Share

5. Saran Diterima

"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah."

"Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?" sentak Alfa.

"Naura marah sama aku, dia bahkan nuduh aku punya wanita lain, apa maksudnya coba?" lanjut Alfa.

"Aku rasa ada kesalahpahaman disini. Aku harus dapatkan penjelasan dari Naura, Van."

Vano memainkan dagunya seperti sedang berpikir.

"Bro, kamu punya banyak waktu untuk berduaan sama Naura kan? Ya kamu usaha lah, kamu dekati dia, kamu kasih perhatian ke dia, kamu berusaha ambil hatinya, setelah itu kamu bisa coba tanyakan kenapa dia pergi, bagus kan ideku?" Vano berujar panjang.

Alfa mengerutkan kening. Ia mencerna dan mempertimbangkan saran yang diusulkan oleh Vano yang jarang-jarang otaknya encer.

"Hmm ... ya, bisa juga, tapi ...."

"Halah pake tapi-tapi segala, tapi apaan?"

"Tapi aku pengennya dapat penjelasan dari Naura hari ini juga, malam ini lah minimal," ujar Alfa bertekad.

"Yaelah, susah banget ini bocah dibilangin. Eh, dengar ya, Alfarezi Kavindra, cewek itu pengennya diperlakukan dengan lemah lembut, jangan terburu-buru. Percuma kalau kamu ajak dia bicara sekarang, kalau dia masih emosi dan ngusir kamu, apa yang bisa kamu dapatkan? Dan parahnya lagi, gimana kalau sampai dia ilfeel sama kamu dan nggak mau ngomong sama kamu sekalipun? Pikirkan baik-baik, Alfa, pikirkan baik-baik."

Alfa membanting punggungnya pada sandaran kursi. Sambil memijat pelipisnya ia bergumam pelan. "Pintar banget kalau nasehatin orang, cih!" cibir Alfa sinis.

"Ck, ya udah kalau nggak mau dengerin. Terserah, tapi kalau pas lagi galau dan sedih-sedih jangan recokin aku," balas Vano yang bersikap masa bodoh.

Alfa meraih gelas kopinya dan menyeruput kopi yang mulai dingin.

"Pusing aku, Van. Kalau kayak gini gimana aku bisa fokus kerja? Sedangkan proyek-proyek penting baru aja masuk," kata Alfa mengeluh.

"Kamu Alfa atau bukan? Alfa kok ngeluh? Mana ada Alfa lembek begini. Semangat lah, jangan jadikan beban, tapi jadikan acuan. Maksudnya kamu jadikan Naura itu sebagai tujuan kamu, sebagai pencapaian yang harus goal. Kamu coba pikirin gimana caranya komunikasi kalian itu lancar. Nggak papa berdalih komunikasi antara boss dan anak buahnya, kalau komunikasi terjalin lancar secara dua arah, baru perlahan-lahan kamu cari cara untuk ngobrol dari hati ke hati."

Alfa mengernyit menatap Vano heran. "Kamu keracunan?" tanya Alfa ngawur.

"Iya, keracunan baygon!" sahut Vano ikut ngawur.

"Enggak, aku nanya serius, Vano, kamu keracunan?" Alfa mengulang pertanyaannya.

"Kenapa nanya gitu? Aku sehat wal afiat gini gimana ceritanya aku keracunan?" sinis Vano.

"Yaaa ... habisnya kamu tumben-tumbenan waras, otaknya juga encer, takutnya salah obat," ejek Alfa sarkas.

"Hmm ... punya teman kenapa dzalim begini? Aku ini selalu bisa di andalkan. Saat kamu butuh nasehat aku akan bisa menasehati kamu. Saat kamu butuh hiburan aku juga bisa menghibur kamu, meskipun dengan cara pura-pura bego sekalipun."

Alfa mengedikkan bahu acuh.

"Dasar, nggak tahu terima kasih!" tukas Vano.

"Terima kasih, Evano," kata Alfa di imut-imutkan.

"Jijik!" Vano bergidik ngeri.

Alfa terkekeh. Ia cukup mendapat pencerahan setelah mengobrol dengan Vano yang jarang-jarang otaknya bekerja dengan normal. Ia juga cukup terhibur karena biar bagaimanapun Vano melakukan kekonyolan-kekonyolan sebenarnya untuk menghibur dirinya.

Alfa menyeruput kopinya lagi hingga habis.

"Jadi, gimana enaknya? Aku harus mulai dari awal lagi gitu? Deketin Naura, kasih perhatian ke Naura, berusaha mendapatkan hati Naura lagi baru setelah itu aku minta penjelasan dari Naura, gitu?"

"Ya, itu kalau kamu mau pakai saran dari aku," balas Vano masa bodoh.

"Tapi, Van, apa nggak kelamaan? Gimana kalau mereka keburu nikah? Jadi duda dong aku?" celetuk Alfa.

