Share

Kisah Pilu Asma

“Kalau tidak mau menjawab, tidak apa-apa Asma,” ucap Khansa melihat raut kesedihan di wajah Asma.

Asma menatap Khansa yang duduk di sebelahnya. Ucapan sang suami yang lebih memilih wanita selingkuhannya terngiang kembali di telinga. Laki-laki yang sangat dicintai membuangnya hanya karena kehadiran cinta lamanya.

“Suamiku selingkuh dengan mantannya dan sekarang hamil juga, Mbak. Dia lebih memilih wanita itu daripada aku dan anak yang di dalam kandunganku. Bukan kali ini saja dia berselingkuh, tetapi ini yang sangat menyakitkan. Aku tidak bisa bertahan lagi dengannya,” Asma mencoba bercerita kepada orang lain untuk meringankan beban di hatinya.

Arya yang akan ke kamar Asma urung menyambanginya. Dia hanya berdiri di balik dinding kamar yang ditempati Asma dan mendengarkan cerita Asma.

“Mungkin ini adalah hukuman Allah buatku, Mbak. Pernikahan kami tidak disetujui oleh orang tuaku karena melihat latar belakang keluarga kami yang berbeda dan juga sosok suamiku yang memang sejak dulu terkenal playboy,” ujar Asma. Dia teringat pada keluarga yang menentang pernikahan mereka. Walaupun akhirnya terjadi pernikahan, tetapi orang tuanya tidak merasakan kebahagiaan mempunyai menantu. Pernikahannya juga diadakan di rumah keluarga Tanto. Keluarga intinya saja yang datang untuk menyaksikan pernikahannya.

“Semenjak menikah aku tidak pernah sekalipun datang ke rumah. Selain aku takut dengan suami, aku juga takut jika orang tuaku menjadi bahan pergunjingan dengan kedatanganku.” Air mata Asma mengalir dari sudut matanya. Bukan kenangan sang suami yang membuatnya menangis, tetapi ingatan Asma kepada keluarganya, tidak bisa menahan tangisnya. Khansa segera memeluk Asma.

“Apakah orang tuamu mengetahui perselingkuhan suamimu dan perceraian kalian?”

Asma menggeleng. “Aku langsung pergi ke kota setelah keluar dari rumah suami. Aku malu untuk pulang ke rumah mereka, Mbak. Aku juga tidak mau orang tuaku menanggung malu dengan kehancuran rumah tanggaku.”

Asma terisak di pelukan Khansa. Dia menyesali semua perbuatannya pada kedua orang tuanya dan juga niatnya yang akan bunuh diri.

Arya tertegun di tempatnya berdiri. Dia mengingat laki-laki yang dipilih Asma. Walaupun dia tidak mengenalnya, tetapi dia mengetahuinya. Laki-laki itu seangkatan tetapi berbeda sekolah. Setelah penolakan Asma pada dirinya, dia memang menjauh dari Asma. Setelah lulus sekolah, dia pergi dari desa karena kedua orang tuanya juga pindah ke kota. Kabar yang terakhir di dengarnya tentang pernikahan Asma.

“Dosaku sangat besar di masa lalu, Mbak. Aku juga telah menjadi anak durhaka,” aku Asma seraya menangis terisak dipelukan Asma, “apakah Allah akan mengampuniku, Mbak?”

“Allah itu Maha Pengampun kepada hamba-Nya. Allah masih memberi kesempatan kepadamu untuk memperbaiki diri. Sekarang, jangan memandang masa lalu. Kamu harus bangkit. Ingat ada anak yang masih di dalam kandunganmu. Oh ya berapa usia kandunganmu?” Khansa mengalihkan kesedihan Asma.

“Mau enam bulan, Mbak,” jawab Asma.

“Wah, berarti sudah sering bergerak dong,” komentar Khansa seraya meminta izin untuk mengelus perutnya. Dia merasakan  gerakan di dalam perut Asma.

“Tolong bimbing aku, Mbak,” pinta Asma seraya menggenggam tangan Khansa dan menatapnya dengan penuh permohonan.

Khansa membalas genggaman Asma seraya tersenyum. Dia memberi kekuatan untuk Asma agar bisa bangkit dari keterpurukannya.

