naura memasuki ruangan. Alfa dan Vano langsung menoleh bersamaan dan Vano pun bergerak menjauh."Kok kalian deket-deketan gitu? Kalian nggak belok kan?" tanya Naura lagi."Sialan! Aku masih sangat normal, tahu!" semprot Vano kesal karena dituduh hal yang tidak masuk akal."Ssttt ... nggak boleh ngomong kasar sama ibu hamil," kata Naura berlagak jadi wanita lembut.Vano mendengus kesal lalu duduk di kursinya. "Nggak lagi hamil, lagi hamil, tetep aja nyebelinnya nggak hilang-hilang," cibir Vano."Semoga aja nanti abis lahiran nyebelinnya tambah ya, Van," ucap Naura asal."Bodo amat dah, suka
"Ambil nasi goreng itu dan kasih gue uang satu juta," kata gadis itu dengan tersenyum miring.Alfa mendelik tajam. "Kamu memeras saya?""Nggak. Itu sih terserah lo aja. Kalau nggak mau ya udah sini balikin masi goreng gue. Lo lebih sayang uang satu juta lo atau istri lo?" kata gadis itu enteng dan terdengar meremehkan.Alfa ingin sekali meneriaki gadis itu, tapi dia teringat nasehat ibunya. 'Jaga sikapmu di luar sana. Ingatlah istrimu tengah mengandung.' Mengingat itu Alfa langsung mengurungkan niatnya.Alfa berpikir, apa sebaiknya dia membayar uang satu juta untuk nasi goreng itu?"Cepat putuskan. Gue nggak suka makan masi goreng yang udah dingin!" seru gadis itu mengagetkan Alfa dan membuyarkan lamunannya."Baiklah, saya beli nasi gorengmu seharga satu juta. Ini," kata Alfa pada akhirnya.Sambil terkekeh penuh kemenangan gadis itu menerima uang satu juta dari tangan Alfa."Senang bertransaksi sama lo," ucap gadis itu dan kemu