Penasaran.
Hal itulah, yang membuat Gilang sampai masuk ke dalam sebuah pusat perbelanjaan. Ia mengekori Kiya, dan sempat kehilangan gadis itu di antara kemacetan lalu lintas.
Namun, keberuntungan kali ini sepertinya berpihak pada Gilang. Ia kembali dipertemukan dengan sosok Kiya dan bocah seumuran keponakannya, di salah satu toko sepatu ternama. Gilang melihat gadis itu tengah berjongkok, dan memasangkan sepatu pada bocah laki-laki itu.
Akan tetapi, tatapan Gilang teralihkan pada sosok gadis lain, yang tengah bergandengan tangan dengan seorang pria. Langkah Gilang yang sudah tidak sempurna itu pun, reflek terayun mengikuti gadis itu.
Sampai akhirnya, Gilang melihat gadis dengan perut buncit itu masuk ke dalam sebuah kafe. Gilang segera memasukinya dan menyerobot kursi yang akan diduduki oleh pria yang datang bersama gadis itu.
“Masih ada kursi kosong di sini, jadi pindah sebelum aku panggil pelayan buat nyeret kamu keluar dari sini,” ucap sang pria dengan tatapan dan ucapan dinginnya.
“Gue duluan ada di sini.” Gilang beralasan dan hanya melirik sebentar pada sang pria yang bernama Banyu, kemudian kembali menatap gadis yang sudah lama tidak dijumpainya. Damay, gadis itu semakin terlihat cantik dengan aura ibu hamil, yang membuat semuanya terasa semakin sulit untuk dijangkau. Dari semua gadis yang pernah berada di sisi Gilang, entah mengapa harus Damay yang selalu tersisa di ingatan.
“Kenapa harus dia? Kenapa bukan gue yang jelas-jelas dari awal sudah—”
“Gilang.” Banyu terpaksa memutus ucapan Gilang dengan tegas. Sepertinya, Banyu akan membawa sang istri keluar dan mencari kafe atau restoran lain. “Aku yakin kamu tahu arti dari kata move on. Damay sudah jadi istriku, dia hamil anakku, jadi silakan pergi dan kembali ke mejamu.”
“Itu yang jadi masalahnya, Mas!” seru Gilang menekan keras ujung telunjuknya pada meja. “Damay nggak seharusnya nikah sama elo.”
“Tapi …” Kedua alis Banyu terangkat santai. Karena bagaimanapun juga, Banyu tetaplah pemenangnya. “Kenyataannya Damay sudah menikah denganku. Jadi, pergilah, Lang. Perbaiki sifat, sikap, dan perbuatanmu selama ini. Berhenti main-main, karena ujung tombak Jurnal ada di kamu.”
Sedari tadi, Damay memperhatikan Gilang yang tampak lebih kurus dari terakhir mereka bertemu. Apapun yang terjadi di balik itu, Damay berharap pria yang sempat singgah dan menemani hari-harinya dahulu kala, dalam keadaan baik-baik saja.
“Semua itu, bukan urusan lo, Mas.”
“Kalau aku nggak kenal Elok, aku juga nggak akan mau peduli dengan semua urusanmu, Lang.” Daripada membuang waktu dan tenaga untuk berdebat dengan Gilang, Banyu lebih memilih beranjaki dari kafe tersebut. Banyu yang sudah lebih dulu berdiri, kemudian meraih siku Damay. “Kita cari tempat lain.”
Yang bisa Damay lakukan hanya menuruti sang suami. Damay pun berdiri dan mengulas senyum canggung, pada pria yang masih menatap harap pada dirinya. Sudah tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan, karena hati Damay saat ini pun sudah menjadi milik Banyu seutuhnya.
“May!” Gilang beranjak. Menghalangi Damay yang baru saja menjauh satu langkah dari kursinya. “Kenapa harus Mas Banyu? Aku sudah pernah bilang—”
“Karena cuma Pak Banyu yang betul-betul memperjuangkan apa yang dia mau,” sela Damay yang sebenarnya juga merasa kasihan, ketika melihat Gilang seperti sekarang. Entah apa yang terjadi, sehingga penampilan Gilang tidak seperti dahulu kala. Namun, Damay tidak berani mempertanyakannya karena ia sudah menjadi istri Banyu.