“Insya Allah. Kita sama-sama belajar agar menuju ke arah yang lebih baik. Semoga panti asuhan ini menjadi tempat ternyaman buatmu dan anakmu. Ingatlah selalu bahwa kamu harus bahagia agar anak yang ada di dalam kandunganmu juga bahagia.”

Arya yang berada di balik dinding merasa bahwa kini saatnya dia menyapa dua wanita yang berada di dalam kamar. Dia berpura-pura tidak mendengar obrolan Asma. Dia berjanji ingin mengembalikan Asma yang pernah dikenalnya. Asma yang selalu ceria dan ramah. Dia muncul diambang pintu seraya bertanya, “Sudah beberes kamarnya?”.

Asma dan Khansa saling berpandangan dan tersenyum lebar. “Kita keasyikan mengobrol. Jadi lupa untuk membereskan barang-barangmu,” ucap Khansa.

“Asma, kamu beberes dulu ya, nanti jam 8 kita ke dokter kandungan. Mbak Khansa bisa menemani?” Arya mengajak Asma untuk memeriksakan kandungannya karena dia merasa khawatir dengan peristiwa semalam. Khansa juga diminta mendampingi mereka karena bagaimanapun juga Asma dan Arya bukan mahram.

“Kalau pagi ini Mbak nggak bisa, bagaimana kalau sore saja. Mbak punya teman dokter kandungan dan praktek sore hari. Mbak bisa minta nomor antrean dulu tanpa kita harus mendaftar ke tempat prakteknya. Bagaimana?” Khansa memberikan alternatif waktu karena dia akan mengisi kajian remaja di salah satu sekolah.

Arya berpikir sebentar. Dia memang tidak mungkin pergi berdua saja dengan Asma.

“Baiklah, Mbak. Nanti sore saja. Bagaimana Asma?”

Asma merasa tidak enak karena merepotkan banyak orang. Pada awalnya Asma menolak untuk periksa ke dokter kandungan, tetapi Arya maupun Khansa memaksa sehingga dia tidak bisa menolak.

Siang ini, Asma berusaha membaur dengan penghuni panti asuhan. Dia ikut membantu ibu Asih yang berada di dapur. Kebetulan dia memang hobi memasak. Khansa sudah meninggalkan panti sejak jam 10 pagi. Sedangkan, Arya sejak pagi sudah tidak berada di panti asuhan  karena dia harus mengecek persediaan barang di toko-tokonya.

Asma merasa diterima di panti asuhan itu. Semua orang memperlakukannya dengan baik padahal dia hanya seorang pendatang.

Sebelum asar, Arya sudah berada di panti asuhan. Dia dan Khansa sudah mengatur waktu untuk memeriksakan kandungan Asma. Khansa sudah menghubungi temannya untuk mendapatkan nomor antrean.

“Kita berangkat sekarang saja, ya,” ajak Khansa..

Asma sudah bersiap sejak sebelum asar. Kali ini Asma memakai jilbab yang diberikan  oleh Khansa. Dia sudah bertekad akan terus memakainya. Arya dan Khansa pun sudah siap. Mereka berangkat ke klinik dokter kandungan dengan menggunakan mobil Arya.

Khansa duduk di jok mobil di samping pengemudi, sedangkan Asma duduk di jok belakang. Di dalam mobil mereka terdiam satu sama lain, hanya ada suara murotal dari audio yang ada di mobil.

“Bagaimana kesan pertamamu di panti, Asma?“ Arya memecah kesunyian di dalam mobil dengan bertanya kepada Asma. 

Asma menatap Arya melalui spion mobil yang ada di depan.

“Alhamdulillah. Semua penghuni sangat baik. Aku merasa mempunyai keluarga baru di panti itu,” jawab Asma seraya tersenyum.

Arya dan Khansa tersenyum bahagia mendengar jawaban Asma. Mereka berharap Asma bisa melanjutkan kehidupannya lagi.

Setelah setengah jam perjalanan, mereka telah sampai di depan tempat tujuan. Petugas pendaftaran masih mendata para pendaftar. Khansa meminta izin kepada Asma dan Arya untuk menemui temannya yang masih berada di rumah yang berada di samping klinik.

“Maaf, kemarin aku tidak sengaja mendengar kamu bercerita dengan Mbak Khansa. Maafkan aku telah lancang sudah mendengarkan pembicaraan kalian,” ujar Arya ketika mereka duduk berdua di salah satu kursi tunggu yang masih sepi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status