"Din, nanti Tante Dewi mau datang. Kamu main dirumah Nia jangan lama-lama ya" pesan Nenek padaku.
Pada akhirnya, aku menurut keputusan Mama dan Papa untuk tinggal bersama Kakek dan Nenekku. "Iya Nek!" Jawabku singkat. Meski sudah 6 bulan tinggal bersama Kakek dan Nenek, aku masih tetap merasa canggung. Hanya berbicara seperlunya dan menjawab 'iya' dari setiap perintah yang diberikan padaku saja rasanya lebih dari cukup. Entah diriku yang salah atau keadaan yang membuatku jadi orang yang salah diantara mereka. Aku juga gak tau, yang jelas aku gak suka dengan kecanggungan ini. Aku yakin Mama juga tahu ketidak nyamananku ini, tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa menunggu janji Mama yang akan berusaha untuk segera menjemputku kembali. Dan meskipun terlambat, Perkenalkan, namaku Adinda Kirana. Sekarang aku sudah duduk di kelas 7 SMK Dwiputera, Jawa barat. Aku terlahir sebagai seorang anak tunggal dengan kepribadian tomboy, tapi gak urakan. Aku pendiam, dan hanya asyik dengan beberapa orang tertentu. Dan sampai saat ini aku masih bertahan dengan prestasiku seperti saat aku duduk dibangku SMP. Dikeseharianku, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan menyendiri dikamar, mendengarkan musik, membaca buku, atau menulis buku diary. Tapi itu dulu... Saat aku masih tinggal dengan kedua orang tuaku. Sedang sekarang, waktuku lebih banyak habis untuk mengerjakan tugas rumah seperti assisten rumah tangga. Aku bahkan hampir kehabisan waktu untuk membaca dan mendengarkan musik. Seperti saat ini, aku masih menyelesaikan seabrek cucian piring dan gelas di dapur, ditemani nenek yang sibuk masak untuk makan siang kami. Sebenarnya bukan ditemani sih, lebih tepatnya aku sengaja mencuci piring sebelum nenek menyelesaikan misi memasaknya supaya cucianku ini gak bertambah banyak, dan aku bisa cepat-cepat pergi ke rumah Nia seperti hari minggu yang sudah-sudah. Aku kenal Nia karena rumahnya berdekatan dengan rumah nenekku. Secara kebetulan, dihari pertama masuk sekolah, dia berpapasan denganku dan mengajakku untuk ikut bersama dimotornya. Sejak saat itulah, kami akrab dan semakin lama obrolan kami nyambung sampai gak terpisahkan. Setelah menyelesaikan cucian piring dan gelasku yang sebareg itu, aku langsung buru-buru pergi sebelum Tante Dewi tiba. Tante Dewi adalah adik papa yang merupakan anak kesayangan nenekku. Setiap kedatangannya, ia selalu membawa berbagai pekerjaan tambahan untukku, maka dari itu, aku harus selalu ada ketika Tante Dewi datang ke rumah nenek. *** Aku setengah berlari menuju ke rumah Nia. Aku harus cepat sampai agar aku bisa sedikit menghirup udara bebas. Dipikir-pikir aku seperti tahanan saja... ha... ha.. ha... Didepan rumah mewah dengan bangunan lamanya itu, aku melihat Nia sudah melambai-lambaikan tangannya menyadari kedatanganku. Aku tersenyum senang... Setidaknya, aku masih memiliki seorang sahabat yang baik seperti dia, tempat pelarian jenuh dan sepiku. "Niaaa..." teriakku sambil berlari kecil kearahnya. Agak berlebihan sih memang, tapi tolong mengertilah kebahagiaan yang gak terkira ini... "Lama banget sih datangnya" katanya sambil manyun dan menyilangkan lengannya diperut. "Banyak banget cucian piring gue hari ini. Itu juga nenek gue masih masak, pasti bentar lagi juga udah numpuk lagi" Aku tertawa mengingat kesedihanku. "Emang nenek loe mau ngadain pesta apalagi?" Tanya Nia yang sudah tahu kelakuan nenekku