“Kamu mau membunuh anak kamu sendiri? Apa kamu nggak punya kegiatan selain mengganggu Shea?” “Abang, kenapa?” “Jangan menjual wajah bodoh Dim, Shea hampir kehilangan janinnya karena apa yang kamu lakukan. Bukannya Abang sudah bilang jangan ganggu dia, dan jangan muncul di depan mukanya?” “Abang nggak pernah bilang begitu, Abang cuma minta aku buat pindah.” “Brengsek!” Adimas berjengit ketika Jerikho merangsek maju, melintasi ruang keluarga besar Graha Patra, kediaman milik keluarga Lomana, lalu mencengkeram kaos Adimas dengan tangan terkepal. “Hei, hei...” Tante Gina dengan cekatan segera mencegah, menyentuh lengan Jerikho yang menegang. Livia terkesiap dia antara anak tangga, lalu buru-buru turun untuk menengahi. “Jeri stop!” Wajah Adimas mengeras, matanya membelalak, tapi pupilnya mengecil. Siaga akan menerima satu bogeman. “Apa yan
Ada banyak yang ingin Shea sampaikan tapi satu hal yang dia salut adalah betapa cepat tanggap suaminya. Jerikho sangat responsif, saat Alisa menelepon melalui ponselnya. Laki-laki itu tidak bertanya dan langsung meminta lokasi mereka.Ketika memeriksakan diri di toilet, ada flek cokelat di underwearnya, tidak banyak, tapi itu cukup membuat Shea panik.Shea dibawa pulang dengan tubuh berkeringat, dokter Hanum dipanggil dan langsung datang malam itu juga.“Detaknya lumayan bagus. Tapi Bunda harus benar-benar istirahat total, ya. Ini warning dari tubuh Bunda kalau rahimnya mulai reaktif karena kelelahan. Memang sering terjadi di trismester pertama, tapi ini yang kita sebut threatened miscarriage. Artinya, ada ancaman. Dan kalau nggak dijaga Bunda, Mas, bisa berkembang jadi hal yang nggak kita inginkan.”Dokter Hanum menjelaskan setelah memeriksa dengan alat doppler portable, memastikan detak jantung janin Shea masih ada. Suaranya seperti biasa, lembu
Kembali pada kenyataan adalah ketika Shea berjibaku di salah satu sudut ruang studio, duduk membungkuk di depan meja panjang penuh lembaran sketch, potongan tulle ivory, manik-manik pearl kecil, dan referensi gaun pengantin era 50-an. Macbook terbuka di sebelahnya, menampilkan digital board bertuliskan. Tugas Akhir: Dream in Reverse, Reclaiming Bridal Wear for Women Who Left. Besar-besar, karena Shea perlu terus diingatkan kewajibannya yang hanya tinggal selangkah lagi menuju wisuda. Pensilnya menari di atas kertas, menggambar ulang siluet A-line dengan potongan V di punggung dan tekstur layering seperti kelopak mawar. Hening. Fokus. Hingga suara pintu kaca geser berdecit terbuka. “Shea.” “Maaf, aku nggak datang kemarin, soal—” Shea terdiam karena alih-alih Pram, dia justru menemukan Adimas. Hidungnya kembang kempis. Benar dugaan Shea, suaranya berubah, menjadi di
“Abang nggak punya hak ngatur aku boleh atau nggak boleh ketemu teman-teman.” Shea meletakkan laptop di meja lalu menghadapi suaminya. Berkat perbandingan tubuh mereka, Shea harus mendongak jika ingin mempertahankan kontak mata. “Lagian aku juga nggak pernah protes kalau Abang mau ketemu sama siapa aja. Rasanya nggak adil kalau aku malah nggak diizinkan untuk pulang telat.” “Kamu nggak boleh minum kopi.” Shea mencibir. “Aku kan, bisa minum yang lain. Teh herbal—” “Nggak ada menu teh di sana.” “Milkshake?” “Kamu mual susu.” “Ice cream?” “Sama saja.” “Jus jeruk?” “Kita punya banyak persediaannya di rumah.” Laki-laki ini selalu punya jawaban, kan? Padahal dia paham intinya bukan soal minuman tapi Pram itu sendiri. Shea berdecak. “Kalau gitu Abang juga nggak boleh ke mana-mana set
Shea sadar bahwa hanya tinggal menunggu waktu sampai Pram melihat keberadaannya di Mahendra tapi yang Shea tidak menyangka, justru Jerikho-lah yang pertama bicara di antara mereka. “Ah, perwakilan kasus Soerjo?” tanyanya seperti baru mengingat sesuatu. Dia kemudian mengulurkan tangan, tanpa melepaskan rangkulan di pinggang Shea. “Saya Jerikho, Kakak kamu sudah menginformasikannya, bukan?” Kakak? Ini bukan pertama kalinya dia mendengar tentang kasus tersebut, bahkan nama itu sering berdegung di kantor tapi Shea tidak pernah penasaran atau mengulik karena sibuk dengan urusannya sendiri. Kini Shea menatap Pram, kemudian suaminya, bolak-balik dengan bingung. Pram berdeham kemudian menyambut uluran tangan Jerikho. “Pram.” “Kita bicara di dalam,” lanjutnya. Menarik Shea bersama. “Kamu ikut.” “Ini nasinya masih banyak,” balas Shea memprotes, sebab Jerikho langsung mendorong lembut ping
“Bapak!” Mba Naomi tergopoh-gopoh mendekat lalu menggeser tubuh Jerikho menjauh, menyelipkan tubuhnya sendiri yang semampai di antara mereka. Melebarkan jarak antara Shea dan Jerikho. “Tolong, jangan terlalu nempel-nempel, bukan mahram.” Shea tercengang, namun menahan diri untuk tidak berkomentar. Suaminya hanya mengerjap seakan mencerna, dan begitu paham, alisnya mengerut muram. “Shea masih kecil, Pak.” “So?” jawabnya sewot. Baru kali ini dia melihat Jerikho bersungut-sungut. Satu lagi ekspresi lain dari suaminya yang belakangan baru Shea ketahui. “Cari yang lain aja.” Dan seakan ingin menunjukkan maksudnya, Mba Naomi berdiri di samping Shea, bertindak sebagai bodyguard dadakan dengan menamengi dirinya dari bahaya penjahat kelamin. “Memangnya saya ngapain Nao?” “Bapak genit.” “Apa?” “Bukan apa-apa, biarkan Shea bekerja dengan tenang d