Home / Romansa / Cinta Pengganti / 4. Pikirkan Lagi

Share

4. Pikirkan Lagi

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2023-05-05 07:53:53

Panik.

Kedua tangan Kiya sampai gemetar, karena pemecatan sepihak yang dilakukan Gilang. Bukan maksud Kiya untuk berbohong, tetapi keadaanlah yang memaksanya. 

Dulu, demi mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Elok, Kiya harus berbohong tentang statusnya saat wawancara. Membuat beberapa alasan, dan sempat memalsukan beberapa dokumen penting. 

Kiya tahu itu semua salah. Namun, demi menghidupi keluarganya dan memberikan mereka kehidupan yang layak, Kiya harus melakukan semua itu.

“Duta …” Karena mempertimbangkan putranya, maka Kiya tidak bisa mengejar Gilang saat itu juga. “Kita pulang sekarang, ya!”

“Apa, Bund?” Kekesalan Duta semakin bertambah. Saat sang ayah tidak kunjung mengangkat panggilan videonya, kini Kiya mengajaknya pulang dengan mendadak. “Tapi kita belum dapat sepatu, belum lihat-lihat sepeda juga!”

“Bunda ditelpon orang kantor.” Hanya satu alasan itu, yang bisa membuat Duta tidak membantah. “Ada kerjaan mendadak, tapi nggak lama. Nanti sore, atau malam kita jalan lagi beli sepatu sama sepeda. Gimana? Mau, ya?”

Berusaha tenang di saat terdesak seperti sekarang, ternyata tidaklah mudah. Kiya belum bisa mencontoh sikap Elok sepenuhnya. Yang mampu menghadapi setiap masalah dengan terlihat santai, meski banyak duri yang tengah menusuk relung hati wanita itu.

“Om tadi juga ke kantor?” Saat Duta melihat ke arah lift, pria yang menyapanya tadi ternyata sudah tidak berada di sana. 

“Iya!” jawab Kiya terburu, sambil meraih tangan Duta. Mengajak putranya berdiri dan berjalan cepat menuju lift. “Om tadi namanya om Gilang. Dia sudah ditelpon duluan sama orang kantor, makanya sudah pergi.”

Begitulah kehidupan yang dijalani Kiya selama ini. Selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan kerap mengecewakan Duta. Namun, Kiya yakin semua ini tidak akan berjalan selamanya. Setelah rumah sederhananya selesai dibangun, dan tabungan yang dimilikinya sudah dirasa cukup, maka Kiya akan berhenti bekerja. 