yang hobi masak, dia memang sering becanda dengan mengatakan kalau nenekku senang berpesta, untuk sekedar menghiburku. "Biasa, cucu kesayangannya mau datang" jawabku sambil menyandarkan diri dikursi depan rumahnya karna kelelahan berlari. "Ada si Caca dong dirumah nenek loe sekarang?" Tanyanya lagi, Caca adalah sepupuku, anak bungsu tante dewi yang sering menginap dan membuatku risih, sering ku ceritakan pada Nia. Semua hal tentangku saat smp banyak yang berubah, bahkan aku yang dulu gak suka berbagi kisah tentang keluarga, kini lebih ringan rasanya jika dibagi dengan Nia dan semua hal tentang keluarga itu, Nia sudah sangat paham betul. "Belum datang sih makanya gue buru-buru kesini, tapi gue gak bisa lama juga disini hari ini" Aku menghela kesal. "Yaah sayang banget!" Jawab Nia, kecewa. "Makanyaaa, gue kesini mau hirup udara bebas sebentar!" Nia tertawa "Loe kaya tinggal didalam penjara aja, segala minggat kesini cuma buat ngirup udara bebas!" "Ah kaya loe gak tau mereka aja!" "Tuh depan rumah nenek loe banyak pepohonan, udaranya lebih seger bukan" Nia meledekku. "Seger tapi bikin sakit jantung kalau ngirup udara disana!" Kataku membalas ledekkan Nia. "Ya udah sih biarin aja mereka, lagian harus banget emang ada loe disana?" "Namanya juga babu, Na. Ya harus ada kalo majikannya lagi kumpul" "Sue loe!" "Gue ngerasanya begitu na. Loe tau sendiri cucu-cucunya yang lain mana ada yang mau bantuin gue cuci piring atau bersih-bersih bekas kumpul-kumpul mereka. Apalagi kalo bukan dijadiin babu namanya, cuma diperhalus aja caranya karna gue masih titisan mereka!" "Tuh mereka datang!" Nia mengarahkan matanya ke jalan sebagai penunjuk. Kebetulan rumah Nia berada dipinggir jalan. Jadi ketika dia berdiri didepan pintu rumahnya, Nia bisa dengan jelas melihat siapa saja pengendara yang lewat. Termasuk rombongan keluarga itu, dengan mobil merah kebanggaan keluarganya, yang sudah Nia kenali. "Ya udah gue balik, ya!" Kataku berdiri terburu. Kebiasaan gugupku ini susah hilang jika menyadari kehadiran keluarga itu. "Tunggu dulu" dengan cepat Nia menahan langkahku. "Apa lagi sih? Loe masih kangen sama gue?" Ledekku "Ada Desha didalam!" Ucap Nia, ia bergeser sampai seseorang yang duduk di dalam rumahnya terlihat olehku. "Hah?!" Kagetku, spontan. "Temuin dulu!" pinta Nia padaku. "Ngapain tu bocah disini?" Tanyaku heran. Desha adalah cowok populer disekolah kami. Selain gayanya yang gaul dan keren, dia juga memiliki wajah yang 100% mendukung tingkah belagunya sebagai ketua genk, dan yang pasti dia berstatus sebagai pacarku, untuk saat ini. Tapi... Ada tapinya ya... "Dindaa... Esha kangen!" Ujarnya sambil melangkah sempoyongan. Sialan! Ni bocah mabuk lagi. Aku melirik Nia yang masih tegak berdiri didepanku, sedangkan dia cuma tepok jidat membalas lirikanku. "Mau ngapain sih keluar, Esha!" Omel Nia yang kemudian memapah Desha menuju padaku. "Bocah mabuk gini ngapain gak loe suruh pulang aja sih, na!" Kataku membantu Nia yang kesusahan memapah Desha. "Kok Esha disuruh pulang sih, kan Esha kangen pengen ketemu Dinda!" Katanya dengan logat manja khas anak mamih. Yups! Desha si ketua genk itu sebenarnya anak mamih. Banyak rumor bilang teman genknya cuma nebeng jajan sama si Desha ini, makanya mereka siap nemenin Desha kemana dan ngapain aja. "Kamu pulang aja gih! Kasian Nia, tar di omongin sama tetangganya kalau ada yang liat kamu begini!" kataku menasihati Desha. "Nda gak kasian sama Esha? Liat nih tas Esha talinya putus!" Katanya sambil pamer tali tasnya yang putus. "Kenapa bisa sampai putus gini?" tanyaku mengamati tali tasnya yang rusak parah. "Esha tadi di tarik-tarik bencong, Dinda. Esha gak boleh pulang!" Wajah Desha berubah sedih. Bisa dibayangkan dong gimana tampannya Desha sampai di kejar-kejar bencong? Eiits... jangan pada nyengir, serius kok Desha memang setampan itu. Sayangnya, aku gak beneran cinta sama dia. Cuma kagum dan sedikit obses jadi pacarnya disekolah. Bisa dibilang itu salah satu pelarianku untuk menghibur diri. Kalian bayangin sendiri deh, kulit putih dengan wajah yang hampir mirip Vino g bastian waktu muda, ditambah lagi dua lesung pipi yang menghiasi pipinya saat tersenyum. Beuh!! dijamin bikin semua cewe klepek-klepek, kecuali aku ya, karna tipeku bukan cowok tampan berkulit putih, tapi lebih ke cowok manis dengan kulit sawo matang. Dan kesalahan terbesarku, karena terobsesi mematahkan hati para cewe-cewe itu, malah aku sendiri yang sekarang terjebak sama si anak mamih ini. "Lagian ngapain main sama bencong sih Esha!" Umpat Nia. "Esha gak main sama bencong, Esha tadi sama temen-temen!" Jawab Desha membela diri. "Terus dimana temen Esha sekarang?" tanyaku menyadari ia datang tanpa teman-temannya ke rumah Nia. "Pada pulang, kan Esha bilang mau nemuin Dinda tersayang!" Rayunya sambil senyam-senyum padaku. "Dasar Desha!" Umpat Nia lagi, kemudian ia menoleh padaku "Udah ah urus nih bocah, n Nda! Gue mau nonton tv!" Ujar Nia lalu meninggalkan aku dan Desha saja. "Iya gih sana, pergi... pergi..." Tangan Desha bergerak-gerak mengusir Nia Desha menoleh lagi padaku "Dindaa... main yuk ke pantai!" Ajak Desha kemudian. Aku melirik jam tanganku, cemas. Mengingat Tante Dewi yang pasti sudah tiba dirumah. "Gak bisa Esha!" Tolakku cepat. "Kenapa Nda? Nda mau pergi sama orang lain ya?" Tanyanya curiga. Shitt!!! Bisa-bisanya dia bilang begitu, padahal buat keluar sama dia aja, aku belum pernah berani minta ijin sama nenek dan kakek. Bahkan sudah dipastikan gak akan ada ijin kalau alasannya bukan karena nia dan tugas sekolah. "Gak ada" Jawabku. "Terus kenapa nolak ajakan Esha kalau bukan karna mau pergi sama yang lain?" Desha masih gak percaya. "Aku gak bisa pergi jauh dari rumah!" Jawabku lagi. "Sebentar aja, ayo!" Desha semakin mendesakku. "Kita putus aja, Esha!" Kataku sekenanya. Desha sontak terkejut mendengar ucapanku. Dia yang sedari tadi bicara sambil mabuk, tiba-tiba seperti tersadar sepenuhnya. Terlihat dari ekspresi seriusnya begitu menatapku, seperti tak percaya dengan ucapanku. Ia langsung meraih lenganku. "Esha gak mau putus. Ya udah sekarang gak usah jadi pergi, lain waktu aja ya!" Katanya merubah ucapan. Tapi... Lain waktu pun aku belum tentu bisa pergi, aku gak berani untuk pergi main jauh dari rumah nenekku. Aku takut, entah apa yang aku takuti... Dan ucapan Desha, menjadi sebuah beban janji yang memberatkan pikiranku. Aku gak bisa. "Kita temenan aja, Esha!" Ucapku lagi, tanpa perasaan padanya. Aku sadar kata-kataku ini bukan cuma mengejutkannya, tapi aku gak bisa berfikir banyak disaat terdesak begini. "Dinda..." ujarnya putus asa, ia menatap sedih diriku yang kejam ini. "Maafin Dinda ya, Esha" "Dinda serius?" Tanyanya memastikan "beneran Esha diputusin?" Sekali lagi ia memastikan. Aku mengangguk pelan, masih dengan pendirianku. "Kalau besok Dinda berubah fikiran, Dinda langsung temuin Esha ya!" Esha mengecup pipiku sebagai tanda perpisahan, "Maafin Esha juga ya cuma bisa pertahanin sampai sini, karna ini bukan kemauan Esha. Esha pulang dulu ya Dinda!" Desha berlalu dengan lesu. Setelah itu, aku gak tahu apa yang terjadi padanya, yang jelas aku lega bisa melepas Desha dari masalahku, meski aku sempat dengar dia sakit dan gak masuk kelas selama 3 hari yang mungkin sebab dari keputusan bodohku itu. Dan beberapa orang sempat mencemoohku karna memilih berpisah dengannya. Maaf, Desha! Ini yang terbaik. Aku fikir memilikimu menjadi kesenangan bagiku. Bisa menjadi yang tercantik karena berpacaran dengan cowok tampan dan populer sepertimu disekolah. Dikagumi banyak teman karena kebucinanmu. Ternyata aku salah, bersamamu tidak menyelesaikan kehidupanku yang menyedihkan ini, dirumah.Perpisahan itu nyata adanya. Kehilangan orang - orang dalam hidup adalah kebiasaan yang tidak pernah membuatku terbiasa.Aku hanya orang biasa yang tidak mampu menahan beban kerinduan dari sebuah kata yaitu PERPISAHAN.Aku menulis buku ini sebagai sebuah penghormatan juga pengenang untuk orang - orang yang pernah hadir dengan baik dihidupku.Memberiku suka dan duka, tawa dan tangis yang sampai 16 tahun ini masih aku ingat dengan baik.Alur ceritanya memang tidak semuanya sama. Karena aku hanya mencoba mengulang yang ada dalam ingatanku yang sudah tidak terlalu baik ini.Mungkin bagi yang lain, di sepanjang hidup mereka, Tuhan masih menyisakan beberapa sahabat terbaik untuk bersama mendampingi hingga akhir usia. Berbeda denganku yang benar - benar harus kehilangan semuanya tanpa tersisa.Aku harap dengan buku ini, aku dapat mengingat semua orang - orang terbaik dalam hidupku terutama saat aku berada di masa peralihan dari anak - anak menuju dewasa.Sejujurnya dari masa SMK lah semua ke
Malam itu setelah aku kembali dari tahlilan 40 harian mendiang kak wito, aku baru ingat kalau malam ini ada janji bertemu dengan Gugun. Begitu sampai rumah aku kembali berpamitan kepada mama untuk pergi menemui Gugun yang mungkin sudah menungguku di halte.Aku sedikit berlari agar dapat cepat sampai di halte. Aku melirik pada jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Sedikit gak yakin jika Gugun masih menungguku di halte bis yang aku janjikan.Nafasku terengah - engah karena sudah berlari cukup jauh, tetapi usahaku gak sia - sia karena ternyata Gugun memang masih menungguku di sana."Maaf gue baru datang, udah lama nunggunya?" Tanyaku begitu sampai di halte."Saya nunggu kakak dari jam 7 malam di sini. Saya kira kakak gak akan datang""Loe gila nungguin gue sampai 2 jam? Kenapa loe gak pulang aja sih?""Saya takut saat saya pulang kakak malah datang dan ngira saya bohong karna gak menemukan saya di sini. Jadi saya tunggu, saya fikir saya akan tetap menunggu sampai jam 12 m
"Loe bener - bener ya, masa minta mantan gue buat traktir kita" aku mendumel kesal begitu kami berjalan kembali masuk ke sekolah."Ya biarin aja sih lagian Esha juga ikhlas kok traktir kita. Kali aja loe jadi bisa mempertimbangkan buat dia jadi pacar loe lagi" jawab Eka santai."Gak ya klo harus balikan lagi sama mantan. Kecuali....""Zendra? Ah bosen gue dengernya""Perasaan gue masih banyak banget buat dia, Ka""Udahlah lupain soal dia. Mending loe pacarin tuh adik - adik kelas biar loe makin populer" Eka menjeda ucapannya sebentar, membuatku penasaran "Populer dengan total mantan terbanyak haha" Eka terbahak meledekku."Sialan loe" Aku mengeplak lengan Eka.Memang dia pikir semudah itu aku bisa berganti hati, meskipun aku memang bisa melakukannya apa bisa menjamin dengan memacari sembarang orang sebagai pelampiasan bisa membuatku cepat move on."Oh iya loe nanti ikut kegiatan pramuka enggak?" Tanyaku teringat bahwa hari ini sudah hari jumat dan sekolah kami rutin mengadakan kegiata
Matahari siang cukup terik membakar tubuhku. Perjalanan dari sekolah menuju rumahku gak melulu dipayungi oleh pepohonan. Terkadang aku juga melewati lapang gersang dan trotoar yang banyak kios tanpa ada satu pun pohon yang tumbuh di sana.Hari itu aku pulang bersama Eka dan beberapa teman lain. Dan otakku hampir mendidih karena mereka yang terus membahas masalah Gugun yang dihukum berkeliling kelas untuk meminta maaf."Menurut gue parah sih si hendrik. Dia udah kelas XII pikirannya masih aja lemot" Ucap Nina yang saat itu berjalan bersama kami. Dia adalah siswi dari kelas akutansi."Iya jahat banget si Hendrik apalagi ya ampun gue gak tega liat cowok ganteng dihukum begitu" Sahut Eka dengan nada manja."Tapi menurut gue ada benernya juga kok Hendri hukum adik kelas begitu biar gak ngelunjak" Mira malah mengompori."Gak bisa gue gak terima kalau hukumannya dengan cara begitu. Dulu aja waktu angkatan kita gak ada tuh kakak kelas yang menghukum adik kelasnya begitu" Balas Nina.Aku yang
Aku menuju kantin dan memesan sesuatu di sana. Sejak kelulusan Kak Febri, aku gak kesulitan memesan makanan di kantin meskipun kondisi kantin dalam keadaan penuh sesak. Pelayan kantin selalu mendahulukan pesananku untuk tiba lebih dulu. Kemudahan yang aku dapat itu, aku yakin gak lepas dari campur tangan kak Febri, karena hanya dia yang selalu didahulukan oleh penjaga kantin saat memesan sesuatu. Sambil menunggu aku duduk di kursi tempat biasa kak Febri duduk di sana. Ajaibnya sejak dia gak ada di sekolah ini pun kursi itu selalu kosong gak ada yang berani menempati."Hai kak... akhirnya kita dipertemukan lagi" Gugun berdiri di depanku."Eh... iya...kita udah beberapa kali ketemu yaa hari ini""Tiga kali kak, mungkin sampai kita pulang nanti akan bertambah" Katanya tersenyum padaku."Mm mungkin. Gue sering mondar - mandir di sekolah ini jadi wajar kalau loe bakal sering ketemu gue. Siap - siap aja buat bosen ngeliat muka gue""Saya gak mungkin bosen lihat wajah kakak, justru sebalikn
Angin di awal bulan juli berhembus dengan sejuk. Desirannya menggoyahkan dedaunan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar gerbang sekolahku. Sinar mentari hadir ke permukaan bumi dengan leluasa tanpa penghalang, membentuk bayang - bayang di atas jalan berbatu tempat yang aku pijak kini.Aku berdiri di sini, di atas jalan berbatu beberapa meter di depan gerbang sekolah. Melihat beberapa motor melintas memasuki gerbang sekolah. Beberapa hari yang lalu, tempat ini menjadi tempat untuk saling berucap sampai jumpa dan salam perpisahan dengan orang - orang yang pernah dekat denganku. Di sini tempat pertama kali aku bertemu dengan Kak Wito dan di tempat ini pula lah kami mengakhiri pertemuan kami untuk selama - lamanya.Hari perpisahan memang hari paling menyakitkan sedunia. Satu hari yang amat berharga dari 365 yang ada dalam setahun. Beberapa jam yang mewakili keakraban yang terjalin selama ini dan sekarang mereka sudah benar - benar pergi.Aku berdiri di sini, berusaha mengingat segala hal y