"Jadi duda?" tanya Vano cengo.

"Ah, maksudnya, aku bakal kehilangan dia selama-lamanya kan?"

Vano memutar bola matanya jengah. "Terserah kamu deh, terserah. Bodo amat!" Vano akhirnya menyerah. Vano bangkit dan hendak pergi meninggalkan Alfa disana.

"Eh, Van, mau kemana? Tunggu dulu dong, jangan ngambek kayak cewek lagi PMS."

"Alfa, dengar, aku udah cukup bosan dengar keluhan kamu yang nggak kunjung menemukan Naura. Tapi sekarang kamu udah menemukan Naura dan dia berada dekat dengan kamu, berada pada jangkauanmu, jadi terserah kamu mau bagaimana. Yang penting jangan sampai kamu menyesal untuk ke dua kalinya. Permisi." Vano langsung berlalu pergi tanpa mempedulikan Alfa lagi. Sedangkan Alfa sendiri termenung, memikirkan langkah apa yang sebaiknya kita ambil.

Sebenarnya Alfa ingin buru-buru mengetahui penyebab Naura pergi, tapi ucapan Vano ada benarnya juga. Akan lebih baik jika Alfa dan Naura membicarakan tentang masa lalunya saat sedang berkepala dingin. Percuma jika membicarakan itu sekarang, yang ada akan kembali terjadi pertengkaran.

"Ya sudahlah ... aku terima saranmu, Vano."

***

Alfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan rendah. Mobil sportnya sengaja ia setting terbuka supaya ia dapat menghirup udara segar. Meski dingin menusuk tulangnya Alfa tak memperdulikannya.

Tiba-tiba pikirannya melayang pada beberapa tahun silam saat ia masih bersama dengan Naura.

Dulu dirinya belum sesukses ini. Dia belum memiliki mobil, ketika mengajak Naura jalan-jalan Alfa akan mengendarai Vespanya. Sama sekali tak ada kemewaham namun keindahannya nyata.

Kemudian suatu hari Naura pergi tiba-tiba. Alfa kepusingan mencari Naura kemana-mana. Dia tidak tahu harus pada siapa ia menyakan kepergian Naura. Hari itu, tepat di hari nenek Ainun meninggal dunia, Naura menghilang seakan ditelan bumi.

Ya, dulu Naura tinggal di kota Kabut bersama neneknya, kota kelahiran sekaligus kota tempat tinggal Alfa. Naura tinggal bersama neneknya setelah kakeknya meninggal dunia. Ayah dan ibunya ada di kota lain yang sebelumnya tak pernah Alfa ketahui dimana kota itu.

Alfa terus menyibukkan diri dengan bekerja keras meniti karir. Dan syukurlah sekarang Alfa telah sukses. Bisa dikatakan kesuksesannya diraih dalam waktu singkat. Itu ia lakukan demi untuk menyibukkan diri, dan hasilnya memuaskan.

Tin tin tiiin!

Suara klakson mobil di belakangnya membuat lamunan Alfa buyar. Melalui kaca spion ia menilik mobil siapa itu. Alfa tak mengenalnya namun ia seperti pernah melihatnya.

Alfa tetap mengendari mobilnya dengan pelan, mobil itupun maju mensejajari mobil Alfa. Alfa masih tetap tenang.

"Menepi!" seru seorang itu. Alfa menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara yang berani memerintahnya.

"Kamu?" Alfa mengerutkan kening melihat tunangan Naura berada di dalam mobil itu. Ya, dia adalah Eza.

"Aku bilang menepi!" ulang Eza lagi.

Alfa tak menyahutinya namun ia melakukan apa yang Eza minta.

Brak!

Brak!

Alfa dan Eza turun dari mobil dan sama-sama berjalan mendekat. Dari sorot mata mereka memancarkan kebencian.

"Ada apa?" tanya Alfa dengan santainya.

"Aku peringatkan padamu untuk menjauhi Naura, jangan mentang-mentang kamu adalah bossnya kamu bisa berbuat seenaknya. Kamu sengaja menjebaknya kan?" kata Eza penuh emosi.

"Ck, kenapa aku harus menjauhi kekasihku sendiri?" Alfa sama sekali tidak takut dengan ancaman Eza, ia malah bersikap menantang.

"Dasar tidak tahu malu! Naura tidak menganggapmu kekasihnya. Dan aku adalah calon suaminya. Kami akan segera menikah dalam waktu dekat. Jadi, sebagai calon suaminya aku berhak melarangmu mendekati calon istriku!"

"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek.

"Sialan!"

Bugh!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
SetyaAiWidi
Kaget sama celetukan Alfa. Jadi duda? Alfa pernah nikah siri gitu sama Naura? Aduh... Gimana Eza nantinya? Makin penasaran deh.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status