“Suami lo berarti beneran bermasalah, gimana mungkin dia bilang setuju tapi belum ada sehari udah berubah pikiran, atau dari awal dia cuma pura-pura setuju. Lo nggak bisa hubungin petugas dan minta dibuka dari luar gitu?”
“Gimana caranya?” Shea berseru tertahan, dia mondar-mandir di living room. Merasa gelisah dan sulit berfungsi normal. “Ini kawasan elit, Lis, petugas nggak akan mengambil tindakan kalau bukan dapat komplain langsung dari pemiliknya.”“Tapi kan, ini pemiliknya yang bejat. Secara nggak langsung dia udah menyekap lo. Beneran keluarga nggak bisa bohong. Kalau adiknya problematik, Kakaknya—”“Lis, gue butuh jalan keluar.”Karena kalau cuma maki-maki. Shea sudah puas melakukannya dari tadi. Sekian lama menjahit, mengukur, menggambar, membuat Shea lebih tahan banting dan jarang sekali meledak. Tapi kali ini dia pun merasa gelisah.“Lantai berapa unit kalian?”“Empat belas.”“Terlalu tinggi.”“Lo mau g“Kayaknya kita memang yang paling lambat di antara mahasiswa lain. Orang-orang udah pada preview collection, kita masih stuck gini-gini aja.”“Lo kenapa ditolak?”“Konsepnya belum pakem.”Shea manggut-manggut saja memilih celingukan mencari stand minuman.“Nggak ada yang jual minum?” tanyanya menatap sekeliling yang penuh orang.Mereka sedang berada di tengah lautan pengunjung yang memenuhi pelataran Museum Mode Jakarta, Shea dan Alisa berdiri di antara kerumunan.Alisa sengaja mengajaknya ke sana, acara ini menampilkan preview collection untuk tugas akhir yang dikurasi dan dipilih ketat oleh panitia kampus dan pihak museum.Desain mereka tidak termasuk di antara yang terpilih. Tapi mereka bisa menonton mahasiswa yang terpilih sebagai bentuk dukungan sekaligus mencari inspirasi.Shea nurut saja, toh, dia pun tidak ada kesibukan setelah Mama dan Papa berangkat kondangan, dan kemungkinan akan pulang sore. Sementar
“Nduk.”Sebuah pencapaian terbesar Shea ketika bisa bangun lebih awal dari suaminya lalu menyambut Mama di depan pintu.“Mama buatin sarapan, bubur kacang ijo kesukaan kamu.”“Memang ada kacang ijo di kulkas?”“Mama bawa dari rumah.”Sebenarnya Shea penasaran apa saja yang dibawa Mama dalam kopernya karena di saat yang sama ada paper bag yang beliau genggam. Shea mengambil alih mangkuk lalu menguak daun pintu lebih lebar.“Mama masuk boleh ya ini?”“Ya masuklah, Ma,” kata Shea menuntun Mama ke pantry dan meletakkan mangkuk di atas island. “Itu apa yang Mama bawa?”Dengan semangat Mama mengeluarkan amunisinya. “Kerupuk rambak sapi, gudeng kering, tahu tempe bacam, nanti tinggal digoreng aja ya, sama kering kentang kacang.”Shea mengerling mendengar menu terakhir karena Jerikho pasti suka.“Suami kamu belum bangun?”“Belum Ma, dia bangunnya siang," jawab Shea, seenak udel. Lalu duduk di
“Abang jangan ngambek.”Jerikho mendengus, seolah tidak terkesan dengan pemilihan kata Shea. Sebenarnya Shea sengaja, bukan menggampangkan kekesalan suaminya, tapi dia hanya ingin menunjukkan kalau hubungan dengan Pram murni berteman, jadi tidak ada yang perlu dicemaskan.“Kamu tau jam berapa ini?”“Abang juga baru pulang.”“Aku kerja, Shea.” Dia gemas, Shea bisa melihat itu dari jemarinya yang menekan tombol lift dengan kekuatan berlebihan. “Kamu sudah paham gimana jadwal aku setiap weekend.”Ya, tiap weekend malah lebih padat.“Apa yang kalian bicarakan?”“Pram mau pindah ke LN, dia juga nggak bakal kuliah lagi di Airlangga.”“Cuma itu?”“Yah, mau apalagi?”“Aku mengikuti mobil kalian dari Mahendra sampai ke apartemen, dan kalian cuma membicarakan dua baris kalimat?”Shea agak gentar sedikit, dia mundur memilih berdiri di pojok, sementara suaminya di sisi seberang. Menatapn
Pram menggandeng tangan Shea sepanjang menuruni tangga sempit.Dia tidak berhenti menoleh, mengulas senyum seolah memastikan Shea masih ada di sana, nyata berada di sisinya.Perasaan Shea berdesir hebat, Pram kelihatan senang sekali ketika Shea menghubungi, seakan dia sudah menunggu begitu lama dan saat Shea meminta bertemu, dia langsung menawarkan untuk menjemput.“Nggak usah Pram, aku yang akan ke Studio,” tolak Shea tadi.Namun Pram tidak mengerti, rasa antusias membuat dia nekat mengendarai mobilnya melaju ke gedung apartemen lalu membawa Shea ke kafe Mba Mala.“Hati-hati, di bawah sini agak pengap, tapi aku yakin kamu bakal suka.”Kini, selagi menuruni anak tangga, Shea menahan gejolak perasaan. Tatapannya menjelajahi sekitar. Tangga itu menuju ke basemant. Temboknya dipenuhi coretan pensil, puisi pendek, quotes dari seniman, dan sketsa spontan. Rasanya seperti Shea sedang berada di dunia lain. Dunia berisi galeri seni yang
“Sidra nggak diajak Ma? Kayaknya dia pengin banget main ke Jakarta.”“Lah itu, Mama mau ajak dia, tapi sekolahnya mau ujian. Jadi mending fokus belajar aja, walaupun Mama nggak tau dia nurut apa nggak. Pas mau berangkat ke sini aja, dia malah sibuk main futsal.”Shea meringis. Membantu Mama menata tumis kangkung di dalam mangkuk. Mereka sudah makan siang di restoran Jepang yang direservasi suaminya. Shea juga merasa sudah kenyang. Tapi orang tuanya lain, mereka kesulitan menerima, terbiasa menikmati menu rumahan, disuguhi makanan lintas negara, Mama sama Papa jelas kurang puas. Alhasil, Jerikho menawarkan untuk pindah restoran lokal. Tapi Mama memilih untuk masak sendiri saja di apartemen.“Jarang di rumah ya, dia?”“Udah punya pacar.”Ya ampun, Shea mulas, rasanya masih tidak menyangka, adik kecil yang dulu selalu membuntutinya ke mana-mana kini sudah membuntuti perempuan lain.“Pacarnya sering dibawa ke ruma
“Abang!”Shea melompat berdiri dari kasur, tubuhnya limbung, dengan bijak dia bersandar di meja rias. Lalu terdiam cukup lama sampai pusingnya hilang.“Kenapa kamu tiba-tiba bangun, Shea?”Shea mengangkat pandangan, lalu menunduk lagi. Merasa keki dengan kebiasaan suaminya yang menanggalkan atasan tiap kali tidur.“Abang pakai baju dulu.”“Why?” Dia sewot.Yah mentang-mentang situ good looking, mudah saja untuk petantang-petenteng. Tapi tolong, pikirkan juga dengan otak Shea yang traveling ke mana-mana.Beruntung mereka sudah jadi suami istri, kalau tidak, Shea akan malu maksimal.“Kamu sendiri nggak pakai baju.”Hah?Shea menunduk, dan yah... tali tipis di bahunya memang agak melorot sedikit sehingga belahan dadanya menyembul. Dengan wajah panas, Shea menariknya ke tempat semula. Lalu mendelik pada suaminya yang tersenyum lebar.“Aku setuju Abang tidur di sini buat temenin a