Semua sudah diperhitungkan Kiya dengan matang. Meski hidup tertatih dan mengorbankan banyak hal, tetapi ia yakin akan ada pelangi setelah itu. Namun, semua kerja keras Kiya tidak boleh terhenti di saat seperti sekarang. Masih banyak hal yang harus ia wujudkan, dan hal itu bisa Kiya lakukan dengan menjadi asisten pribadi Gilang Mahardika.

~~~

“Siang pak Adi,” sapa Kiya setelah masuk dengan terburu ke kediaman keluarga Mahardika. Di ruang tengah, ia sudah mendapati Adi tengah duduk santai, tetapi dengan pakaian yang sudah sangat rapi. Sepertinya, pria tua itu berencana untuk pergi.

“Siang, Ki,” balas Adi tampak bingung. Untuk apa Kiya datang di hari libur seperti sekarang? 

Sebenarnya, hal tersebut wajar dilakukan Kiya, ketika gadis itu masih bekerja dengan Elok yang tidak mengenal waktu. Namun, tidak dengan Gilang, karena putranya itu belum bekerja secara formal untuk Jurnal. Gilang masih memupuk rasa percaya dirinya, setelah kecelakaan mobil kala itu. 

“Di suruh Gilang datang?” tanya Adi.

Kiya sedikit membungkukkan badannya. “Ada barang saya yang ketinggalan, Pak,” ujarnya beralasan. “Sekalian, mau ketemu mas Gilang. Ada yang mau dibicarakan. Sedikit.”

Telunjuk Adi segera tertuju ke arah ruang kerjanya. Tidak ada rasa curiga, karena Kiya merupakan salah satu orang yang sudah sangat dipercaya oleh keluarga Mahardika. “Gilang baru datang. Kebetulan ada di ruang kerja. Ke sana aja.”

“Makasih, Pak.” Kiya kembali membungkuk sekilas. Kemudian berpamitan pergi menuju ruang kerja Adi, yang saat ini digunakan oleh Gilang. 

Karena pintunya tidak tertutup, maka Kiya mengetuknya lalu masuk tanpa menunggu titah dari GIlang. Ia terus berjalan, dan berhenti di balik meja kerja pria itu. Berseberangan, dan berhadapan.

“Sudah gue bilang–”

“Kita punya perjanjian,” sela Kiya mencoba mengingatkan. Atau dengan kata lain, Kiya mencoba mengancam Gilang. “Masih ingat dengan surat yang sudah Mas Gilang dan saya tanda tangani. Kalau sampai surat itu jatuh ke tangan pak Adi, kita sama-sama selesai.”

“Lo ngancam gue?” Gilang segera berdiri. Pandangannya lurus ke arah pintu yang tidak ditutup oleh Kiya. Jangan sampai, ada seseorang yang tengah lewat dan mendengar pembicaraan mereka. Gilang juga tidak bisa beranjak untuk menutup pintu, karena orang rumah pasti mencurigai mereka. Terlebih, Adi saat ini masih berada di rumah dan belum pergi ke mana pun. 

“Saya sudah pernah hidup susah.” Kiya mencoba untuk tetap tenang, dan memelankan suaranya. “Andai jatuh, saya yakin masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Mas Gilang? Andai sekali ini Mas "jatuh" lagi, pak Adi nggak akan segan buang Mas Gilang ke jalanan. Dan, pak Adi juga nggak akan pernah percaya lagi dengan Mas. Kalau itu sampai terjadi, apa bisa Mas Gilang bertahan hidup di luar sana?”

“Ternyata, lo itu licik juga!” Kedua tangan Gilang mengepal. Tatapannya masih awas, dan tertuju ke arah pintu. “Lo lupa? Gue masih punya mbak Elok.”

“Mas Gilang yakin bu Elok mau bantu?” Kiya harus menekan Gilang dengan tenang. Persis seperti Elok saat menekan semua musuh-musuhnya. “Andaipun iya, memang mau sampai kapan? Mas Gilang mau jadi parasit ter–”

“Kiya!” sentak Gilang tidak terima diremehkan oleh gadis itu. “Jangan sekali-ka–”

“Jangan pecat saya, maka rahasia kita tetap aman.” Kiya harus tetap fokus pada penyelesaian masalah mereka, dan tidak ingin mendengar ocehan Gilang. Kedatangan Kiya saat ini, hanya ingin bernegosiasi dan tidak boleh gagal. “Dan seperti yang sudah kita sepakati, saya akan bantu Mas Gilang agar bisa sejajar dengan bu Elok. Saya juga bisa bantu Mas Gilang untuk mengembalikan kepercayaan pak Adi sama, Mas. Karena kepercayaan itulah yang paling utama. Dan semua ini nggak ada ruginya buat kita berdua. Jadi, coba pikirkan lagi.”

“Pergi gue bilang!” usir Gilang belum bisa berpikir jernih. 

Kiya menggeleng, dan baru akan pergi bila kesepakatan mereka telah tercapai. “Saya nggak akan pergi, sebelum ada kata sepakat di antara kita. Saya tetapi kerja, dan kita jalani hari-hari seperti biasa. Anggap yang Mas Gilang lihat di mall tadi, nggak pernah terjadi. Ayolah, Mas, nggak akan ada yang berubah dari kita.”

“Lo itu, sudah ngerusak kepercayaan keluarga Mahardika, Ki!” desis Gilang sambil mencengkram sisi meja kerjanya dengan kedua tangan. Ia mencondongkan tubuh, dan menatap geram pada Kiya. Andai bukan seorang wanita, Gilang pasti sudah melayangkan satu bogem mentah, karena Kiya sudah berani mengancamnya.

“Mas, saya memang bohong dengan status saya.” Untuk yang satu itu, Kiya tidak akan membantah. Ia memang harus mengaku salah. “Tapi, semua itu nggak pernah mempengaruhi kinerja saya, waktu masih jadi asisten pribadi bu Elok. Silakan tanya ke beliau, apa pernah saya ngecewain beliau?”

“Lo kira–”

“Please, Mas,” mohon Kiya. “Kita saling membutuhkan. Saya butuh uang untuk menghidupi anak saya, dan Mas Gilang butuh saya untuk mendapat kepercayaan lagi dari pak Adi. Ingat, ujung tombak Jurnal sekarang ada di Mas Gilang. Kalau pak Adi sampai kecewa sekali lagi, posisi Mas Gilang bisa diganti dengan orang lain. Saya mohon, pikirkan lagi semua itu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
semangat kiya
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
salut sama Kiya yg bisa mengendalikan seorang Gilang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta Pengganti   Cinta Pengganti ~ 70

    Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter

  • Cinta Pengganti   Cinta Pengganti ~ 69

    “O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan

  • Cinta Pengganti   Cinta Pengganti ~ 68

    “Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan

  • Cinta Pengganti   Cinta Pengganti ~ 67

    “Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng

  • Cinta Pengganti   Cinta Pengganti ~ 66

    Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel

  • Cinta Pengganti   Cinta Pengganti ~ 65

    “Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status