“Pak Banyu nggak pernah ragu, walau sudah tahu latar belakang saya. Pak Banyu juga nggak pernah mundur, walau tahu perjalan kami ke depannya nggak akan mudah. Jadi, Kak Gilang pasti paham kenapa saya lebih milih bersama Pak Banyu, daripada … harus menjalani sesuatu yang nggak pasti dan penuh keraguan dengan Kak Gilang.”
“Shoot!” Gilang memaki dan hanya diam di tempat, saat melihat sepasang suami istri itu pergi dari hadapan. Makian tersebut, sebenarnya ditujukan untuk Gilang sendiri. Ia merutuk dan menyesal karena pernah menjauh Damay karena status ibu gadis itu. Harusnya, Gilang bisa lebih bijak lagi. Semua kesalahan yang dilakukan oleh ibu Damay hingga berada di penjara, tidak seharusnya membuat Gilang goyah.
Lamunan Gilang akan masa lalunya bersama Damay, terpecah karena sebuah panggilan di ponselnya. Evan menelepon, dan hal tersebut membuat Gilang kembali mengumpat sambil menerima panggilan tersebut.
“Apa!” seru Gilang tidak ramah. Ia berjalan keluar kafe, dan melihat punggung Damay yang semakin jauh dari pandangan. Kali ini, Gilang memang sudah kalah telak, dan tidak bisa melakukan hal apapun. Ia tidak mungkin merebut gadis itu dari tangan Banyu, karena Gilang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan pria itu. Bisa-bisa, sang ayah mendepaknya dari Jurnal dan membuatnya berakhir di jalanan.
“Bapak nelpon, Mas,” ujar Evan. “Disuruh balik sekarang.”
Gilang berdecak, sambil terus berjalan menuju lift. Adi memang tidak pernah mau lagi menelepon Gilang, karena seluruh ulah nakalnya di masa lalu. Sang ayah lebih memilih menelepon orang lain, untuk bertanya keberadaannya daripada menelepon Gilang. Karena percuma saja, di masa lalu, Gilang juga tidak pernah mengangkat telepon Adi karena kesibukannya.
“Kirim pesan, kita lagi otewe pulang,” titah Gilang lalu memelankan langkah dan menurunkan ponsel dari telinga. Gadis yang dibuntutinya sejak tadi, akhirnya ada di depan mata dan sedang berdiri menunggu lift bersama bocah itu. “Kiya …
~~~~
“Mas … Gilang …” Kiya menelan ludah. Menunduk sekilas, untuk menatap Duta yang menggenggam telapak tangannya. Lantas, Kiya kembali mengangkat wajah dan melihat pada pria yang tengah menatap datar padanya.
“Duta!” Gilang sengaja menyebut nama tersebut, untuk melihat respons bocah yang bersama Kiya. Tebakan Gilang benar, bocah laki-laki dengan tubuh berisi itu menoleh padanya. Menatap tanya, sekaligus bingung.
“Bund!” Duta kemudian mendongak. Menatap Kiya untuk meminta penjelasan, karena ia sama sekali tidak mengenal pria itu. “Om itu siapa? Teman Bunda?”
Kiya berusaha tenang, meskipun jantungnya sudah berdegup kencang. Menarik napas panjang nan samar, agar kepanikannya tidak terlalu tampak di mata Gilang. Kiya tersenyum pada Duta, dan memberi anggukan. Entah penjelasan seperti apa, yang nantinya akan Kiya berikan pada pria itu.
“Mas Gilang … ke mall?” Kiya juga menyematkan senyum pada Gilang. Akhirnya, pria itu mulai percaya diri pergi keluar rumah, dengan kondisi fisik yang jauh berbeda. Lebih kurus, tidak terlalu terawat, dan langkah yang tidak bisa dikatakan sempurna. Bagi Kiya, hal tersebut merupakan awal yang cukup baik.
“Iya, kenapa?” Gilang menghabiskan jarak. Berhenti saat satu tangannya jatuh di kepala bocah itu, dan mengusapnya sebentar. Gilang menebak, usia bocah tersebut sepertinya sama dengan keponakannya. “Jadi, kamu yang namanya Duta? Iya, kan?”
“Om tahu dari mana?” tanya Duta setelah mengangguk satu kali.
“Mamamu sering cerita,” jawab Gilang memberi senyum miring pada Kiya.
“Bunda,” ralat Duta sambil menelisik Gilang dari atas hingga bawah. Ia merasa, pria yang menjadi teman sang bunda, bukanlah pria biasa. Meskipun terlihat berantakan, tetapi penampilan GIlang tampak mewah dan Duta bisa membedakan hal tersebut. Belum lagi, kulit pria itu tampak sangat bersih dan terawat, dengan wangi parfum yang tidak pernah Duta hidu sebelumnya. “Aku manggilnya Bunda.”
“Ohh … Bunda.” Tatapan tajam Gilang lantas tertuju pada Kiya sebentar. Bila diperhatikan lagi, wajah Duta memang memiliki kemiripan dengan gadis itu. Jadi, hal inilah yang disembunyikan Kiya. “Kamu kelas berapa?”
“Kelas dua,” jawab Duta tegas.
Tebakan Gilang hanya meleset sedikit. Usia bocah itu, ternyata lebih tua satu tahun dari Kasih.
“Mas, bisa kita bicara sebentar,” sela Kiya ingin segera memberi penjelasan, dan melakukan sebuah negosiasi dengan Gilang. Jangan sampai, Kiya kehilangan pekerjaan yang memberinya pundi-pundi rupiah yang fantastis, karena masalah tersebut.
“Sorry.” Gilang menggeleng. “Gue sudah ditelpon pak Adi barusan. Disuruh balik.”
Kiya yang mulai panik, segera mengedarkan pandangannya. Mencari sebuah kursi tunggu kosong terdekat, agar bisa meminta Duta menunggunya di sana. Saat ia menemukannya, Kiya segera berjongkok dengan menangkup kedua lengan putranya.
“Bunda mau bicara sama Om sebentar.” Kiya lantas menunjuk sebuah kursi kosong, yang berada tidak jauh dari mereka. “Duta tunggu Bunda di sana dulu, ya! Lima menit.”
Duta mengangguk. Namun, sebelum pergi menuruti perintah sang bunda, ia kembali menatap Gilang dengan telisik. “Aku pinjam hape, mau telpon ayah sebentar.”
Kiya reflek mengumpat di dalam hati. Duta benar-benar melontarkan kalimat yang sangat tidak tepat di depan GIlang. Pria itu pasti semakin berpikiran macam-macam tentang Kiya setelah ini.
“Ayah?” celetuk Gilang dengan rasa penasaran yang semakin jadi.
Kiya buru-buru mengeluarkan ponsel dari tasnya. Memberi pada Duta, lalu berdiri dan menyuruh putranya pergi menuju kursi tunggu.
“Mas–”
“Duta itu anak lo?” putus Gilang tidak ingin membuang waktu, karena Adi sudah menunggunya di rumah. Kalau dahulu, GIlang pasti tidak akan memedulikan pria tua itu. Namun, sekarang keadaannya sudah berbeda dan Gilang tidak bisa mengabaikan Adi sama sekali. “Jadi, selama ini lo sudah nikah dan punya anak? Apa mbak Elok tahu kalau asistennya selama ini sudah bohongin dia? Gila ya, lo, Ki! Kami sudah ngasih kepercayaan ke elo, tapi lo–”
“Mas, tolong dengerin penjelas–”
“Lo gue pecat!” seru Gilang tidak mau tahu lagi, dengan drama yang mungkin akan dilontarkan Kiya. “Nggak usah lagi datang ke rumah gue, dan nggak usah lagi sok jadi cewek baik yang innocent di depan gue.”
“Mas, saya nggak–”
“Nggak ada,” sahut Gilang kembali menghentikan ucapan Kiya. Ia melewati Kiya dan menekan tombol lift yang ada di hadapan. “Gue nggak suka kerja dengan orang yang sudah ngebohongin gue, dan keluarga gue.”
“Mas, dengerin saya du–”
“Bye, Ki!” sela Gilang merasa kesal sendiri. Ia tidak bisa menjelaskan, mengapa perasaannya bisa sampai kesal seperti sekarang. Yang jelas, Gilang sudah tidak mau bertemu dengan Kiya lagi. Terlebih ketika ia tahu, Kiya sudah memiliki seorang suami. “Gue peringatkan sekali lagi, jangan pernah lagi datang ke rumah gue! Titik!”
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada