Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.
Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."
Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!"
"Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."
Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.
Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?"
"Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak sopan, lo yang suka kasar. Semua orang harus ikutin apa kata lo, ikutin semua kemauan lo. Lo..., bukan tipe gue."
Kalan tediam. Bergeming.
"Sebelum semuanya makin rumit dan gue makin susah keluar dari hubungan yang nggak jelas ini, kita akhirin aja semuanya. Lo bukan pacar gue lagi. Nggak perlu repot-repot beliin gue makanan lagi. Jangan ganggu hidup gue lagi. Karena kita bukan siapa-siapa lagi."
"Nggak!" bentak Kalan, "Nggak ada cewek yang bisa mutusin gue. Nggak ada!"
"Ada. Dan orang itu gue. Kalau lo mikir gue sama kayak mantan lo yang lain, lo salah. Gue nggak bakal mau sama cowok angkuh dan brengsek kayak lo. Cowok yang modal tampang sama kaya doang. Gue yakin kalau lo juga nggak suka sama gue. Jadi, mulai hari ini, kita nggak ada hubungan apapun."
"Lo pacar gue, Za." Kalan langsung memegang erat kedua pergelangan tangan Rianza.
Pegangan tangan di kedua pergelangan Rianza terlalu erat dan terasa sedikit sakit. "Sakit, Lan. Lepas."
"Lo nggak boleh mutusin gue seenaknya."
"Lo juga nggak bisa seenaknya sama gue. Lo bisa cari cewek lain buat muasin ego lo. Bukan gue orangnya."
Dengan sekuat mungkin Rianza mencoba untuk melepaskan cekalan tangan Kalan dan keluar dari kamar tersebut.
"Lo nggak bakal bisa pergi gitu aja dari gue, Za," ancam Kalan.
"Nggak usah repot-repot untuk ngancam gue karena gue nggak takut sama sekali."
Rianza keluar dari ruangan tersebut dengan membanting pintu kamar Kalan. Dia tidak suka melihat Kalan yang terlalu memaksa dan mengaturnya. Sifat Kalan yang dominan tidak cocok dengan dirinya yang juga dominan. Jujur saja, Rianza takut dengan ancaman dari Kalan, tapi putus dari Kalan lebih baik daripada dibully satu fakultas karena ketahuan jadi pacarnya Kalan. Cowok populer itu bisa membawa dampak yang lebih buruk pada dirinya.
"Tenang, Rianza. Semuanya bakal baik-baik aja."
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam